Part 8.
Eyang S (Bagian 2)
Eyang S (Bagian 2)
"Kamu beruntung bisa mendapatkan Gendis. Anakmu ini mutiara alam! Iya.. Dialah mutiara itu!" Ujar Eyang dengan tatapan misterius.
Ku memincingkan mata dan mempertajam pendengaran. "Apa aku tidak sedang salah dengar? Apa maksud dari ucapannya?"
"Eyang sudah jangan bikin mama Gendis semakin penasaran, kasihan ah" suara istrinya terdengar manja.
Ku beranikan diri menatap ke arahnya. "Eyang, maksudnya apa mutiara itu?"
"Hmm.. Begini ndhuk, mutiara adanya di mana?"
Pertanyaan macam apa ini? Sudah jelas semua orang pasti tau dari mana mutiara berasal! Namun akhirnya ku jawab juga pertanyaannya dengan perasaan gusar dan ketus. "Mutiara asalnya dari laut! Lantas apa hubungannya Gendis dengan mutiara?"
Eyang tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. Hingga hampir saja menumpahkan air putih dalam gelas yang sedang di pegangnya.
"Ima emosi mendengar pertanyaan Eyang barusan?" Godanya sambil terus tertawa.
"Seorang Ibu dengan karakter luar biasa keras malah berhasil mendapatkan mutiara itu, hebat kamu ndhuk. Kamu harus benar-benar bersyukur kepada Sang Pencipta!
Ku tarik nafas dalam-dalam, sangat membosankan sekali permainan teka teki ini! Rasanya ingin segera pamit pulang! Namun aku masih belum mendapatkan jawaban yang selama ini ku cari.
"Eyang sudah cukup basa-basinya, kasihan mama Gendis! Coba lihat wajahnya sudah mulai terlihat bosan" lagi-lagi istrinya berhasil membaca pikiranku!
"Mutiara memang berasal dari lautan. Proses terbentuknya membutuhkan waktu yang lama bahkan dapat berlangsung selama bertahun-tahun untuk menghasilkan mutiara yang sempurna. Bukankah Ima juga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan Gendis? Gendis sang mutiara..!! Sulit untuk di dapat namun begitu berhasil mendapatkannya, kita akan dapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya. Dan tidak semua orang bisa mendapatkan mutiara itu. Apakah dirimu sudah paham sampai disini?" Ujarnya seraya mengedipkan mata ke arahku.
Eyang mengalihkan pandangannya ke arah Gendis dan melanjutkan ucapannya "Anakmu saat ini lagi diasah oleh alam. Mentalnya dari lahir sudah digembleng oleh mereka biar kelak kalau dirinya sudah dewasa, dia akan menjadi pribadi yang kuat dan tangguh! Percayalah, mereka tidak ada niat jahat kepada anakmu. Mereka hanya tertarik dan ingin berteman dengan dia."
"Tapi kalau mereka tidak ada niat jahat kenapa Gendis selalu menangis setiap malam? Bukankah itu sudah bersifat mengganggu?"
"Ndhuk.. wujud mereka tidak semuanya terlihat cantik dan tampan. Tidak semua energi mereka terasa menyenangkan. Mereka juga ada yang mempunyai energi negatif yang hawanya bisa sangat menyesakkan. Anakmu dari lahir sudah bisa melihat dan merasakan aura mereka. Wajar kalau anakmu rewel saat mereka berusaha mendekat".
"Masa sih Eyang, Ndis dari lahir sudah bisa melihat mereka?"
Tiba-tiba Eyang mengalihkan pandangannya ke arah taman yang bersebelahan dengan ruang makan, matanya kemudian terpejam "Sebentar lagi akan ada yang datang... Dia mau berkunjung kemari untuk menjenguk anakmu!"
Mataku langsung terbelalak saat mendengar ucapannya. "Apa lagi ini?"
"Siapa yang mau datang Eyang?" Mataku segera berkeliling melihat ke arah taman namun tidak terlihat seorangpun di sana. Hanya tanaman bunga anggrek yang berjejer rapi serta beberapa tanaman herbal menghiasi setiap sudut taman.
