SEBENTUK RASA UNTUK AERISH (YANG TERSISA) (BAGIAN 4)
Gadis itu menarik tanganku, ia tentu saja ingin memulai kegilaan ini di Sekretariat OSIS disaat hujan deras mengguyur bumi. Ia mengempaskan tubuhku di atas kursi tempat ia duduk tadi, aku cukup terkejut dengan apa yang ia lakukan. Tanpa rasa canggung atau takut ia membuka satu persatu kancing seragamnya sembari menghampirku, Nadine kumohon kendalikan dirimu, ini di sekolah, ujarku dalam hati.
Seakan tidak akan ada masalah, ia lalu duduk di atas pangkuanku, dan dengan peniuh hasrat ia menciumku. Ya entah perasaan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi aku tahu ia amat sangat merindukanku, ya ia sangat rindu denganku saat ini. Tanpa komando dari gadis itu, kuletakkan tangan kananku di tempat yang ia sukai, semakin aku intens menyentuhnya, semakin berhasrat ciuman gadis itu.
Kuturunkan kepalaku, dan tetap di pangkuanku, kucumbu hangat tubuhnya yang menyeruakkan harum yang amat sangat kukenal. Ia mendesah pelan di dalam ruangan tersebut, suaranya redam oleh riuhnya guyuran hujan yang deras saat itu. Dengan penuh hasrat, ia meraih dan mendekap kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku saat aku mulai intens mencumbu bagian tubuhnya itu, hingga pada suatu momentum, disaat tubuhnya tidak bisa menahan laju stimulus dariku, ia akhirnya sedikit berteriak.
“Makasih yah Tam,” ujarnya masih dengan nafas yang terengah, “iya Nad,” ujarku pelan, “tapi cukup gila kamu lakuin ini di sini,” ujarku sambil memandangnya, wajahnya masih sangat merah saat ini.
“Kamu bener-bener tahu caranya bahagiain aku Tam,” ujar Nadine masih menatapku, “sekarang izinin aku bahagiain kamu,” ujar gadis itu dan beranjak dari kursinya, “Nad please Nad, jangan di sini,” ujarku sambil menahan tubuhnya.
“Enggak Tam, aku udah kangen ngelakuin itu,” ujarnya dan ia lalu menurunkan kepala dan tubuhnya, “ini cara Nadine buktiin kalo cinta Nadine lebih besar dari Elya,” ujar gadis itu dan tangannya mulai memainkan salah satu bagian tubuhku.
Tiga puluh menit kemudian kami kembali ke kelas, wajah Nadine terlihat memerah sejak tadi saat ia memandangku. Sesekali aku memang mencuri pandang untuk menatap gadis itu, Aerish terkadang mengetahui itu, tetapi ia hanya tersenyum kepadaku. Aku benar-benar mencintai gadis itu, ya Nadine, tanpa mengurangi rasa cintaku kepada Cauthelia.
Jam istirahat pun tiba, kali ini aku hanya duduk di kelas bersama Aerish, gadis ini tiba-tiba berubah menjadi manis dan perhatian kepadaku. Setelah sarapan Lasagna buatan Nadine, kali ini Aerish membuatkanku cupcakes ya cupcakes, justru mengingatkanku kepada Cauthelia, apa kabarnya dede disana, ujarku dalam hati.
“Ini cupcakes sebenernya udah aku bikin dari kapan tahu,” ujarnya, “maaf yah, mungkin enggak seenak buatan Elya,” ujarnya pelan, tertunduk, aku hanya memandangnya, “pasti enak, aku yakin kok,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.
“Makasih yah Tam,” ujar Aerish pelan, aku lalu mengambil salah satu cupcakes yang ia buat untukku, saat kumakan, lumayan, tidak buruk, tetapi buatan Cauthelia jauh lebih enak, “ini enak Rish,” ujarku memuji kue yang ia buat untukku.
“Sama punya Elya, enakan mana?” tanya gadis itu pelan, wajahnya memerah saat ia menanyakan hal itu, aku terdiam cukup lama dan hanya menatapnya sambil terus memakan cupcakes yang ia buat, “kalo jujur enakan punya Elya,” ujarku lalu tersenyum kepadanya, “tapi buatan kamu juga enak, aku enggak bohong,” ujarku dan tersenyum kepada gadis itu.
“Makasih yah Tam,” ujarnya dan tersenyum kepadaku, “terus maafin aku yah, udah jalan sama Dika, malah bikin kamu cemas,” ujar gadis itu lalu memandangku dengan wajah yang merasa bersalah, “enggak apa-apa Rish, aku gak marah, aku cuma takut aja kamu diapa-apain sama Dika,” ujarku dan memandangnya, “eh?” tanya gadis itu, ia memandangku dengan wajah yang sangat merah.
