BUKU HARIAN CAUTHELIA (BAGIAN 5)
“Maafin aku yah,” ujar gadis itu pelan kepada Cauthelia, “iya sama-sama, lagian ngapain minta maaf?” tanya Cauthelia sembari menjabat tangan gadis itu.
“Aku banyak salah sangka sama kamu,” ujar Aerish pelan, jujur saja melihat itu aku menjadi sedikit kaget, mengapa tiba-tiba Aerish meminta maaf kepada Cauthelia, “enggak kok kak,” ujar Cauthelia dan tersenyum, “aku yang udah rebut Ka Tama dari kamu, maafin aku yah,” ujar Cauthelia ia lalu terdiam sesaat.
“Bukan salah Elya ato Aerish, kan Tama yang milih,” ujar Nadine menengahkan lalu ia tertawa kecil, aku tersenyum mendengar cara Nadine menengahkan mereka.
“Ah ka Nadine bisa aja,” ujar Cauthelia lalu tersenyum memandang gadis itu, “eh maaf yah Elya kalo bajunya kesempitan,” ujar Nadine sambil memandang Cauthelia, “udah jelas itu sih, gak perlu diragukan,” ujar Aerish menambahkan, “ih, apaan sih,” ujar Cauthelia lalu wajahnya memerah.
Ya, ada rasa bahagia melihat mereka bertiga akur dan tampak bersahabat, dan untuk pertama kalinya kulihat Aerish, yang saat ini adalah kekasihku, terlihat begitu akrab dengan Cauthelia. Entah mengapa, tetapi kurasakan ada kedamaian di bawah hujan yang deras mengguyur pagi itu.
Sepertinya guru mata pelajaran hari ini banyak yang tidak masuk, karena hujan deras pagi ini ternyata menggenangkan banyak area di kotaku. Saat semua temanku masuk ke kelas, aku hanya duduk di depan kelas bersama gadis yang amat kucintai, Cauthelia Nandya. Ya aku sadar, bahwa sebentar lagi ia pasti akan pulang ke Semarang, dan aku hanya akan ada sendiri di sini.
Nadine memberitahukan kepadaku bahwa hari ini bisa dipastikan guru di kelasku kosong, ya itu adalah berita yang sangat bagus untukku. Aku mengajak Cauthelia untuk menuju kantin di cuaca yang masih hujan pagi itu. Semua kenanganku seakan kembali kepada masa beberapa hari yang lalu, saat ia masih bersekolah di sini. Kami lalu duduk di kursi, saling berhadapan.
“Seneng rasanya ada dede di sini,” ujarku dan tersenyum kepadanya, ia lalu memandangku, “sama kak, sepi banget hidup dede di sana,” ujarnya pelan, “seneng rasanya bisa berdua sama kakak lagi,” ujarnya lalu menggenggam tanganku hangat.
“Kalo kakak udah tua, udah jelek, apa dede masih sayang sama kakak?” tanyaku kepadanya pelan, “eh, kok tanya gitu?” tanya gadis itu dengan wajah penasaran, “jawab aja, sayang,” ujarku lalu tersenyum, “dede tanya balik ke kakak,” ujarnya malah menanyakanku balik, aku lalu tersenyum.
“Bukan fisik yang buat kakak cinta sama dede, inget kan kakak pernah bilang apa?” tanyaku, ia pun mengangguk, “jujur ya dek, dari awal tahu dede pas ujan-ujan waktu itu, secara fisik dede udah bener-bener menarik,” ujarku pelan, “tapi apa iya kakak besoknya ngejar dede?” tanyaku pelan, gadis itu menggeleng pasti, “jadi bener-bener bukan fisik yang bikin kakak jatuh cinta sama dede,” ujarku kepadanya, “jadi kalopun dede tua, kakak pasti akan tetep cinta sama dede, tanpa alasan apapun,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Makasih yah kak, dan jawaban dede juga sama, gak ada alasan spesifik dede mencintai kakak,” ujarnya pelan, “rasa nyaman dan bahagia yang ga pernah dede bisa dapet dari siapapun bisa dede dapetin dari kakak,” ujarnya dan tersenyum kepadaku, “makasih yah kak buat semuanya,” ujarnya.
“Dan dede bener,” ujarku pelan, “kakak udah sayang sama dede sejak dulu, tapi kakak gak pernah sadar mencintai dede sampe peristiwa hujan itu,” ujarku, “jangan bilang dede juga udah tahu rumah kakak, dede juga sengaja jalan ujan-ujan?” tanyaku serius kepadanya, ia hanya tersenyum kepadaku hingga tulang pipinya terlihat meninggi.
“Dasar dede,” ujarku lalu tersenyum kepadanya, “ya karena dede yakin, kalau hari itu dede akan ketemu sama kakak,” ujar gadis itu sambil tersenyum, aku pun tersenyum kepada gadis itu, ia hanya memandangku dengan wajah yang sangat merah.
