Aku tidak mau membuainya dengan keinginan yang mungkin saja bisa menyebabkan dirinya terjerumus. Tetapi tanpa banyak kata, ia kembali menciumku di sini. Cauthelia, ia begitu lihai memainkan bibir serta lidahnya, tetapi aku tetap mengendalikannya, aku tidak mau peristiwa seperti yang terjadi di kamarnya terulang.
Tenaga gadis ini memang cukup besar untuk menahanku melepaskan diri, tetapi aku harus melawan, kalau tidak ini akan berakhir buruk. Saat ini kondisinya tidak bisa dijelaskan, dimana saat processor sudah terlalu penuh dengan instruksi untuk di execute tetapi RAM masih sibuk dengan operasi yang belum selesai. Secepat apapun processor tersebut, dan sebesar apapun cache-nya, jika dalam keadaan seperti ini maka Processor tidak akan bisa memproses apapun.
Dalam pikirannya, Cauthelia sadar benar apabila tindakannya itu adalah sesuatu yang amat sangat salah, tetapi dorongan hasrat dalam tubuhnya juga tidak dapat disalahkan oleh otaknya. Gadis ini butuh penyaluran, itu yang kutangkap. Tidak ada yang bisa membantunya kecuali dirinya sendiri.
Butuh waktu agak lama untuk menyadarkannya, akhirnya setelah aku berhasil membuatnya melepaskanku. Wajahnya sangat merah saat itu, aku segera mencari headphones milikku di tas dan memberikannya kepada gadis itu, yang pertama kali aku berikan kepadanya adalah sebuah musik instrumen dari Dream Theater, judulnya Stream of Consciousness.
Ia menikmati alunan gitar, bass, keyboard, dan drum dari lagu tersebut, musikalitas yang luar biasa saat ini sedang ia dengarkan. Ia memejamkan matanya saat solo dari John Petrucci dan Jordan Rudess saling bersahutan, ia nampak mengernyitkan dahinya saat bagian tersebut. Sesekali ia tampak menyamakan irama drum Mike Portnoy, tanda bahwa ia sudah mulai menikmati musik tersebut.
Napasnya terengah sambil mendengarkan lagu itu, ia sudah menikmatinya, syukurlah, ucapku dalam hati. Sampai pada bagian akhir lagu itu memang cukup membawa ke dalam tahap rileks setelah sembilan menit bagian awal telinga harus mendengar nada yang saling bertabrakan tetapi harmonis dari gitar, bass, dan keyboard. Ia memandangku dan tersenyum lega, baru kali ini kulihat wajah gadis ini begitu bahagia.
“Enakan Dek?” tanyaku kepadanya.
Ia mengangguk, “enak Kak, gimana ya rasanya, Dede juga ga bisa bilang,” ujarnya lalu tersenyum kepadaku.
“Udah jam sepuluh malem, mau pulang gak Dek?” tanyaku lalu menggenggam tangannya.
Ia menggeleng, “nanti aja Kak, lagian kan besok libur,” ujarnya dengan nada manja.
“Dede kan besok ada ekskul dance,” ujarku lalu ia memandangku tidak percaya.
“Loh, Kakak tau darimana kalo Dede itu dancer?” tanyanya keheranan.
“Kakak pernah gak sengaja liat Dede dulu pas lagi maen,” ujarku dan tersenyum, “gimana cowok-cowok gak tergila-gila sama Dede, bohaynya minta ampun kalo lagi stage performance,” ujarku mengomentarinya.
“Tapi Dede janji, di sekolah yang baru Dede gak akan jadi dancer,” ujarnya pasti.
Aku mengangguk, “yang pasti Dede jaga diri yah di sana,” ujarku sambil tersenyum, ia mengiyakan, “eh, boleh tahu gak berapa mantan Dede sampe sekarang?” tanyaku tiba-tiba saja ingin tahu.
“Sama Dino berarti 3,” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya.
“Lah katanya mau cari Suami, tapi pacaran udah 3 kali,” ujarku.
“Pacaran kan buat maen-maen aja Kak, kalo aku maen-maen gak bakalan aku berani pake baju begini,” ujarnya sambil mencubit pipiku pelan.
“Jadi kalo sama Kakak gak maen-maen dong?” tanyaku dan mencubit balik pipinya.
Ia menggeleng, “kalau sama Kakak, Dede serius, terus ini pertama kalinya Dede maen ke rumah cowok sampe malem,” ujarnya lalu menjulurkan lidahnya.
“Lah, Kak Rachel gimana?” tanyaku bingung.
“Kita udah berkonspirasi Kak,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Hadeh,” ujarku lalu menghela napas.
“Kalo Kakak mantannya berapa?” tanyanya balik.
“Nol,” ujarku lalu tertawa, dan disambung oleh tawa gadis itu.
Malam semakin larut, ini sudah pukul 2345, dan gadis ini masih betah saja bercanda bersamaku. Malam ini benar-benar indah, pikirku dalam hati, tidak ada yang lebih membuatku berbahagia selain bersama Cauthelia. Namanya semakin mantap tertulis di hatiku, ya setidaknya sampai kami bertemu lagi nanti.
Jam dua belas malam tepat, seharusnya gadis ini sudah pulang ke rumah, pikirku di dalam hati. Tetapi mengapa seakan ia masih betah untuk berada di rumahku, apa yang sebenarnya membuatnya begitu ringan dan santai tetap berada bersamaku saat ini. Aku bukanlah kekasihnya dan ia juga bukanlah kekasihku, kami hanya saling menyatakan cinta tanpa pernah mendeklarasikan status masing-masing.
