Aku kembali ke kelas dengan sejuta tanya di dalam kepalaku, semuanya seperti tiba-tiba terjadi dalam hidupku, suatu keanehan yang entahlah. Pertama sikap Nadine yang tiba-tiba menjadi aneh kepadaku saat Cauthelia datang, dan kembalinya Aerish ke kelas. Saat ini tidak ada yang kupikirkan hanya ketidakpercayaan atas apa yang terjadi.
“Tama,” panggil suara itu, deg dan jantungku mulai berdetak keras, dia adalah Aerish, aku menoleh perlahan dan kulihat ia tersenyum kepadaku.
“Loe beneran balik kesini?” tanyaku tidak percaya dengan jantung yang masih berdegup kencang, ia mengangguk dan tersenyum.
“Muka kamu merah Tam,” ujarnya dan tertawa kecil.
Aku menunduk, benar kata Nadine perasaan ini tidak bisa hilang begitu saja dengan datangnya Cauthelia yang tiba-tiba, “mungkin rasa itu masih ada buat loe,” ujarku dan aku duduk di kursiku, tidak lama kemudian Nadine datang ke dalam kelas, matanya masih merah, kali ini ia mencoba tersenyum kepadaku.
“Hai Rish,” panggil Nadine singkat, gadis itu langsung menghampiri Nadine dan memandang wajahnya, “kamu abis nangis?” tanya Aerish dengan nada yang sama seperti dulu.
“Iya,” ia mengaku, “tapi gak apa-apa, gue seneng loe udah balik lagi ke sini,” ujarnya lagi, “setidaknya salah satu sahabat terbaik gue gak akan ngerasa kehilangan lagi,” ujarnya dan memandangku.
“Nad, loe itu kenapa sih?” tanyaku keheranan.
“Eh, maaf yah gue ngelantur,” ujarnya lalu menggaruk kepalanya.
Aku terdiam melihat kedua gadis itu, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutku saat ini, tatapanku kosong. Apa yang kupandangi saat ini, hanyalah sesuatu yang lewat di depan kelasku. Ini sudah jam 0642 dan di kelas hanya ada aku, Nadine serta Aerish, sekolahpun makin sepi ketika hujan deras kembali turun membasahi bumi. Baru beberapa orang yang tiba di sekolah sejak tadi, dan suasana ini menambah syahdu suasana pada pagi ini.
Lirik lagu itu terngiang di kepalaku, entah mengapa seakan aku tidak ingin Aerish pergi dari hidupku lagi, padahal sebelumnya aku sudah berhasil mengalihkan perasaanku yang mungkin sudah mati untuknya. Tetapi saat ia datang lagi dalam hidupku ingin sekali aku memeluknya walau hanya sekali, entah mungkin karena perasaan rinduku sudah terlalu dalam, dan mungkin juga perasaan cintaku.
Ponselku bergetar, dan itu cukup membuatku kaget, siapa yang meneleponku sepagi ini? Tanyaku di dalam hati. Aku mengeluarkan ponsel tersebut dari saku celanaku, tidak lama kemudian deringnya berhenti. Aku lihat disana tertulis nama Cauthelia, ada apa dengannya? Tanyaku lagi di dalam hati.
Aku bergegas pergi dari kelasku meninggalkan 2 orang gadis yang saat ini sama-sama saling terdiam. Entah apa yang kupikirkan, tetapi perasaanku mengatakan pasti terjadi sesuatu kepada Cauthelia. Setibanya di depan kelas gadis itu, betapa terkejutnya aku karena ada Herman, dia adalah sahabat Dino. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam isi kepala laki-laki itu, tetapi tampak sekali ia tengah memaksa Cauthelia.
“Pergi gak loe!” bentak gadis itu, dan kudengar itu dari depan pintu kelas, aku baru mengetahui bahwa Cauthelia cukup protektif meskipun aku juga tahu dia bukanlah orang yang memilih-milih teman, hanya saja ia sangat antipati terhadap laki-laki yang ganjen kepadanya.
“Lia, ikut gue apa sebentar, seriusan ini bukan Dino yang nyuruh,” ujarnya lalu mencoba meraih tangan gadis itu.
“Pergi gak loe, ato gue laporin ke BP!” ia membentak lagi.
“Okay fine, ternyata loe itu cewek munafik ya,” ujarnya lalu berusaha melecehkan gadis itu dengan memegang dadanya, tetapi Cauthelia sempat menghindar.
“***i** loe!” ujar gadis itu cepat dan menampar Herman, saat itu aku hanya bisa terdiam dan melihat sisi lain dari Cauthelia.
Dengan agak menahan sakit, Herman memegang pipinya dan ia juga memandangku diantara wajah yang penuh amarah dan rasa malu. Ia lalu keluar dari kelas dan melewatiku begitu saja, dan kini giliran aku yang masuk ke dalam kelas Cauthelia. Gadis itu masih penuh dengan amarah, deru nafasnya masih belum teratur, dadanya terlihat bergerak naik dan turun dengan cepat. Aku pun duduk di sampingnya dan berusaha merangkulnya, agar ia bisa sedikit tenang.
Reaksinya berbeda, saat aku merangkulnya ia lalu sedikit terisak, dan ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak lama kemudian ia mulai menangis, pasti ada sesuatu yang terjadi tadi, sehingga membuatnya seperti saat ini sekarang. Perlahan tangisannya mulai mereda, tetapi kepalanya masih mendarat di pundakku, satu hal yang kurasakan saat itu, rambutnya sangat wangi dan juga tubuhnya.
