MASA TERBERAT HARUS DILALUI, BISAKAH? (BAGIAN 9)
Malam ini aku kembali tertidur dengan suara dan juga bayangan semua tentang dirinya, untuk diary, aku akan membukanya besok, karena esok adalah hari sabtu. Sudah jam 0112 saat aku mulai memejamkan mataku, dan ini sudah sangat pagi untukku pergi tidur. Elya, aku merindukan segalanya tentang dirimu, ujarku dalam hati sebelum aku terlelap.
Harum Nadine, ujarku dalam hati ketika aku baru saja terjaga, aku sangat enggan membuka mataku pagi ini, tetapi harum ini benar-benar harum tubuh Nadine. Aku sedikit menggeliat dan saat itu pula tubuhku menyenggol tubuh tersebut, Nadine, ya itu adalah Nadine, ujarku dalam hati seraya aku membuka mataku.
“Nad,” ujarku masih agak mengantuk, “pagi Tama,” ujarnya dengan tersenyum manja, “loh kok kamu bisa sampe di sini?” tanyaku keheranan, ia saat ini sedang duduk di pinggiran ranjangku.
“Aku duplikat kunci rumah kamu,” ujarnya lalu tertawa kecil, “bakat juga yah kamu,” ujarku lalu menegakkan tubuhku sehingga duduk di ranjang, “abis ngapain semalem?” tanya Nadine dengan tertawa kecil, “Elya,” ujarku pelan, sejurus aku lalu memandang BenQ 24” yang masih menyala pagi itu.
“Kamu nonton video dari dia lagi?” tanyanya lalu memandang ke arahku dengan tatapan sedih, aku mengangguk pelan, “jujur ya Nad, aku kangen segalanya tentang Elya,” ujarku lalu menghela nafas panjang.
“Tam,” panggilnya lalu sejurus tangan kirinya masuk ke dalam selimutku, “Nad, jangan Nad,” pintaku kepadanya aku sedikit menghela nafas, gadis itu lalu tersenyum, “give me a chance and I’ll do better,” ujarnya lalu aku menahan tangan kirinya yang saat itu sedang asyik bermain.
“Please Nad, ini masih pagi,” ujarku pelan, tetapi gadis itu tampak tidak peduli dengan apa yang kukatakan, “aku kangen Tama,” ujarnya manja, ia lalu melepaskan tangan kirinya dan mendekapku dengan sangat hangat.
Hangat, ya sangat hangat, bukan Nadine yang ada di dalam pikiranku, tetapi Cauthelia. Seiring harum tubuh gadis itu masih tercium di ranjangku, aku benar-benar merindukan gadis yang sudah banyak menyadarkan aku, bahwa betapa berartinya cintaku untuk dirinya. Ia sangatlah berarti dalam hidupku, ujarku dalam hati, entah mengapa aku malah mendekap Nadine dengan sangat erat pada pagi itu.
“Nadine cinta banget sama Tama,” ujarnya di dekapanku, “aku juga Nad,” ujarku sambil membelai lembut rambutnya, “maafin aku ya Tam, mungkin aku enggak bisa ilangin sedih kamu atas kepergian Elya,” ujarnya pelan, “tapi aku pengen bisa jadi sosok yang terbaik buat Tama,” ujarnya pelan di telingaku.
“Aku yang harusnya minta maaf,” ujarku pelan di telinganya, “enggak Tama enggak salah,” ujarnya manja, lalu ia benar-benar menindihku, seperti apa yang Cauthelia lalukan saat ia mulai berhasrat kepadaku.
“Nad,” panggilku pelan, gadis itu tidak menyahut, ia masih mendekapku dengan sangat hangat, “Nad, udah yah, udah pagi ini aku mau mandi dulu,” ujarku berusaha untuk mencegah hal buruk yang mungkin akan terjadi.
“Aku udah tahu kok Tama ngapain aja sama Elya,” ujarnya di telingaku, deru nafasnya terdengar sangat jelas, “Nad, tunggu Nad,” ujarku saat ia mulai menurunkan kepalanya, aku menahannya, “you never give me a chance,” ujarnya pelan, ia memandangku, “please, give me a chance,” ujarnya dan memandangku dengan sangat manja, aku hanya dapat menghela nafas panjang tanpa berkata apapun.
