SEBUAH KEJUTAN KECIL (BAGIAN 1)
Pagi datang dengan cepat, sinar matahari sudah menyembul diantara gorden yang sedikit tersingkap. Hari ini aku berjanji mengajak jalan Aerish dan juga Nadine, ya pasti menyenangkan, ujarku dalam hati, sejurus kemudian aku langsung menuju ke kamar mandi dan mandi pagi.
Dua puluh menit kemudian, aku sudah menyelesaikan mandiku lalu aku bersiap untuk berjalan-jalan seperti yang telah kujanjikan kepada kedua gadis itu. Setelah aku menyelesaikan sarapan, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku, pasti Nadine, ujarku dalam hati, mengingat ia selalu datang pagi, pasti ia sudah datang lebih dahulu.
Dan benar saja, Nadine Helvelina gadis yang juga kucintai sudah tiba di depan rumahku dengan senyuman khasnya, serta tidak lupa kacamata full frame yang selalu setia menemaninya. Outfit of the day, kaus casual dengan rok span dari bahan denim, itu adalah model pakaian kesukaan gadis ini. Aku tersenyum saat ia menggenggam tanganku hangat pagi itu. Sejurus setelah membereskan sisa sarapanku, aku pun pergi bersama Nadine, tentu saja dengan L13A I4 milik Nadine yang ia bawa pagi ini.
Aku yang mengemudikan mobil ringan dan kecil tersebut, sementara Nadine duduk di kursi penumpang depan. Rute berikutnya adalah menjemput Aerish di rumahnya. Butuh waktu cukup lama untuk mencapai rumah Aerish, karena ada beberapa jalan yang tergenang akibat hujan semalam.
“Nad, rencana mau jalan kemana?” tanyaku kepada gadis yang tengah sibuk dengan ponselnya, “entah, aku juga gak tahu Tam,” ujarnya tanpa memandangku, ia masih serius dengan ponselnya.
“Mau yang jauh ato yang deket?” tanyaku kepadanya, ia terdiam cukup lama karena serius dengan ponselnya, “eh, terserah kamu aja deh,” ujarnya masih sibuk dengan ponselnya.
“Ehm ehm ehm, cowok baru yah,” ujarku meledeknya, seketika ia langsung memandangku, “enak aja, cowok aku kan kamu,” ujarnya sambil mencubit ringan lenganku, “aku kan cowoknya Aerish,” ujarku lalu tertawa kecil.
“Tama itu cowok bersama,” ujarnya lalu tertawa lepas, “berarti aku playboy dong, kan ceweknya ada tiga,” ujarku meledeknya lagi, “bukan bukan, Tama bukan playboy,” ujar Nadine masih tertawa, “Tama itu kolektor cewek,” ujarnya malah meledekku.
“Kamu itu Nad,” ujarku lalu tertawa, “kalo cuma dua sih bukan kolektor,” ujarku, “kalo kolektor tuh ada selusin minimum,” ujarku tertawa, dan Nadine langsung mencubit lenganku.
Itulah Nadine, sejak dahulu aku sering bercanda dengan gadis itu, hingga saat ini. Terkadang jika kuingat apa yang telah terjadi diantara kita, hal tersebut tentunya membuatku semakin tidak percaya. Bahkan aku tidak pernah membayangkan ini semua akan terjadi kepadaku.
Oktober 2004, operasi berjalan lambat, tidak selambat itu, hanya empat-puluh menit, dan benar-benar menyiksaku dalam kecemasan yang luar biasa. Waktu seakan terekspansi, satu menit penantian serasa satu jam dalam ketakutan. Untuk apa aku takut, ia bukan siapa-siapaku, untuk apa pula aku sedih, ia hanya teman sekelasku.
Entah, mungkin apa yang terjadi kepadaku adalah aku semakin nyaman berada di dekatnya. Aku sudah mengenalnya semenjak SMP, dan ini adalah kali pertamaku cemas kepada gadis ini. Seraya dokter keluar dari ruang operasi, ia tersenyum kepadaku dan mengatakan operasinya berhasil. Tidak banyak yang dilakukan hanya menjahit luka bekas sayatan kaca yang ada di tangannya saja.
Dua-puluh menit kemudian, gadis itu dibawa keluar dari ruang operasi dengan ranjang rumah sakit. Ia sudah siuman, tetapi ia masih belum ingat kejadian apa yang sudah menimpanya tadi. Aku berjalan mengiringi ranjang tersebut hingga ke kamar kelas II yang berada selisih 3 lantai dari ruang operasi.