“Kamu mikirin aku?” tanya Aerish tidak percaya, aku mengangguk pelan dan tersenyum, “entah karena masih ada rasa, atau apa,” ujarku kepadanya, “yang jelas ada Elya sama Nadine di hati aku sekarang,” ujarku sambil mengusap pundaknya, “aku yang seharusnya minta maaf bukan kamu,” ujarku lagi, ia hanya terdiam saat itu.
“Aku tahu,” ujarnya pelan, “aku tahu kamu ngapain sama Nadine tadi,” ujarnya lagi, deg jantungku berdetak sangat keras dan badanku terasa ringan saat ia mengatakan hal itu, “maafin aku,” ujarku pelan, detak jantungku berdetak sangat kencang saat itu, bahkan aku tidak berani menatap wajahnya.
“Iya, kamu cubit pipi Nadine mesra banget,” ujarnya pelan, “jujur aku abis ngeliat itu langsung pergi,” ujarnya lalu memandangku, “gak usah minta maaf segitunya ya Tam,” ujarnya lagi, ia lalu tersenyum, syukurlah ia hanya melihatku hingga tahap itu, aku menghela nafas panjang setelahnya.
“Tam, aku keluar sebentar yah,” ujarnya saat aku ingin mengambil cupcakes kedua yang ia bawa, “loh mau kemana Rish?” tanyaku keheranan, “aku mau ke toilet sebentar aja, dingin nih daritadi,” ujarnya lalu tersenyum, “okay, jangan lama-lama yah,” ujarku lalu ia pun berjalan meninggalkan kelas.
Aku menghela nafas lega, ya untunglah perbuatanku bersama Nadine tidak ketahuan, padahal aku bisa saja kena masalah apabila kegiatanku sampai terendus oleh pihak yang tidak suka kepada Nadine. Lina Adrianti, ya musuh bebuyutan Nadine sejak dahulu yang juga kongsi tak terbatas Dino, entah apa yang dipikiran gadis itu, saat hari pemilihan ketua OSIS ia bahkan menyebarkan kampanye hitam bersama Dino.
Dino ya Dino, laki-laki dengan dua wajah, selalu mencari sesuatu yang menguntungkan baginya, setidaknya itu yang kuketahui setelah berteman dengannya selama hampir 4 tahun. Ia adalah teman sekelasku di SMP dahulu, segala macam bisa ia dapatkan dengan mudah, mengingat Ayahnya adalah anggota DPRD yang cukup tersohor di kota ini. Semua orang terlihat segan kepada Dino, bukan karena ia adalah orang yang baik, tetapi ia adalah seorang durjana.
Sudahlah, mengapa jadi memikirkan masalah Lina dan Dino? Tanyaku di dalam hati, ingatanku benar-benar kembali kepada Cauthelia, ya gadis yang sudah banyak memberikanku arti cinta dan arti kehidupan sehingga aku menjadi orang yang jauh lebih baik mengenal cinta saat ini, aku mencintainya, sungguh mencintainya.
“Tama,” panggil suara itu manja, Nadine, ujarku dalam hati, aku tersenyum kepadanya saat itu masuk ke dalam kelas, “darimana Nad?” tanyaku sambil tersenyum, “abis dari sekre, barusan ada meeting sama kabid,” ujarnya lalu duduk di sebelahku.
“Hah, trauma ngomongin sekre lah,” ujarku skeptis, aku lalu menghela nafas panjang, “hayah, trauma tapi enak kan?” ujar Nadine malah menggodaku, “udah gak usah di bahas ah, gila banget tahu gak tadi,” ujarku ketus.
“Iya maaf yah Tam, soalnya Nadine kangen banget sama Tama,” ujarnya pelan, wajahnya memerah, bahkan ia memasang ekspresi sedih, ia sangat tahu bahwa aku tidak suka melihat ekspresi itu, “iya sayang, aku juga kangen sama kamu,” ujarku pelan, aku tersenyum kepadanya.
“Nanti di rumah Nadine, Tama mau yah melepas kangen lagi sama yang ini?” tanyanya manja, wajahnya memerah, dan ia mengisyaratkan dengan matanya yang mengarah ke salah satu bagian tubuhnya, “haaaaah, enggak enggak,” ujarku menolak, apa-apaan dia, sungutku di dalam hati.
“Kalo Elya aja dikasih, kenapa aku enggak sih?” tanya Nadine, ia mengerucutkan bibirnya, “loh kok kamu tahu?” tanyaku keheranan, ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan isi SMS dari Cauthelia.