Kulemaskan tanganku, kubiarkan ia melakukan apa yang ia mau, entah apa yang ia pikirkan saat ini. Deg, detak jantungku berdetak tambah cepat ketika aku merasakan impuls syarat tersebut menuju otakku, satu sisi processor terhebat ini memerintahkan ototku untuk mencegah impuls yang lainnya datang, tetapi di satu sisi aku menikmatinya.
Nadine, ya gadis yang saat ini adalah ketua OSIS di sekolahku, kini ia berada di pelukanku, betapa banyak laki-laki yang mecoba mendekati gadis mungil yang menawan ini, tetapi sikapnya yang jutek dan protektif membuat banyak laki-laki sungkan bahkan hanya untuk sekedar berkenalan dengannya.
Februari 2006, hari ini cukup ditunggu banyak orang, ya hari pemilihan ketua OSIS baru di sekolahku. Ada 3 nama yang diusung menjadi ketua, salah satunya adalah gadis yang duduk di sebelahku, Nadine Helvelina. Ia sangat berbakat menjadi pemimpin, dan ia juga sangat cerdas, salah satu hal yang membuatnya begitu tenar adalah, ia sangat menawan, gadis manis ini termasuk the most wanted girl di sekolahku.
Sore ini sepulang sekolah, seperti biasa yang aku lakukan adalah terdiam di dalam kelas, memikirkan Aerish. Entah mengapa cintaku kepada gadis ini tidak pernah hilang, sedang apa ya ia di sana? Itulah yang ada dalam pikiranku saat ini, dan aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarku kini.
“Tam, loe gak pulang?” tanya gadis itu membuyarkan semua lamunanku, “eh, nanti aja Nad,” ujarku dan memandang gadis itu datar.
“Loe kebanyakan bengong,” ujarnya, “iya nih, banyak pikiran,” ujarku lalu tersenyum, “hayah, paling mikirin Aerish,” ujarnya sedikit ketus, aku lalu memandangnya heran, “lah biarin aja suka-suka gue,” ujarku menimpalinya dengan ketus pula.
“Eh beidewei, hasil pemilihan buket gimana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya, “gue gak tahu, belom ada pengumuman,” ujarnya lalu melempar senyum kepadaku.
“Semoga sukses ya Nad,” ujarku dan menepuk pelan pundak gadis itu, “sama-sama Tam,” ujarnya, “eh gue boleh nebeng gak?” tanya gadis itu, “tumben amat seorang Helvelina mau bareng sama Aldrich?” ujarku menggodanya, “apaan sih,” ujarnya lalu mencubit ringan lenganku, diiringi dengan tawaku.
Aku pun mengantarkannya pulang, sepanjang perjalanan, kami hanya membisu, karena memang aku jarang sekali mengantarkan gadis ini pulang. Hari ini adalah suatu keajaiban seorang Nadine mau dibonceng olehku, apa yang terjadi kepadanya, entahlah, ujar hatiku. Aku tidak ingin memikirkan hal yang tidak seharusnya kupikirkan lagi.
Akhirnya aku tiba di rumahnya, dan baru kali ini semenjak pertengkaran diantara kami Nadine terlihat begitu manis, begitu cantik, dan begitu ramah. Meskipun ia juga sangat manis dan baik ketika merawatku tahun kemarin, hanya saja kali ini ia benar-benar berbeda. Nadine yang dulu pernah kukenal, Nadine yang manis, Nadine yang begitu hangatnya kepadaku, dan terkadang aku merindukannya.
“Makasih yah Tam, loe mau repot-repot anterin gue,” ujarnya, tersenyum sambil menggenggam ringan tanganku, “sama-sama lah Nad, naek motor juga,” ujarku ringan.
“Masuk dulu yuk,” pintanya, “gak usah lah, nanti ngerepotin loe,” ujarku sambil mengisyaratkan dengan tangan kananku, “beneran gak mau masuk?” tanyanya, ia mengernyitkan dahinya, dan aku mengangguk pasti.
