MASA TERBERAT HARUS DILALUI, BISAKAH? (BAGIAN 8)
“Tam,” panggil Nadine dari tempatnya, aku sedikit terperanjat saat gadis itu menghampiriku, entah mengapa seharian ini aku benar-benar tidak dapat fokus dengan semua hal yang terjadi, “iya Nad,” jawabku sekenanya.
“Dino bener-bener parah deh Tam,” ujar Nadine dengan wajah yang cemas, “asli dia bahkan ngomong sama guru-guru begitu,” ujar Nadine lalu ia duduk di sebelahku, aku tersenyum kepadanya, “biarin aja, kita liat sejauh apa dia mau fitnah aku, semenjak dia fitnah aku hamilin Aerish,” ujarku dengan pasti.
“Oh ya, aku pulang dulu ya Tam,” ujar Nadine pelan, “sampe ketemu besok,” ujarnya dan dengan sekejap ia mengecup lembut bibirku, hal itu jelas disaksikan oleh Kiara yang saat itu tengah memandang kami, ia benar-benar terkejut, sejurus kemudian Nadine meninggalkan kami.
“Ka Tama gak salah?” tanya gadis itu mendekat kepadaku dengan wajah yang sangat keheranan, sementara kudengar deru mesin mobil Nadine, dan suaranya menghilang perlahan.
“Apa yang salah?” ujarku tersenyum kepada gadis itu, “ka Tama kan pacarnya Lia, kok ya ciuman sama ka Nadine?” tanyanya heran, “huh, bukan urusan loe,” ujarku skeptis, ia hanya memandangku dengan wajah yang benar-benar tidak percaya.
“Loe mau khianatin Lia kak?” tanyanya kepadaku, aku menggeleng pelan, “sama sekali enggak,” ujarku pelan, “loe gak akan pernah ngerti kenapa bisa gini,” ujarku dan memandang gadis itu.
“Eh?” gadis itu memandangku dengan wajah yang merah, “udah gak usah dipikirin,” ujarku lalu beranjak dari kursiku, “kak tunggu,” ujarnya dan menahan tanganku, “kenapa sih?” tanyaku ketus, “maaf tapi gue penasaran,” ujarnya dengan wajah yang benar-benar ingin tahu.
“Pengen tahu apa emangnya loe?” tanyaku ketus, “kakak pernah ngapain aja sama Lia?” tanyanya dengan wajah yang memerah, “maksud loe?” tanyaku ketus, “iya kakak pernah apain aja Lia sampe diduain mau aja?” tanya gadis itu memberondongku dengan pertanyaan yang menurutku terlalu pribadi.
Aku hanya terdiam tidak melihat ke arah gadis itu sama sekali, ia lalu berpamitan kepadaku, entah apa yang ia pikirkan saat ini, tetapi aku tidak peduli. Rasa kesedihanku atas kepergian Cauthelia benar-benar membuatku sedih dan tidak dapat melakukan apapun. Sejurus aku menuju ke kamar dan mengambil ponselku, dan aku meneleponnya.
Ada kebahagiaan yang tersirat dalam setiap kata-kataku di telepon, ya aku sangat bahagia mendengar suaranya lagi setelah seharian aku tidak mendengar suaranya. Aku meneleponnya hingga tengah malam, ia menceritakan apa yang terjadi di sepanjang perjalanan, dan yang paling aku ingat adalah, ia memberitahukanku alamat dimana tempat ia tinggal di Semarang. Hal itu sedikit menumbuhkan semangatku untuk esok hari.
Hari pertama tanpa Cauthelia, ya setelah mandi aku sarapan sendiri, karena kedua orang tuaku masih belum kunjung pulang dari pekerjaan mereka. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dan sesampainya di sekolah aku langsung duduk di kelas, mengenang semuanya yang terjadi. Sejurus Nadine pun datang dengan senyuman yang sangat khas, jujur, aku memang benar-benar mencintai gadis ini saat ini.
Hari ini biasa saja, belajar, mengikuti semua kegiatan yang diberikan oleh guru dengan arus full DC, ya, datar tanpa ada perubahan yang berarti. Sesekali Nadine mencoba menghiburku, tetapi terkadang hal tersebut menjadi kurang nyaman karena Aerish selalu membatasi apa-apa yang kami lakukan.
Sepulang sekolah, aku pun hanya pulang begitu saja tanpa ada hal yang menarik, hanya saja fitnah dari Dino benar-benar mujarab, seisi sekolah mulai mencibirku, memandangku dengan skeptis, mungkin sampah lebih baik daripadaku. Tetapi, apa peduliku, selama itu bukanlah hal yang benar-benar kulakukan, kupikir tidak ada salahnya aku diam, ya diam lebih baik dari seribu kata tanpa arti.
