Global Notification

Mau Menulis Karya Mu Disini Sendiri? Klik Disini

- Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah)

Lihat semua chapter di

Baca cerita Kembalilah Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita Kembalilah bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.

SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 32) - SELESAI


     Aku langsung menuju ke kelas Cauthelia, sementara gadis itu masih memegang pipinya bekas tempat ia ditampar oleh Aerish tadi. Ia sedikit meringis karena kesakitan, tetapi ia tetap tersenyum manis kepadaku, lalu ia kembali mendekap lenganku sepanjang perjalananku menuju kelasnya.

     Di sana sudah menunggu Kiara, ya gadis yang belum lama aku kenal, ternyata ia adalah sahabat terbaik Cauthelia. Ia menyambut kami yang saat itu tampak seperti orang yang kasmaran. Aku langsung menuntun Cauthelia untuk duduk di kursinya, sementara aku berniat untuk kembali ke kelas, aku ingin menyelesaikan semuanya, dan kutahu pasti Nadine sudah menahan gadis itu kelas.

     “Kak Tama,” panggil suara itu, aku lalu menoleh.

     Ternyata itu Kiara, “kenapa?” tanyaku singkat

     “Tolong bilangin sama yang nampar Lia, sini kalo berani sama gue,” ujarnya menantang.

     “Gak usah, biar jadi urusan gue,” ujarku santai, “loe mendingan jagain Elya,” ujarku lalu memandang gadis itu yang tengah memandangku dengan tatapan sedih.

     Sejurus gadis itu lalu berdiri dari kursinya dan berlari ke arahku, ia benar-benar tidak ingin jauh dariku walaupun untuk sesaat. Aku bingung harus bagaimana saat ini, tidak mungkin aku berada di sebelahnya terus saat jam pelajaran berlangsung. Kiara coba membujuk Cauthelia, tetapi nampaknya tidak berhasil, karena gadis itu benar-benar menempel ketat kepadaku.

     “Dek, gimana bisa Dede belajar hari ini kalo maunya sama Kakak terus?” tanyaku pelan, ia malah makin membenamkan wajahnya ke punggungku.

     “Gak mau,” ujarnya pelan, nada suaranya berat.

     “Hei, Dede jangan nangis,” bujukku kepadanya.

     Ia mulai meremas lenganku, “Dede sedih Kak,” ujarnya lirih, “kenapa Kakak harus deket sama Dede saat Dede mau pergi?” tanyanya seakan itu semua salahnya.

     “Udah sayang udah, malu diliat orang,” ujarku menenangkannya.

     “Bodo, Dede gak peduli, apa mereka peduli sama perasaan Dede?” tanyanya lirih di punggungku, aku terdiam seraya Kiara yang saat itu ada di sebelahnya mencoba mengusap punggung gadis itu untuk menenangkannya.

     “Gini deh, Dek,” bujukku, “kita ke ruang OSIS ato ke Perpus mau?”

     “Sama Kakak kan?”

     “Iya sayang, kita ngobrol kesana dulu yah,” ia lalu menampakkan wajahnya kepadaku, rambutnya acak-acakan ia nampak sangat gusar saat ini.

     “Tapi tetep ajah Kak, nanti Dede harus pisah sama Kakak,” ujarnya dengan nada yang amat sangat sedih, aku lalu menggenggam tangannya

     “Ayo ke Ruang OSIS aja,” ujarku lalu aku menariknya lembut menuju ruang OSIS.

     Kami berjalan kesana, langkah Cauthelia sangat gontai, tidak banyak siswa yang sudah datang pada pukul 0620 waktu itu, sehingga tidak banyak mata yang memandang kami saat berjalan. Setibanya di ruang OSIS, aku meminta Nadine untuk datang kesana sekarang, sekaligus bersama Aerish, aku ingin menyelesaikan segala masalahku dengan gadis itu.

     Setelah menunggu lima menit, datanglah Nadine bersama Aerish, saat itu wajah Aerish terlihat sangat emosi melihat Cauthelia dengan manjanya mendekap lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Saat Aerish ingin merangsek dan menyerang Cauthelia, Nadine menahannya.

     “Eh gendut!” teriak Aerish, “dasar perusak hubungan orang!” bentak Aerish dengan suara yang memekikkan telinga.

     “Udah Rish,” ujarku tegas, “pernah enggak kamu mikir jadi Elya?” tanyaku tajam kepada gadis itu.

     “hari ini itu hari terakhir dia ketemu sama aku.”

     “Kamu juga harus ngerti perasaan aku juga Tam,” ujarnya tidak mau kalah, antara sedih dan juga marah.

