BUKU HARIAN CAUTHELIA (BAGIAN 4)
“Kak,” panggil gadis itu pelan, aku menoleh ke arahnya yang saat itu memandangku dengan wajah yang sangat merah, “iya sayang,” ujarku pelan, “mau kemana sayang?” tanyanya kepadaku, aku tersenyum, “kakak mau bobo sayang,” ujarku saat itu ia hanya mengerucutkan bibirnya.
“Di samping dede mau enggak?” tanyanya pelan, sambil memandangku dengan sangat manja, ia menggenggam tanganku lebih erat, aku pun membalik badanku dan menghadap ke arahnya, “iya sayang,” ujarku dan tersenyum, aku langsung menuju ke arahnya dimana tangannya langsung meraih bagian ujung saraf parasimpatik yang peka tersebut.
“You deserve this,” ujar gadis itu dan memandangku manja, dan benar saja saraf itu langsung bereaksi tajam, “tapi enggak begini kan dek?” tanyaku kepada gadis itu, ia hanya tersenyum, “wanna taste these mammary glands?” tanyanya dengan nada yang manja, “sayang udah pagi, kakak mau bobo dulu,” ujarku berusaha menghindar, ia hanya tersenyum dan melakukan apa yang ia mau.
Pagi dini hari ini, entah suka atau tidak, aku pun bingung harus berbicara apa, tetapi aku tahu ia melakukan itu dengan sepenuh hatinya. Semboyan 7, aku tahu cara berhenti yang tepat, dan lagi-lagi aku menyukai berada di zona ini, c, even horizon, dan mampu memberikannya apa yang ia inginkan, tepat satu jam kemudian barulah aku bisa tertidur.
Suara hujan yang menentramkan itu membangunkanku, ini sudah jam 0510, dan aku tidak pernah bangun sesiang ini. Hujan yang sudah terjadi sejak semalam benar-benar membuat tidurku makin nyenyak. Gadis itu masih tertidur dan memelukku manja, seperti biasa, gumpalan lemak itu menempel ketat di tubuhku, dan membuat hasratku memuncak pagi ini.
Tindakan kami sudah kelewatan, yah sudah diluar norma dan batas wajar dalam hubungan antara manusia diluar pernikahan, apakah aku sadari itu salah? Ya aku sangat menyadari, ini semua adalah kesalahan yang membuatku semakin terjerumus, but I hand my Westinghouse Brake control, I should react positively.
“Dek, bangun yuk, udah pagi, katanya mau ke sekolah?” tanyaku kepada gadis ini, “iyah kakak Tama sayang,” ujarnya manja, dan ia makin mendekapku erat, “dek sekali lagi yuk?” ujarku sengaja menggodanya, maksud hati supaya ia terbangun dan cepat bergegas sekolah, “seriusan kak?” tanya gadis itu dengan mata yang ditutup sebelah, ia memandangku dengan sangat antusias, aku menangguk pelan.
Jam 0620, ini adalah waktu tersiangku berangkat dari rumah menuju ke sekolah, sesuai dengan regulasi sekolah, siapapun yang ingin menghadap kepala sekolah untuk satu dan lain hal harus mengenakan seragam sekolah. Seragam sekolah Nadine tidak cukup besar untuk dirinya, sehingga terlihat kesempitan di bagian tertentu.
Setelah selesai sarapan, hujan masih saja turun di tempatku, mau tidak mau aku memanaskan E38 milik ayahku untuk sekedar berangkat ke sekolah. Harum gadis ini masih sama seperti sebelumnya saat masuk di mobilku, harum yang membuatku sangat nyaman dan betah berada di sampingnya.
“Kak, serius kita naek mobil?” tanyanya saat mobil tersebut sudah setengah perjalanan menuju ke sekolah, aku mengangguk dan memandangnya, “iya sayang, gimana lagi terusnya?” tanyaku serius.
