Baca cerita
Kembalilah
Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
“Dek,” ujarku saat ia menyelesaikan membuka seluruh kancing kemejanya, ia tidak mengatakan apa-apa hanya tersenyum dengan wajah yang sangat merah kepadaku.
“Besok Dede harus tidur sendiri lagi,” ujarnya pelan.
“Tapi enggak gini juga sayang,” ujarku mencoba menenangkannya, ia malah menempelkan tubuhnya di tubuhku, layaknya 053 yang dijalankan pada gear 7 saat top rev, aku bereaksi dengan sangat cepatnya, ia menyadari itu.
“Kakak menikmati enggak?” tanyanya pelan.
Aku terdiam, strike-to-the-heart, “entah Kakak harus bilang apa,” ujarku pelan.
“Kak, Dede sayang banget sama Kakak, Dede cinta banget sama Kakak,” ujarnya lalu ia beranjak dari tempatnya dan menuju ke atasku, tetapi tidak menindihku, kemejanya terjuntai hingga ke tubuhku seluruh tubuhnya terlihat jelas waktu itu.
“Sayang, berhenti yah,” pintaku dengan segala akal sehatku, c plus satu.
“Sekali ini, Dede mohon,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah, sejurus kemudian ia mendaratkan bibirnya di bibirku.
Aku merasakan hasrat yang menggebu di ciuman itu, sejalan dengan perasaan cintanya, perasaan sedihnya, dan semua yang ia rasakan kepadaku. Dengan amat sadar, aku mengalungkan tanganku di punggungnya, bukan di atas kemeja yang ia gunakan, tetapi di atas kulit tubuhnya, kurasakan kulitnya yang lembut dengan mengusapnya, lalu kudekap ia dengan erat sehingga ia benar-benar menindihku saat ini.
Terdengar suara desahan dari bibir Cauthelia yang saat ini masih mengulum bibirku, gerakannya menjadi semakin tidak beraturan. Apakah benar yang kulakukan? Apakah salah yang ia rasakan? Pertanyaan itu terus menerus terngiang di kepalaku. Layaknya GE 7FDL-8 saat revving 1,100 RPM, ya secara gradual aku mengikuti permainannya, secara sadar bahkan tanganku sudah berada di bagian lain di tubuhnya.
Aku merasakan tractive effort yang luar biasa dari apa yang ia lakukan malam ini, tidak seperti biasanya yang hanya kutanggapi dingin, kali ini seakan aku menyambut hangat perlakuannya kepadaku. Semakin lama, Cauthelia semakin tidak bisa menahan dirinya, aku tahu ini akan menjadi malam yang panjang.
“Kak,” panggilnya dengan napas yang menderu, ia terengah-engah, “lakuin apapun Kak,” ujarnya masih menindihku, “jadiin Dede wanita seutuhnya Kak,” pintanya sambil berusaha memberikan tractive effort lebih besar kepadaku, dan ia berhasil.
“Masih c plus satu Dek,” ujarku menggeleng, ia lalu menurunkan kepalanya ke arah kemana tangannya berada saat ini, “Dek jangan,” pintaku sambil menahan kepalanya.
“C minus satu Kak,” ujarnya pelan, tetapi aku masih menahan kepalanya untuk tidak turun lebih jauh.
“Dek, inget, Dede masih punya masa depan,” ujarku pelan masih membujuknya.
“Masa depan Dede adalah Kakak,” ujarnya dengan napas yang terengah, ia lalu makin menurunkan kepalanya.
Entah apa yang kurasakan saat ini, apakah aku menolak atau aku menikmatinya, yang pasti gadis ini sudah membawaku lagi ke event horizon. Apa yang ia lakukan malam ini bahkan lebih luar biasa dari yang sebelumnya, entah apa yang membawanya. Hal itu membuatku tidak dapat berpikir jernih saat ini, maafkan aku Elya, ucapku dalam hati. Aku malah menikmati apa yang ia lakukan kepadaku dengan segala keinginannya. Saat ini kondisiku di 299,792,457 m/s, sedikit lagi aku akan terhisap ke lubang hitam, aku sudah berada di event horizon.
Esok pagi tiba, aku sadar saat ini aku tidur bersama Cauthelia, ini sudah jam 0817, dan aku tidak pernah bangun sesiang ini sebelumnya. Gadis itu masih tertidur pulas dengan polos di balik selimut ini, ada rasa bahagia, ada rasa nyaman, tetapi yang lebih kurasakan adalah rasa menyesal, aku menghela napas panjang saat mengingat apa yang terjadi semalam.
