MASA TERBERAT HARUS DILALUI, BISAKAH? (BAGIAN 5)
Ia lalu memandangku dengan tatapan penuh hasrat, berbeda dengan Nadine yang kukenal. Berbicara transmisi, ini benar-benar sudah masuk transfail, ujarku dalam hati. Aku harus menemukan titik pengereman yang tepat, tetapi berbagai cara kucoba tetap tidak bisa. Benar-benar seperti membawa truk bermuatan besar, dimana sulit mengerem dalam waktu dekat.
“Nad,” panggilku di telinganya, “udah Tam, terusin,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitikku, “hei hei, tenang sayang,” panggilku kepadanya.
“Mana mungkin aku bisa tenang Tam,” ujar gadis itu dengan nafas yang menderu, “kalo Elya bisa kenapa aku enggak?” ujarnya lalu ia melenguh entah mengapa.
“Nad,” panggilku pelan, tetapi ia tidak menghiraukanku sama sekali, entah apa yang ia nikmati dari gerakan tanganku saat ini, “terusin Tam,” ujarnya sambil memandangku dengan wajah yang penuh hasrat.
“Nad,” panggilku pelan, sekali lagi, ia hanya memandangku tanpa berkata, hanya mulutnya yang sedikit terbuka dan matanya yang sayu yang mengatakan segala yang ia rasakan.
“Nadine sayang Tama, Nadine cinta Tama,” ujarnya lalu ia meraih leherku, “lakuin ke aku, apa yang udah kamu lakuin ke Elya,” pinta gadis itu dengan wajah yang penuh hasrat.
“Aku enggak bisa Nad,” ujarku, menggeleng pelan, “aku udah dimiliki Elya,” ujarku berusaha menahan gadis itu, “Tama milik kita berdua, dan Tama memiliki kita berdua,” ujarnya dengan nafas yang menderu.
Deg, jantungku berdetak sangat cepat saat ia mengatakan hal itu, entah mengapa, tetapi perasaanku mengatakan hal yang sebaliknya, ya aku adalah lelaki setia kepada Cauthelia. Pagi itu hujan turun dengan derasnya, sungguh menambah syahdu suasana pagi ini. Aku hanya mengikuti kemauan gadis itu, ia menarikku dan menjatuhkanku di ranjang yang masih kental dengan harum tubuh Cauthelia, dan seketika hasratku memuncak saat menciumnya.
Hujan, ya hujan, mengingatkanku tentang semua yang telah terjadi kepadaku bersama Cauthelia, semuanya berawal dari hujan, dan hari ini saat aku kehilangannya, hujan kembali turun. Nadine, ya gadis ini masih mencumbuku dengan liarnya, entah gear berapa yang ia pakai saat ini, tetapi aku belum pernah melihat gadis ini begitu berhasrat sebelumnya.
Juli 2006, aku lega melihat gadis itu sudah bernafas, aku berdiri sekitar 3 meter dari ranjang tempat ia berbaring, sesekali ia melirik ke arahku, tetapi aku acuh seperti biasanya. Aku berjalan menghampiri Nadine yang saat itu juga merasa lega karena gadis itu sudah siuman. Syukurlah, semuanya baik-baik saja, tetapi riuh suara panitia MOS diluar tidak bisa menyembunyikan keramaian yang menyebabkan salah seorang guru datang dan merangsek masuk ke UKS.
“Ada apa ini?” tanya guru itu dengan nada emosi, “ada murid baru pingsan Pak,” jawabku ringan, “karena MOS?” tanya guru itu lagi berusaha menginvestigasiku, aku menggeleng pelan, “bukan Pak, murid itu punya asma, dia jatoh pas jalan dari kamar mandi ke kelas,” ujarku tetap tenang, aku berusaha membela Nadine.
“Loh, emang jatoh dimana kok bisa basah kuyup?” tanya guru itu mulai mempertanyakan alibiku, sejurus aku memandang guru itu dengan pasti, “di lapangan belakang Pak,” ujarku, dan alibiku seharusnya kuat karena memang ada kamar mandi siswi di seberang kelas dimana gadis itu berada.