"Semalam saat Eyang memegang dada anakmu, Eyang lihat ada sekitar dua puluh mahluk halus yang mengikuti Gendis. Di antara mereka ada yang menjadi ketuanya. Nah ini ketuanya baru sampai. Katanya kangen mau melihat Gendis" senyum Eyang.
"Masuk.. Silahkan masuk! Jangan hanya berdiri disitu! Sini kita ngobrol bareng dengan Ibunya" ujar Eyang ke arah taman.
"Bu, Eyang sedang berbicara dengan siapa? Kenapa Ima tidak melihat seorangpun di taman?" Diriku beringsut ke arah Ibu S.
"Itu Eyang lagi berbicara dengan mahluk yang selama ini dilihat sama anakmu."
"Eyang.. Mama Gendis penasaran nih katanya Eyang lagi berbicara sama siapa?" Cetus Ibu S sambil tertawa.
"Di.. Adi tolong kemari sebentar" teriak Eyang dari ruang makan.
Bang Adi yang sedang asik memberi makan ikan langsung berlari menuju ke ruang makan.
"Iya Eyang, ada apa?" Ujarnya dengan nafas ngos-ngosan.
"Coba cari Risma dan suruh kemari sekarang!" Perintahnya ke bang Adi.
"Baik Eyang, mohon tunggu sebentar". Bang Adi bergegas menyelusuri lorong untuk mencari seseorang yang bernama Mba Risma.
"Siapa Risma? Mau apa disuruh kemari sama Eyang?" Dalam pikiranku berkecamuk berbagai pertanyaan, semua tampak seperti potongan puzzle yang amat membingungkan!
Tak lama kemudian datanglah sesosok perempuan berkulit sawo matang yang ku perkirakan usianya sekitar tiga puluh tahunan. Tingginya sebahuku, berambut panjang dan ikal dengan mata bulat menambah kesan eksotis di wajahnya.
"Iya Eyang ada apa memanggil Risma?" Tanyanya sopan.
"Silahkan masuk Risma dan tolong tutup pintunya. Kamu silahkan duduk di kursi itu" Tunjuknya ke deretan kursi paling ujung di meja makan.
"Risma, mama Gendis sangat penasaran dengan mahluk yang selama ini sering membuat anaknya menangis. Sekarang Eyang minta kamu menjadi medium untuk kami!"
"Medium? Apa itu medium Bu?" Bisikku ke istrinya.
"Sudah kamu tenang saja dan perhatikan baik-baik. Jangan khawatir! Tidak akan terjadi apa-apa." Suara Ibu S terdengar tenang tanpa beban.
Apa yang akan mereka lakukan? "Jangan-jangan .!!"
Mba Risma mulai duduk di kursi yang Eyang tunjuk, dirinya berusaha tersenyum ramah kepadaku. Namun di mataku senyumannya terlihat seperti seringai suzanna di film sundel bolong! Rasanya ingin segera ku berlari meninggalkan rumah Eyang. Namun diriku sulit untuk berdiri, saperti ada tangan yang sangat besar mencengkram bahuku menahan untuk tetap duduk!
"Risma tolong bikin tubuhmu relax, rasakan kehadirannya! Jangan melawan!" Suara Eyang terdengar pelan.
Suasana di ruang makan semakin terasa hening dan mencekam. Udara berubah menjadi sangat dingin dan terasa pengap. Dalam ruangan yang sungguh luas, nafasku mulai terasa sesak, seperti banyak orang yang berdatangan dan berhimpitan padahal saat itu hanya ada diri kami berlima. Lampu kristal yang berada di atas meja makan mulai bergoyang perlahan padahal tidak ada angin kencang yang meniupnya. "Klenang.. Kleneng" terdengar suara dari lampu kristal yang saling beradu. Ku peluk Gendis erat-erat, aku takut kalau sesuatu menimpa anakku!
Mba Risma tampak duduk dengan tenang sambil mengatur nafasnya. Matanya mulai tertutup seperti merasakan sesuatu dan kepalanya perlahan mulai terkulai lemas.
"Astagfirullah" pemandangan ini benar-benar membuat adreninku terpacu.
