BUKU HARIAN CAUTHELIA (BAGIAN 1)
Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, ya bersama Cauthelia di dapur rumahku sendiri, aku bermesraan dengannya, dan yang lebih parahnya aku tidak memperhatikan Nadine yang saat itu berada di meja makan. Seharusnya kita makan malam bukan bermesraan, ujarku dalam hati, tetapi rasa rinduku kepada gadis ini jauh di atas segalanya, dan setelah aku bisa memberikan apa yang Cauthelia inginkan, akhirnya ia menggunakan lagi pakaiannya dan kami menuju ke depan.
“Udah dapet Bohay?” panggil Nadine kepada Cauthelia, nampaknya mereka sangat akrab, gadis itu mengangguk dengan senyum yang menandakan kepuasan, tetapi masih kurang, aku hanya menghela nafas melihat kedua gadis itu, “maem yuk laper nih,” ujar Elya lalu mengambilkanku makanan yang ia masak saat itu, Soto Ayam Lamongan.
“Dede bikin Soto Ayam Lamongan?” tanyaku penasaran, gadis itu menangguk, “ini koya-nya,” ujar Cauthelia lalu memberikanku mangkuk berisi koya.
“Wah, Soto Ayam Lamongan yah,” ujar Nadine bersemangat, “masaknya dari kapan?” tanya Nadine kepada Cauthelia, “dari sore tadi jam lima an, kebeneran pas ngeliat ada tukang ayam, jadi sekalian beli,” ujarnya dan tersenyum.
Kami memakan masakan itu dengan lahap, masakan Cauthelia benar-benar sangat luar biasa, cita rasa yang sangat otentik khas Lamongan dipadukan dengan pemilihan bahan yang baik dari gadis berambut panjang dan bergelombang ini. Tidak butuh waktu lama, kami menghabiskan nasi dan juga soto yang disuguhkan Cauthelia.
Satu hal mengenai gadis tersebut, ia sangat menyukai makanan pedas, aku lihat sampai mangkuk sotonya agak kemerahan karena terlalu banyak sambal. Lalu, setelah ia makan masakan yang terlalu pedas, maka bibirnya otomatis akan menjadi kemerahan, persis seperti ia menggunakan pemoles bibir.
“Tam, have fun yah, aku mau pulang dulu,” ujar Nadine tiba-tiba, “loh kok pulang?” tanya Cauthelia kebingungan, “mobilnya mau dipake kakak besok, jadi harus aku pulangin,” ujar Nadine, “lah terus baju itu buat siapa?” tanyaku kebingungan.
“Ya buat si Bohay, soalnya kan besok mau ke sekolah, saran aku tetep pake seragam sekolah,” ujar Nadine lalu ia memberikan seragam sekolah yang ia bawa, “makasih yah Ka,” ujar Cauthelia, senyumannya dibalas manis oleh gadis itu.
Setelah itu Nadine pun pulang dari rumahku, ia kembali ke rumahnya lantaran mobil yang ia gunakan milik kakaknya dan harus segera dikembalikan. Kuantar gadis itu sampai ke pintu garasi, di sana ia menciumku dengan sangat lembut dan hangat, dengan wajah yang masih memerah, ia lalu pergi meniggalkan rumahku.
Aku menghela nafas panjang, melepas kepergian Nadine, entah mengapa hari ini begitu menyenangkan bersama kedua gadis itu, dan saat aku pulang, sudah ada Cauthelia di rumah. Sejurus setelah aku menutup pintu garasi, aku langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumahku, terdengar suara air gemericik dari kamarku, Elya pasti lagi mandi, pikirku sambil tersenyum.
Kulangkahkan kakiku menuju ke atas, dan saat aku masuk ke kamar, betapa terkejutnya aku bahwa gadis itu mandi tanpa menutup pintu kamar mandi tersebut. Pemandangan yang luar biasa menggoda tercitrakan di depanku, gadis itu bukannya menutupi tubuhnya malah sengaja menari manja di depanku. Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya kakiku melangkah dan menjauhi gadis itu tetapi kurasa sudah terlambat, di depannya kecepatanku adalah c, asal jangan masuk ke black hole, tiba-tiba pikiranku berkata demikian.