Aq udh bnyak ka…
Ka Tama romantis bgt deh…
Udh berapa kli aq dbuat melayang…
Ka Tama slalu ngrti klo aq btuh sma dy…
“Tuh kan?” sungut Nadine seraya ia mengambil kembali ponselnya dan meletakkannya di saku bajunya, “iya iya,” ujarku agak terpaksa, “kalo aku gak nurutin kamu, nanti kamu pasti ngomong yang aneh-aneh sama Elya,” ujarku dan memandang gadis itu skeptis, ia lalu tersenyum kepadaku dengan makna yang ambigu, “pokoknya rakitin PC aku dulu yah,” ujarnya lalu tersenyum kepadaku.
Nadine kembali duduk di kursinya, dan tidak lama kemudian datanglah Aerish, saat itu aku masih menikmati kue buatannya. Tidak lama berselang istirahat pun berakhir, dan kami melanjutkan pelajaran hingga tidak terasa waktu pulang sekolah pun tiba dengan sangat cepat.
Kali ini aku harus pulang dengan Nadine, ia telah mengantarkanku ke sekolah tadi, sehingga aku pun harus pulang bersamanya, dan harus ke rumahnya terlebih dahulu. Sementara Aerish memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, tetapi mengapa firasatku akan gadis ini tidak enak, aku menahan tangannya.
“Rish, pulang bareng Nadine aja,” ujarku kepada gadis itu, “loh kenapa Tam?” tanya Aerish dan melihatku dengan tatapan yang penuh keheranan, “perasaan aku enggak enak, percaya deh,” ujarku serius, “oh, yaudah,” ujarnya lalu memandangku dan memandang Nadine.
Mungkin benar masih ada rasaku untuknya, meskipun hanya tersisa sedikit, tetapi setidaknya masih tersisa. Kami lalu berjalan menuju mobil Nadine yang terparkir agak jauh, dan saat kami sudah berada di dalamnya, firasat buruk yang kurasakan ternyata benar-benar terjadi.
Sebuah BMW E90 320i warna hitam terparkir di luar sekolahku, dan Aerish mengatakan bahwa itu adalah mobil Dika. Apakah ia bimmer, atau hanya supir? Pertanyaan itu masih terngiang di kepalaku. Dan apabila ia seorang bimmer seharusnya ia tidak memarkirkan mobil itu miring. Entah angin darimana, aku lalu berhenti di belakang BMW tersebut, dan aku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Loe Dika ya, mantannya Aerish?” tanyaku langsung kepadanya, “iya, kenapa emang?” tanya laki-laki itu dengan nada yang sombong, “gue pacarnya sekarang, gue minta baik-baik sama loe, jauhin Aerish,” ujarku tegas tapi pelan.
“Eh ngaca loe njing!” ujarnya membentakku, tetapi aku tidak gentar, “gue cuma mau jauhin Aerish kalo loe bisa kalahin gue balapan!” bentaknya sambil menekan dada kananku dengan telunjuknya, “oke gue gak takut, kapan en dimana?” tanyaku datar, “malem Minggu, gue tunggu loe di Gerbang Tol Semanggi,” ujarnya dengan penuh percaya diri, aku hanya tersenyum kecut.
“Semanggi, mau kemane pak?” tanyaku meledeknya, “Bandung bego!” ujarnya dengan nada tinggi, aku hanya tersenyum dan mengangguk, “deal, Semanggi jam tujuh malem tujuan Bandung,” ujarku lalu menjulurkan tangan kananku.
Ia langsung pergi begitu saja, dan masuk ke dalam mobilnya tanpa menyambut jabat tanganku. Bodoh atau memang bodoh, itu yang kupikirkan saat ini, ya ia terlalu meremehkan orang lain dan menganggap orang lain hanya dari penampilan. Sungguh keputusan yang tidak tepat membiarkanku menggunakan mobil Grand Tourer semacam E38 yang jelas-jelas dirancang untuk Long Haul dan lebih handal di segala medan.
Sudahlah, ujarku dalam hati lalu aku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah Aerish terlebih dahulu baru dilanjutkan ke rumah Nadine. Setelah kuantarkan Aerish pulang, aku langsung bertolak menuju rumah Nadine, ya aku sangat penasaran sebenarnya apa yang diberikan oleh Ayahnya Nadine untuknya. Dua puluh menit kemudian, tibalah kami di rumah Nadine, dan seperti dugaanku, rumah ini pasti sepi.
Aku pun diajaknya masuk ke rumahnya, dan langsung menuju kamar gadis itu. Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi kamar Nadine. Lalu dimana PC Rakitannya, tanyaku di dalam hati sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Tetapi saat aku melihat ke arah Nadine, ia hanya tersenyum kepadaku, ia lalu berbalik badan dan masuk ke kamar mandi dengan tetap mengenakan seragam sekolahnya. Aku sudah bisa menebak kemana arahnya saat ini, dan setelah dua puluh menit berlalu, aku sangat terkejut dengan apa yang ia lakukan saat keluar dari kamar mandi.
Comments (0)