Gendis sepertinya paham dengan apa yang terjadi, dirinya nampak gelisah. Kakinya menendang-nendang ke arah meja, tangannya menarik hijabku seraya matanya melihat ke arah pintu seperti memintaku segera meninggalkan ruangan!
Eyang yang dari tadi mengamati tingkah laku Gendis langsung berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami.
Eyang mengelus kepala Gendis sambil berkata "Jangan takut cucuku, disini ada Eyang. Tidak akan ada yang berani mengganggumu. Tolong anteng sebentar ya biar Ibumu tidak penasaran lagi."
"Cucu? Barusan Eyang bilang kalau Gendis adalah cucunya? Bagaimana bisa? Kami tidak ada hubungan darah sama sekali dengan beliau! Apa maksud dari ucapannya?"
Eyang lalu kembali ke kursinya dan menatap ke arah Mba Risma. Saat itu posisi Mba Risma hanya tertunduk sambil jari jemarinya yang lentik mengetuk meja makan yang terbuat dari jati. Awalnya irama ketukan di meja terdengar pelan, namun semakin lama semakin kencang dan menggema mengisi seluruh ruangan. Pendengaran dan gigiku terasa ngilu mendengar ketukannya!
"I.. Ibu.. Mba Risma kenapa? Tanyaku ketakutan.
"Sstt.. sudah Ima lihat saja! Ini akan menjawab semua pertanyaan yang selama ini kamu cari!" Suaranya setengah berbisik.
"Assalamu'alaikum" terdengar suara parau dan berat terucap dari bibir Mba Risma. Dan itu bukan suaranya! Aku ingat betul bagaimana suara Mba Risma ketika pertama kali masuk ke ruangan ini, suaranya sangat lembut! Berbeda dengan suara yang sekarang ku dengar, begitu berat dan menyeramkan!
"Wa'alaikumsalam" jawab Eyang sambil terus menatap ke arah Mba Risma.
"Terima kasih kamu sudah mau datang jauh-jauh kemari. Setelah perbincangan semalam kenapa kamu masih mau datang ke sini?" Tanya Eyang dengan tatapan serius.
"Hahaha.. Grr... Itu bukan urusanmu Pak tua!!" Geram Mba Risma.
Aku benar-benar tercekat dengan semua pemandangan ini. Semua tampak tak nyata! Ku cubit lenganku, "aduh" terasa sakit! Berarti ini bukan mimpi!
"Sudah menjadi urusanku kalau menyangkut cucuku! Kamu berani melawan aku?" Eyang tersenyum sinis.
"Ciih! Sejak kapan anak itu menjadi cucumu?" Tangannya menunjuk ke arah Gendis.
Ku benamkan wajah Gendis dalam dekapan sambil terus beristighfar dalam hati.
"Semenjak tadi malam Gendis sudah menjadi cucuku! Manjadi bagian dari keluarga ini! Apa kamu mau berurusan dengan orang yang di panggil dengan Pak tua ini?" Nada suara Eyang terdengar tenang dan tidak ada rasa ketakutan sama sekali. Dirinya seperti sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini.
"Gggrrrrr..." terdengar suara geraman dan dengusan dari mulutnya.
"Apa yang kamu inginkan dari anak ini?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Eyang!
"Hahaha.. Kamu tanya apa yang ku inginkan dari anak ini?" Terdengar bentakan dari nada suaranya.
Perlahan wajah Mba Risma mulai terangkat dan aku terpekik pelan!
"Allahu Akbar!" Matanya.. Mata Mba Risma! Bola matanya tampak putih semua! Senyumnya yang ramah berubah seperti seringai, wajahnya juga terlihat kosong!
"Ya Allah apa yang sedang merasuki tubuhnya?"
"Anak ini, anak yang sudah ditunggu-tunggu! Banyak yang menginginkan anak ini! Tapi tidak akan kubiarkan siapapun mendekatinya! Dia milikku! Hanya milikku seorang!!" Teriaknya kencang dan Braak!! Tangannya menghantam ke arah meja, namun dia tidak merasa kesakitan sama sekali!
"Kamu..!" Tudingnya ke arahku!