“Sayang masih ngantuk yah?” tanya gadis itu sambil membelai pipiku, aku mengangguk pelan, “ngantuk tapi bahagia, setidaknya kakak tahu banyak hal,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Apapun itu, dede rela kok,” ujarnya pelan, “maksud dede?” tanyaku seraya aku menghentikan mobilku karena lampu merah, “kakak boleh ngapain aja sama cewek manapun, terserah kakak,” ujar gadis itu pelan, “yang penting hati dede tetep punya kakak,” ujar gadis itu pelan tertunduk, “maksud dede?” tanyaku heran, “kalo kakak mau ngelakuin itu sama Ka Nadine, dede ikhlas kok kak,” ujar gadis itu dan tersenyum kepadaku, “bahkan kalo kakak minta lebih,” ujarnya lagi.
“Loh, kok dede bilang gitu?” tanyaku sambil sesekali melirik lampu lalu lintas yang masih menyala merah, “mencintai kakak itu udah cukup buat dede, seperti yang selalu Ka Nadine bilang, itu kata-kata dari dede dulu,” ujarnya dan tersenyum kepadaku.
“Nadine emang sering ngomong gitu,” ujarku, “itu semua kata-kata dede dulu pas dede curhat masalah kakak,” ujarnya pelan, “lah kapan dede curhat ke Nadine?” tanyaku penasaran, “udah lama kak, tahun 2004,” ujarnya pelan.
“Tapi kenapa kakak gak nemu curhatan dede sama Nadine?” tanyaku heran, “gak dede tandain kak, karena buat dede bukan itu yang bikin dede cinta mati sama kakak,” ujarnya sambil menggenggam tangaku hangat, “udah jalan tuh, udah ijo,” ujarnya lagi, seketika aku langsung melajukan mobil itu.
“Nanti dede langsung ke ruang kepala sekolah yah, temenin dede loh,” pintanya dengan nada manja, “iya sayang,” ujarku mengiyakan, “dede nungguin di depan kelas kakak yah,” ujar gadis itu pelan, aku mengangguk, “kalo dede gak bosen, as you wish,” ujarku dan ia tersenyum kepadaku.
Aku melajukan mobilku agak cepat dalam kondisi hujan deras itu, dan pukul 0650 aku tiba di sekolah. Saat aku memasuki gerbang sekolah, penjaga sekolahpun tidak mengenaliku, ia hanya mempersilakanku masuk tanpa memintaku membuka kaca jendela, sejurus aku langsung memarkirkan mobilku di tempat parkir mobil yang berkanopi fiberglass.
Aku langsung mengantarkan gadis itu ke ruang kepala sekolah, dimana ia dipanggil kesana atas kasus fitnah dari Dino dan juga permintaan rekomendasi untuk kelas akselerasi, sehingga tahun depan ia bisa lulus SMA dan melanjutkan kuliah. Ternyata di dalam sana aku harus menunggu karena Sang Kepala Sekolah belum kunjung tiba.
“Emang kenapa dede pengen ikut kelas akselerasi?” tanyaku heran, “kalo dede ikut kelas normal, setidaknya 2013 baru lulus kuliah, itu masih lama,” ujarnya pelan, “kalo ikut akselerasi, 2008 dede udah bisa kuliah, 2014 bisa lulus,” ujarnya lagi.
“Janji kakak yah?” tanyaku dan tersenyum kepadanya, ia memandangku manja dan mengangguk pasti, “jadi dede bisa dinikahin sama kakak tahun 2012,” ujarnya dan menggenggam ringan tanganku.
“Tapi dede harus berusaha keras buat itu,” ujarku pelan, “apa salahnya berusaha keras untuk orang yang juga berusaha keras buat dede?” tanyanya dengan wajah yang memerah, “gak ada yang salah kan?” ujarnya lagi.
“Ya kakak pun sadar, kalo dede gak segera lulus, susah juga mau nikahin dede,” ujarku pelan, “is brea liom tu,” ujarku kepadanya dan aku tersenyum sambil menepuk pelan pahanya, “is brea liom tu ro,” ujarnya dan tersenyum dengan wajah yang sangat merah saat itu.