“Gimana keadaan loe Nad?” tanyaku kepada gadis itu, ia hanya tersenyum, “gue gak tahu Tam, semuanya terjadi gitu aja,” ujarnya dan tersenyum kepadaku.
“Okay deh, semoga cepet sembuh yah Nad,” ujarku sambil tersenyum kepadanya, aku lalu berniat untuk langsung pergi, “Tama mau kemana emang?” tanya gadis itu dengan heran, “gue mau pulang Nad, udah sore ini,” ujarku sambil melihat jam tangan yang jarum chronograph-nya masih berada di angka dua-belas dan delapan.
“Cepet sembuh yah Nad,” ujarku lalu beranjak dari kamar tersebut.
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di rumah Aerish, nampaknya gadis ini juga sudah bersiap, ia sudah menunggu di depan rumahnya, mungkin tadi Nadine mengirimkannya pesan singkat. Sejurus aku tiba di depan rumahnya ia langsung masuk ke dalam mobil Nadine. Entah mau kemana kami sekarang, yang pasti aku hanya menyetir saja.
“Jadi mau kemana nih?” tanyaku kepada kedua gadis itu bergantian, “loh kata Tama kemaren rahasia,” ujar Aerish sejurus ia berada diantara kursi supir dan penumpang depan.
“Pengen yang jauh ato yang deket tempat rahasianya?” tanyaku kepada kedua gadis itu, “jauh,” ujar mereka berbarengan.
Aku langsung melajukan mobilku ke Jalan Tol dalam kota, lalu berbelok ke kanan ke arah Bogor, mereka berdua memandangku dengan sedikit heran. Perjalanan kami tempuh sekitar empat jam, dan kami sudah berada di Pelabuhan Ratu saat ini. Kedua gadis itu memandangku dengan tidak percaya. Tetapi bukan disini destinasi yang akan aku tunjukkan kepada mereka.
Pantai Bayah, berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Pelabuhan Ratu ke arah Barat. Sebenarnya kami bisa menjangkau tempat ini melalui Rangkasbitung, tetapi setahun yang lalu saat Ayahku mengajak kesana, jalannya masih belum diperbaiki, dan memakan waktu tempuh yang lebih lama.
Ada sebuah pulau yang dikenal cukup indah, tetapi juga cukup mistis, namanya Pulau Manuk. Disebut Pulau Manuk karena menurut kabarnya, dipulau tersebut banyak singgah berbagai jenis burung dan juga ada pula yang membuat sarang di tempat tersebut. Di dekatnya ada sebuah Hutan Lindung milik perhutani yang juga banyak menyimpan satwa liar, yang paling dominan di sana adalah monyet.
Menempuh satu jam perjalanan yang berliku dari Pelabuhan Ratu, tibalah kami di pasir putih Pantai Bayah. Saat mobil kami diparkirkan di sebuah lapangan, kedua gadis itu langsung turun dari mobil dan bergegas menuju ke pinggir pantai dengan ombak yang sedikit tenang, namun menghanyutkan.
Di bagian timur pantai tersebut banyak terdapat karang, dimana berbagai macam hewan crustacea juga bersarang di sana. Kedua gadis itu kegirangan, mereka bahkan tidak peduli denganku yang baru selesai mengunci pintu mobil. Aku pun mengampiri mereka yang tampak mengagumi keindahan alam ciptaan Illahi.
“Bagus gak?” tanyaku sedikit kencang karena angin laut mendistorsikan suaraku, “bagus banget Tam,” ujar Aerish, wajahnya tampak gembira, “cuma ini yang bisa aku kasih buat kalian,” ujarku dan tersenyum, “gak rugi yah jalan dari pagi sampe siang ke sini,” ujar Nadine dan melihatku dengan tersenyum.
“Gak akan rugi kalo menikmati keindahan pantai di sini,” ujarku dan menghirup nafas dalam-dalam, merasakan aroma laut yang begitu menggoda, mengingatkanku dengan kejadian dua minggu yang lalu, bersama Cauthelia.
Aku terdiam saat kuingat semua kenangan manis yang kini sudah pergi, ya kenanganku yang tidak pernah akan bisa kembali lagi, setidaknya dalam waktu dekat. Kudekap erat angin yang mengingatkanku akan betapa beruntungnya aku pernah bertemu dengan gadis sesempurna Cauthelia. Tidak berlebihan, ujarku dalam hati, sampai saat ini gadis itu memang yang terbaik untuk hidupku.