     “Kakak harus paham, kalo aku gak akan ketemu lagi sama Kak Tama besok,” ujar Cauthelia pelan.

     “Abis itu Kakak kan bebas sama Kak Tama,” ujarnya lagi dengan tatapan yang penuh kesedihan.

     “Diem loe gendut, udah gak perawan aja banyak bacot loe!” bentak Aerish.

     “Jaga omongan kamu Rish,” ujarku tinggi, “pasti Dino yang ngomong,” ujarku langsung kepada Aerish.

     “Iyalah dia cerita semuanya masalah pas mereka pacaran, Lia itu cewek gampangan,” ujar Aerish masih tinggi.

     “Bohong,” ujar Cauthelia pelan, “bahkan dicium sama Dino aja aku gak pernah,” Cauthelia lalu membela diri.

     “Rish kamu bisa enggak gak ngomong fiktif?” tanyaku pelan, gadis itu lalu terdiam.

     “Salah yah aku jealous?” tanya gadis itu pelan.

     “Gak salah, cuma cara kamu yang salah,” ujarku pelan, dan seketika kami semua tenggelam dalam bisunya lisan.

     “Satu lagi kalopun aku mau diapa-apain, aku cuma mau sama Kak Tama,” ujar Cauthelia langsung, “dan Kak Tama gak pernah ngelakuin apapun sama aku,” sambungnya dengan nada yang lesu.

     Aerish hanya terdiam, lagi-lagi Dino menyebarkan berita yang tidak benar, ujarku dalam hati. Nadine berusaha menjadi penengah saat itu sehingga tidak terjadi pertikaian lebih lanjut. Hari ini pasti akan menjadi hari yang menyedihkan untuk kami, ya untukku dan Cauthelia.

     Tidak ada kata-kata terucap hanya bahasa tubuh yang menyiratkan perasaan sayang dan cinta kami, Nadine mengajak Aerish untuk meninggalkan kami, dengan wajah yang penuh sedih dan sesal, gadis itu mengikuti sang ketua OSIS. Kusadari waktu bersama Cauthelia hanya tinggal beberapa jam, ingin rasanya aku hanya berada di sini, tanpa harus masuk ke kelas. Tetapi akhirnya semua ini harus diakhiri saat bel masuk telah berbunyi.

     Dengan langkah yang gontai, aku mengantarkan Cauthelia ke kelasnya, ia sangat tidak bersemangat saat kumelambaikan tangan, dan ia duduk dengan lesu di sebelah Kiara. Aku pun berjalan dengan langkah yang lesu menuju ke kelas, ya ini adalah hari terakhirnya di sekolah, dan aku tidak mungkin bisa bertemu dengannya lagi. Semoga suatu saat aku bisa bertemu, itulah doaku kini.

     Aku mengikuti pelajaran hari ini dengan tidak konsentrasi, sesekali Nadine menggenggam ringan tanganku untuk membuatku tenang, tetapi hal itu hanya sedikit membantuku. Hingga jam istirahat tiba, tanpa menghiraukan apapun di sekitarku aku langsung berjalan ke kelas Cauthelia. Belum tiba aku di sana, kami bertemu di tengah perjalanan, ia tersenyum ke arahku dengan tatapan yang sedikit sedih.

     Ia mengajakku menuju ke kantin, sepanjang perjalanan ia mendekap tanganku hangat. Ini adalah kebersamaanku bersama Cauthelia, entah kapan aku bisa bertemu lagi, pertanyaan seperti itu terus terngiang di kepalaku, aku menikmati masa-masa ini, menikmati rasa-rasa indah disaat terakhir aku bisa bertemu dengannya.

     Kami makan siang bersama, tidak banyak bicara, hanya bahasa tubuh. Tangannya tidak pernah lepas dari tanganku, hingga jam istirahat selesai, aku mengembalikannya ke kelas, tanpa ada kata-kata. Aku langsung kembali ke kelas saat bel masuk sudah berbunyi. Dengan lesu, aku mengikuti sisa pelajaran hingga usai, dan setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas menuju ke kelasnya.

     Tanpa banyak kata, ia mendekap lagi lenganku, kesedihan makin terlihat di wajahnya, seluruh teman kelasnya punya melambaikan tangan kepada gadis itu. Ya ia akan benar-benar akan pergi dari sekolah ini, bahkan ia juga berpamitan kepada Nadine, kedua gadis itu tampak bersedih, lalu Cauthelia memintaku untuk berbicara hanya berdua dengan Nadine di ruang OSIS, sementara aku menunggu di kantin.

