Baca cerita
Kembalilah
Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Ingatanku mengenai masa-masa awal mengenal Cauthelia untuk pertama kali mulai membuatku semakin tidak bisa melupakan gadis itu. Selesai makan, aku mengajaknya berjalan-jalan terlebih dahulu kesana dan kesini. Kupelajari sifat gadis itu, dan kuketahui ia tidak suka dengan make up, lalu ia juga tidak suka dengan hal-hal yang bersifat terlalu cewek. Sungguh lucu memang melihat gadis yang sama sekali tidak tertarik untuk berdandan.
Celananya terlalu pendek, ya sangat pendek sekali membuat mata-mata nakal lelaki memandang ke arah pahanya yang putih dan bersih. Rasa cemburu menyelimutiku, bukan cemburu, lebih tepatnya marah karena aku pun tidak pernah memandang ke arah paha wanita manapun meskipun mereka menggunakan hot pants.
Setelah satu jam kami berputar-putar di pusat perbelanjaan itu akhirnya gadis itu mulai lelah. Ia hanya menyandarkan setengah tubuhnya kepadaku, dengan tersenyum aku memintanya untuk kembali ke mobil tetapi ia menolak. Ia ingin terus berjalan-jalan denganku.
“Gini aja, kita ngobrol sampe pagi gimana?” tanyaku tiba-tiba.
Ia memandangku dengan tatapan lesu, “tapi Kakak mau temenin Dede di kamar enggak?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan, “jangan ajak Kakak ke Blackhole tapi,” ujarku sambil membelai rambutnya.
“Dede gak janji masalah itu,” ujarnya pelan, “tapi Dede butuh sama Kakak dengan apapun itu,” ujarnya lalu lebih menyandarkan tubuhnya kepadaku.
“Manjanya sayangku ini,” ujarku pelan.
“Huuuuum,” gumamnya malah semakin manja, “nikah gantung aja yuk Kak,” ujarnya pelan.
“Kakak setuju banget, masalahnya orang tua Dede gimana?” tanyaku kepadanya, ia lalu terdiam.
“Kalau orang tua Kakak pasti gak masalah, apalagi Blackhole bisa berubah jadi Wormhole, dan itu bagus banget kan,” ujarku sambil mengecup kepalanya, sangat harum wanginya.
“Iya sih,” ujarnya pelan, “Dede pasti akan kangen banget sama wanginya Kakak,” ujarnya.
“Pake parfum juga enggak gimana bisa wangi?” tanyaku heran.
“Wangi yang khas, yang Kak Nadine juga pernah cium katanya, wangi apa yah Dede juga bingung namanya apa,” ujarnya pelan.
“Yaudah yuk kita balik ke Villa,” ujarku lalu mengajaknya untuk kembali ke villa, kali ini ia mengikuti apa yang aku katakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, tibalah kami di tempat parkir, disana sudah menunggu Nadine yang tersenyum kepada kami. Aku tahu pasti ada rasa cemburu saat melihatku menggandeng Cauthelia saat ini, tetapi ia berhasil menyembunyikan perasaan cemburu itu dengan senyumannya.
Satu jam aku mengendarai mobil tersebut dan akhirnya sampailah kami di villa milik orang tua Cauthelia. Disana sudah ada Rachelia yang saat ini sedang duduk di ruang tamu sambil bermain dengan ponselnya, ia tampak tertawa lalu serius dengan ponselnya, entah chatting di Friendster atau apalah itu, tetapi ia tetap menyambut kami saat kami pulang.
Aku mengantarkan Nadine ke kamarnya begitu juga dengan Cauthelia. Saat tiba di kamarnya, ia langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya, cukup keras terdengar pasti dari luar. Tunggu dulu, aku tidak mau melakukan apapun malam ini, meskipun aku tahu bahwa malam ini adalah malam-malam terakhirku bisa melihat Cauthelia dari dekat. Rabu esok, ia akan pergi ke Semarang.
