Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

SEBENTUK RASA UNTUK AERISH (YANG TERSISA) (BAGIAN 1)


Teringat dengan kepulanganku, sebelum aku tiba di rumah orang tua Cauthelia, aku mampir sebentar ke Stasiun Semarang Tawang, dan membeli tiket KA 3 yang berangkat malam hari dari Stasiun Surabaya Pasar Turi. Entah, aku memang lebih memilih KA 3 dibandingkan KA 13, mungkin karena kenangan di KA 4 kemarin bersama Cauthelia membuatku ingin menaiki kereta itu lagi untuk mengingat bahwa aku pernah bersama orang yang paling berarti untukku saat ini.

Kami kembali bertolak dan setibanya di rumah orang tua Cauthelia, kami langsung disambut oleh Rahmat, orang ini lagi, ujarku dalam hati, senyumannya yang penuh tanda tanya membuatku sedikit takut meninggalkan Cauthelia bersama orang semacam Rahmat, hatiku terus saja tidak nyaman dibuatnya.

Aku mengantarkan gadis ini ke kamarnya, perasaanku benar-benar tidak enak saat mengetahui Rahmat memiliki sedikit masalah dengan kejiwaannya. Bukan psikolog yang mengatakan itu, tetapi aku pribadi, melihat dari semua tingkahnya kepada gadis di rumah ini. Mungkin Cauthelia dan Rachelia bisa menjaga diri dengan baik, tetapi tidak untuk Mikayla.

Setidaknya, kalau ada Pak Tamin, maka selesai sudah semua ketakutanku, karena memang dalam rumah ini hanya Pak Tamin saja yang terlihat amanah. Dan sampai saat ini mereka belum menyewa asisten rumah tangga, karena belum menemukan orang yang cocok sebagai asisten di rumah tersebut.

Saat masuk ke kamar Cauthelia, untuk pertama kalinya di rumahnya ini, aku langsung melihat ke arah jendela, dan saat kulihat keluar ada bekas jejak sandal yang sedikit kotor dipijakan yang kuteliti tadi. Aku tidak menutup pintu kamar tersebut, dan aku mengerti hanya ada Rachelia di sini, setidaknya dengannya tidak akan ada masalah apabila aku berdua di kamar Cauthelia.



Ini sudah sore, saat aku duduk di sofa depan, sebentar lagi malam, dan orang tua Cauthelia belum kunjung pulang hingga saat ini. Oh iya, aku lupa, kedua orang tuanya baru pulang tengah malam atau besok pagi. Tugas di kedutaan memang sedikit rumit, setidaknya itu yang ada di dalam pikiranku.

Cauthelia lalu turun dari kamarnya, kali ini ia menggunakan celana training panjang dan juga kaus yang sedikit longgar, ternyata ia takut menggunakan pakaian minim seperti sebelumnya. Matanya tidak lepas memandang ke kanan dan kiri. Ia pasti takut dengan presensi Rahmat yang mungkin saja hadir bak Blue Screen of Death yang tiba-tiba muncul tanpa diharapkan saat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan.

Ia duduk di sebelahku dan menyandarkan kepalanya di pundakku, sejurus kemudian datanglah Mikayla yang sepertinya baru pulang dari rumah kawannya. Cauthelia meminta gadis itu untuk mandi dan bersiap untuk keluar bersamaku. Sementara Rachelia juga datang, tetapi ia dengan santai hanya mengenakan kaus ketat dan hotpants yang benar-benar menunjukkan bagian tubuhnya itu.

Aku hanya menghela nafas melihat tindakan gadis itu yang malah bisa menarik perhatian orang lain, terlebih Rahmat yang membuatku sangat was-was meninggalkan mereka bertiga di sini. Apapun itu mereka bertiga adalah wanita yang harus dilindungi, seperti filosofiku, wanita adalah makhluk yang harus dilindungi, bukan untuk dimanfaatkan.

Sekitar tiga puluh menit, Mikayla pun ikut turun ke bawah, dan menurutku ini adalah saat yang tepat untuk pergi keluar sebelum Rahmat tiba-tiba muncul di rumah itu. Ya laki-laki itu tinggal tidak jauh dari rumah, dan menurut Rachelia ia terkadang suka datang pada sore hari, dengan alasan yang tidak jelas. Anehnya lagi, mengapa orang tua Cauthelia membiarkan laki-laki itu tetap masuk tanpa dilarang, entahlah, itu kebijakan mereka.