“Tebak ini siapa?” tiba-tiba ada sepasang tangan menutup mataku, terakhir kuingat, Nadine dan Aerish berada tepat di depanku, “Nadine,” ujarku lalu menggenggam tangan gadis itu, “yah ketahuan yah,” ujar Nadine dengan nada yang manja.
“Aku hafal wanginya Nadine, jadi gak mungkin aku salah kan,” ujarku lalu menggenggam kedua tangannya, ia tersenyum kepadaku, “Tam, ada tempat nginep gak di sini?” tanyanya dengan nada manja, “ada, di deket sini ada perkebunan punya Ayah, jadi bisa numpang kesana,” ujarku, “tapi enggak deh, soalnya aku bawa kamu sama Aerish,” ujarku lalu berjalan mendekati Aerish.
“Tam, laper nih,” ujar Aerish dengan wajah yang juga manja ke arahku, “okay, kita makan siang dulu, gimana?” tanyaku kepada kedua gadis itu, mereka mengangguk.
“Emang ada tempat makan di sekitar sini?” tanya Aerish sambil melihat ke sekeliling tempat tersebut, “ada, tenang aja,” ujarku lalu aku mengajak mereka ke salah satu rumah penduduk di sana.
Aku mengetuk pintu tumah tersebut, dan muncullah seorang laki-laki paruh baya, namanya Pak Nana, beliau adalah nelayan di daerah sana. Aku mengenal Pak Nana sejak kecil, ya karena aku sering menghabiskan waktu kemari bersama orang tuaku, sehingga aku bisa akrab dengan lelaki yang memiliki sosok tegap, a la nelayan tersebut.
“A’ Tama, aduh kok dateng gak bilang-bilang,” ujarnya dengan tersenyum ramah, “enggak Pak, kebetulan saya lagi ngajak temen aja kesini,” ujarku dan tersenyum kepadanya.
“Sok atuh masuk heula,” ujar Pak Nana sambil menunjukkan bahasa tubuhnya, dan sejurus kami pun masuk di rumahnya yang bisa dibilang cukup besar.
“Begini Pak, saya kebetulan belum makan siang, biasa, ada makan siang enggak?” ujarku sambil tersenyum, “ada A’, Ikan Dorang mau teu?” tanyanya dengan logat Sunda yang sangat kental, “apa aja Pak, nasi sama tempe aja juga gak apa-apa,” ujarku.
“Terus ini dua teteh manis saha?” tanya Pak Nana, “ini Aerish Rivier,” aku lalu menunjuk Aerish dengan jempolku dan mereka bersalaman, “yang terakhir Nadine Helvelina,” ujarku juga menunjuk Nadine dengan jempolku pula, dan mereka bersalaman.
“Ai, sini heula, ini ada A’ Tama,” ujarnya dan memanggil anaknya yang bernama Aini, ya aku juga sudah mengenalnya semenjak aku masih SD, gadis pesisir yang bisa dikatakan cantik dengan rambut yang lurus dan panjang sepinggang.
“A’ Tama,” ujar gadis itu yang begitu sumringah melihatku datang kesana, “biasanya sama orangtuanya, ini kok sama cewek?” tanyanya dengan logat Sunda yang juga kental, “aku cuma numpang lewat aja, kebetulan lagi pengen refreshing,” ujarku dan tersenyum, oh iya kenalin temen-temen spesial aku,” ujarku lalu mengenalkan Aerish dan Nadine kepada Aini.
“A’, saya ke dapur dulu ya mau nyiapin masakannya,” ujar Pak Nana, ia lalu tersenyum dan beranjak dari kursinya, “iya Pak, silakan,” ujarku juga tersenyum, sejurus kemudian Aini langsung duduk di sebelahku, hal tersebut dipandang heran oleh kedua gadis yang kubawa.
“Kenapa Ai?” tanyaku sedikit heran, “bisa bantuin Ai enggak?” tanya gadis itu, “eh ngapain?” tanyaku penasaran, “jadi begini A’, Ai taro alat penelitian di deket Pulau Manuk, tapi Ai takut kesana sendirian, banyak onetnya A’,” ujarnya, ia memang sedikit manja sejak dahulu kepadaku.
“Okay, boleh, kita kesana aja, gimana?” tanyaku kepadanya, ia pun mengangguk, “Teh Nadine, Teh Aerish, Ai pinjem A’ Tama sebentar yah,” ujar gadis itu kepada Aerish dan Nadine, “iya silakan,” jawab Nadine, “Nad, Rish, aku pergi dulu ya sebentar,” ujarku dan sejurus aku pergi mengikuti kemana Aini melangkah.
Comments (0)