Gadis ini sudah mengantuk, tetapi ia belum memintaku untuk diantarkan pulang, luar biasa, apabila orang tuaku tiba-tiba pulang saat ini, mereka pasti akan mengusirku. Elya, pulanglah, ucapku dalam hati, tetapi bibir ini seakan kelu, dan hati ini seakan tidak ingin ia pergi dari sini. Ada bahagia yang terbesit saat kusadari ada kehadirannya di sampingku saat ini.
Ia sangat terlihat manis saat wajahnya mengantuk seperti itu, kugenggam tangannya, ia hanya memandangku dengan wajah yang menampakkan kelelahan. Apabila ia menginap, bagaimana aku mengantarkannya pulang besok, itu yang sejak tadi menjadi pertanyaan yang terus terngiang di kepalaku.
“Dek, pulang yah,” pintaku dengan pelan.
“Enggak aah, ngantuk Kak,” ujarnya dengan nada setengah parau, sangat menggelitik.
“Kenapa gak pulang sayang?” tanyaku lalu kubelai lembut rambutnya.
Ia menggeleng pelan, “males ada bang Ian, pacarnya Kak Rachel yang ganjen,” ujarnya mengaku, ia lalu menghela napas.
“Gimana gak ganjen kalo Dede di rumah pake baju begini, yang ada dia seneng ngeliat badan Dede gratisan,” ujarku ketus.
“Huuuuum, gak juga sih Kak, biasanya Dede pake baju normal ajah kok,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitik, “Dede bobo yah Kak,” ujarnya lalu pergi dari ruangan tersebut dan dengan ringannya ia naik ke kamarku.
Kudengar suara pintu kamar ditutup, aku menghela napas panjang saat aku menyadari semakin hari ini semakin rumit. Aku masih di sofa ruangan tengah, tidak ada niat sedikitpun aku untuk sekedar melihatnya tidur saat ini. Aku hanya melanjutkan menonton film yang saat ini sedang diputar di salah satu saluran televisi kabel berbayar Internasional.
Sejurus kemudian, teleponku berdering, siapa yang meneleponku pada jam 0019 malam ini? Gumamku dalam hati. Kuraih ponselku yang terletak agak jauh di seberangku, dan kulihat namanya. Aerish? Meneleponku sedini ini? Ada apa dengan gadis itu hingga tiba-tiba meneleponku? Tanpa banyak kata, aku mengangkatnya.
“Tama, maaf kalo aku ganggu kamu,” ujarnya dengan nada yang lesu.
“Gak apa-apa kok Rish, kebetulan aku juga belum tidur,” ujarku ringan.
“Bisa temenin aku gak?” pinta gadis itu dengan nada yang belum pernah aku dengar keluar dari bibir Aerish.
“Temenin ngapain Rish?” tanyaku balik.
“Cuma teleponan aja sih sampe aku ngantuk,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Dasar kamu itu, aku pikir kamu kenapa telepon aku jam segini,” ujarku sedikit ketus, “kamu ada di rumah?” tanyaku sejurus kemudian.
“Iya, lagi di kamar, lagi keinget sama kamu aja,” ujarnya, ia lalu terdiam sesaat, “dan aku baru sadar, sehebat apapun aku, kamu itu berarti banget buat aku,” ujarnya pelan, hampir aku tidak mendengarnya.
“Kalo aku, sejak kamu pergi, aku selalu inget masa-masa kita dulu loh,” ujarku bersemangat.
“Eh, tapi kan dulu aku ga baik Tam, aku fitnah kamu, pokoknya aku jahat deh,” ujarnya dengan nada yang amat sangat bersalah.
“Tapi aku inget suatu peristiwa, study tour ke Bosscha, pas kita turun bareng, kamu inget?” ujarku.
Kami berbicara banyak pada dini hari itu, dan kami menyelesaikan obrolan kami jam 0149, luar biasa ucapku dalam hati. Mataku kini sudah tidak kuat menahan kantuk, setelah aku mematikan televisi aku pun memutuskan untuk tidur di sofa. Tidak mungkin aku tidur di sebelah Elya, gumamku dalam hati.
Pagi tiba, cahaya matahari masuk menembus kaca jendela besar yang terletak sejajar denganku, Elya pasti sudah terjaga dan saat ini, dan ia sudah membuka gorden yang sejak sore kututup, samar-sama aku mendengar suara langkah kaki di dapur, pasti Elya, gumamku dalam hati. Sebelum kulangkahkan kakiku, aku mencoba mencubit tanganku sendiri, ternyata sakit, dan ini bukanlah mimpi.
Aku berjalan menuju dapur, dan aku melihat bahwa sarapan sudah disiapkannya, Elya, mengapa kau baru datang saat kau ingin pergi, ujarku sesal di dalam hati. Sesaat kemudian, datanglah Cauthelia. Gadis itu menggunakan kemeja tangan panjang milikku, agak terlalu besar baginya, sehingga ia terlihat sangat kecil dengan baju itu.
Ia menggerai indah rambut panjangnya yang agak berantakan, ia memakai kemeja itu tanpa menggunakan celana ataupun rok pada bawahannya. Kacamata full frame-nya juga masih digunakan, dan ia tersenyum dengan sangat manis pagi itu. Elya, kau sempurna pagi ini, dan itu membuatku bereaksi dengan sangat cepat.
Comments (0)