Ia menanggalkan sweater cokelat milikku, dan meletakkannya di atas ranjang, ia membelakangiku memang, tetapi harum tubuhnya tercium sampai kepadaku. Aku berusaha mengatur napas supaya apa yang kucium saat ini tidak membuatku kehilangan akal, sejurus ia lalu masuk ke kamar mandi, aku pun menghela napas cukup panjang. Saat itu aku meminta untuk keluar terlebih dahulu agar bisa mandi mengganti pakaian, ia menyetujuinya.
Di luar kamar, Rachelia sudah menungguku, masalah baru sepertinya datang kepadaku, ia menarikku hingga ke ruangan belakang di villa itu dan menatapku dengan pandangan yang cukup aneh menurutku, antara skeptis atau tidak suka, atau entahlah. Ia duduk di kursi yang berada di dekat sana dan memandangku.
“Sekali loe bikin adek gw sakit hati, gw cari loe sampe ke ujung dunia,” ujarnya dengan tatapan yang tegas, aku terdiam sesaat dan menghela napas.
“Sejak awal aku ketemu Elya, sampai hari ini gak ada niat aku sedikitpun buat nyakitin Elya,” ujarku pelan namun pasti, “sejak awal dulu pun pas aku gendong dia ke UKS, aku juga ngelakuin itu tulus Kak.”
Gadis itu lalu mengangguk, “loe jaga adek gw, apapun caranya, jaga apa yang udah dia percayain buat loe,” ujarnya sambil menyilangkan kakinya yang saat itu mengenakan hot pants yang sama pendeknya seperti yang digunakan Cauthelia.
“Dengan sepenuh hati Kak,” ujarku pasti.
Ia lalu tersenyum, “bagus, dua hari yang lalu dia bilang sama gue, kalo dia pengen gitu sama loe,” ujarnya serius.
Aku menggeleng pelan, “aku gak mau, itu Blackhole, itu Semboyan 7, aku harus berhenti atau keluar,” ujarku dengan segala filosofiku.
“Gue tanya serius sama loe, gak nafsu apa loe ngeliat Elya?” tanyanya, strike-to-the-head, head-shot, bulls-eye.
Sontak aku terdiam, terdiam karena aku takut salah menjawab pertanyaan dari Rachelia, “Tam?” tanyanya mengingatkanku bahwa aku masih punya pertanyaan yang belum dijawab.
“Secara laki-laki normal.”
Belum selesai menjawab pertanyaan itu, Rachelia memotong kata-kataku, “secara Faristama Aldrich memandang Cauthelia Nandya.”
“Bohong kalo aku gak nafsu sama Elya,” ujarku pelan, “bohong juga kalo aku gak kepengen melakukan lebih sama Elya,” ujarku lagi, “tapi aku punya Iman, aku punya akal sehat,” ujarku tegas.
“Hal itu yang bikin aku punya kendali atas Westinghouse Air Brake, kendali atas c plus satu, jadi aku gak terjerumus ke dalam hal yang merugikan aku ke depannya,” ujarku dengan segala filosofi yang kumiliki.
“Kalo loe selingkuh, loe cari pacar lagi, loe jadi cewek lagi, itu pasti merugikan buat loe,” ujar Rachelia, “tapi loe kan mau setia sama Elya, buat apa loe takut?” tanya Rachelia dengan tatapan yang tajam.
“Bukan gitu Kak, nanti setelah Elya pergi, sama siapa dia cari pelampiasan?” tanyaku, kini giliran Rachelia yang terdiam cukup lama, “apa dia yang akan membiarkan harga dirinya makin jatuh gara-gara butuh hal itu?” tanyaku, counter attack dariku benar-benar bisa membuatnya terdiam.
Lalu ia tertawa, “loe emang cowok sejati Tam,” ujar Rachelia, “jadi kalo udah nikah baru mau begituan?” tanya Rachelia balik, aku mengangguk pasti.
