SEBENTUK RASA UNTUK AERISH (YANG TERSISA) (BAGIAN 8)
Disela kesibukan Cauthelia saat itu, entah mengapa aku berpikir, mengapa aku repot-repot melakukan ini, padahal aku sudah memiliki Cauthelia dan juga Nadine saat ini. Apakah benar, rasa itu masih ada dan tersimpan untuk Aerish? Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya, yang pasti Cauthelia tengah melakukan sesuatu yang benar-benar membuatku merasa merinding saat ini. Sesekali aku memintanya untuk berhenti karena tidak mungkin terus melakukan ini di bahu jalan.
Setelah sekitar lima belas menit kemudian, munculah BMW E90 milik Dika, saat itu ia melaju pelan dan memarkirkan mobilnya di belakangku. Saat itu pula Cauthelia menyudahi kegiatannya dan tersenyum kepadaku, diakhiri dengan menjulurkan lidahnya, sungguh terlalu, ujarku dalam hati.
Aku turun dari kursi pengemudi dan menghampiri Dika yang saat itu juga keluar dari kursi pengemudi, ia memandangku dengan sedikit tertunduk, tidak ada kesombongan dari laki-laki itu, tetapi satu hal yang patut kupuji adalah sikapnya yang sportif dan mengakui semua kekalahannya, meskipun ia agak sombong pada awal tadi, itu tidak masalah, ujarku dalam hati.
“Loe beneran jago Tam, sorry gue udah ngeremehin loe,” ujarnya dan menjulurkan tangan kanannya kepadaku, aku menjabatnya dengan pasti, “sama-sama ya, setidaknya gue jadi cepet sampe di Bandung,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Gue pikir loe orangnya kaku,” ujar Dika dan berusaha bersikap biasa di depanku, “kalo kaku nanti gue macem kerupuk mentah dong,” ujarku dan tertawa kecil, “Tam, gue bisa ngomong sebentar enggak?” tanya Dino pelan, aku mengangguk, “sip ngomong apaan tuh?” tanyaku penasaran, ia lalu berjalan agak jauh dari mobil, apakah sesuatu yang rahasia, entahlah, tetapi aku mengikutinya.
“Gue masih sayang sama Aerish,” ujar Dika pelan, ia lalu menghela nafas, “gue tahu dia itu sayang sama loe dari dulu, tapi gue pikir gak mungkin dia masih sayang sama loe,” ujarnya serius, “then, love her sincerely,” ujarku ringan, “seseorang pernah ngajarin gue, cinta itu adalah bagaimana kita memberikan apa yang kita miliki, dan gak ngarep buat dibales,” ujarku ringan.
“Bener juga sih kata loe, tapi gue pake cara curang buat dia balik sama gue,” ujar laki-laki itu, ia lalu menyadarkan punggungnya di pembatas jalan yang ada di sebelahnya, “tapi kayaknya dia masih cinta sama loe Tam,” ujarnya lalu menghela nafas panjang.
“Masalah cinta, itu masalah hati sama perasaan,” ujarku serius, “sampe kapanpun loe gak akan bisa paksain perasaan orang yang loe sayang buat cinta sama loe,” ujarku, “loe tahu dari kelas X gue sayang sama Aerish sampe akhirnya runtuh sama cinta seorang cewek yang lebih besar buat gue,” ujarku lagi, ia hanya mendengarkanku.
“Cewek yang cakep bohay itu tadi?” tanya Dika, aku mengangguk, “ya, dia cinta sama gue sejak tahun 2002, dan bodohnya gue baru tahu beberapa hari yang lalu,” ujarku lalu menyandarkan tubuhku juga di pembatas jalan itu, “sekarang loe masih cinta sama Aerish?” tanya Dika penasaran, aku terdiam sesaat, “gue gak tahu masih ada enggak sayang gue buat dia,” ujarku lalu menatap langit.
“Sekarang aja gue harus bagi hati buat dua cewek, dan gak mungkin ada cewek ketiga di hati gue,” ujarku dan menghela nafas panjang, “loe beruntung Tam,” ujarnya, “meskipun gimana, ada yang cinta tulus sama loe, sementara gue, semuanya cuma mau duit gue doang, kecuali Aerish,” ujar Dika sambil menunduk.
“Kak,” panggil suara itu, dan tiba-tiba Cauthelia ada di depanku, “itu mesin mobilnya nyala terus, mending kita kemana gitu,” ujarnya sambil memandangku dengan manja, “iya sayang,” ujarku lembut, “Dika, loe ada tempat bagus buat sekedar nongkrong gak?” tanyaku kepada laki-laki yang tengah memperhatikan Cauthelia itu.
“Dika,” panggilku lagi lalu saat itu ia sedikit terkejut dan memandang ke arahku, “eh sorry, gue malah ngelamun,” ujarnya yang nampak sekenanya, “gimana jadi tadi?” tanya Dika dengan pertanyaan yang berbeda konteks dari pertanyaanku.
