Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 8)


      “Kak, ini sarapannya,” ujarnya lembut, ia tersenyum sangat manis.

      “Makasih yah Dek,” ujarku lalu duduk di kursi meja makan, ia lalu duduk di sebelahku.

      “Kayaknya enak nih,” ujarku sambil menatap gadis itu dengan tersenyum, ia lalu mengangguk, dan aku mulai mengambil nasi goreng yang baru saja ia masak, dan dilanjutkan dengan Cauthelia.

      “Enak Dek,” ujarku sambil mengacungkan jempol ke arahnya.

      Ia tersenyum kepadaku dengan sangat manis, “makasih yah Kak, gimana Dede lulus test gak?” tanyanya sambil menjulurkan lidahnya.

      “Dede udah lulus semua aspek,” ujarku dan tersenyum.

      “Terus makasih yah kemejanya,” ujarnya dan tersenyum sambil memandangku, terlihat kemeja itu sesak di bagian dadanya.

      “Kak,” panggilnya singkat, “ke Anyer yuk,” pintanya kepadaku.

      “Eh, ngapain?” tanyaku balik.

      “Jalan-jalan lah Kak,” ujarnya ringan, ia lalu tersenyum kepadaku.

      “Dek, tolong ambilin susu dong,” pintaku kepada gadis itu.

      “Ini Kak,” ujarnya lalu membuka kancing kemejanya.

      “Heh, bukan susu yang itu,” ujarku ketus, ia lalu menjulurkan lidahnya, sejurus kemudian ia mengambilkanku susu.

      Gadis ini, entah berapa kali aku harus mengeluh, begitu senangnya ia menggodaku. Tersadarku, semalam gadis ini menginap di rumahku, dan untunglah tidak terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan malam ini. Kami pun menyelesaikan sarapan tersebut, setelah itu ia merapikan meja makan dan mencuci piring, aku mengikutinya dan berhenti di belakangnya.

      Kupandang gadis itu dari belakang, betapa sempurnanya gadis itu, rambut panjangnya yang indah tergerai hingga pingganggnya, badannya yang membentuk jam pasir, kulitnya yang putih, entah berapa kali juga aku mengagumi gadis ini, tidak bosan rasanya membicarakan apa yang ada di pada dirinya.

      Ia pun menyelesaikannya dengan cepat, lalu ia berbalik badan ke arahku, aku terkejut saat melihat bagian depan kemeja berwarna putih itu basah. Air yang terciprat ke bagian depan tersebut sukses menerawang tubuh bagian depannya dari dada hingga ke bawah. Aku menghela napas dan mengalihkan pandanganku, ia hanya menjulurkan lidah saat itu.

      Besar, eh, tunggu-tunggu, Tama, kau tidak boleh berpikir tentang bagian itu, meskipun jelas sekali terlihat, karena ia tidak mengenakan bra. Aku pun sejurus kemudian meninggalkan dapur dan kembali duduk di sofa ruang tengah. Kunyalakan Pemutar DVD, dan kupilih lagu G3 Live in Denver, Little Wing.

      Gadis itu menghampiriku masih dengan pakaian yang basah seperti tadi, ia tersenyum dan dari wajahnya ia berusaha meminta maaf karena sudah membasahkan bajuku. Aku tersenyum kepadanya, dan aku memalingkan wajahku karena ia tahu benar kalau aku sedang bereaksi saat ini.

      Aku menyetujui permintaannya untuk sekedar berjalan-jalan menuju Anyer pagi ini. Selesai kami mandi, aku pun langsung menuju ke garasi untuk melihat seberapa banyak RON95 tersisa pada tangki, terlihat masih tiga-per-empat bagian, berarti masih ada sekitar 75 Liter, masih sangat cukup, ujarku dalam hati.

      Kupanaskan V12 itu, dan kutunggu Cauthelia di garasi. Sejurus kemudian, gadis itu datang dengan menggunakan salah satu sweater aku yang ada di lemari pakaianku, Elya, mengapa kau tidak bilang saja kepadaku, gumamku dalam hati. Itulah Cauthelia, ia sangat sopan apabila sedang berjalan keluar, mengenakan celana jeans dengan sepatu wedges serta sweater, tidak lupa kacamata fullframe serta rambutnya yang tetap ia gerai.