“Anything, loe boleh bilang, tapi kalo Elya udah kalap gue yakin loe akan nyerah Tam,” ujar Rachelia berusaha menakutiku.
Aku hanya tersenyum, “aku punya c plus satu Kak,” ujarku ringan, gadis itu lalu berdiri dan menuju ke arahku.
“Seandainya gue kenal sama loe duluan, gue pasti mau juga dipacarin sama loe,” ujarnya dengan senyum yang menurutku agak aneh, aku pun tersenyum sejurus ia melewatiku untuk kembali menonton ke depan.
Wangi tubuh Cauthelia dan Rachelia benar-benar mirip, hanya saja Cauthelia terasa lebih pekat sehingga membuatku lebih melayang saat mencium wanginya. Aku lalu sejurus kembali ke kamar, seperti yang kukatakan kepada Cauthelia tadi, aku langsung mandi untuk segera menuju kamar Cauthelia.
Saat aku selesai mandi, aku pun berganti pakaian, kulihat ponselku yang sudah beberapa hari tidak kuperiksa, luar biasa ada ratusan missed call dan juga puluhan SMS, ajaibnya semua itu berasal dari Aerish. Waduh, bahkan aku lupa bahwa Aerish saat ini adalah kekasihku, tanpa kubaca SMS, kuhapus semua SMS darinya.
Entah mengapa, aku teringat saat dahulu sering mengirimkan SMS kepada Aerish, banyak sekali. Sehari aku bisa mengirimkan dua puluh hingga tiga puluh SMS yang isinya hanya menanyakan kabar, mengingatkan makan, mengingatkan belajar, kata-kata puitis, dan banyak lagi, tetapi tidak ada satupun SMS ku dibalasnya. Entah apakah ia menyimpannya atau menghapusnya, tetapi aku benar-benar cukup bodoh waktu itu tidak bisa move on.
Saat aku selesai berganti pakaian, tiba-tiba pintu kamarku terbuka, ia Cauthelia. Gadis itu datang ke kamarku sebelum aku yang datang ke kamarnya. Pakaian yang ia gunakan saat itu adalah kemeja lengan panjang tanpa rok atau celana sehingga hanya menutupi sepertiga pahanya. Ia juga masih menggunakan kacamata full frame saat itu. Apa yang kau lakukan Elya? Penampilanmu benar-benar membuatku tidak dapat berpikir lagi, gumamku dalam hati.
“Dek,” ujarku singkat.
“Kakak,” panggilnya dengan sangat manja, “nonton tivi di sini aja yah,” ujarnya dengan wajah yang sangat mengoda.
“Katanya di kamar Dede?” tanyaku singkat.
Ia menggeleng, “kalo di sini Dede inget semalem,” ujarnya, “uuuuuh, romantis.”
“Romantis dari Hong Kong,” ujarku sinis.
Ia lalu maju ke arahku, tidak lupa ia menutup pintu dan menguncinya, sejurus ia mengantungi kuncinya di saku kemeja yang ia gunakan. Saat ia berjalan rambutnya mengayun pelan seraya dadanya yang tidak menggunakan bra juga mengayun. Sudahlah, kau pergi saja ke Semarang, tapi tidak harus menggodaku lagi kan? Pikiranku mulai berontak.
Aku mulai menyalakan televisi, tidak ada yang menarik sebenarnya dengan acara televisi di malam itu. Aku merebahkan diri di ranjang seukuran 120 cm itu, dan dengan sigap gadis itu menyandarkan tubuhnya juga di sebelahku. Ia mendekapku dari samping, beberapa kali ia bahkan menguap, tetapi ia tetap membuka matanya. Ia sedikit menghela napas, setelah itu ia membuka semua kancing kemeja yang ia kenakan saat ini.
Tags: baca cerita Kembalilah
Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah
Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah
Chapter 47 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling
Comments (0)