“Loe merhatiin gue amat sih?” tanya Cauthelia dengan ketus kepada laki-laki itu, ia lalu mencoba bersembunyi di balik tubuhku, “sorry, sorry gue gak pernah liat cewek se perfect loe,” ujar Dika lalu masih berusaha memandang Cauthelia, “itu bukan cinta, itu nafsu, cuma transmisi aja, gak ada mesinnya,” ujar gadisku dengan sangat skeptis, “iya sorry,” ujar Dika pelan, ia merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan.
“Loe udah selingkuh sama berapa cewek?” tanya Cauthelia head-shot kepada Dika, “maksudnya?” tanya Dika, sebenarnya ia mengerti tetapi sepertinya ia menjaga harga dirinya, “iya loe udah selingkuh sama berapa cewek selain sama ka Aerish?” tanya Cauthelia, masih bersembunyi di balik tubuhku.
“Udah gak keitung,” ujar Dika, “sering gue selingkuh, sering gue jalan ke Saritem,” ujar Dika pelan, “berarti bener kan kata gue, mesin loe udah rusak, transmisinya main gir enam mulu,” ujar Cauthelia, sementara aku hanya mendengarkan saja percakapan antara mereka berdua.
“Gini aja, sekarang mending kita kemana gitu, terus ngobrol, lurusin masalah, biar kelar,” ujarku ringan, “ke Villa Papa yang di Lembang gimana kak?” tanya gadis itu sambil menggenggam ringan tanganku, “ke Lembang malam minggu dari Bandung bukan ide yang bagus,” ujar Dika lugas.
“Terus ada tempat istirahat yang bagus, ato kita pulang lagi aja?” tanyaku sembari berpikir, “yang pasti gue ada tempat, kalo loe mau sih Tam,” ujar Dika pelan, “sebentar deh gue mikir dulu,” ujarku lalu memandang Cauthelia.
Kami saling berpandangan, sama-sama berpikir apakah mungkin kami mengikuti kemana Dika pergi, atau kita memutuskan untuk pergi sendiri ke tempat yang kami tentukan. Entah, ada rasa takut di dalam diriku apabila tetap berada bersama Dika, terlebih matanya tidak pernah lepas memandang Cauthelia dengan wajah yang memerah, ada rasa cemburu menyelimutiku saat ia melakukan itu.
Setelah kupikirkan, lebih baik kami yang menentukan sendiri dimana tempat yang cocok untuk beristirahat ketimbang harus mengikuti kemana Dika pergi. Banyak kemungkinan yang akan terjadi apabila aku mengikutinya, terlebih kemungkinan terburuknya adalah ia masih penasaran kepada Cauthelia, dan jelas saja aku tidak menginginkan hal itu terjadi.
Kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang ramai saja, ya pergi ke daerah Cihampelas adalah keputusan yang tepat menurutku, kami akhirnya menuju ke salah satu restoran cepat saji milik Amerika Serikat yang berada di sana. Daripada harus menuju ke tempat Dika, ini adalah hal teraman yang harus kulakukan saat ini.
Kami duduk berlima di sana, aku berseberangan dengan Dika, sementara Cauthelia, Nadine dan Aerish duduk terpisah dari kami, aku sengaja memberikan mereka jarak. Untuk perkara memesan makanan, aku percayakan kepada Cauthelia, ia yang jalan ke sana, tetapi lagi-lagi aku harus menahan perasaan saat banyak mata memandang nakal lekuk tubuh Cauthelia yang saat itu menggunakan rok rample setengah paha dan juga kaus yang cukup ketat membentuk gumpalan lemak kembar itu.
“Udah Tam, loe nikmatin aja punya cewek bohay,” ujar Dika, ia memecah keheningan, “gue juga ceweknya kok,” sahut Aerish seakan tidak mau kalah, “terus gue juga,” ujar Nadine sambil mengerucutkan bibirnya.
“Tam, loe serius?” tanya Dika lagi, bahkan aku belum sempat membuka mulutku, “Ehm, jadi gini,” ujarku lalu memajukan tubuhku, “pacar gue secara sah itu Aerish, tapi gue juga cinta sama Elya en Nadine, nah gue bingung jadi pacar gue berapa,” ujarku setengah berbisik kepadanya.
“Gile loe Tam,” ujarnya sambil menepuk-nepuk punggungku, “gue punya selingkuhan aja megap-megap ngurusinnya,” ujar Dika lalu tertawa kecil, “oh iya, satu hal, gue akui kekalahan gue Tam,” ujar Dika ia lalu meletakkan kunci mobilnya di atas meja dan menyodorkannya kepadaku.
“Maksudnya apaan nih?” tanyaku tidak mengerti, “gue kalah, jadi mobil ini buat loe, nanti BPKB gue titipin ke Aerish, gue sportif Tam,” ujarnya dengan pasti, aku lalu menggeleng pelan, dan kusodorkan kembali kunci mobilnya, “gue gak mau ambil,” ujarku dan tersenyum.