      Kami pun masuk ke dalam mobil, kukeluarkan dari garasi dan kukunci pintu rumah lalu kami bertolak menuju Anyer pada pagi itu. Ini pertama kalinya aku berjalan jauh bersama seorang gadis, dan ini juga pertama kalinya kulihat Cauthelia mengenakan sabuk pengaman yang menempel ketat membelah dadanya, Tama, hentikan, pikirku dalam hati dan aku mulai berkonsentrasi dalam perjalanan tersebut.

      Tiga jam perjalanan menyenangkan, akhirnya kami tiba di Anyer, karena ini weekend maka suasana di sini sudah pasti ramai, hingga kami berjalan agak jauh ke arah selatan untuk mencari pantai mana yang masih sepi. Akhirnya, kami benar-benar tiba di sebuah lahan pantai yang terlihat sepi, bahkan hanya kami berdua yang berada di sana.

      Kumatikan mesin mobil tersebut, lalu aku keluar terlebih dahulu lalu berjalan ke kiri dan membukakan pintu untuk Cauthelia. Kami berjalan keluar dari mobil di atas pasir pantai yang lembut ini, tujuan kami jelas, yaitu bibir pantai yang waktu itu disapu ombak yang tidak terlalu tinggi.

      “Dede suka di pinggir pantai, tapi Dede gak bisa berenang,” ujarnya lalu tertawa kecil.

      “Kalau Kakak suka sama ujan,” ujarku lalu mengenggam tangannya.

      “Kak, makasih yah udah selalu ada buat Dede belakangan ini,” ujarnya pelan, ia menunduk, “Dede pengen ini bisa seumur hidup Dede, tapi Dede yakin gak mungkin,” ujarnya dengan nada yang sedikit parau.

      “Udah sayang, gak usah nangis ya,” ujarku dan menggenggam tangannya lebih erat lagi, ia memandangku dengan air mata yang sudah menetes di pipinya yang chubby itu, kuseka perlahan, “Dede yakin enggak sama Kakak?” tanyaku sejurus aku menatap mata coklatnya yang indah, ia mengangguk pasti.

      “Dede yakin, Kakak adalah yang terbaik buat Dede, meski Dede gak tahu kapan kita bisa ketemu lagi,” ujarnya pelan, kulepas kacamatanya.

      Kuseka air mata yang menggenang di pinggir matanya, “kalau Dede adalah jodoh Kakak, kita pasti akan ketemu, bener enggak?” tanyaku, padahal hatiku tidak kalah gusarnya sekarang.

      “Kalau kita jodoh, pasti kita ketemu kan Kak,” ujarnya pelan, “lagian kan kita bisa teleponan,” ujarnya lagi setengah bersemangat, aku pun tersenyum.

      “Dede emangnya pindah kemana sayang?” tanyaku pelan.

      “Semarang Kak, masih di Indonesia kan?” tanyanya dengan wajah yang sedih.

      “Semarang bisa pake KA2 ato KA4 sayang, kalo enggak naik KA14 bisa,” ujarku menenangkan, ia tersenyum semangatnya terlihat lagi di wajahnya.

      “Bener juga yah, Dede aja yang berlebihan ya Kak,” ujarnya dan ia tersenyum lagi.

      “Kakak janji Dek, nanti pas liburan semester Kakak ke Semarang,” ujarku menyemangatinya, dan keceriaan mulai terpancar dari matanya.

      “Tapi Dede takut Kak di sana,” ujarnya pelan.

      “Kakak ngerti sayang,” ujarku sambil membelai pipinya, “Dede itu macem lokomotif, punya daya tarik sendiri secara fisik, dan punya daya tarik laen jadinya banyak yang mau ngikutin Dede,“ ujarku lalu tanganku digenggamnya, “karena yang Kakak suka dari lokomotif bukan sekedar fisik yang menarik, tapi tractive effort dan mesinnya juga,” ujarku dan tersenyum kepadanya.