Setelah kegilaan hampir dua jam, gadis itu pun tertidur di dadaku, seperti biasanya. Dadaku sudah pernah menjadi alas tidur untuk Cauthelia dan juga Nadine. Kulihat jam di ponselku, sudah menunjukkan pukul 0122, sudah dini hari, ujarku dalam hati. Sekilas aku juga melihat buku diary Cauthelia yang masih tersimpan rapi di rak buku kaca yang ada di seberang ranjangku.
Kuletakkan tubuh Cauthelia perlahan dan aku pun dengan sedikit mengendap menuju ke rak buku itu. Kuraih diary yang tempo hari ia berikan kepadaku. Saat aku membukanya, kulihat tulisannya sangat rapi, padahal diary yang mirip jurnal ini cukup tebal dan sudah ditulisnya sejak SD kelas 5. Aku pun melihat ada beberapa pembatas yang menandakan bahwa ada halaman yang cukup spesial di buku tersebut, kubuka pembatas yang pertama.
Desember 2002
Hari ini,,,wa berhasil selamet…
Ya,,,wa inget banget ada truk tanah warna ijo hampir nabrak wa…
Bego,,,kata2 itu yg keluar dari mulut cowok SMP itu…
Entah siapa namanya…
Bodohnya wa,,,ga tanya sapa dia…
Hari ini wa emg bener2 kacau…
Papa sama Mama ribut…
Kakak sama Papa ribut…
Kakak sama Mama ribut…
Semuanya ribut…
Sapa yang peduli sama wa???
Cowok itu…
Ya,,,seorang cowok SMP,,,ga ganteng sih,,,cuma wa ga tw…
Hey Elya,,, lo baru 12 tahun,,,ga pantes ngomongin cinta…
Cinta monyet kali ya…
Tw ah bodo amat mau dibilang apa…
Yg psti wa udh beranjak dewasa,,,darah itu buktinya…
Miniset ini buktinya…
Ya sebentar lagi wa bkalan punya pacar,,,wa harap cowok itu…
Wanginya sumpah,,,deg2an pas nyiumnya…
Siapa cowok itu???
Entah,,,biarkan dy jdi cinta pertama wa…
Mo monyet,,,kucing,,,kambing,,,wa ga pduli…
Wa jatuh cinta sma dy yang udh nyelametin wa…
Bayangin,,,wa bisa mati tewas seketika…
Truk itu juga ga mo minggir…
Geeeez,,,itu bunyi yg paling wa inget…
Bunyi air brake yg udh telat beud…
Cowok itu dateng,,,narik tangan wa,,,yg wa inget,,,cowok itu dah nyebrang…
Berarti dy liat wa,,,sampe dy narik tangan wa…
Berharap bisa ketemu,,,cuma buat ucapin makasih udah selametin hidup wa…
Makasih yah,,,cowok hitam manis…
Deg, seketika detak jantungku berdetak sangat cepat, aku ingat peristiwa di penyebrangan itu, pertengahan Desember tahun 2002, ya gadis berambut panjang bergelombang itu, tetapi tidak ada wangi khasnya. Dia Cauthelia? Benarkah? Aku mulai mengenang apa yang terjadi di masa itu.
Desember 2002, seperti biasa, setelah aku pulang sekolah aku melewati jalan belakang untuk memotong. Di sana aku bertemu dengan seorang anak SD kelas VI sepertinya, karena tubuhnya sudah terlihat terbentuk, ya terbentuk layaknya gadis remaja, tetapi aku tidak pernah mempedulikan itu. Terakhir kulihat ia hanya tertunduk, dan tidak memperhatikan jalan sekitar.
