SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 9)
Kami tenggelam dalam belaian air laut yang tenang yang membawa cintaku lebih dalam lagi kepada gadis yang bernama Cauthelia ini. Tidak habisnya kukagumi gadis ini, ya kecerdasannya juga membuatku sangat tertarik kepadanya, karena sangat jarang ada gadis yang mengerti Engineering sehebat Cauthelia.
Waktu berjalan sangat cepat, hingga tidak terasa matahari sudah berada di atas kepala kami. Cauthelia segera menepi dan kami duduk berbasah-basahan di bawah pohon kelapa yang sangat rindang di sana. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Bajunya yang basah sukses membentuk setiap lekukan tubuhnya dengan sempurna, kugelengkan kepala karena aku tidak ingin berpikir mengenai itu.
“Kak, Dede pengen deh begini seterusnya,” ujarnya dan mendekap tanganku dengan erat, aku memandangnya dan tersenyum.
“Kakak juga pengennya begini Dek,” ujarku pelan, “bersama Dede seterusnya, gak kepisah sebentarpun,” ujarku lalu menggenggam tangannya erat.
“Kak, janji yah nanti kalo liburan maen ke Semarang,” pintanya dengan manja.
Aku mengangguk pelan, “naek KA14 yah nanti dijemput di SMT ya sayang,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Dede masih mau di sini ato mau pulang?” tanyaku kepadanya.
Ia terdiam sesaat, lalu ia tertunduk, “kalo bisa sih enggak pulang dulu Kak, Dede masih pengen ada di samping Kakak,” ujarnya.
“Tapi nanti malem Kakak janji sama Aerish,” ujarku pelan.
Gadis itu menatapku dengan agak sedih, “jam berapa Kak?” tanyanya dengan lembut namum mengisyaratkan kesedihan.
“Jam tujuh malem Dek,” ujarku pelan.
“Kalo gitu jam empat kita pulang yah Kak,” ujarnya pelan, “Kakak harus tepatin janji Kakak sama Kak Aerish,” ujarnya sedikit sedih, “tapi anterin Dede pulang dulu yah Kak,” ujarnya dan berusaha untuk tetap tersenyum.
Aku terdiam saat ia mengatakan bahwa ia minta diantarkan pulang. Entah kenapa ada perasaan sedih muncul di hatiku, aku tidak ingin membiarkannya pulang ke rumahnya sore ini, ingin sekali aku memintanya menginap semalam lagi di rumahku, tetapi apa yang kau ingin lakukan Tama? Tanyaku di dalam hati, aku pun tidak bisa menjawabnya.
“Kak, kok diem?” tanya Cauthelia dengan penasaran.
Aku menggeleng pelan, “cuma ga bisa bayangin kalo Kakak gak ada Dede gimana,” ujarku tertunduk.
“Kakak ah, bikin Dede jadi tambah sedih deh,” ujarnya lalu mendekap tanganku lebih erat lagi.
“Iya Dek, gak tahu nih Kakak lagi melow banget hari ini,” ujarku pelan, “pengen rasanya minta Dede nginep semalem lagi di rumah, tapi enggak mungkin kan,” ujarku pelan.
“Loh, kenapa Kakak mikir begitu?” tanyanya dengan penuh keheranan.
Aku terdiam, “soalnya Kakak bukan siapa-siapanya Dede, terus gak enak aja, meskipun hati Kakak kepengen banget,” ujarku pelan.
“Semalem lagi yah,” ujarnya lalu terdiam, ia melihatku dengan tatapan manja, ia menggeleng pelan, “jangankan sehari, seumur hidup pun Dede mau Kak,” ujarnya tersenyum dengan wajah yang sangat merah.
“Jadi Dede mau?” tanyaku bersemangat.
Ia mengangguk pasti, “seperti yang Dede bilang, Dede yakin sama Kakak karena suatu hal,” ujarnya pelan.
Juli 2006, hari Senin, hari MOS pertama untuk murid baru kelas X, masih segar diingatanku Sabtu minggu lalu aku menyelamatkan gadis yang pingsan di lapangan. Aku tidak kenal siapa dia, tetapi ia menjadi cepat populer di sekolah ini. Beberapa kali aku berpapasan dengan gadis itu, tetapi aku tidak hiraukan.
Gadis itu menggunakan rok yang cukup pendek, sekitar 10 centimeter dari lututnya, membuatnya makin terlihat menarik dengan kulitnya yang putih dan bersih. Wajahnya memang cantik, tetapi aku tidak tahu siapa namanya. Masa bodo, pikirku dalam hati, aku sudah memiliki gadis yang kucintai, Aerish Rivier.
“Tam,” panggil suara itu.
“Eh, Dino,” ujarku lalu menoleh ke arahnya.
“Kira-kira gue kasih cokelat buat anak baru itu gimana Tam?” tanyanya dengan antusias.
“Emangnya mau loe kasih siapa cokelatnya?” tanyaku penasaran.
“Itu loh anak baru yang papan namanya dangak,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Yang dipanggil Lia itu?” ujarku kepada Dino.
Ia mengangguk, “Lia bohay, tapi asli coy, body-nya bohay banget,” ujarnya, aku hanya tersenyum kecut.
“Gih dah, loe lakuin sesuka loe Din,” ujarku kepada Dino lalu kutepuk-tepuk pundaknya, “asal kalo sampe jadi jangan lupa PJ-nya yah,” ujarku lalu tertawa.