Kepalanya masih berada di dadaku, tangan kirinya mendekap tubuhku, dan lagi-lagi kurasakan gumpalan lemak ini ada di bagian bawah perutku, tanpa penghalang. Apa yang kami lakukan? Tanyaku dalam hati, apa yang membawaku kemari? Apa yang sebenarnya terjadi? Otakku tiba-tiba melakukan boot loop sehingga pandanganku buram.
“Pagi Kak,” panggil Cauthelia, ia terjaga.
“Pagi sayang,” ujarku menyapanya.
“Makasih buat semalem, Dede bahagia banget,” ujarnya dengan manja, aku terdiam, teringat semua peristiwa yang terjadi semalam, betapa memalukannya aku.
“Semalem Kakak udah dua-ratus-sembilan-puluh-sembilan-juta tujuh-ratus-sembilan-puluh-dua-ribu empat-ratus-lima-puluh-tujuh,” ujarnya malah menggodaku, ia menyebutkan dengan persis konstanta c minus satu.
“Not even close,” ujarku pelan.
“Sekarang pun sama,” ujarnya lalu mencumbu leherku.
“Udah Dek, jangan lagi,” ujarku, seketika ia menghentikan apa yang ia lakukan.
“Sekali lagi Kak,” pintanya manja.
Jam sudah menunjukkan pukul 0930, akhirnya aku keluar dari kamar tersebut, sementara Nadine sudah menungguku di meja makan, ia tersenyum tanpa arti. Aku menghela napas dan memandang gadis itu dengan lesu, apa yang telah kuperbuat dengan Cauthelia, gumamku di dalam hati. Ini adalah sebuah kesalahan, ujarku dalam hati. Sejurus kemudian Cauthelia juga keluar dari kamarku dengan rambut yang masih acak-acakan, ia tersenyum kepadaku dan kepada Nadine.
Setelah selesai kami sarapan dan bersiap-siap, jam 1007 kami memutuskan untuk pulang, ya menyudahi semua kegilaan yang kunikmati ini. Aku memutuskan untuk menggunakan rute Subang, sehingga melewati Tangkuban Parahu, ya aku berniat mengajak mereka ke sana siang ini, karena jaraknya dari Lembang tidak terlalu jauh.
Ditempuh dalam waktu satu jam, akhirnya kami tiba di pintu masuk Tangkuban Parahu, kedua gadis itu nampak sangat senang saat aku memutar setir kemari. Kebetulan kabut tidak terlalu tebal sehingga kawah gunung Stratovolcano setinggi 2,084 meter itu terlihat indah. Kedua gadis itu tampak kegirangan di sana, sementara aku hanya termenung sendiri, duduk di atas batu dan memandang ke arah kawah yang terus menerus mengeluarkan asap putih.
“Ayo tebak siapa?” ujar suara itu lalu menutup kedua mataku dari belakang.
Aku hafal harum tubuhnya, “Dede,” ujarku pelan.
“Janji tetep hubungi Dede yah,” ujarnya lalu ia duduk di sebelahku.
Aku mengangguk pelan, “Kakak janji sayang,” ujarku lalu menghela napas pendek.
“Hampa yah Kak?” tanya gadis itu singkat.
Aku mengangguk, “udah kerasa sejak kemarin Dek,” ujarku lesu, “gak ada lagi Dede, dan akhirnya cuma Kakak sendiri lagi,” ujarku.
“Masih ada Kak Nadine, pokoknya jagain Kak Nadine yah sama kayak Kakak jagain Dede,” ujarnya, “kayak dulu Kakak pernah jagain Dede, pas Dede masih SD kelas VI,” ujarnya pelan.
“SD Kelas VI?” tanyaku tidak percaya.
“Nanti Kakak baca deh buku diary Dede, inget setelah Dede pergi ke Semarang yah,” ujarnya pelan, aku lalu hanya terdiam mengingat apa yang sudah terjadi saat antara Juli 2002 sampai Juli 2003, aku tidak menemukan jawaban apapun.