Malam hari, aku menelepon Cauthelia, ia lalu memintaku untuk mengaktifkan Yahoo! Messenger, dan aku menurutinya. Ia memberikanku beberapa foto baru mengenai sekolahnya dan juga fotonya dalam pose yang menggoda. Awalnya aku hanya menghela nafas, tetapi akhirnya aku terpancing dengan ajakannya. Aku mengomentari semua pose dalam fotonya dengan kata-kata yang kubilang cukup nakal, tetapi gadis itu terdengar senang.
Akhirnya aku tertidur, ya dengan playlist video panas yang kuterima dari dirinya dan juga video kegilaan kami. Aneh memang, tetapi aku benar-benar merindukan desahan manja gadis itu, desahan yang membuatku tertidur dengan lelap, dan setidaknya bisa meringankan rindu dan pilu yang masih sangat berat ini.
Esok pagi aku terbangun, rutinitas a la Full Wave DC kembali kulakukan. Tidak ada hal yang menarik, hanya seperti itu saja. Semuanya kuulangi dari hari ini hingga hari Jumat. Aku pun tidak pernah keluar kelas pada saat jam istirahat, aku hanya duduk di kursiku sementara aku makan siang dari bekal yang selalu dibawakan Nadine, meskipun kami sudah terpisah kini, ya semenjak Aerish mengetahui kedekatan kami, ia mengganti posisi duduknya di sebelahku, sementara Nadine terpaut cukup jauh.
Jumat ini, sepulang sekolah hal yang tidak biasa dilakukan oleh Aerish, biasanya ia bersikap ketus kepadaku, kini mulai melunak. Entah apa yang ada di pikirannya, saat aku belum mau beranjak dari kursiku, ia pun menungguku, hingga Nadine sudah keluar dari kelas dan melambaikan tangannya kepadaku, Aerish masih saja duduk di sebelahku, aku tersenyum kepadanya sesekali. Entah mengapa gadis ini tiba-tiba menungguku?
Sejak kepergian Cauthelia, gadis itu selalu pulang terlebih dahulu dengan sikapnya yang ketus, mirip dengan Nadine dulu, tetapi kini tiba-tiba ia merubah sikapnya kepadaku dengan alasan yang aku tidak mengerti. Ia tersenyum manis kepadaku, seperti dulu, tetapi hatiku tidak pernah dapat mengerti dan tidak bisa menjangkau semua yang ia lakukan. Apakah kebaikan ini hanyalah seperti Magnesium dalam UOA, apakah itu sebagai additives pack atau sebagai particulate dari antifreeze coolant yang bocor, entahlah, hanya itu jawaban dari hatiku.
“Tam,” panggil gadis itu pelan, “yup,” jawabku singkat, “tumben kamu belom pulang?” tanyaku penasaran, ia hanya tersenyum lalu terdiam.
“Cuma aku mau minta maaf,” ujarnya lalu menjulurkan tangannya, “eh?” tanyaku heran, aku pun menjabat tanganya, “maafin aku ya Tam,” ujarnya pelan, ia tertunduk, ia benar-benar merasa bersalah, aku tersenyum, “udah kok, santai aja, aku juga gak mikirin sama sekali,” ujarku dan ia pun berusaha tersenyum kepadaku.
“Aku tahu, aku jealous, aku juga harusnya paham perasaan kamu,” ujarnya pelan, “gak apa-apa kok,” ujarku sambil tersenyum, “aku justru yang harus minta maaf, soalnya aku yang menyatakan perasaan ke kamu, tapi aku malah cuek,” ujarku pelan, “tapi ya cinta emang gak bisa bohong sih,” ujarku dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
“Maksud kamu?” tanyanya dengan sedikit bingung, “ya karena cinta gak bisa bohong, kamu ngerti kan maksud aku?” tanyaku kepada gadis yang saat itu memandangku dengan nanar.
“Kamu cinta ya, sama Lia ato Nadine?” tanya gadis itu, “keduanya,” ujarku pelan tapi singkat, “eh?” gadis itu memandangku dengan wajah yang sangat pucat.
“Tapi kamu tenang aja,” ujarku pelan, “aku mau belajar untuk mencintai kamu, apapun itu,” ujarku pelan, “gak mungkin kan aku mutusin kamu untuk sama-sama Nadine?” tanyaku pelan, ia hanya memandangku tidak percaya.
“Aku akan pertahanin kamu, sesakit apapun hati ini karena kamu,” ujar Aerish lalu air matanya mengalir perlahan, tetapi hatiku sama sekali tidak tergerak untuk menyeka air matanya yang mengalir.
“Yakin dengan ucapan kamu Rish?” tanyaku dengan menghela nafas pendek, gadis itu mengangguk pasti, “kamu juga dulu pasti sakit kan aku khianati?” tanyanya pelan, “emang khianatin gimana?” tanyaku pelan, “Dika,” ujarnya singkat, “dulu aku sayang sama kamu, dulu aku cinta sama kamu, tapi aku malah jadian sama Dika,” ujarnya dan memandangku dengan wajah yang merah.