Kami menunggu dalam diam di ruangan itu, membiarkan suara rintik hujan memenuhi ruangan tanpa ada suara dari kami berdua, hanya saling pandang dan tersenyum satu sama lain, membentuk gesture yang menyatakan bahwa kami saling mencintai. Hingga tepat jam 0700, masuklah Kepala Sekolah ke ruangannya. Beliau meminta kami untuk duduk di depannya sementara ia membaca beberapa berkas yang dibawa oleh Cauthelia.
“Cauthelia Nandya,” ujar Kepala Sekolah, lalu ia membaca semua berkas yang diberikan oleh gadis itu, “jadi kamu mau ambil kelas akselerasi?” tanya Kepala Sekolah, Cauthelia mengangguk dengan pasti, “saya yakin kamu pasti bisa,” ujar Kepala Sekolah itu lagi, “iya Bu, soalnya saya pengen cepet-cepet lulus,” ujar Cauthelia pelan tapi pasti.
“Kamu itu, ngapain coba cepet-cepet lulus?” tanya Kepala Sekolah lalu tertawa kecil, “supaya cepet dinikahin sama Ka Tama,” ujarnya lalu memandangku, “bagus saya dukung itu,” ujar Kepala Sekolah lalu memandang kami, “daripada kalian berbuat hal yang tidak-tidak, lebih baik cepat menikah, kuliah setelah menikah juga tidak masalah kok,” ujar Kepala Sekolah itu malah mendukung kami, “setelah Elya lulus Bu, saya langsung nikahi,” ujarku pasti, beliau lalu tersenyum kepadaku, “saya suka pemikiran kamu Tam,” ujar Kepala Sekolah itu lagi.
“Mohon maaf Bu,” ujarku lagi, “saya mau klarifikasi masalah fitnah Aldino Rifat,” ujarku pelan, kepala sekolah tersebut lalu memandangku, “masalah yang katanya Cauthelia keluar karena kamu hamilin kan?” tanya beliau, dan aku pun mengangguk pelan, “saya sudah tahu kebenarannya, apa perlu saya umumkan saat upacara minggu depan, sekarang kah hujan?” tanya Kepala Sekolah tersebut.
“Tidak perlu Bu, yang penting buat memo untuk pihak guru,” ujarku pelan, “karena banyak dari mereka yang menyindir saya,” ujarku pelan, kepala sekolah tersebut lalu menangguk, “saya akan buatkan, yang terpenting sekarang, Tama masuk ke kelas, Cauthelia menunggu di sini untuk surat rekomendasinya,” ujar Kepala Sekolah tersebut lalu berdiri, kami pun berdiri berdua, “saya menunggu di depan kelas Ka Tama saja Bu,” ujar Cauthelia.
Kepala sekolah pun mengizinkan Cauthelia untuk berjalan bersamaku ke kelas, sepanjang perjalanan, Cauthelia mendekap lenganku dengan hangat dan erat, memang suasana pagi itu cukup dingin karena hujan, dan dingin karena banyak pasang mata melihat kami berjalan menuju kelasku dengan skeptis.
Setibanya di depan kelas, Aerish dan Nadine sudah menunggu kami, sesekali Cauthelia membenahi roknya yang terlihat sangat pendek karena tidak dipungkiri ada bagian di tubuhnya yang lebih besar daripada Nadine, sehingga membuat roknya terangkat lebih tinggi. Ia pun sering melipat tangannya persis di depan dadanya untuk menutupi bagian itu, terlihat kesempitan karena kancingnya seakan tidak muat menahan isi di dalamnya.
Aerish memandang Cauthelia dengan tajam, sementara aku memandang Nadine dengan agak cemas. Gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya, sementara Cauthelia hanya memandang heran Aerish. Aku takut mereka bertengkar lagi, jujur saja memalukan harus bertengkar lagi pagi ini. Aerish benar-benar menunjukkan gesture yang tidak suka, ia pun mengangkat tangan kanannya ke arah Cauthelia.
Comments (0)