“Well, gue harap suatu saat loe beneran mau masuk,” ujarnya sambil membenahi kacamata full frame miliknya yang memang agak turun, aku hanya tersenyum dan tidak berkata apapun, mencoba mengerti apa maksud kata-katanya.
Nadine, apa yang kau lakukan, aku tidak bisa menolak rasa yang memalukan ini, ujarku dalam hati. Ia benar-benar ingin menjadi Cauthelia, atau memang ini adalah sisi lain Nadine yang tidak pernah aku tahu. Semakin lama rasa itu semakin menjadi, meskipun tidak sehebat Cauthelia, tetapi ini dengan gadis lain, begitu memalukannya aku melakukan ini dengan Cauthelia beberapa waktu yang lalu, dan sekarang dengan Nadine.
Hingga otakku sudah tidak mampu lagi menahan stimulus yang datang bertubi-tubi tersebut. Susunan saraf parasimpatik tidak bisa lagi menahan aliran arteri, dan dengan seketika dialihfungsikan oleh susunan saraf simpatik yang menyebakan aliran darah kembali lagi ke jantung, Nadine apa yang kau lakukan? Tanyaku dalam hati.
“You give me a chance,” ujarnya lalu memandang ke arahku, deg jantungku langsung berdetak kencang saat kupandangi wajahnya yang sangat merah saat itu, aku hanya terdiam tidak dapat berkata apapun, “how it’s feel?” tanyanya lagi kepadaku, aku masih memandangnya tidak percaya.
“Nadine, kamu,” ujarku memandangnya dengan tidak percaya, ia hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku, “it’s better or worse then Elya?” tanyanya lagi, aku tidak dapat berkata apapun dan aku menghela nafas panjang, “I can’t answer that question, I’m sorry,” ujarku pelan, ia lalu tersenyum kepadaku.
“Mungkin Tama pikir Nadine gila, Nadine gak waras, ato Nadine parah, tapi hanya itu yang bisa Nadine lakuin buat Tama,” ujarnya pelan, “setelah apa yang Tama pernah lakuin ke Nadine,” ujarnya lalu memandangku dengan wajah yang masih menggoda, bahkan tangannya masih bermain.
“Tapi enggak gitu juga Nad,” ujarku dan menahan tangannya, “he likes it, you can see?” tanyanya sambil memandangku manja, dan saat itulah saraf parasimpatik-ku bekerja kembali atas stimulus yang diberikan.
“Nad, udah stop,” ujarku mencoba menghentikannya, “mau seberapa jauh kamu mau merendahkan diri kamu?” tanyaku dengan pelan, “cukup Elya aja yang merendahkan dirinya ke aku, jangan kamu,” ujarku agak tinggi.
“There’s your blood inside me Tam,” ujarnya dan seketika hal itu mengingatkanku akan satu kejadian besar dalam hidupnya.
Oktober 2004, ada apa dengannya ya, mengapa firasatku tidak enak? Ya ia yang duduk di sebelahku kini. Beberapa hari belakangan sikapnya agak aneh, entah tetapi firasatku tidak baik dengan masalah itu. Ada apa ya, mengapa tiba-tiba aku sangat cemas dengan keadaan Nadine? Hatiku selalu bertanya-tanya mengenai hal itu.
Sepulang sekolah, tidak seperti biasanya ia berpamitan kepadaku, entah mengapa, tetapi aku merasa itu sedikit aneh. Bahkan sebelum ia pulang ia sempat meneleponku terlebih dahulu, ia mengatakan apabila terjadi sesuatu kepadanya, maka aku akan dihubungi terlebih dahulu. Sejurus kemudian ia pergi keluar kelas, hal tersebut meninggalkan sejuta tanya dalam pikiranku, mengapa dan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya?