“Jangan bilang dari itu Dede jatuh cinta sama Kakak?” tanyaku tidak percaya, “dari umur Dede masih 12 tahun?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk pasti, “wangi tubuh Kakak, sama persis,” ujarnya pelan, wajahnya sangat merah, “pas umur segitu Dede baru bener-bener jadi wanita, pas ketemu sama Kakak, ditambah kegigihan Kakak buat nyariin Albuterol waktu itu,” ujarnya mengenang semua yang telah ia alami, “itu udah dari cukup buat Dede,” ujarnya pelan.
“Tapi enggak dengan cara menyerahkan diri juga kan Dek?” tanyaku pelan.
Ia menggeleng, “ada tiga hal yang udah Kakak lakuin di hidup Dede, entah kebetulan ato bukan,” ujarnya lalu memandangku, “yang pasti itu semua takdir.”
Deg! Jantungku berdetak semakin cepat, entah apa yang pernah kulakukan, tetapi aku hanya penasaran dengan perkataan gadis itu yang membuatnya begitu mencintaiku, pasti ada satu alasan. Aku hanya memandangnya yang terus menerus memandangku, matanya yang berwarna cokelat muda benar-benar membuatnya semakin cantik, aku benar-benar terbius dengan semua yang telah ia lakukan.
“Wajar buat Dede menyerahkan apa yang Dede bisa Kak, karena Kakak juga menyerahkan apa yang Kakak bisa juga,” ujarnya.
Aku terdiam, “enggak semuanya sayang,” ujarku pelan.
“Tapi Kakak inget gak setelah itu Kakak kambuh bronkhitisnya?” tanyanya dan saat itu detak jantungku bertambah cepat lagi.
“Kalo Kakak gak sayang ato cinta sama Dede, gimana mungkin Kakak relain diri buat beliin Albuterol, sementara Kakak tahu sehari sebelum MOS, Kakak abis diterapi?” tanyanya seakan ia mengetahui tentang apapun di hidupku.
Aku menunduk sambil tersenyum, “ketahuan segampang itu yah?” tanyaku lalu memandangnya.
Ia lalu tersenyum, “Kak Nadine yang cerita,” ujarnya pelan.
Aku terdiam atas kata-kata gadis itu, memang benar aku melakukan semuanya kepada gadis itu karena tulus, tetapi mengingat semua kata-katanya barusan aku jadi mengingat beberapa hal. Ya memang aku sempat sesak napas juga setelah memberikan Albuterol untuk Cauthelia, tetapi aku tidak menyangka bahwa ia mengetahuinya.
Dua jam di Tangkuban Parahu, akhirnya kami pun pulang menuju ke rumah masing-masing melalui rute Subang. Sebelum pulang kami mampir dulu di sebuah Restoran Sunda yang berada di perjalanan pulang. Setelah menikmati makan siang yang sudah terlambat itu, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kami.
Pukul 1900 aku tiba di depan rumah Nadine, dan rumahnya memang terlihat kosong saat ini, gadis itu sedang tertidur di belakang. Dengan lembut aku membangunkan gadis itu, ia pun terbangun dan memandangku dengan senyuman khasnya. Tidak lupa ia memperbaiki kacamata full frame yang saat ini ia gunakan. Dengan langkah yang gontai, ia berjalan keluar dari mobilku.
“Makasih yah Tam,” ujarnya tersenyum.
“Iya Nad, sama-sama,” ujarku.
“Besok abis nganterin Elya, temenin aku di rumah yah,” pintanya manja.
Aku terdiam beberapa saat sebelum aku mengangguk, “iya abis nganterin Elya,” ujarku lesu.
“Aku juga sayang dan cinta sama Tama,” ujar gadis itu lalu secepat kilat bibirnya menyambar bibirku dengan lembut.
Aku diam dan menyambutnya, “Nad,” panggilku pelan saat ia menyudahinya.
Ia memandangku dengan tersenyum, “jangan dipikirin, Elya udah cerita semuanya ke aku,” ujarnya, aku lantas menghela napasku panjang.
Deg! Detak jantungku berdetak sangat cepat, ia lalu menggenggam hangat tanganku lalu menciumnya. Ia lalu tersenyum kepadaku dengan sangat manis. Sejalan kemudian aku kembali ke mobilku dan ia melambaikan tangannya kepadaku, kubalas lambaian tangannya hingga aku masuk ke dalam mobil milik ayahku itu.
Tags: baca cerita Kembalilah
Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah
Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah
Chapter 48 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling
Comments (0)