SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 28)
Januari 2005, setelah aku mengambil sampel darah, kegiatan membosakan kembali kuhadapi, tidur seharian di ranjang, dan itu membuatku semakin tersiksa dengan keadaan ini. Saat aku melamum dan merasakan betapa tidak nyamannya kondisi tubuhku saat ini, pintu kamarku kembali terbuka, pasti makan siang, gumamku dalam hati. Tetapi saat pintu itu tertutup, harum yang kukenal tercium dan aku tahu itu adalah Nadine.
“Tama,” panggilnya dengan nada yang manja, tidak seperti biasa.
“Eh lagi sawan yah loe manggil gue manja gitu?” tanyaku sedikit ketus.
“Nah kan,” ujarnya sejurus ia berdiri di sampingku, “loe bilang katanya gak galak bisa ato enggak, gue manja sekarang salah,” ujarnya dengan keheranan.
“Ya, gak galak kan bukannya manja,” ujarku lalu mengusap kepalanya.
“Noh loe ngapain?” tanyanya saat ia menanyakan perbuatanku.
“Manjain loe,” ujarku dan tertawa kecil.
Ia lalu ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya, padahal ia sudah terlihat manis dengan seragam sekolahnya, untuk apa diganti, ujarku dalam hati. Sejurus kemudian, dengan ramahnya suster datang kepadaku dan ia membawakanku makan siang, makan siang dengan nasi tim, semur ayam, juga sup yang pasti tidak ada rasanya, ujarku dalam hati.
“Mana sih Nadine lama amat,” gumamku dalam hati, sembari menunggu gadis itu aku mengambil ponselku, tidak ada yang kulakukan hanya membuka menu, keluar, masuk ke dalam pengaturan, keluar. Jujur sekali ingin rasanya aku segera sembuh, dan aku bisa beraktifitas seperti biasanya.
Gadis itu lalu keluar dari kamar mandi, rambutnya setengah basah, berarti ia habis mandi tadi. Aneh, mengapa ia harus mandi pada siang hari seperti ini, padahal ia juga masih harum tanpa harus mandi? Sudahlah, ujarku dalam hati. Ia lalu duduk di sebelahku dan membuka plastic warp yang membungkus makan siangku, dengan telaten ia mengambil piring dan mulai menyuapiku.
“Makan Tam, biar cepet sembuh,” ujarnya dengan nada yang cukup lembut bagi seorang Nadine.
Aku pun membuka mulutku dengan sedikit rasa heran, “loe sakit Nad?” tanyaku tidak percaya sesaat setelah kutelan makananku.
“Loe yang sakit, gue sih sehat,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Bener juga sih,” aku mengiyakan.
“Gimana ulangan hari ini?” tanyaku singkat.
Ia memandangku dan tersenyum, “cukup mudah,” ujarnya pasti, aku tahu kualitas intelijensi gadis ini, dan apabila ia mengatakan cukup mudah, berarti itu benar-benar mudah baginya.
“Loe beneran enggak pulang ke rumah Nad?” tanyaku penasaran.
Ia menggeleng pelan, “selama Kakak gue masih di rumah, horror buat gue ada di rumah,” ujarnya lalu menunduk.
Aku mengerti tentang masalahnya bersama Kakak laki-lakinya, ia sering bercerita kepadaku sejak awal kelas X dahulu. Tetapi gadis ini benar-benar tegar, ucapku dalam hati, ia tidak pernah mengeluhkan saat ia selalu bertengkar dengan kakaknya. Terlebih sekarang ia menjadi suster pribadiku, meskipun bukan ia yang saat ini kuharapkan, tetapi Aerish.
“Kakak,” panggil suara manja itu mengagetkan lamunanku lagi.
“Eh iya sayang,” ujarku lalu melihat Cauthelia yang saat itu sudah berada di depanku.
“Jangan bengong mulu ah,” ujarnya dengan memicingkan matanya, “kayak orang banyak pikiran aja,” ujarnya, entah meledekku atau memang ia sedang berusaha menghiburku.
“Maem yuk, Dede laper nih,” ujarnya.
Sejurus aku menghampirinya, “iya, maem dimana?” tanyaku kepada Cauthelia.
