Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

MASA TERBERAT HARUS DILALUI, BISAKAH? (BAGIAN 2)


    “Sayang, bangun udah pagi,” ujarku di telinganya.

    “Enggak mau ah Kak,” ujarnya pelan, “nikahin Dede Kak,” ujarnya pelan di telingaku.

     “Udah bangun sayang,” ujarku pelan lalu mengusap rambutnya.

     Ia lalu malah melemaskan tubuhnya lagi, masih di atas tubuhku, “sekali lagi Kak, baru mandi,” pintanya dengan berhasrat.

     Satu jam lagi, setelah kami berdua mandi, ya kami berdua bersama, aku lalu memindahkan semua file yang ada di dalam MMC 2 GB ke dalam Notebook pribadiku. Video kami, foto Cauthelia dengan segala pose telah kusimpan rapi, sehingga ada total 4 GB file pribadi miliki kami di hari terakhir kebersamaan kami.

     Ia sudah siap dengan pakaiannya lalu ia mengajakku turun ke bawah untuk mempersiapkan sarapan. Tidak rumit, hanya roti lapis berisi selai cokelat dan juga keju. Kami memakan sarapan itu dengan perasaan yang campur aduk, ya dengan perasaan bahagia, sedih, dan banyak lagi saat itu.

     Ini sudah pukul 06.40, bahkan aku belum berangkat ke sekolah, dan aku pun memang tidak mengenakan seragam sekolah. Malas rasanya melangkahkan kakiku menuju sekolah hari ini, yang aku inginkan adalah sehari lagi bersama Cauthelia. Saat aku sedang tenggelam di perasaanku kepadanya, seseorang datang ke rumah ayahku. Detak jantungku berdetak sangat kencang, “apa mungkin kedua orangtuaku sudah pulang?” Pikirku dalam hati.

     Dengan langkah yang sedikit gemetar aku menuju ke pintu depan, aku sudah siap dengan semua konsekuensinya, ujarku dalam hati. Apabila mereka ingin menikahkanku dengan Cauthelia, akupun akan menerima keputusan itu dengan sangat senang hati, karena memang itu yang kuharapkan.

     Kuhela napas panjang saat aku membuka daun pintu ini.

     “Nadine,” ujarku dalam hati tidak percaya, ia datang ke rumahku pagi ini dengan tidak mengenakan pakaian sekolah. Apa maksudnya, tanyaku dalam hati, ia lalu masuk ke dalam rumahku dengan tersenyum.

     “Tam, aku udah bikin surat dokter buat kita berdua,” ujar gadis itu, “pasti pengen kan anterin Elya?” tanyanya dengan nada yang juga sedih.

     Aku mengangguk pelan, “jadi kita ke rumahnya ya sekarang,” ujarku.

     Tidak lama Cauthelia datang dari dapur, “Kak Nadine,” panggil gadis itu kepada Nadine.

     “Elya, kamu disini?” tanyanya dengan sangat terkejut.

     “Dari pulang sekolah Kak, aku langsung kesini,” ujarnya pelan.

     “kamu udah?” tanya Nadine, ia hanya mengisyaratkan dengan gerakan tubuhnya.

     Cauthelia hanya mengangguk pelan sambil tersenyum, “aku seneng, bahagia, enak, pokoknya semua jadi satu Kak,” ujar gadis itu pelan, ia tertunduk.

     “Setidaknya ada hal telah kamu tinggalin Tam,” ujar Nadine lalu tersenyum ke arahku yang hanya terdiam memandang kedua gadis itu, “aku pun akan ngelakuin hal yang sama kayak Elya kalo aku mau pergi,” ujar Nadine dengan wajah yang sangat merah.

     “Kakak mungkin bingung apa alasannya,” ujar Cauthelia dengan pelan, wajahnya sangat merah, “setidaknya ada laki-laki terbaik, terindah yang selalu buat Dede bahagia, tinggalkan kesan terakhir kalo misalnya kita gak akan ketemu lagi,” ujarnya pelan.

     “Laki-laki itu adalah Kakak, Faristama Aldrich, laki-laki yang amat sangat Dede cinta,” ujarnya dengan wajah yang memerah dan tersenyum memandangku.

     “Tapi kan bukan dengan kegilaan semalem sayang?” ujarku pelan.