     Tiga puluh menit kemudian, Cauthelia kembali bersama Nadine, wajah kedua gadis itu terlihat sangatlah sedih. Aku langsung menuju Cauthelia, dan tersenyum kepada gadis itu, sementara Nadine memandangku dengan tatapan penuh kesedihan pula, ia pun tersenyum tanpa makna kepadaku. Tanpa buang waktu aku mengajaknya ke lahan parkir, lalu kami pun bertolak untuk pulang.

     “Papa lagi ke kedutaan Kak,” ujarnya pelan, “besok pagi jam sepuluh Dede harus berangkat,” ujarnya pelan di telingaku.

     “Iya sayang, nanti yah Kakak pelanin lagi motornya,” ujarku lalu melakukan deselerasi.

     “Semalem lagi yah Kak, boleh?” tanya gadis itu kepadaku.

     “Maksud Dede?” tanyaku antara senang dan tidak percaya, karena sebenarnya aku tahu apa yang ia inginkan.

     “Izinin Dede nginep semalem lagi,” ujarnya pelan.

     Aku mengangguk pelan, “iya sayang,” ujarku lalu menghela napas. Entah mengapa sekarang aku yang menginginkan gadis itu berada di rumahku.

     Tidak butuh waktu lama, kami tiba di rumah orang tuaku, setelah kuparkirkan motor milik ayahku ini, Cauthelia sudah langsung naik ke kamarku, tanpa mengganti pakaiannya ia langsung tidur di ranjangku. Saat aku memasuki kamar, wangi tubuhnya benar-benar mengisi kamarnya.

     “Dek,” panggilku pelan.

     “Iya sayang,” sahutnya lalu ia membalik tubuhnya yang tadi tengkurap.

     “Mandi dulu sana, baru bobo,” ujarku sambil tersenyum.

     Ia menggeleng pelan, “biar Kakak selalu inget sama Dede, sekalian nanti seragam Dede ditinggal yah,” ujarnya seakan mengerti bahwa aku sudah ketagihan dengan wangi tubuhnya.

     “Jujur aja, selama sembilan hari ini, Kakak ngerasa bahagia banget deket sama Dede,” ujarku pelan sambil menghampirinya.

     Ia hanya tersenyum menggodaku, “sama Kak, setelah sekian lama, udah hampir 5 tahun Dede nyimpen perasaan buat kaka,” ujarnya lalu membuka kancing kemejanya satu persatu.

     “Please deh, jangan c minus satu,” pintaku dengan tersenyum, ia tidak menghiraukan kata-kataku, ia lalu menarik selimutku dan masih melakukan apa yang ia lalukan tadi.

     “Dede mohon untuk yang terakhir kalinya, dan Dede janji Dede gak akan mau menikah selain sama Kakak.”

     “Cauthelia Nandya tidak akan pernah menikah dan melakukan semua hal ini kecuali bersama Faristama Aldrich seorang,” ujarnya mengikrarkan kata-kata itu, dan sontak membuat detak jantungku makin berdetak kencang

     Ia menanggalkan semua pakaiannya, jelas saja harum tubuhnya langsung tercium ke seluruh ruangan. Dan aku terbius oleh apa yang kucium, wangi Elya, ujarku dalam hati. Dengan menahan selimutku di dadanya, ia berdiri dan menyambut tanganku, lalu ia menciumku dengan sangat hangat. Ia menggiringku untuk mengikuti apa yang ia mau, entah kemana ia akan membawaku.

     Aku terdiam, tidak dapat berbuat apapun, hampir lima tahun, ya benar-benar hampir lima tahun kalau memang sejak kelas VI SD. Sembilan hari bersamanya, benar-benar seperti surga cinta untukku, padahal aku tidak pernah berharap sampai sejauh ini, tetapi sembilan hari bersama Cauthelia adalah benar-benar sembilan hari yang menjadikanku lebih dewasa dan lebih luas dalam memandang cinta. Tidak hanya Cauthelia, kini aku juga memiliki Nadine, ya gadis yang juga sudah mencintaiku sejak dulu.

     Tetapi mengapa aku malah lebih mencintai Aerish yang entahlah apa ia juga tulus mencintaiku seperti Nadine dan Cauthelia? Apakah aku yang terlalu bodoh? Ataukah aku yang terlalu naif? Entahlah, hatiku hanya bisa menjawab dengan kata-kata seperti itu.

     Sembilan hari yang kulalui bersama mereka berdua sudah mengajarkanku banyak hal mengenai cinta dan ketulusan. Terlebih Cauthelia yang mau mempercayakan banyak hal kepadaku, Elya aku berjanji aku akan menikahimu saat kita bisa bertemu lagi, aku berjanji.


Tags: baca cerita Kembalilah Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah Chapter 50 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling

Cerita Lainnya Yang Mungkin Anda Suka

Comments (0)

Sorted by