“Tama sama Elya maem berdua aja, Nadine cari maem sendiri,” ujarnya pelan tapi pasti.
“Loh kenapa Kak?” tanya Cauthelia heran.
“Nikmatin aja waktu kalian berdua,” ujar Nadine dan tersenyum, “aku tahu kalian lagi gak bisa dipisahin sekarang,” sambungnya lagi lalu ia menggenggam ringan tangan Cauthelia.
“Tapi Nad, nanti kalo kamu nyasar gimana?” tanyaku.
“Telepon aku aja,” ujarnya lalu tersenyum, “bye yah,” ia lalu melambaikan tangan dan pergi meninggalkan kami.
Cauthelia lalu menggenggam tanganku, ia memandangku diantara perasaan sedih dan senang. Aku pun mematung di tengah pusat perbelanjaan yang tidak terlalu ramai pada malam itu. Entah kemana aku harus mengajak gadis ini makan malam, perasaanku yang gundah saat ini membuatku jadi lebih memikirkannya ketimbang makan malam.
Aku mengajaknya ke sebuah restoran yang menurutku cukup tepat untuk kami. Makanan yang disuguhkan juga beragam, sehingga banyak alternatif. Kami duduk bersebelahan, tangan Cauthelia tak pernah lepas menggenggamku, sesekali ia meremas jemariku sembari menghela napas cukup panjang.
Setelah memesan makanan yang kami inginkan, Cauthelia menyandarkan kepalanya di bahuku. Gadis ini sedang gundah juga, pikirku dalam hati, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresinya yang saat ini pasti juga merasakan hal yang sama denganku. Aku membelai rambutnya dengan lembut, sejurus ia berusaha memandang ke arahku.
“Kak,” panggilnya lirih.
“Kenapa Dek,” ujarku masih membelai rambutnya.
“Semakin deket ke hari keberangkatan, Dede semakin butuh sama Kakak,” ujarnya pelan.
“Kakak lebih dari butuh,” ujarku pelan, “entah kenapa cuma nama Dede yang terus ada di pikiran Kakak,” ujarku, dan kusadari bahwa apa yang akan terjadi akan hal yang nyata, ia akan pergi dari hidupku.
“Blackhole ato Wormhole?” tanya gadis itu kepadaku, “Blackhole, soalnya Kakak gak tahu ujungnya surga ato neraka,” ujarku.
“Bedanya apa sama Wormhole?” tanya gadis itu dan ia makin menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Wormhole bisa kita definisikan,” ujarku singkat, “kalo Blackhole belom, dan Kakak gak mau terjebak di Blackhole,” ujarku memberi pengertian kepadanya.
“Prinsip Kakak kuat yah,” ujar gadis itu, “meskipun Kakak udah di depan Event Horizon, tapi Kakak masih bisa pull out,” ujarnya lalu tertawa kecil.
“Karena kecepatan Kakak itu c plus satu.”
Sejurus lalu ia mencubit pipiku, “lain kali c minus satu, biar Kakak masuk ke Blackhole,” ujarnya lalu memandangku dan menjulurkan lidahnya.
“Wormhole, kalo udah Wormhole dimanapun Dede mau, Kakak pasti masuk,” ujarku lalu tersenyum.
“Janji?” tanyanya sambil menjulurkan tangan kanannya, awalnya aku agak bingung, dan pada akhirnya aku menjabat tangannya.
“Kakak janji.”
Pembicaraan yang aneh, memang tidak ada yang paham, tetapi kalau berkaca dari filosofi dan prinsipku, maka menghindari Blackhole adalah suatu keharusan untukku. Meskipun beberapa peristiwa akhir-akhir ini hampir menjerumuskanku ke dalamnya tetapi aku masih bisa berada di Event Horizon, ya c plus satu.
Akhirnya makanan yang kami tunggu tiba, terlihat gadis itu sangat menantikan apa yang telah ia pesan tadi. Tidak butuh waktu lama, kami menghabiskan makanan kami. Saat aku berada di sebelah Cauthelia, seakan aku melupakan Nadine, tetapi saat aku ada di sebelah Nadine, nama Cauthelia selalu ada di pikiranku.
“Dek,” panggilku.
“Huuum,” gumamnya sambil memandangku.
