BUKU HARIAN CAUTHELIA (BAGIAN 8)
“Kurang ajar,” ujar Aerish tiba-tiba ia menampar pipi Cauthelia dua kali, “loe bener-bener yah Lia,” ujar Aerish tiba-tiba emosinya meledak-ledak, “ma maaf kak,” ujar Cauthelia sambil memegang pipinya yang merah bekas tangan Aerish.
“Loe pikir gue gak bisa ngelakuin kayak loe!” bentak Aerish ia lalu menjambak rambut Cauthelia yang panjang, “udah berhenti!” bentakku, sontak kedua gadis itu terdiam melihatku, “Aerish kamu udah janji gak akan ngelakuin ini kan?” tanyaku kepada gadis itu tinggi, ia lalu memandangku dan terlihat menahan nafas, lalu ia menghelanya, “aku yang salah aku yang grepein Elya duluan,” ujarku lalu Aerish hanya melihatku dengan wajah yang sedih, “tapi gak pantes dia gangguin hubungan kita,” ujarnya membela diri.
“Kakak tahu gak rasanya sesek nafas karena mencintai Ka Tama?” tanya Cauthelia pelan sambil memandang Aerish lesu, gadis itu hanya menggeleng menjawab pertanyaan Cauthelia, “kakak gak tahu kan rasanya mencari orang yang udah nyelametin aku berulang-ulang sejak tiga tahun yang lalu?” tanya Cauthelia lagi, “kakak enggak tahu kan?” ujar Cauthelia, air matanya lalu mengalir deras.
“Gue gak tahu dan gue gak mau tahu,” ujar Aerish ia lalu menjambak rambut Cauthelia, ia menariknya dan menghempaskannya ke lantai, “Aerish!” teriakku membentak gadis itu, “loe macem-macem sama Elya, loe urusan sama gue!” ujarku yang mulai tersulut emosi, lalu tiba-tiba tanganku digenggam lembut oleh gadis itu.
“Kak,” ujar gadis itu lalu menggeleng kepadaku, aku mengerti, ia hanya memintaku untuk tenang, dengan bertumpu dengan tanganku, ia kembali bangkit dan menghampiri Aerish yang saat itu sedang disulut api cemburu.
“Kak Aerish pernah tahu, gimana rasanya dicuekin selama tiga tahun?” ujar Cauthelia, ia masih membela dirinya, “loe banyak bacot ya,” emosi Aerish mulai menuntunnya menjadi orang lain, ia menampar Cauthelia hinga tersungkur ke lantai, jujur aku sangat tidak tahan melihat apa yang dilakukan oleh Aerish kepada Cauthelia.
“Kak,” panggil Cauthelia lagi-lagi ia menahan tanganku, “ini urusan dede, bukan urusan kakak,” ujarnya lalu mencoba bangkit lagi, “sampai kapan Kak Aerish gak terima kenyataan itu?” tanya Cauthelia sambil memegang pipinya yang sedikit lebam akibat pukulan Aerish, “sampe loe minggat jauh-jauh dari Tama,” ujarnya Aerish dan sekali lagi pipi Cauthelia ditamparnya.
“Ka Tama terlalu berarti buatku,” ujar Cauthelia dan tersenyum kepada Aerish, “mungkin suatu saat Ka Tama akan nikah sama orang lain, bukan sama aku,” ujar Cauthelia dengan air mata yang mengalir di pipinya, “tapi biar Ka Tama yang menjauh dari aku, bukan aku yang jauhin dia,” ujar Cauthelia lagi sambil memandang ke arahku, aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata gadis itu yang begitu menusuk ke jantungku.
“Diem loe, bacot doang!” ujar Aerish dengan sangat marah kepada Cauthelia, dan sekali lagi gadis itu dipukulnya hingga terjatuh di lantai, aku hanya menghela nafas melihat apa yang Aerish lakukan, bodoh bodoh bodoh, ujarku dalam hati, “lakuin sampe semua amarah Kak Aerish habis,” ujar Cauthelia pelan, “lakuin semuanya kak,” ujar Cauthelia lagi.
“Loe jangan caper jadi cewek, gatel banget sih!” ia lalu menyerang kembali Cauthelia, “kalo kak Aerish membuktikan rasa cinta dan sayangnya ke ka Tama dengan amarah, maka aku akan buktikan dengan kesabaran dan keikhglasan aku,” ujar Cauthelia dan tersenyum dalam tangisannya.
“Aku udah ngerasain, kesakitan yang lebih parah untuk mencintai ka Tama, dan menurutku ini enggak ada apa-apanya,” ujar gadis itu dan memandangku.
Jujur semua yang dikatakan Cauthelia membuatku benar-benar mencintainya dengan sepenuh hatiku. Ia lakukan itu demi bukti cintanya yang sudah perlu kuragukan lagi. Ia lalu membenahi selimut yang ia gunakan untuk menutup tubuhnya, ia memandangku dengan tersenyum dalam tangisannya, deg, detak jantungku langsung meningkat tajam melihat gadis itu tersenyum kepadaku.
Apapun sudah kulakukan bersama gadis itu, dalam beberapa hari bahkan aku sangat dekat dengannya, tetapi mengapa perasaanku selalu sama seperti aku jatuh cinta kepadanya untuk pertama kali? Senyumnya, kata-katanya, gerak tubuhnya, dan juga harumnya membuat hatiku selalu jatuh cinta, ya seperti aku mencintainya pertama kali.
Aerish menghampiriku, kali ia ada penyesalan setelah apa yang telah ia lakukan kepada Cauthelia, ia memandangku dengan raut wajah yang nanar, entah apa yang ia pikirkan saat ia menghajar Cauthelia tadi. Jujur, aku sudah tidak menaruh rasa apapun kepada gadis ini, ya ia sangat kasar sekali, terbayang apabila aku menikah dengannya, ia akan jadi dominan, dan menghancurkan esensi pernikahan secara gradual.