     “Sekarang atau besok, sama aja kan Kak?” tanyanya pelan, “cepat atau lambat kita pasti akan lakuin itu, bahkan yang lebih gila,” ujarnya lalu mendekat ke arahku.

     “Dede,” ujarku pelan, wajahku terasa amat sangat panas saat ini.

     “Dede sayang banget sama Kakak, Dede juga cinta banget sama Kakak, Dede juga seneng liat Kakak bahagia, kayak akhir-akhir ini,” ujarnya pelan lalu sekejap wajahnya ada di depanku.

     “Is brea liom an doigh leat pog dom,” ujarnya pelan.

     “Dede ngomong apaan sayang?” tanyaku pelan.

     “Is brea liom an bealach agus tu teagmhail a dheanamh agus pog mo chorp ar fad,” ujarnya pelan, lalu ia menggenggam tanganku hangat, “Is brea liom gach rud go bhfuil deanta agat sna tri la seo caite,” ujarnya lalu menggenggam kedua tanganku lebih hangat.

     “Is brea liom an tsli a dheanann tu leis an da rudai mora,” ujarnya lalu menyentuhkan kedua tanganku ke dadanya.

     “Is brea liom an tsli pog tu, agus go reidh rub mo mianach sios anseo ag mise,” ujarnya lalu dengan lembut ia menyentuh salah satu bagian tubuhku.

     “Is brea liom gach rud ar tu, gach rud ar tu taobh istigh orm, níl aon chuúis dom a ghlacadh rud ar bith uait, fiu brea liom do uisce te,” lalu ia mencium bibirku dengan hangat.

     Deg!

     Aku terdiam mendengar semua kata-kata gadis itu, entah apa yang ia katakan kepadaku. Aku tidak mengerti apa artinya, tetapi detak jantungku benar-benar berdetak sangat cepat waktu itu. Is brea liom, berarti aku cinta, tetapi apa yang dicintainya terhadapku, aku tidak bisa menerjemahkan semuanya.

     Nadine menyadarkan kami, jam telah menunjukkan pukul 07.10, aku harus segera mengantarkan Cauthelia untuk pulang ke rumahnya. Untuk menguatkan alibi Cauthelia, Nadine sengaja membawa Honda Jazz milik kakaknya yang selalu terparkir di rumah, sehingga apabila ditanya oleh orang tua Cauthelia maka ada jawaban yang jelas.

     Setibanya di rumah Cauthelia, dua truk dengan tonase di atas 10 ton sudah berada di sana dan nampak beberapa orang sedang memasukkan barang satu persatu ke dalam truk tersebut. “Ia benar-benar akan pergi,” gumamku dalam hati, “tidak ada lagi waktu untuk kami kembali, ya kembali ke masa-masa sembilan hari terindah yang kami lalui.”

     Kedua orangtua Cauthelia menyambut kami, dengan sangat meyakinkan Nadine mengatakan semua sandiwaranya, dan mereka mempercayai kata-kata Nadine. Sementara aku hanya memandang Cauthelia dengan amat sangat sedih dan terpukul, “ternyata aku tidak setegar itu,” ucapku dalam hati.

     “Tam,” panggil suara itu, ya Rachelia saat ini berada di belakangku, “udah dikasih apa yang Elya mau?” tanyanya pelan.

     Aku menggeleng, “tetep di event horizon Kak, gak berani masuk black hole, terlalu beresiko,” ujarku pelan kepada Rachelia.

     “Tapi kenapa Elya keliatan seneng?” tanyanya heran.

     “Gak perlu masuk blackhole Kak buat bikin Elya terbang ke surga,” ujarku pelan.

     “Berapa kali?” tanya Rachelia penasaran.

     “Banyak Kak, banyak banget, makanya dia seneng sekarang, tapi tetep gak bisa ilangin kesedihannya,” ujarku lesu.

     “Elya juga gak mau pisah sama loe Tam,” ujarnya lalu menepuk-nepuk pundakku, “kalo loe sampe begitu sama cewek laen, terus nyakitin adek gue, liat aja,” sejurus lalu ia pergi menuju orang tuanya.