“Kakak boleh jujur sesuatu enggak masalah Nadine,” ujarku pelan, gadis itu lalu memperhatikanku dengan seksama.
“Apaan tuh?” tanya Cauthelia, ia nampak penasaran dengan apa yang ingin kuutarakan.
“Maafin Kakak udah gak setia sama Dede,” ujarku dengan detak jantung yang amat sangat cepat saat itu.
“Sama Kak Nadine sih Dede ikhlas,” ujarnya pelan, ia lalu tersenyum kepadaku.
“Maksud Dede?” tanyaku heran.
“Mau Kakak ngapain aja sama Kak Nadine, Dede ikhlas, asal jangan sama yang lain,” ujarnya pelan, tetapi nadanya tegas.
“Tapi Dek, semalem Kakak sama Nadine,” ujarku pelan.
Ia lalu menutup bibirku dengan telunjuknya, “Dede udah tahu kok,” ujarnya lalu tersenyum.
“Kak Nadine udah cerita tadi,” ujarnya.
“Jadi, Dede udah tahu?” tanyaku pelan.
Ia hanya menggangguk pasti, “Dede gak masalah sama sekali kok Kak,” ujarnya lalu menggenggam tanganku dengan hangat.
“Ada alasan?” tanyaku kepadanya.
Ia lalu memandangku dengan hangat, “masih ada hubungannya sama peristiwa waktu itu, MOS hari pertama,” ujarnya pelan.
Juli 2006, saat aku meninggalkan ruangan UKS, aku berpapasan dengan Nadine, ia memandangku dengan tatapan yang cukup panik. Ia sudah mendengar ada murid baru yang pingsan akibat ulah Rahmat yang saat ini hanya bisa marah-marah tidak jelas di depan ruang UKS. Aku mengikuti Nadine untuk kembali lagi ke ruang UKS, ya sweater cokelat milikku masih ada di sana saat ini. Aku membantu Nadine untuk menyadarkan gadis itu, ya akulah yang bertanggung jawab karena aku yang membawanya kesini.
“Tam, bantu gue,” pinta Nadine.
“Okay,” ujarku, “Nad, loe ada Albuterol gak?” tanyaku kepada Nadine.
“Inhaler buat asma yah?” tanyanya balik, aku pun mengangguk, lalu dengan cekatan gadis itu mencari inhaler tersebut di laci UKS, tetapi ia tidak menemukan apapun, “gak ada Tam,” teriak Nadine mulai kebingungan.
“Loe tahan badan cewek ini biar duduk, gue cariin Albuterol,” ujarku lalu bergegas lari menuju parkiran motor.
Ada apotek terdekat dari sekolahku, jaraknya sekitar 1 Km, kondisi hujan deras, lengkap dengan genangan air dimana-mana membuat aku berpikir dua kali untuk menuju apotek. Tekadku untuk gadis itu cukup kuat sehingga aku tidak peduli, butuh waktu lima menit untuk ku kembali lagi ke sekolah. Saat aku berjalan menuju UKS, sepanjang perjalanan murid-murid baru memandangku karena bajuku basah.
Aku segera menuju ke UKS, dimana Nadine sedang menahan tubuh gadis itu agar tetap dalam posisi duduk. Napas gadis itu sedikit tersesak, ia sudah tersadar, sejurus kemudian aku memberika Albuterol tersebut kepadanya. Dengan sigap, gadis itu menghidup inhaler yang aku berikan tersebut. Syukurlah, ucapku dalam hati saat melihat pupil gadis itu sudah membesar dan ia sudah mulai bisa bernapas secara normal.
“Makasih Kak,” ujarnya kepadaku.
“Sama-sama,” ujarku lalu tersenyum kepadanya, aku lalu mendekati Nadine dan berbisik di telinganya.
“Nad, pokoknya gue gak mau tahu, loe usut ini, tapi juga jangan sampe bocor,” ujarku mulai peduli dengan reputasinya sebagai ketua OSIS.
“Gue ngerti Tam,” ujarnya pelan, “gue tahu ada yang gak suka loe jadi Ketua OSIS, kalo masalah ini sampe bocor ke Kepala Sekolah, loe yang kena skors,” ujarku memperingati, ia mengangguk mengerti.
Comments (0)