Lima belas menit kemudian, saat aku sudah bersiap untuk pulang, ada telepon masuk dari Nadine, apakah ia sudah tiba di rumah dalam waktu yang singkat? Entahlah, tetapi aku agak lama mengangkat telepon tersebut. Saat kuangkat, ternyata Nadine mengalami kecelakaan dan sudah berada di satu rumah sakit yang berada di kota ku.
Deg, aku langsung terkejut bahkan aku tidak sadar ponselku jatuh ke atas meja, sejurus setelah itu yang kulakukan adalah menelepon ke rumah Nadine, tetapi tidak ada yang mengangkat teleponku. Bak Bugatti Veyron dengan segala potensinya, aku berlari ke tempat parkir untuk segera menuju ke rumah sakit.
“Mbak, pasien korban kecelakaan atas nama Nadine Helvelina dirawat dimana ya?” tanyaku dengan panik di meja resepsionis, “pasien kecelakaan ada di Ruang UGD,” ujarnya, tanpa mengucapkan apapun, aku berlari menuju ke ruang UGD.
Disana sudah menunggu dokter dan juga pasien yang menjadi korban kecelakaan juga. Aku merangsek dan menemui dokter yang saat itu menangani Nadine, awalnya ia menolak memberikan keterangan, tetapi saat kukatakan aku adalah kekasihnya dan yang bertanggung jawab atas dirinya, dokter itu lalu mengajakku ke suatu ruangan.
“Jadi begini dek, pacar adek kena pecahan kaca di pembuluh nadinya, kita mau jahit, cuma butuh persetujuan keluarga,” ujarnya dengan sikap yang tenang, “mohon maaf dok, bukannya saya tidak mau menghubungi keluarganya, saya sudah usahakan, tetapi tidak ada respon,” ujarku mulai panik.
“Baiklah, begini kalau adek mau bertanggung jawab, saya akan buatkan tindakan operasi untuk menutup luka Nadine, tetapi adek harus tanda tangan,” ujar dokter itu dengan wajah yang serius, aku pun mengangguk, “apapun akan saya lakuin dok, yang penting pacar saya selamat,” ujarku panik, dokter itu mengangguk.
“Kami juga butuh darah O Positif, kalau kebetulan darah adek O Positif saya bisa proses untuk Nadine,” ujarnya, “darah saya O Positif, silakan diambil buat Nadine,” ujarku panik, dokter itu kemudian memintaku untuk melakukan pengecekan dan penandatanganan surat pertanggungjawaban.
“Satu minta saya dok, jangan pernah bilang kalau saya yang donorin darahnya ke dia,” ujarku pelan, dokter itu mengangguk setuju.
Deg, darimana Nadine tahu bahwa aku yang mendonorkan darahku waktu itu, darimana kau tahu? Tanyaku dalam hati dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Ia tersenyum sangat manja kepadaku, pagi ini ia mencoba menggodaku lebih jauh, ia membuka kaus yang saat ini ia gunakan dan tanpa canggung ia menciumku dengan sangat hangat.
“Buat orang yang udah nyelametin Nadine, menurut Tama apa ini enggak pantes?” tanya gadis itu pelan, aku hanya terdiam, “aku udah terlalu jauh sama kalian berdua,” ujarku pelan, “aku udah terjebak di event horizon,” ujarku dengan menyesal, “aku sama Elya adalah dua gadis yang kamu selametin,” ujarnya pelan, “aku gak akan ada di sini sekarang tanpa darah kamu,” ujarnya sambil mengusap lembut rambutku.
“Tapi Nad, bukan dengan begini,” ujarku pelan, ia lalu menciumku sekali lagi, “apa bisa Nadine ganti dengan cara lain?” tanyanya pelan, aku hanya terdiam tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Pernahkah Tama bayangin, rasanya ada Tama di dalam tubuh Nadine?” tanyanya, aku tidak menjawabnya, aku terdiam saat kupandang wajahnya yang sangat merah.
“Tapi Nad,” ujarku terus menolak gadis bertubuh mungil ini untuk bertindak lebih jauh, tetapi apa yang ia lakukan justru memperparah keadaanku, “do it for me then,” ujarnya pelan, “make me yours,” ujarnya dengan sangat menggoda.
Comments (0)