"Kamu ibunya yang selalu mendoakan dia setiap hari agar menjadi anak yang soleh dan selalu lurus jalannya! Tidak akan kubiarkan itu terjadi! Dia akan menjadi pengikutku yang setia dan berjalan di sampingku!! Hahaha..!" Suara tawanya menggema di seluruh ruangan.
Ku tatap balik wajahnya, rasa takutku sirna! Berani sekali mahluk ini mengancamku! Apa dia tidak tau kalau Allah yang lebih berhak terhadap Gendis? Bukan mahluk rendahan seperti dia!! Rasanya inginku lempar semua barang yang berada di atas meja ke arahnya dan mengajaknya bertarung satu lawan satu! Tubuhku bergetar menahan amarah! "Jangan pernah kamu berani mengusik Gendis! Kamu tidak tau berhadapan dengan siapa!" Bisik hati kecilku.
"Berani sekali kau mengancamku manusia! Kau pikir aku tidak tau apa yang ada di benakmu! Suaranya terdengar marah!
Dengan bibir bergetar ku beranikan diri melawan ucapan mahluk tersebut.
"Ini anakku, kamu tidak berhak merebutnya! Tidak akan ku ijinkan siapapun atau apapun menyakitinya! Allah akan selalu menjaga Gendis!
"Ggrr.. Jangan sebut-sebut nama itu di hadapanku!!" Geramnya semakin marah.
"Kamu tau kalau fitrah manusia lebih tinggi dari bangsa kalian!" Seru Eyang kepada mahluk yang menguasai badan Mba Risma.
"Ciih!! Jangan samakan bangsa kami dengan manusia!! Mereka itu mahluk perusak dan serakah! Mereka mahluk yang tidak tau terima kasih! Sampai kapanpun, kami tidak akan sudi mengakui keberadaan mereka sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya!! Grrrr"!!
"Ya sudah kalau kamu ngeyel, biar saya yang akan membakar kamu!" Kesabaran Eyang sepertinya sudah habis. Terlihat mulutnya komat kamit membaca sesuatu tapi tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibirnya.
"Ampun.. Ampun.. Panas.. Panas!! Hentikan bacaanmu sialan! Cepat hentikan!! Teriaknya dengan tubuh menggeliat-geliat seperti merasakan kepanasan.
Terlihat wajah Eyang tersenyum puas. "Nah sekarang bagaimana? Mau mendengarkan perintahku atau mau tetap melawan?"
Wajah Mba Risma mulai tertunduk, terlihat peluh memenuhi keningnya.
"Ya Allah kasihan banget Mba Risma, apa dia tidak merasakan cape?" Batinku.
"Baik saya menyerah! Sekarang saya mengaku kalah! Saya tidak akan mengganggu anak ini lagi! Tapi perjanjian ini hanya berlaku sampai ajal menjemputmu Pak tua! Hahahaa..! Jangan kau kira aku tidak tau akan penyakit yang menggerogotimu! Hahaha..!"
"Ajalku biar menjadi urusan Pencipta! Saat ini yang ada di hadapanmu hanyalah seorang tua bangka yang sedang berusaha menyelamatkan cucunya! Mutiara ini akan kujaga agar kilaunya tidak menjadi buram seperti auramu!"
Terdengar dengusan dari nafas Mba Risma.
"Berarti kita sudah sepakat kamu tidak akan mengganggunya lagi! Sekarang segera enyah dari hadapanku!" Bentak Eyang dibarengi dengan suara jendela yang tiba-tiba terbuka lebar seperti tertiup angin kencang "Braaak!"
Suasana menjadi hening dan udara di ruangan menjadi normal kembali. Gendis juga terlihat lebih tenang, tidak ketakutan lagi.
Kepala Mba Risma langsung terkulai lemas dan menghantam meja. Ibu S langsung berdiri dan mengelus lembut kepalanya. Alhamdulillah tak lama kemudian Mba Risma mulai membuka matanya. Wajahnya terlihat pucat dan letih.
Eyang segera memberi Mba Risma segelas air putih "Ini langsung diminum, jangan lupa berdoa dan atur nafasmu secara perlahan-lahan biar energimu lekas pulih."