“Loh, gue kan kalah, dan perjanjiannya begitu pas di Semanggi,” ujarnya tidak percaya, “balapan kita gak sepadan, kecuali loe pake M3 baru mungkin gue yang keteteran,” ujarku lalu memaksanya untuk menggenggam kunci mobilnya sendiri, “thanks banget sob,” ujarnya lalu menjulurkan tangan kanannya, “pantesan tuh cewek tiga setengah mati cinta sama loe,” ujar Dika dan tersenyum kepadaku.
“Hidup cuma sekali, seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak, kalau bisa berteman kenapa harus musuhan,” ujarku dengan segala filosofi yang kumiliki, ia mengangguk sambil sesekali menoleh ke belakang hanya untuk memperhatikan Cauthelia.
“Asli bohay banget cewek loe Tam,” ujarnya memuji tubuh Cauthelia yang saat itu terlihat dari samping, aku tersenyum, “tapi bukan itu yang bikin gue cinta sama Elya,” ujarku lalu memandang ke arah Nadine dan Aerish yang sedang asyik mengobrol sambil tertawa, “gue cinta sama hatinya Elya,” ujarku dan menatap Elya dari samping, sementara ia sedang serius memperhatikan menu yang terpampang di depannya.
“Hatinya ya,” ujarnya pelan, “bahkan gue gak bisa mencintai cewek gara-gara hatinya,” ujarnya lalu memandang Aerish, “kecuali Aerish,” ujarnya sejurus kemudian memandangku.
“Prinsip cinta kan gampang, memberi tanpa harus menerima,” ujarku pelan, “en cara tahu gimana seseorang mencintai loe dengan tulus juga cukup mudah kok,” ujarku lalu memandang Nadine dan juga aeris saat itu, “emangnya kita bisa tahu seseorang itu cinta tulus sama kita?” tanya Dika dengan wajah tidak percaya.
“Kalo ada orang yang ngelakuin sesuatu sama loe tanpa loe minta, berarti dia udah nyerahin hatinya buat loe,” ujarku pelan dan tersenyum, “dan gue udah dapet dua sosok bidadari yang selalu kasih sesuatu yang gue gak pernah minta,” ujarku dan aku memandang ke arah Cauthelia yang saat itu juga sedang melirikku, aku tersenyum kepada gadis itu dan mengambangkan tanganku di atas kepalaku.
“Nadine sama Elya ngelakuin apa buat loe emang?” tanya Dika penasaran, “itu juga kah?” tanya Dika dengan wajah yang amat sangat ingin tahu.
“Salah satunya,” ujarku mengangguk, seketika wajah Dika berubah, “beruntung banget loe sob,” ujarnya tidak percaya, “loe punya dua cewek se-perfect itu, surga dunia sob,” ujar Dika lagi.
“Ya gue sadari, cinta sama nafsu itu saling berkesinambungan, gak bisa dipisah, macem mesin sama transmisi,” ujarku dengan masih memandang Cauthelia, “tapi bukan itu yang bikin gue mau ngelakuin apa yang dia minta,” ujarku dan tersenyum.
Tidak lama kemudian, Cauthelia datang dan membawakan makanan hanya untukku dan untuknya, sementara untuk Aerish, Nadine, dan Dika ia meminta bantuan dari waiter restoran tersebut. Gadis itu malah duduk di sebelahku dan hanya memperhatikanku untuk makan malam saat itu. Hal tersebut membuat Dia hanya bisa memandang gadisku dengan wajah yang memerah, tetapi Cauthelia sama sekali tidak memandangku.
Ia hanya mengeluarkan gesture yang menurutku cukup menggoda, tetapi aku tahu ia melakukan semua itu tidak sengaja, tetapi hal berbeda kulihat pada Dika, ia memakan makanannya dengan cukup gelisah sambil memperhatikan gadisku. Elya, apa lagi yang kau mainkan saat ini sehingga Dika begitu memperhatikanmu.
“Séducteur-né,” ujarnya pelan, “excusez-moi?” tanya Cauthelia sambil memandang skeptis Dika, “Je l'ai dit vous êtes séducteur-né,” ujar Dika pelan.
“Udah deh, roaming nih kakak,” ujarku sambil memandang Cauthelia, “iya, maksud Dika, katanya dede itu penggoda alami,” ujar gadis itu sambil memandangku, “itu bener,” ujarku pelan, “dia itu selalu bisa bikin orang disekitarnya ngerasa gelisah ngeliat gesture badannya, tapi dia gak sadar kalo dia itu menggoda,” ujarku lalu mengusap lembut kepalanya, gadis ini hanya memandangku dan menjulurkan lidahnya.
“Vous êtes tellement tentant chaque homme autour de vous, croyez-moi beaucoup de gens mourront pour vous,” ujarnya panjang lalu Cauthelia hanya memandangnya datar, “heureusement, je trouvais quelqu'un qui correspond pour moi, et il est lui,” ujar Cauthelia ia lalu memandangku dengan senyuman khasnya.
Comments (0)