“Okay, terus kenapa kamu juga bajunya basah?” tanya guru itu dengan penasaran, “saya yang angkat dia kesini, terus saya cari Albuterol tadi,” ujarku dan tersenyum, guru itu mengangguk, lalu baru kutersadar bahwa pintu UKS terbuka dan ruangan luar UKS sudah penuh dengan siswa yang ingin tahu kejadian apa yang terjadi.
“Kamu yang tanggung jawab ya Tam,” ujar guru itu lalu menepuk pundakku pelan, aku mengangguk, “saya ambil tanggung jawab penuh Pak,” ujarku pasti.
Sejurus kemudian, guru tersebut keluar dari ruang UKS dan menutup pintu UKS dengan perlahan, aku memandang Nadine dan tersenyum kepadanya. Ia membalas senyumku, bersama dengan gadis itu ia tersenyum juga kepadaku, dan seperti biasa aku acuh dengan hal tersebut.
Nadine memutuskan untuk keluar dari UKS, sementara aku berbaring di ranjang yang ada di seberang ranjang gadis itu, ya tubuhku basah kuyub, sebenarnya aku tidak betah, tetapi malas rasanya untuk pulang ke rumah dalam keadaan hujan deras seperti saat ini. Kami hanya terdiam satu sama lainnya, bahkan yang kulakukan adalah hanya menikmati suara hujan yang turun diiringi sesekali suara gemuruh guntur yang saling bersahutan.
“Kak,” panggil gadis itu kepadaku, aku hanya sedikit meliriknya, “ya,” jawabku ringan, “makasih yah buat selametin aku,” ujarnya masih dengan parau, aku menghela nafas pendek, “sama-sama,” ujarku singkat.
“Kenapa kakak selametin aku?” tanya gadis itu pelan, aku lalu menoleh ke arahnya, “pas gue lewat, pas gue liat loe lari gontai, makanya gue perhatiin loe,” ujarku lalu mengalihkan pandanganku lagi.
“Salam kenal yah Kak Faristama Aldrich,” ujarnya menyebut namaku dengan lengkap, “loh loe tahu darimana nama gue?” tanyaku keheranan sementara gadis itu hanya tersenyum kepadaku.
Aku lalu kembali memperhatikan langit-langit sambil mendengarkan suara hujan yang benar-benar membuat jiwaku tenteram. Aku tidak peduli dengan gadis itu, bahkan aku tidak ingin tahu siapa nama gadis itu. Lalu kupejamkan mata ini karena hari ini benar-benar menguras tenagaku.
Januari 2005, malam tiba dengan cepat, Nadine masih setia di sebelahku, berulang kali ia memeriksa laju percepatan cairan infus yang masuk ke tubuhku. Entah apa yang membawanya sehingga ia begitu memperhatikanku, tetapi ia benar-benar melakukan itu dengan sangat penuh perhatian, padahal kadang aku sangat acuh kepadanya. Bahkan terakhir ia masih menyuapiku makan malam, ia sangat perhatian kepadaku.
Saat ini, ia sedang mempelajari materi Kimia yang akan diujikan besok, aku mengakui, ia sangat cantik apabila sedang serius seperti saat ini. Dengan cekatan ia memainkan pensilnya, menulis berbagai macam rumus yang sudah dipelajari di sekolah, sesekali ia membenahi kacamata full frame yang selalu ia kenakan. Sejurus, ia memandangku lalu tersenyum dan menutup buku pelajaran yang ia pelajari barusan.
“Kenapa sih loe ngeliatin gue?” tanyanya meledekku, aku hanya tersenyum saat ia menanyakan hal itu, “cuma kagum sama loe,” ujarku pelan, “makasih udah jagain gue,” ujarku lalu mengusap kepalanya yang saat ini ada di jangkauanku.
“Et dah, ya gak usah pake belai-belai juga kali,” ujarnya protes, tetapi ia tidak mengalihkan kepalanya dari jangkauan tanganku, “buat cewek baik macem loe, kayaknya belaian begini pantes Nad,” ujarku lalu tertawa kecil.