Sambil menunggu Mba Risma pulih, aku memberanikan bertanya.
"Eyang sebenarnya seperti apa wujud dari mahluk yang tadi merasuki tubuh Mba Risma?"
"Wujudnya seram ndhuk, rambutnya awut-wutan. Matanya merah dan ada taring di bibirnya."
"Bukannya Eyang bilang kalau mereka tidak ada yang berniat mengganggu Gendis? Tapi tadi semua yang Ima dengar malah sebaliknya?"
"Kamu percaya dengan ucapan mahluk itu?" Ujarnya seraya meraih kacamata di meja dan memakainya kembali.
Hati ku diliputi rasa bimbang. Antara percaya dan tidak percaya dengan semua peristiwa yang baru saja terjadi.
"Ada hal yang Ima percayai dan ada yang tidak Eyang. Semua ini benar-benar sudah di luar akal sehat Ima sebagai manusia. Seumur hidup, baru sekarang Ima melihat manusia kesurupan di depan mata."
"Yang kamu lihat itu bukan kesurupan tapi meminjam tubuh Risma sebagai medium. Dirinya menjadi perantara yang menghubungkan manusia yang masih hidup dengan dunia roh. Risma tidak sepenuhnya hilang kesadaran, bukan begitu Risma?"
Mba Risma mengangguk lemah, energinya masih belum pulih betul setelah fisiknya dipinjam oleh mahluk yang mengaku sebagai pimpinan mahluk halus.
"Mba Risma apa Mba bisa melihat wujud mahluk itu?" Tanyaku perlahan.
"Saya tidak begitu jelas melihat wujudnya mama Gendis. Saya cuma melihat bayangannya yang tinggi besar dan berwarna hitam legam. Hanya Eyang yang bisa melihat wujudnya secara jelas". Jawabnya dengan nafasnya masih tak beraturan. Ibu S terlihat memijat pundak Mba Risma supaya dia lekas pulih.
"Sudah jangan khawatir! Percaya sama ucapan Eyang kalau mahluk itu hanya menggertak saja! Mahluk itu tidak akan berani mengganggu Gendis!
Siapa saat ini yang harus ku percaya? Ucapan Eyang atau mahluk tersebut?
"Tok..tok..tok" terdengar suara ketukan di pintu dan muncullah seraut wajah perempuan yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat, bibir dan mata yang sempurna menghiasi wajahnya yang oval. Rambut panjangnya tergerai menebarkan aroma wangi menyegarkan. Mataku seperti terhipnotis ketika melihat ke arah sosok yang sedang berdiri depan pintu ruang makan. Kehadirannya seketika mencairkan suasana tegang dalam ruangan.
"Maaf Pak, apa Amel mengganggu?" Ucap bibirnya yang merah merekah.
"Masuk Mel, ini Bapak baru selesai minta tolong Risma untuk jadi medium. Amel sini kenalal sama Ima. Dia mamanya Gendis, ponakannya tante Saras yang rumahnya di sebelah rumah kita." Sahut Eyang.
Perempuan yang bernama Amel itu memasuki ruang makan, jalannya begitu anggun dan wajahnya "Masya Allah" sungguh sempurna. Dia berjalan menghampiriku dan mengulurkan tangannya "Mba Ima perkenalkan saya Amel, anak pertama Eyang" senyumnya ramah.
Ku sambut uluran tangannya dan tersenyum "Saya Ima. Ko bisa Eyang punya anak secantik Mba Amel?" Tanyaku polos sambil terus mengagumi wajahnya.
Serentak semua orang yang berada di ruangan langsung tertawa mendengar ucapanku.
"Lah memangnya Eyang dan Ibu kurang tampan dan cantikkah?"
"Bukan begitu Eyang tapi wajah Mba Amel seperti ada blasterannya, bukan wajah orang Indonesia asli."
"Mba Ima.. Mba Amel ini anak Eyang dari isteri pertamanya yang orang Belanda makanya wajah Mba Amel blasteran" terdengar suara istri Eyang memberi penjelasan.
"Ooh pantesan Bu, maaf ya Bu kalau Ima sudah menyinggung perasaan Ibu" tuturku sopan.
