MASA TERBERAT HARUS DILALUI, BISAKAH? (BAGIAN 7)
“Nad,” panggilku pelan, gadis itu menoleh kepadaku dengan tatapan yang sangat menyejukkan hati, “iya sayang,” ujarnya lalu menggenggam tanganku.
“Aku sebenernya bodoh enggak kalo sayang juga sama Nadine?” tanyaku pelan, “apalagi tadi aku malah ngebayangin yang enggak-enggak sama Elya,” ujarku pelan, “maaf sebelumnya aku tanya begitu,” ujarku merasa bersalah.
“Buat aku, Tama itu udah jadi pemimpin buat Nadine,” ujarnya pelan, ia lalu memandangku, “adakah alasan Nadine untuk enggak cinta sama Tama?” tanyanya pelan, ia lalu tersenyum.
“Karena Elya,” ujarku pelan, “bahkan kamu bantuin aku, padahal aku bayangin Elya,” ujarku pelan, sungguh aku sudah tidak kuasa memandang wajah gadis itu karena sangat malu.
“I can do better,” ujarnya pelan, “pardon me?” tanyaku tidak percaya, “just give me a chance, and I learn to do it better than Elya,” ujarnya dan menggenggam tanganku.
“And you do better,” ujarku pelan, aku masih enggan memandang wajah cantiknya yang saat itu tengah memperhatikanku, “kenapa aku lebih baik?” tanyanya penasaran, “karena Nadine bisa lakuin itu, hanya untuk menghibur aku kan?” tanyaku dan menghela nafas, aku pun menyesal sendiri.
“Bukan,” ujar Nadine ia menggeleng pasti, “bedain antara menghibur sama enggak pengen ngeliat Tama sedih,” ujarnya dan menyandarkan kepalanya di pundakku, “sifatnya continuous Tam,” ujar Nadine “kalau menghibur kan hanya sesaat,” ujarnya dengan segala filosofi yang ia miliki.
“Terlebih Tama tahu, Nadine udah enggak punya sosok dimana Nadine harus bertumpu, Papa Nadine entah harus bilang apa, sementara kakak Nadine Tama tahu sendiri,” ujarnya sedih, “sejak awal ketemu Tama, dan Tama care banget ama Nadine, disitulah Nadine yakin,” ujarnya pelan, aku terdiam mendengar kata-kata gadis tersebut.
“Aku ngerti,” ujarku pelan, “tapi bukan dengan cara begitu juga kan Nad,” ujarku pelan, ia menggeleng, “aku akan melakukan apapun buat Tama, biar Tama bahagia,” ujar Nadine dengan segala filosofinya.
Aku mendekap gadis itu dengan segenap perasaan cinta dan sayangku kepadanya. Ya, jawabannya benar-benar membuatku tersentuh dan semakin membuatku merasa bahwa ia benar-benar sudah ada di dalam hidupku. Aku mendekapnya dengan sangat lama, hingga terdengar suara bel di depan rumahku, siapa? Tanyaku dalam hati.
Kami saling berpandangan, pikiranku sudah kemana-mana, yang kupikirkan saat ini adalah Cauthelia tidak jadi pindah ke Semarang dan ia tiba-tiba muncul di depan pintu rumahku. Aku membuka pintu rumahku, dan saat itu yang kulihat adalah Kiara Natasha yang datang ke rumahku masih dengan seragam sekolahnya.
Ia langsung masuk ke dalam rumahku dimana Nadine saat itu hanya mengenakan tank top dan juga celana yang benar-benar pendek. Kiara agak terkejut melihat penampilan Nadine saat itu, dengan wajah yang tidak percaya ia memandang aku dan Nadine secara bergantian.
“Maaf Ka Tama, Ka Nadine,” ujar gadis itu lalu menutup pintuku dengan cepat, “aku ganggu kalian yah?” tanya gadis itu dengan pandangan yang agak bingung, kami menggeleng, “kenapa emangnya sih?” tanyaku agak skeptis.
“Ka Dino bikin fitnah ke Ka Tama,” ujarnya dengan wajah yang serius, “emangnya Dino fitnah apaan Ra?” tanya Nadine dengan serius, “Ka Dino bilang kalo Lia keluar dari sekolah gara-gara hamil sama Ka Tama,” ujarnya dengan nada yang serius.
“Serius loe, Dino ngomong begitu?” tanyaku tidak percaya, gadis itu mengangguk, aku lalu menghela nafas panjang.
Aku lalu duduk di kursi sambil berpikir, entah apa yang terjadi dengan Dino, sampai separah itu ia ingin menjatuhkanku. Nadine dan Kiara saling berbincang tentang apa yang terjadi di sekolah, aku mendengarkan mereka dari kejauhan, haduh masalah apa lagi yang harus kuhadapi sekarang.
Juli 2006, aku terlelap sesaat dan bangun lagi, saat itu aku sudah berselimut, siapa yang menyelimutiku, ujarku dalam hati. Tidak lama kemudian, masuklah Nadine ke dalam ruang UKS. Aku juga baru menyadari bahwa gadis itu sudah tidak berada di ranjang itu.