Sejalan kemudian, aku menyebrang dari sisi satu ke sisi lainnya, dan setelah kubalik badanku, kulihat gadis itu sedang menyebrang, ia sudah melewati separator jalan dan sudah menuju ke arahku. Saat kulihat dari sebelah kanan ada rombongan truk tanah berjalan dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kiri, ke arah anak itu akan menyebrang.
Celaka, ujarku dalam hati, tanpa mempedulika keselamatanku, aku bergegas berlari menuju lajur dua dan menarik tangannya dengan cepat ke lajur satu lalu kutarik lagi hingga tiba di trotoar. Nyaris, sedikit aku terlambat aku akan menjadi saksi mata kecelakaan. Sementara truk tersebut sontak mengerem dengan mengeluarkan bunyi rem anginnya. Setelah menumpahkan kekesalannya dengan sumpah serapah, supir itu lalu menjalankan lagi truknya.
“Bego!” bentakku kepada anak perempuan yang memiliki mata indah itu, “loe mau mati?” tanyaku dan barulah sepertinya ia tersadar dan melihatku dengan tidak percaya, “kenapa gue emangnya?” tanya anak itu dengan polos.
“Loe bego nyebrang gak liat-liat, loe hampir mati kelindes truk itu!” bentakku sambil menunjukkan telunjuk kiriku ke arah truk tanah yang belum jauh berjalan, gadis itu lalu memandangku dengan wajah tidak percaya.
“Maaf ya, gue malah rusuh,” ujar anak itu lalu terlihat sedih, “udah loe pulang sono,” ujarku lalu menepikan taksi berwarna biru yang cukup tenar di kotaku, “ini ongkosnya, loe bilang sama tukang taksinya,” ujarku kepada anak itu sebelum taksi itu berhenti tepat di depan kami, anak itu masih melihatku dengan wajah yang heran, tidak percaya, bingung, dan entahlah.
Sejurus kemudian, gadis itu naik ke taksi tersebut, sekilas kulihat ia melambaikan tangannya kepadaku. Huh, bodoh nyaris saja, umpatku dalam hati, sedetik saja aku telat, hiiih, bergidik aku membayangkannya. Yang pasti anak itu akan menjadi gadis yang cantik dan juga memiliki tubuh yang indah, setidaknya itu pikiranku saat ini.
Gak mungkin, ujarku dalam hati sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku, gak mungkin bocah itu Elya, ujarku dalam hati lagi. Seketika aku memandang ke arah gadis itu, selimutnya sedikit tersingkap, sehingga menunjukkan betapa putih dan bersihnya kaki gadis itu, sudah sudah sudah, aku lalu menggelengkan kepala.
Jujur aku masih tidak percaya dengan apa yang kubaca saat ini, bagaimana mungkin aku benar-benar bertemu dengannya saat itu, dan ia bisa jatuh cinta kepadaku, entahlah. Aku mulai menggelengkan kepala, tanda bahwa aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah ia tulis.
Di bagian bawahnya, aku menemukan sebuah catatan kecil, di sana aku tahu, ini adalah tulisan Cauthelia masa sekarang, bukanlah Cauthelia SD. Kuraih catatan kecil yang ditempel menggunakan post-it tersebut, kulihat dengan seksama tulisan-tulisan kecil yang rapih dan indah hasil coretan gadis itu.
Percaya ato gak,,,dede jatuh cinta sama kakak karena hal itu…
Sejak hari itu,,,wajah kakak jelas banget hadir di mimpi dede…
Bahkan pernah satu hari pas SMP,,,dede mimpi digauli sama kakak di mimpi…
Entah gimana harus dede bilang,,,Cauthelia Nandya 12 tahun mencintai Faristama Aldrich…
Emang keliatannya konyol,,,tapi baca part berikutnya…
Kenapa dede yakin kalo kakak adalah jodoh dede…
Dan disana dede bikin janji ke dri dede sndiri…
Comments (0)