"Tidak apa-apa, santai saja sama Ibu."
Mba Risma yang saat itu sudah pulih langsung pamit kembali ke ruangannya. Saat melintas di depanku, dia melirik dan tersenyum sinis!
"Kenapa lagi ni orang? Apa mahluk itu belum sepenuhnya keluar dari tubuhnya?"
"Mel coba kamu pindah duduknya ke samping Mba Ima." Suara Eyang menyadarkanku.
"Tolong kamu lihat aura anaknya" perintah Eyang kepada Mba Amel yang saat itu duduk di samping istrinya.
"Degg"... detak jantungku berdetak cepat. " Apa itu aura?"
Mba Amel pun pindah ke bangku di sebelahku, dia tersenyum dan meminta ijin ingin menyentuh tubuh Gendis.
Diriku tampak ragu-ragu menjawab pertanyaannya.
"Mba Ima jangan khawatir, Amel tidak akan menyakiti Gendis. Amel cuma mau menyentuh dada Gendis sebentar saja, bolehkan Mba?" Pintanya sopan. Sepertinya dia merasakan kekhawatiranku.
Dengan berat hati akhirnya ku ijinkan Mba Amel menyentuh dada Gendis. Seperti biasa Gendis akan mengelak setiap ada orang yang berusaha menyentuhnya. Tangannya berusaha menepis tangan Mba Amel.
Mba Amel tertawa geli melihat kelakuan Gendis "Cantik.. Tante Amel cuma mau pegang sebentar saja, gapapa ya? Tante ga jahat kok."
Akhirnya dengan penuh perjuangan, Mba Amel berhasil memegang dadanya. Mata Mba Amel terlihat terpejam seperti sedang merasakan sesuatu. Kira-kira lima menit kemudian matanya terbuka perlahan-lahan.
"Terima kasih ya cantik sudah ijinin tante melihat dirimu" senyumnya sambil mencium pipi Gendis.
"Pak dari yang Amel lihat, aura anak ini biru kehijau-hijauan. Auranya cerah dan terang. Tulang rusuknya juga jarang bertanda dia memiliki kemampuan melihat mahluk halus. Hanya itu yang Amel lihat, mungkin ada lagi yang ingin Bapak tambahkan?"
"Bagus.. Memang betul semua yang kamu lihat" senyumnya ke arah Mba Amel.
"Ima, kamu ingat pertemuan pertama kita? Saat kalian lagi berjemur?"
"Ingat Eyang, saat itu Ima risih banget melihat tatapan Eyang."
"Hahaha..!" Tawanya terdengar kencang.
"Kamu tau kenapa Eyang saat itu menatap kalian?"
"Ngga Eyang, mana Ima tau alasan Eyang melihat sepeti itu? Yang ada Ima malah merasa kesal" jawabku jujur.
"Dari pertama kali melihat anakmu, Eyang sudah tau kalau dia berbeda, anakmu ini indigo!"
"Indigo?" keningku berkerut mendengar ucapannya.
"Eyang, maaf apa arti aura dan indigo?" Saat itu diriku benar-benar tidak paham apa itu arti indigo, aura dan sebagainya.
"Indigo adalah anak-anak atau manusia yang memiliki kemampuan spesial. Kemampuan supranatural untuk berhubungan dengan alam gaib. Seperti anakmu yang dari lahir sudah peka dengan mereka. Dia juga bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk halus. Di mata Eyang, Gendis ini mutiara yang sangat indah dan berkilau. Segala sesuatu tentang dirinya sudah dia dapatkan dan diasah oleh alam!"
"Sedangkan aura adalah pancaran energi di sekitar tubuh manusia. Warnanya beraneka ragam dan mempunyai makna tertentu. Seperti aura Gendis, artinya dia memiliki bakat alami.
"Bakat alami apa Eyang? Melihat jin?"
"Lebih dari itu ndhuk!"
"Terus apa bakatnya?" Tanyaku lagi.
"Anakmu berbakat menjadi dukun!" Jawabnya setengah berbisik.
"Haaa...?" Dukun??" Jawaban Eyang berhasil membuat mulutku menganga keheranan.
Bersambung
Comments (0)