“Dede kenapa?” tanyaku pelan, ia diam cukup lama, “kenapa gak telepon daritadi sih?” tanyaku mulai berusaha memasuki hatinya.
"Dede saat ini gak kenapa-napa Kak, cuma tadi Herman tiba-tiba dateng ke kelas, terus maksa Dede buat ke kantin,” ujarnya juga pelan, “Dede gak mau,” ujarnya pelan.
“Loh, kenapa Dek?” tanyaku heran, “setahu Kakak, Dede itu orangnya gampang bergaul,” ujarku yang berdasar dari kesaksian banyak orang mengenai gadis ini.
“Iya Kak, tapi bukan buat cowok PK,” ujarnya agak ketus.
“PK itu Paardenkracht kan?” tanyaku serius.
“Ealah, bukan Kak, PK itu Penjahat Kelamin, bukan Paardenkracht,” ujarnya sambil memukul pelan tanganku.
“Jadi menurut Dede Herman itu PK?” tanyaku malah jadi penasaran.
“Udah lama Kak,” ujarnya memulai cerita, “Herman itu kan deket sama Dino, Dede sering emang ketemuan sama dia kalo misalnya ke kantin,” ujarnya sambil menggerak-gerakkan kakinya.
“Berarti sama Rendra juga ya?” tanyaku lagi.
“Iyah Kakak,” dan ia mulai lagi menggunakan intonasi yang menggelitik itu.
“Huuuu, gimana Dede gak dideketin sama PK, orang Dede suka mendesah gitu,” ujarku setengah ketus.
“kalo Kakak yang PK enggak apa-apa sih,” ujarnya dan diiringi dengan tawa kecilnya.
Deg jantungku berdetak keras, entah ia bercanda atau mengatakan yang sebenarnya, tetapi hal itu memang benar-benar membuatku terkejut. Apakah ia mengatakan itu dengan suatu alasan atau hanya ucapan spontan yang dikeluarkan oleh mulut mungilnya?
“Gak perlu sampe deg-degan gitu ah Kak,” ujarnya dan mengagetkan lamunanku.
“Iya Dek, Kakak kaget Dede bilang gitu,” ujarku lalu menghela napas.
“Sesekali belok-belok dikit gak apa-apa kali Kak,” ujarnya dan menegakkan kembali kepalanya, lalu ia menoleh ke arahku, “karena Dede tahu Kakak bukan PK, dan Kakak bukan cowok yang memanfaatkan keadaan,” ujarnya pelan.
“Eh, kok jadi keluar topik sih, ceritain, dimana PK-nya sih Herman,” ujarku mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya Dede lupa,” ujarnya lalu menjulurkan lidahnya dan menutup satu matanya, jujur ia sangat cantik dengan pose seperti itu.
“Jadi, sekitaran sebulan yang lalu, Dede kan pernah makan bareng Dino, Rendra, sama tuh si **n*** satu, nah selesai maem kan Dino sama Rendra pergi duluan, tinggal Dede sama Herman deh di kantin,” kisahnya dengan pandangan yang tetap menyejukkan hatiku.
“And then,” ujarku.
“Nah dia tiba-tiba deketin Dede, terus dia bilang begini, emang bener yah kalo cewek ada kumis tipis itu tandanya gampang ***g*, kaget lah Dede,” ujarnya dan aku pun mulai mendalami ceritanya, berbicara kumis tipis itu memang sudah ada di atas bibir Cauthelia.
Menurut sumber yang kuperoleh, tumbuhnya kumis tipis di atas bibir wanita menandakan banyaknya hormon testoteron yang ada dalam tubuhnya. Hormon testoteron atau hormon laki-laki yang berlebih pada wanita memang dikatakan adalah suatu tanda bahwa biasanya wanita suka berfantasi seperti apa yang laki-laki fantasikan. Aku tidak ingin membahas ini lebih lanjut, karena akan mengarah ke topik yang lebih sensitif.
Aku mengerti, kebebasan teknologi yang kelewatan dan juga kontrol orang tua yang kurang membuat pemahaman anak-anak remaja menjadi menyimpang masalah ini. Ini baru November 2006, dimana pengenalan internet belum tersebar luas seperti di negara lain, tetapi untuk mereka yang punya akses, apapun masih belum ada kontrol, dan itu sudah pasti disalahgunakan oleh para Paardenkracht seperti Herman.
“Kalo menurut Kakak, emang kalo cewek ada kumis tipisnya kenapa?” tanyanya dengan nada yang serius.
“Menurut Kakak, cewek itu punya hormon testoteron berlebih, dan baru ada manfaatnya kalau udah nikah nanti,” ujarku dengan segala ideologiku.
“Tuh kan, bener kata Dede, Kakak itu lurus orangnya, dan itu yang Dede suka dari Kakak,” ujarnya dan tersenyum dan tidak lama kemudian ada pengumuman berbunyi dari speaker sekolah.
Berarti hari ini bisa dikatakan hari libur, meskipun secara teknis hari ini masih harus masuk hingga jam pelajaran berakhir. Aku masih di kelas Cauthelia saat waktu sudah menunjukkan pukul 0703, dan hujan semakin deras membasahi bumi di pagi yang cerah ini. Padahal ini bulan November, tetapi hujan sangat intens pada saat ini.
Cauthelia, gadis ini benar-benar bisa menyita hatiku untuk tidak memikirkan Aerish saat ini. Kami berbicara banyak sekali, tentang hobi, tentang film kesukaan, dan juga tentang ideologi dalam hubungan percintaan. Yang menarik adalah, dia menginginkan adanya laki-laki yang mencintainya mau serius dengan menikahinya, bukan hanya memacarinya.
Comments (0)