“Makasih yah Tam,” ujarnya pelan, “udah lama bgt gak ada yang belai gue,” ujarnya lalu memandangku dengan wajah yang merah, “nyokap?” tanyaku penasaran, ia menggeleng.
“Semenjak sering berantem sama Kakak gue, semuanya berantakan Tam,” ujarnya dengan wajah yang sedih, “bahkan gue aja gak bisa belajar soalnya mereka pada teriak-teriak macem di hutan,” ia berusaha tersenyum, tetapi aku tahu bahwa ia sedang bersedih saat ini.
“Enggak usah dipikir Nad,” ujarku pelan, “loe dateng kesini aja udah sesuatu banget buat gue,” ujarku, ia hanya menatapku tanpa berkata satu patah pun, “meskipun gue ngarepin Aerish,” ujarku lalu ia tersenyum.
“Udah dari waktu itu kan loe demen sama Aerish?” tanyanya pasti, aku mengangguk, “kasian gue bukanlah orang yang diharapkan, huhuhuhu,” ujarnya lalu meledekku dengan pura-pura menangis.
“Enggak juga kok Nad,” ujarku dan tersenyum, “loe sahabat terbaik gue, dan gue nyaman berada di deket loe,” ujarku, sejurus kemudian wajahnya benar-benar merah.
Lelaki macam apa aku ini, ujarku di dalam hati saat Nadine sudah menguasaiku, bahkan aku tidak dapat berkutik dengan apa yang gadis ini lakukan. Baiklah Tama, lakukan apa yang seharusnya kau lakukan, otakku mulai memerintahkan otot dan juga tubuhku untuk bergerak menjauhi ini semua. Ini masih jauh dibandingkan Cauthelia, tentunya dengan absennya wangi khas yang biasa membuatku terlena.
“Kenapa sayang?” tanya Nadine saat kutahan kedua pundak gadis itu, aku menggeleng pelan, “enggak kenapa-kenapa Nad,” ujarku pelan, “cuma aku gak ngarepin ini terjadi,” ujarku seraya ingin membuatnya mengerti.
“Tama enggak sayang yah sama Nadine?” tanyanya dengan wajah yang menampakkan kesedihan, “eh enggak gitu kok Nad,” ujarku pelan, “tapi cinta dan sayang enggak seharusnya berakhir begini,” ujarku lagi.
“Jadi kalo udah nikah, tetep enggak boleh yah?” tanya gadis itu, ya headshot, “bukan sayang,” sahutku pelan, “pernikahan itu kan lisensinya, kalo belom ada lisensi kita enggak boleh begini,” ujarku dan memberikannya pengertian.
“Kenapa sama Elya mau?” tanyanya, kini aku terdiam, “kalo emang Tama juga sayang sama Nadine, lakuin apa yang udah Tama lakuin ke Elya,” ujarnya pelan, “buat apa?” tanyaku pelan, aku lalu menghela nafas panjang.
“Buat buktiin kepada aku, kalo Tama juga milik aku, dan aku milikin Tama,” ujarnya mulai posesif, “aku milik Elya,” ujarku menimpali, “Tama milik kita,” ujarnya lagi.
“Tapi Nad, enggak sekarang yah,” ujarku pelan, “kalo enggak sekarang, nanti Tama keburu stres ditinggal Elya,” ujarnya dengan wajah yang sedih, “please ngertiin Nadine yang enggak mau ngeliat Tama sedih lagi kayak dulu,” ujarnya lalu mendekapku dengan sangat hangat, entah apa yang ia pikirkan.
“Tapi aku juga gak mau jadiin kamu pelarianku, entah karena cinta atau nafsu,” ujarku pelan, “enggak Tama enggak kayak gitu,” ujarnya di telingaku agak tinggi, “karena Tama juga sayang sama Nadine,” ujarnya meyakinkanku.
“Ya, aku sayang dan cinta sama Nadine,” ujarku pasti, dengan pelan di telinganya, “then do it,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitik.
Comments (0)