“Kenapa gak bilang pas aku tembak dulu?” tanyaku pelan, ia terdiam cukup lama, “soalnya aku,” ujarnya terbata, “soalnya aku malu pacaran sama kamu,” ujarnya pelan.
“Karena aku gak sekaya Dika?” tanyaku pelan, gadis itu hanya terdiam, “Rish?” panggilku sambil memandang dalam-dalam matanya, ia mengangguk pelan, “tapi bukan berarti aku matre yah,” ujarny pelan.
“Aku ngerti, masalah prestige kan?” ujarku dan tersenyum, “gak apa-apa, udah lewat juga kan,” ujarku lalu mulai beranjak dari kursiku, “sekarang ayo kita pulang,” ujarku lalu menjulurkan tanganku kepadanya, ia hanya memandangku dengan wajah yang memerah dan seketika pula ia meraih tanganku dengan pelan.
Kami tidak langsung pulang ke rumah, ia memintaku untuk jalan-jalan terlebih dahulu, dan aku menyanggupinya. Ia mengajakku ke sebuah café di dekat rumahnya, di sana suasana memang sudah lebih hangat dari sebelumnya. Bahkan sepanjang perjalanan ia memeluk aku saat dibonceng, sepertinya ada yang berbeda dengan gadis ini, gumamku dalam hati, tetapi aku tidak memikirkan hal itu.
Ia memesankan makanan yang kusuka, ya Pasta, entah mengapa semenjak Bundaku sering memasakkanku Pasta, aku sangat gemar dengan pasta. Biarlah aku dibilang norak, yang penting rasanya enak, setidaknya itu yang selalu kukatakan di dalam hati. Dua puluh lima menit kemudian, pesanan kami pun tiba, suasana yang tadinya menghangat seketika menjadi dingin.
“Tam,” ujarnya pelan, entah tetapi nadanya berbeda dari biasanya, “boleh enggak aku jujur sama Tama?” tanyanya dengan nada yang sedikit berat, aku sedikit bingung dibuatnya, “eh kenapa emangnya?” tanyaku sedikit penasaran.
“Soal hubungan aku sama Dika,” ujarnya lalu seketika ia terdiam, “kenapa dengan Dika?” tanyaku mulai penasaran.
“Maaf, pacaranku sama Dika udah jauh Tam,” ujarnya pelan, ia tertunduk, entah mengapa tidak ada perasaan cemburu atau apapun saat aku mendengar kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu, “jauh gimana?” tanyaku masih penasaran.
“He kiss me, then he touch me,” ujarnya pelan, seperti berbisik, tetapi dengan nada yang penuh penyesalan, lalu ia tertunduk dan kulihat ia sedikit terisak.
“Kalo dulu kamu mau kenapa sekarang kamu sedih?” tanyaku pelan, ia menggeleng, “aku kebawa suasana Tam,” ujarnya dengan nada yang sangat menyesal, beruntung suasana café dengan musik fusion itu sepi sehingga tidak ada yang mendengar obrolan kami.
“Yaudah, enggak usah di sesali,” ujarku pelan, “jadilah ini rahasia kita,” ujarku pelan, “so do I Rish,” ujarku dan tersenyum kepada gadis itu, ia lalu memandangku dengan lesu.
“Ke Lia ato ke Nadine?” tanya gadis itu dengan nada sedikit terisak, “keduanya,” ujarku dan tersenyum, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan kukatakan, wajahnya menjadi pucat dan ia menghela nafas panjang.
“Terus kamu hamilin Lia?” tanya gadis itu dengan tidak percaya, aku menggeleng, “I just kiss them, and touch them, I never been inside the blackhole, I just in the event horizon,” ujarku panjang, ia hanya mendengarkanku dengan air mata yang menetes perlahan di pipinya.
“Maafin aku Rish, aku juga harus jujur ke kamu,” ujarku pelan, ia hanya mengangguk, “sama Tam, kita jadi satu sama yah,” ujarnya dan mencoba untuk tersenyum, setidaknya kami sudah impas, ujarku.
“Tam, mau baca diary aku tentang kamu gak?” ujar gadis itu menawarkan diri, lalu ia mengeluarkan diary berwarna biru tasnya.
Deg, seketika aku teringat diary Cauthelia yang sejak saat ia serahkan kepadaku belum sempat aku membacanya. Entah mengapa aku bisa lupa, tetapi setidaknya dengan diary dari Aerish aku mengingat bahwa Cauthelia pernah berpesan padaku untuk membuka diarynya. Nanti malam, ya sambil kami melakukan photo sharing via Yahoo! Messenger sehingga bisa lebih seru.
Comments (0)