     Apabila dipikir-pikir, meskipun tidak masuk ke blackhole, aku berulang-ulang berada di event horizon, itu tetaplah salah, ujarku dalam hati. Aku lalu menghela napas panjang dan melihat bahwa mereka sudah siap untuk bertolak dan menuju ke Semarang. W220 dan W211 milik kedua orang tua Cauthelia bahkan sudah diparkir ke seberang jalan.

     Pak Tamin bahkan sudah bersiap di W211 yang biasa ia bawa, lengkap bersama dua asisten rumah tangga Cauthelia yang biasa diajak pergi oleh orang tua Cauthelia. Sementara kudengar raungan dua-belas silinder yang saling menggerakkan crankshaft dengan sekuensial dari W220 sudah menderu indah pada 800 RPM di seberang sana, ia hanya mengembuskan asap tak terlihat dari dua knalpot yang tersembunyi di bawah bumper belakang, “mereka sudah bersiap-siap,” ujarku dalam hati.

     Tiba-tiba pandanganku buram, kurasakan mataku sudah berat, perlahan air mataku mengalir di kedua pipiku, aku menangis saat kutahu Cauthelia akan meninggalkanku di sini, aku terisak saat mengingat semua kenangan yang telah kulalui bersama gadis itu. Bodohnya aku tidak mengenalnya saat sejak awal, bodohnya aku tidak mau menerima cinta lain dalam hidupku, selain Aerish waktu itu, aku berteriak dalam hati, betapa bodohnya aku melewatkan wanita terindah dalam hidupku.

     Seandainya, aku tahu telah bertemu dengannya sejak tahun 2002, aku pasti akan terus menjaganya hingga hari ini. Tidak akan ada satu haripun aku lewati tanpa memperhatikan dan menjaganya. Akan aku berikan waktu dan tenagaku hanya untuk menjaganya dan tidak pernah kulepaskan.

     Seandainya, aku tahu ia adalah wanita yang kini berada di hatiku, akan kudekati ia sebelum Dino mendekatinya. Akan kunyanyikan lagu-lagu indah yang saat itu Dino nyanyikan dan akan aku berikan bunga dan cokelat atau cincin. Ya cincin, aku pernah membeli sebuah cincin dan juga gelang, aku ingat, aku ingat.

     “Dede,” panggilku seraya aku berlari ke arahnya, “belum mau berangkat kan?” tanyaku dengan nada yang sangat berat.

     “Udah Kak,” ujarnya pelan, “makasih yah Kak buat semuanya, makasih buat semua keindahan ini, makasih udah jagain Dede, makasih udah sering nyelametin Dede, dan makasih udah jaga kehormatan Dede,” ujarnya pelan sembari ia memandangku dengan wajah yang merah.

     “Kakak gak jaga, Kakak bahkan udah merendahkan Dede,” ujarku tinggi.

     Gadis itu menggeleng, “Kakak baca diary Dede saat Dede udah sampe di Semarang yah,” ujarnya, lalu aku berpikir keras, apa yang memang sudah kulakukan kepadanya.

     “Dede bahagia pernah mencintai laki-laki terindah yang pernah hadir dalam hidup Dede,” ujarnya lalu menggenggam tanganku, “tubuh ini, jiwa ini, raga ini diciptakan hanya untuk mencintai Kakak dan melayani Kakak, bahkan Dede dilahirkan kedunia memang hanya untuk Kakak,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah.

     “Kakak juga sayang banget sama Dede, Kakak cinta banget sama Dede, entah apa yang harus Kakak bilang ke Dede, kalo semua yang Kakak lakuin juga tulus buat Dede.”

     “Dede bener-bener malaikat penyelamat Kakak, dan Dede juga udah bikin Kakak sadar, bahwa wanita terindah yang Kakak cintai adalah Dede, Cauthelia Nandya,” ujarku dan menggenggam tangannya lebih hangat.

     “Dede tunggu sebentar yah di sini,” ujarku pelan, “gak bisa Kak,” ujarnya, “sebentar aja, Kakak mau ambil sesuatu buat Dede,” ujarku lalu aku menghampiri Nadine yang sedang berbicara dengan kedua orang tua Cauthelia, aku ingin meminjam mobilnya untuk pulang sejenak ke rumah.

Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) online, Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 52 (Masa Terberat Harus Dilalui) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by