      “Dede sayang sama Kakak, Dede cinta sama Kakak,” ujarnya lalu mendekapku dengan erat.

      “Kakak juga sayang dan cinta sama Dede, sepenuh hati Kakak,” ujarku dan mendekapnya dengan sangat erat.

      Pagi itu, di Anyer, kunyatakan pernyataan cintaku sekali lagi kepada Cauthelia, masih sepi, hingga aku bisa berjalan-jalan ke arah utara tanpa ada orang lain yang mengikuti. Hingga tibalah kami di suatu tempat yang terletak lebih ke utara, di sana banyak sekali rombongan siswa SMA yang mengadakan wisata.

      Kami mencoba berbaur dengan mereka, meninggalkan E38 di tempatnya dengan aman, tenang saja tidak ada yang berminat mencuri mobil dengan konsumsi bahan bakar 1:6 tersebut. Awalnya Cauthelia tidak tergoda dengan ombak pantai yang begitu tenang, tapi pada akhirnya ia menggulung celana jeans-nya lalu menitipkan wedges-nya kepadaku, aku tersenyum saat ia melakukan itu.

      Melihat ia begitu antusias, aku mengambil inisiatif untuk membeli dua baju pantai dan juga dua celana pantai yang dijual di sana, aku memanggil Cauthelia untuk kembali ke mobil untuk berganti pakaian. Ia menghampiriku dan tanpa mengenakan alas kakinya ia berjalan cepat menuju mobilku.

      Beruntung aku menggunakan window tint 80% sehingga apapun yang dilakukan di dalam tidak akan terlihat dari luar. Aku meminta Cauthelia untuk berganti pakaian terlebih dahulu, sementara aku berjaga di luar, sesaat setelah ia berganti baju, aku pun mengganti bajuku. Terima kasih atas legroom yang lega di E38 ini menjadikan ku mudah untuk menggganti baju.

      Aku keluar dari mobil, Cauthelia sudah menungguku dengan senyumannya, rambutnya yang panjang tergerai, melambai-lambai diterpa angin. Baju dan celananya yang longgar membentuk tubuhnya saat angin menerpa lembut. Kulitnya yang sangat putih dan bersih terlihat begitu bercahaya saat sinar matahari menghujaninya.

      “Dek,” panggilku pelan, “Dede bener-bener bikin Kakak jatuh hati,” ujarku pelan, “Dede keliatan tambah bohay pake itu,” ujarku meledeknya, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sinis melihatku, aku pun kaget melihatnya.

      “Dede pikir Kakak beda,” ujarnya pelan, “tapi Kakak sama aja,” ujarnya ketus, aku bingung dimana salahku tadi.

      “Dede gak sadar, Dede itu cantik, pinter, bohay, hampir gak ada kurang,” ujarku mendekatinya dan mencoba memegang tanganku, saat itu ia langsung melepaskannya.

      “Kakak salah ngeliat Dede dari fisik, soalnya Dede gak suka dinilai begitu,” ujarnya lalu membelakangiku.

      “Maafin Kakak yah Dek,” ujarku yang merasa bersalah.

      Tiba-tiba ia menghadap ke arahku lagi, dan mendekapku dengan erat, “bercanda sayang, Dede seneng Kakak juga normal mau komentarin fisik Dede,” ujarnya di telingaku.

      Kami bermain di pinggir pantai, awalnya hanya di pinggiran, lama kelamaan kami makin ke tengah, hingga air setinggi pinggang Cauthelia. Aku mendekapnya di sana menikmati ayunan ombak yang menerpa tubuh kami, sesekali aku celupkan kepalaku ke dalam air yang tidak terlalu bersih itu.

      Bahagia, itu yang kulihat di wajah gadis berambut panjang itu, sempurna sudah tubuhnya terbentuk karena basah terkena air. Aku langsung bereaksi cepat melihat gadis itu, bukannya ia menjauhiku malah ia mendekapku, dan ketahuan sudah olehnya. Ia tersenyum nakal kepadaku, dan sepertinya puas bisa membuatku seperti ini. Terlepas karena masalah itu, aku benar-benar mencintai Cauthelia dengan segenap jiwaku.

Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 26 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by