“Hai Lia,” ujar gadis itu lalu muncul dari belakangnya, “Ara?” tanya Cauthelia tak percaya, setelah itu mereka saling berjabat tangan dan mencium pipi kiri dan kanan.
Aku tersenyum melihat gadis itu akrab dengan sahabatnya, aku lalu memesan tiga cangkir teh panas untuk kami. Kiara sedikit kaget ketika ada secangkir teh panas disuguhkan kepadanya. Aku sekilas melihatnya tengah melihatku dikala Cauthelia mengajakku berbicara, tetapi aku tidak peduli dengan gadis itu.
Cukup lama kami berada di sana, dan beberapa kali Kiara kepergok tengah memandangku, tetapi aku membalasnya dengan tatapn skeptis. Aku sudah memiliki dua kekasih, hello, ujarku dalam hati. Hingga tibalah jam istirahat, dimana hujan masih mengguyur bumi dengan ganasnya.
Angin siang itu seakan mengembuskan kenangan yang hilang, dan ia telah kembali kehadapanku. Tidak hentinya aku memandang gadis itu dengan senyuman. Terkadang ia berbicara dengan Kiara, terkadang ia begitu antusias berbicara denganku, terkadang wajahnya memerah saat aku terus menerus memandang gadis itu.
“Kak, ke ruang Kepala Sekolah lagi yuk,” ajak Cauthelia, aku lalu tersenyum kepada gadis itu, “ayo, udah siang juga, pasti suratnya udah siap,” ujarku lalu aku beranjak dari kursiku, setelah itu aku menggandeng tangannya.
“Eh Lia, kok bisa sih Ka Tama beda sikap sama gue, terus sama loe?” tanya gadis itu sambil menunjuk ke arahku, “ya beda lah, Elya orang yang gue sayang, kalo loe entah siapa,” ujarku datar, lalu aku pun menarik lembut tangan Cauthelia untuk menuju ke ruang kepala sekolah.
“Wah wah wah,” ujar suara itu dari belakang, itu Dino, sahutku dalam hati, “berani ngajak ceweknya kemari ya?” ujar Dino keras, saat itu semua murid memandang ke arahku, aku menghela nafas panjang dan tidak terpancing dengan kata-kata Dino.
“Eh perek udah puas loe sama Tama!” teriak Dino melecehkan Cauthelia, saat itu aku langsung geram, mengetahui itu Cauthelia hanya menggenggam tanganku lebih erat, ia memandangku dan tersenyum, “udah jangan diladenin,” ujarnya dengan senyuman yang menenangkan hatiku.
“Woy!” teriaknya lebih keras, tetapi aku tetap berjalan menuju ke ruang kepala sekolah, dan tidak menggubris Dino sama sekali.
Jujur saja, aku sangat kesal dengan perkataannya yang menghina dan melecehkan Cauthelia, untunglah gadis itu bisa menenangkan emosiku. Aku semakin jatuh hati kepada gadis itu, selain ia bisa memberikanku kenyamanan, ia ternyata juga bisa meredakan amarahku, dan tidak lama kemudian tibalah kami di ruang kepala sekolah.
Kepala Sekolah langsung memberikan surat rekomendasi kepada Cauthelia, dan saat itu gadis itu dipersilakan untuk pulang. Aku pun meminta izin kepada Kepala Sekolah untuk meninggalkan sekolah lantaran guru mata pelajaran tidak ada yang masuk hari ini. Kepala Sekolah tersebut sedikit berpikir, tetapi akhirnya mengizinkanku dengan alasan aku harus segera mengantar Cauthelia ke bandara sore ini.
“Kak,” panggil suara itu sesaat aku keluar dari ruang kepala sekolah, Kiara lagi ternyata, “ngapain sih?” tanyaku agak ketus, “itu Ka Dino tadi malah teriak-teriak bilang kalau Lia dihamilin sama kakak,” ujarnya dengan wajah yang cemas, “biarin aja, guru-guru udah tahu yang sebenernya kok,” ujarku santai lalu aku kembali berjalan bersama Cauthelia menuju mobilku, “emang mau kemana sih buru-buru?” tanya Kiara.
“Ah kamu pengen tahu aja sih,” ujar Cauthelia dengan nada yang manja, “jangan-jangan Lia hamil beneran sama Ka Tama?” ujar Kiara dengan wajah yang tidak percaya, “kalo iya emang kenapa?” tanyaku lalu langsung pergi ke mobilku.
“Tam, itu mobil loe?” tanya Lina, salah seorang kabid di OSIS yang dulu pernah tidak suka kepada Cauthelia, dan mungkin sampai saat ini masih tidak suka, “yoi, kenapa tuh?” tanyaku datar, “gue baru tahu loe orang tajir,” ujar gadis itu sambil memandang ke arahku, sebagai informasi, Lina memang dikenal sebagai cewek matre, ia hanya mau dekat dengan orang-orang yang ia anggap bisa memberikannya apa yang ia inginkan.