Aku tidak ingin mengoperasikan lokomotif yang memiliki sensor yang rusak dimana-mana, akan cukup sulit bermain perasaan, dan akan sulit menghentikannya apabila sudah ada Semboyan 7 di depan. Sudahlah, aku sudah tidak ingin melihat gadis ini lagi, ia sangat kasar, meskipun aku tahu ia terbakar cemburu, tetapi tidak sepantasnya ia melakukan hal itu.
“Tam, maafin aku yah,” ujar Aerish ia memandangku dengan wajah yang amat bersalah, perlahan air matanya mengalir di pipinya, aku hanya diam, dan kupalingkan wajahku darinya, kupandangi Cauthelia yang berusaha berdiri sambil memengang pipinya yang lebam, “kalo mau minta maaf, minta maaf sama Elya,” ujarku tidak memandang Aerish sama sekali, aku lalu membantu Cauthelia untuk berdiri.
“Gak sudi gue minta maaf sama cewek gatel macem dia,” ujar Aerish dan memandang Cauthelia seakan ia adalah gadis yang hina, “setidaknya cuma aku yang nyentuh dia, dan gak pernah disentuh cowok laen,” ujarku dengan nada yang skeptis kepada Aerish, ia lalu memandangku dengan wajah yang pucat.
“Kamu kok gitu ngomongnya Tam?” tanya Aerish pelan, “sakit hati kan aku bilang gitu?” tanyaku balik, “apa kamu gak mikir perasaan Elya?” ujarku membela gadis itu, “apa kamu tahu gimana rasanya jadi Elya?” tanyaku lagi dengan nada yang tinggi, Aerish hanya terdiam dan melihatku dengan wajah yang menampakkan penyesalan.
“Kamu gak pernah tahu gimana Elya pertahanin semuanya buat aku kan?” tanyaku kepada Aerish, “kamu itu gak mau dengerin orang dulu sih, langsung emosi aja, makanya apa-apa dipikir dulu baru bertindak,” ujarku kesal, lalu kutarik lembut tangan Cauthelia dan aku membawanya ke kamarku.
Di sana, aku mendekap gadis itu, aku tahu Aerish saat itu mengikutiku, aku juga tahu gadis itu memperhatikanku saat aku mendekap Cauthelia. Aku malah sengaja mencium bibir Cauthelia dengan hangat di depan Aerish, menurutku ini sepadan atas apa yang telah ia lakukan kepada Cauthelia.
Entah karena gadis ini memang juga ingin membalas dendam atau memang kondisi perasaannya saat ini, tetapi ia malah menyambut ciuman tersebut dengan dekapan yang sangat hangat. Tetapi saat kurasakan remasan tangannya di punggungku dan juga tangisnya yang pecah saat kucium bibirnya, aku tahu ia sedang bersedih.
“Apapun yang kamu lakuin, aku akan tetep mencintai kamu,” ujar Aerish dan kamipun sedikit terkejut dengan apa yang gadis itu katakan, “maaf ka Aerish,” ujar Cauthelia ia gelagapan dan seketika Aerish sudah tiba di depan gadis itu, aku tahu Cauthelia masih takut dengan gadis itu, ia terlihat memejamkan matanya saat gadis itu mendekat.
“Aku gak akan mukul kamu lagi,” ujar Aerish pelan, “aku tahu cintaku masih kurang besar buat Tama,” ujarnya tertunduk di depan gadis itu, “maafin aku yah,” ujar gadis itu pelan di depan Cauthelia.
“Aku yang salah kok kak,” ujar Cauthelia pelan, “enggak, kamu enggak salah,” ujar Aerish lalu menepuk pelan pundak Cauthelia, “kayak kata Tama, cinta itu gak pernah salah,” ujar Aerish lalu memandangku.
Aku terdiam, dahulu aku memang pernah mengatakan kepadanya, bahwa cinta itu tidak pernah salah, dan ternyata ia mengingat kata-kata yang pernah kukatakan dahulu. Kali ini keduanya kembali berdekapan, semoga tidak ada pertengkaran lagi seperti tadi, semoga saja, karena aku masih takut dengan kondisi Aerish yang mudah meledak-ledak.
“Aku cuma envy sama badan kamu,” ujar Aerish ia lalu memperhatikan tubuh Cauthelia, “eh kok bisa?” tanya Cauthelia dengan wajah yang heran, “semuanya bagus, gemuk sih keliatannya, tapi bohay,” ujar Aerish, aku lalu memandang mereka berdua dengan senyum.
“Semoga bisa begini terus yah,” ujarku dan tersenyum, “maafin aku yah Tam, aku turun dulu sebentar yah,” ujar Aerish, setelah ia tersenyum kepadaku, ia lalu meninggalkan kami berdua, sementara Cauthelia masih memandangku, setelah ia melepas selimutnya ia duduk di pinggir ranjang.
“Sampe kapanpun, dede selalu bahagia ada sama kakak,” ujar Cauthelia dan tersenyum kepadaku, “iya sayang, tapi sakit enggak pipinya?” tanyaku kepada gadis itu, ia menggeleng, “lebih sakit kehilangan kakak dibandingkan dipukul kak Aerish,” ujarnya pelan, mendengar itu jantungku langsung berdetak kencang.
“Makasih yah sayang,” ujarku dan mendekapnya, “sama-sama, kak,” ujarnya dan mencium bibirku dengan cepat, “please, take me higher than before,” ujarnya lalu meraih leherku.
Comments (0)