Rachelia mengambilkanku kunci W220 milik Ayahnya, aku sedikit tidak enak ingin mengendarai mobil itu, tetapi mau bagaimana lagi, mobil itulah yang dipinjamkan Rachelia. Aku pasti sebagai supir, Cauthelia duduk di kursi penumpang depan, Mikayla di belakangku, dan Rachelia di belakang Cauthelia.




W220, mobil ini sangat nyaman dan senyap, untuk masalah kenyamanan, Engineer Stuttgart memang membuat mobil ini lebih berorientasi ke arah kenyamanan. Tidak ada feedback tajam saat kugerakkan setir, feel-nya sangat smooth, dan hampir terasa mirip seperti main game, karena terlalu halusnya. Mesinnya tidak terlalu reponsif, jadi jangan harap ada raungan merdu V12 seperti milik BMW, karakter mesinnya agak menahan baru meluncur, sehingga kurasakan kurang responsif.

Tetapi, hal ini sangat nyaman untuk penumpang karena dengan mesin dan handling yang halus dan lambat membuat kenyaman kabin naik drastis, suspensi udara yang digunakan mobil ini juga lebih nyaman dibandingkan E38 milik ayahku yang sedikit rigid apabila berjalan agak kencang. Mobil ini memiliki feel yang sangat berbeda dari Bavaria, tetapi aku menyukainya.

Kami tiba di sebuah pusat kuliner di Semarang, makan malam, itulah yang ada dalam pikiranku saat ini. Memang kuakui sejak siang aku belum makan, sehingga keputusan yang sangat tepat untuk makan malam saat ini. Saat turun dari mobil tersebut, banyak mata memandang kami, ada yang salah kah turun dari sebuah W220 dan makan di sana? Tanyaku dalam hati.

Itulah manusia, mereka sendiri yang mengkotak-kotakkan manusia lain, sehingga terkadang dalam satu komunitas mereka sendiri yang merasa terasing. Terkadang, dalam suatu kondisi aku setuju dengan paham dari Karl Heinrich Marx, dalam paham Marxisme nya, meskipun tidak ada kaitan antara Kapitalis dan Proletar, tetapi setidaknya itu yang kurasakan sekarang.

Semua manusia derajatnya sama di Mata Illahi, sehingga tidak seharusnya manusia yang memiliki harta dan kekuasaan merasa hebat di atas angin dan membatasi diri dengan manusia lain yang tidak ditakdirkan serupa. Ingatlah, ada orang kaya adalah agar harta mengalir kepara mereka yang kurang beruntung, tetapi terkadang kesombongan dari Iblis yang membatasi mereka dari orang lain, mereka merasa sombong dan angkuh.

Sudahlah, tidak perlu dipikirkan, yang terpenting adalah bagaimana aku bersikap saat itu, untunglah orang tuaku selalu mengajarkanku kesederhanaan, ingatlah, hidup adalah roda yang berputar, sekarang mungkin aku berada di atas karena orang tuaku, entah besok, entah nanti, entah di masa yang akan datang, maka berbuat baiklah agar kebaikan mengejarmu nanti.

Kami duduk di sebuah kedai lesehan, Pecel Ayam Kampung, aku sangat menyukainya, dan aku juga menyukai hidangan yang menyuguhkan sambal. Tiap kedai memiliki cita rasa yang berbeda, baik dari rasa ayam gorengnya, hingga rasa dan tingkat kepedasan sambalnya, rasa yang otentik lah yang kucari dalam setiap kedai makanan yang kusambangi.

Aku sedikit terkejut dengan getaran yang berasal dari saku celanaku, ada telepon masuk saat itu. Perlahan kukeluarkan ponsel dari saku kananku, tempatku biasanya meletakkan ponsel, dan kulihat nama yang tertera di sana, Aerish Rivier, ya gadis itu meneleponku. Ada apa? Tanyaku dalam hati dengan penasaran.



Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) online, Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 77 (Rasa Untuk Aerish) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by