“Gue gak tajir, itu mobil bokap gue,” ujarku datar, aku lalu masih menarik Cauthelia, sejurus kemudian aku membuka kunci mobil tersebut dan membukakan pintu kiri depan mobil tersebut dan masuk ke dalam mobil.
Aku menghela nafas panjang saat kunyalakan mesin mobil tersebut, sejurus semua mata melihat ke arah mobil tersebut. Karena kalau pergi dari tempat parkir berkanopi maka aku harus melewati lorong dimana banyak terdapat kelas di sana. Sudahlah, tidak ada yang tahu siapa pengemudi mobil ini juga.
Setengahnya, aku sedikit malas pulang ke rumah, karena tetap saja bulan ini aku harus betah sendirian di rumah karena kedua orang tuaku sedang banyak pekerjaan. Sementara adikku lebih memilih tinggal di Surabaya dan ikut bersama Tante di sana, sudahlah, ujarku dalam hati, setidaknya saat ini ada Cauthelia yang selalu ada di sampingku.
Lima belas menit kemudian, di bawah guyuran hujan yang sangat deras, aku tiba kembali di rumahku, seperti biasa, aku parkirkan mobil Ayahku di garasi, dan aku langsung memasang rem parkir dengan menginjaknya. Cauthelia memandangku lalu ia membuka satu persatu kancing baju seragam yang ia buka.
Jujur saja wangi tubuh gadis itu langsung menyeruak dan memenuhi kabin mobil full size itu. Aku sedikit terkejut saat ia melakukan itu dan ia benar-benar melepas seragam SMA tersebut dan membenahi rambutnya dengan menarik tangannya ke belakang, jujur saja aku terdiam dan terpaku melihat gadis itu yang mencoba menggodaku.
“Kenapa sayang?” tanya gadis itu dengan nada yang sangat menggelitik, “enggak,” ujarku berusaha menggelengkan kepalaku, lalu saat aku ingin membuka pintu, Cauthelia mengunci pintu mobil tersebut dari center console.
“Kakak udah berubah,” ujarnya dengan nada yang manja, “dulu kakak selalu hindari saat-saat gini, pasti gak pake ngomong udah ngacir,” ujarnya meledekku, “tapi sekarang kakak seakan mau tapi malu,” ujarnya dan menjulurkan lidahnya kepadaku.
“Ketahuan yah,” ujarku lalu menghela nafas, “iya kakak emang mau tapi malu,” ujarku tertunduk, “tapi entah kenapa kakak cuma tertarik sama dede, ato,” ujarku pelan dan terhenti, ia memandangku dengan penasaran, “dede ato Nadine,” ujarku melanjutkan, “maafin kakak yah sayang,” ujarku merasa sangat bersalah kepadanya, ia lalu mengusap pipiku.
“Dede juga cuma mau begini sama kakak doang, pria yang udah nyelametin dede berkali-kali,” ujarnya dan mendekatkan wajahnya kepadaku, “makasih yah sayang, untuk hari-hari yang indah sama kakak,” ujarnya lalu ia tersenyum kepadaku, “tapi enggak gini juga sayang,” ujarku tetap berusaha menghindari gadis ini.
“Masih mending dijamah sama kakak daripada dijamah sama mereka bertiga,” ujarnya dengan wajah yang tiba-tiba berubah, “dede rela lakuin apapun buat kakak,” ujarnya lalu ia meraih punggungnya dan terlepaslah pakaian yang tersisa di atas.
Satu jam kemudian hanya dengan menggunakan pakaian yang masih tersisa, kami masuk ke dalam rumah, siang itu hujan masih saja deras membasahi bumi. Gadis itu tampak santai berjalan di ruang tengah dan ia langsung menuju ke kamarku di atas, setelah ia mencuci tangan dan kakinya, ia lalu menuju ke ranjangku dan menarik selimut, tidak butuh waktu lama ia pun tertidur di siang itu.
Andai engkau sudah resmi menjadi Istriku, aku pasti akan menjadi Suami paling bahagia sedunia, bathinku berkata demikian sambil aku tersenyum kepadanya. Aku duduk di kursiku kembali dan mengambil diary Cauthelia yang masih berada di meja tempatku meletakkannya tadi pagi, kubuka penanda halaman selanjutnya.
Abis pristiwa itu,,,dede mkin yakin atas cinta dede kpda kakak…
Kalo udh smpe bagian ini,,,kakak mkin ngerti,,,kenapa dede yakin klo kakak jga sayang sama dede…
Jgn kaget,,,sprti biasa,,,siapin mental,,,is brea liom tu…
Kejutan apa lagi yang akan kulihat di diary ini? Tanyaku di dalam hati, ku gerakkan tubuhku untuk beranjak dari kursi, dan aku duduk di sebelah gadis yang sedang tertidur pulas tersebut. Di bagian pipinya masih terdapat sesuatu berwarna putih, entah apa itu, mungkin ia lupa membersikannya, sejurus kemudian aku mengambil tissue dan membersihkannya, dan aku melanjutkan membaca diary tersebut.
Comments (0)