“Beres bos, tapi loe jangan naksir ya,” ujar Dino sambil tertawa.
“Ya kagak lah bro, gue kan udah cinta mati sama Aerish,” ujarku pasti.
Di pagi itu, ia pun pergi ke kelas gadis yang disebut Lia Bohay itu aku memperhatikannya dari belakang. Sekitar 10 menit kemudian, ia pun keluar dari kelas itu, dan tidak lama keluarlah gadis yang disebut Lia itu. Ternyata Lia adalah gadis yang kugendong Sabtu kemarin. Ia berjalan sejurus ke arahku, ia sempat melirikku sesaat setelah itu kulihat ia sedikit tersenyum.
Aku hanya cuek saja tidak memandangnya, hanya menyadari presensi dan juga wangi perfume-nya saat ia melintas di sebelahku. Kulihat ia membawa cokelat yang baru saja Dino berikan kepadanya, sudah berhasil, pikirku dalam hati. Saat aku masih duduk terdiam di sana, gadis itu lewat sekali lagi, wangi perfume-nya yang khas sudah tercium, dan sesaat kemudian gadis itu lewat di sebelahku lagi, kupandangi ia dari belakang, tetapi tidak lama aku memalingkan wajahku
“Kak, kok diem lagi?” tanya Cauthelia mengagetkanku.
“Enggak sayang, Kakak cuma inget pertama kali Dede papasan sama Kakak pas bawa cokelat dari Dino,” ujarku lalu memandangnya.
“Eh, kok Kakak tahu itu dari Dino?” tanyanya heran.
“Sebelum Dino kasih cokelat itu, dia ngomong dulu sama Kakak, makanya Kakak tahu,” ujarku tetap memandangnya.
“Iyah, pas Dede lewat muka Kakak itu jutek banget,” sungutnya sambil mencubit pelan lenganku, “sok banget gak perhatiin Dede,” sambungnya lagi.
“Tapi emang Kakak gak perhatiin Dede waktu itu,” ujarku pelan, “karena hati Kakak udah beku, dan cuma ada Aerish waktu itu,” ujarku lagi.
Juli 2006, hari terakhir MOS, saatnya aku tampil sebagai performer dari ekskul Band. Seperti biasa, aku memainkan instrumen drum. Aku masih sibuk set-up sound dan juga instrumen pagi itu, tiba-tiba sepagi itu Dino sudah datang ke sekolah. Hal yang tidak biasa bagi Dino.
“Ngapain loe dateng pagi bener?” tanyaku.
“Gue lagi coba maenin First Love dari Nikka Costa sama Endless Love dari Lionel Richie,” ujarnya sambil memainkan Fender Telecaster yang ia pegang saat ini.
“Lia lagi pasti,” ujarku meledek sambil tuning suara snare drum.
“Iye lah bro, cocok banget dijadiin bini gue itu,” ujarnya dengan keyakinan seratus persen.
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata dari Dino, masa bodo, pikirku sambil tetap melakukan tuning untuk tom dan floor. Saat suasana sekolah sudah mulai ramai, Dino tiba-tiba memanggil Lia dan dimintanya untuk naik ke atas panggung. Sesaat saat ia naik, akupun turun dari panggung dan menuju ke belakang, tahap selanjutnya adalah sound checking.
Suara gadis itu cukup merdu, ia menyanyikan lagu First Love dan Endless Love dengan sangat apik dan baik. Gadis ini bisa bernyanyi, ujarku dalam hati, tapi lagi-lagi masa bodo untukku. Hingga giliranku tampil menyanyikan lagu Hysteria dan Can’t Take My Eyes on You dari Muse dan itu cukup mendapatkan antusiasme oleh penonton.
Saat istirahat tiba, aku berjalan ke kantin saat itu bersama Aldi, ia lalu berkunjung sebentar ke kelas Lia, ia menjemput gadis itu di kelas tersebut dan mengajaknya ke kantin. Aku hanya duduk di seberang mereka berdua, luar biasa pesona gadis ini sangat luar biasa memang, dua laki-laki tampan di sekolah langsung mendekatinya.
Sesekali aku melakukan kontak mata dengan gadis itu, ia nampak tersenyum kepadaku, heh ada apa denganmu Lia, ujarku dalam hati. Ia lalu pergi bersama Aldi sesaat setelah mereka menyelesaikan makan mereka di kantin. Aldi mengantarkannya pulang ke kelas, dan tinggallah aku bersama Lina, salah satu anak OSIS yang kutahu ada rasa kepada Aldi.
“Gue gak suka sama Lia,” ujarnya kepadaku.
“Yaiyalah Lin, loe kan cewek masa iya loe suka sama cewek?” ujarku meledekinya.
“Bukan gitu kali Tam,” ujarnya lalu memukul lenganku, “gue gak suka aja sama onderdilnya yang lebay,” sungutnya kepadaku.
“Onderdil?” tanyaku heran, ia mengangguk pasti, “cylinder, head cylinder, engine block, serpentine belt, electronic dampering control, valve, ato apaan neh?” tanyaku meledeknya.
“Tama,” ujarnya lalu mencubitku.
“Biarin aja Lin, itu berarti anugerah buat dia sama Suaminya,” ujarku dengan segala filosofiku, “kalaupun gak sama Aldi kan ada Dino,” ujarku dan tertawa.
Comments (0)