“Nad, cewek tadi udah pergi?” tanyaku lalu aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku, Nadine mengangguk, “udah sekitaran sepuluh menit,” ujarnya.
“Anyway thanks yah udah kasih selimut buat gue,” ujarku dan tersenyum kepada gadis itu, aku tahu bagaimana ia dulu menjagaku, sehingga aku tahu juga bahwa pasti ia yang menyelimutiku tadi.
“Enggak kok Tam,” ujarnya dengan wajah keheranan, “loh?” tanyaku juga heran, ternyata aku salah, bukan Nadine yang memberikanku selimut tadi.
“Berarti Lia,” ujarnya dan tersenyum kepadaku, “kok bisa?” tanyaku keheranan, “jadi secara gitu, loe udah nyelametin dia, masa iya dia ga say thanks gitu, biarpun cuma nyelimutin loe?” ujar Nadine dan mendekatiku.
“Diselimutin cewek?” tanyaku sambil memandang gadis itu, “mau dong diselimutin Nadine,” ujarku menggoda gadis itu, “Tama neh mesum deh,” ujar gadis itu manja dan mencubit ringan lenganku.
Aku tertawa setelah ia melakukan itu, dan tidak lama berselang, aku memutuskan untuk keluar dari ruang UKS, lalu aku berniat untuk pulang. Bajuku sudah basah kuyub, dan aku tidak ingin sakit karena tidak mengganti pakaianku. Ku bergegas menuju ke tempat parkir dan segera menuju motor yang dipinjamkan oleh Ayahku.
Selintas aku melihat gadis itu sedang memperhatikanku, gadis yang baru saja kuselamatkan. Ia melambaikan tangannya, mengambang memang, tetapi aku tahu ia melambaikan tangannya kepadaku. Aku memandangnya dan kulambaikan tanganku juga kepadanya, ya siapapun engkau, terima kasih, gumamku singkat.
Aku terhenti dari lamunanku tentang gadis yang kucintai itu, ya Cauthelia Nandya, gadis yang sudah mengubah segalanya dalam hidupku. Lagi-lagi aku teringat dengan semua yang telah terjadi kepadaku dan juga Cauthelia, saat kupejamkan mata kuingat semuanya, pelukannya, dekapannya, ciumannya, dan semua yang telah ia lakukan untuk memanjakanku.
Dia harus kunikahi, ujarku dalam hati, aku harus memiliki gadis itu sepenuhnya. Ia bisa membahagiakanku dengan banyak cara, dan aku benar-benar merasa sangat beruntung. Tetapi saat kupandang Nadine, aku juga teringat, bagaimana ia selalu berusaha menjaga perasaanku, dan gadis itu juga bisa memanjakanku dengan segenap hatinya.
Aku terdiam, saat kutersadar, aku hanyalah manusia lemah tanpa cinta dari mereka, aku bukanlah seseorang yang kuat dan hebat saat menyadari bahwa orang yang kucintai sudah pergi dari hadapku. Hangat cinta Cauthelia memang masih terasa, hanya saja Sol-ku sudah pergi, dan hanya tinggal Betelgeuse yang mendekat.
Aku terdiam, saat kurasakan kehangatan cinta Nadine, saat kami melakukan kegilaan pagi ini, aku sadar bahwa tidak harus aku bersedih karena aku masih memiliki gadis yang selalu ada di dekatku, dan ia selalu mencintaiku dengan segala cara yang ia miliki. Ia sama seperti Elya, ujarku dalam hati, hanya saja ia memiliki cara yang berbeda untuk menyatakannya.
Aku terdiam, saat kusesali semua kebodohanku sudah mencintai Aerish yang ternyata tidak pernah sepenuh hati untuk mencintaiku, betapa naif dan piciknya diriku mengakui bahwa aku mencintai Aerish saat itu. Mengapa Cauthelia tidak datang sejak dulu atau mengapa Nadine tidak pernah menyatakan cintanya kepadaku sejak dahulu. Ini tidak seharusnya terjadi kini, seharusnya aku bahagia, bukan tersedih.
Aku terdiam, saat air mata jatuh perlahan di pipiku, ya aku menangis, menangisi kepergia Cauthelia yang entah untuk berapa lama. Perasaanku kepada gadis itu sudah sangat dalam, dan aku yakin semakin bertambah dalam seiring bertambahnya hari kemarin. Tangisanku makin menjadi saat kuingat semua kata cinta yang telah ia katakan kepadaku.
Aku terdiam, saat aku masih bisa merasakan kehangatan dan juga aroma tubuh gadis yang sudah menyita hati dan pikiranku selama sepekan ini. Kegilaan demi kegilaan kami lakukan bersama, menembus semua batas norma dan juga kesopanan yang telah kami junjung tinggi, semua karena cinta dan nafsu yang sudah berdinamika sedemikian rumit diantara kami.
Aku terdiam, mengenang sembilan hari terindah yang sudah kami lewati, ya air mataku menetes semakin deras saat detik demi detik kuingat betapa ia sangat kurindukan. Aku sangat mencintaimu Elya, ujarku pelan, mungkin suaraku terdengar oleh kedua gadis itu, hingga mereka saling memandangku satu sama lainnya.
Comments (0)