Part. 46
Abang Becak
Abang Becak
"Hari semakin malam dan suamiku terus berusaha mencari becak yang bersedia membawa kami mengelilingi alun-alun. Akhirnya mas mendekati seorang pengayuh becak yang sedang duduk santai di dalam becaknya. Setelah tawar menawar, akhirnya beliau bersedia mengantar kami melihat alun-alun. Namun aku merasakan adanya kejanggalan dari abang pengayuh becak tersebut. Ku perhatikan sedari tadi ekor matanya tampak mencuri pandang ke arah putriku!
Aku segera memasang tatapan sinis karena merasa tidak nyaman dengan pandangan pengayuh becak yang sedari tadi tampak mengamati Gendis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki!
"Kenapa sih, orang ini dari tadi terus menerus melihat ke arah anakku" geramku dalam hati.
Aku benar-benar menunjukkan sikap permusuhan ke abang pengayuh becak.
"Ma, Oga akeep ya. Dis uka Oga" (Ma, Yogya cakep ya. Gendis suka Yogya) celotehnya sambil mengamati langit yang malam itu bertabur bintang-bintang.
"Iya, kota Yogyakarta memang cakep. Gendis suka ya?"
"He-eh, Dis cuka! Alo Dis ede, Dis au igal ini ama mama" (He-eh, Gendis suka. Kalau Gendis gede, Gendis mau tinggal disini sama mama)
"Aamiin.. Insya Allah ya sayang. Semua impian dan doa-doa Gendis akan terwujud" ujarku seraya membelai pucuk kepalanya. Merapikan rambutnya yang acak-acakan akibat tertiup angin malam.
Sambil mengamati suasana di sepanjang Malioboro, aku mulai menyalakan ponsel dan merekam video. Malam itu lalu lintas tampak begitu padat dengan suara klakson kendaraan yang memenuhi jalanan. Tiba-tiba terdengar suara pengayuh becak, ia mengajak suamiku berbicara.
"Pak sebelumnya saya mau minta maaf kalau sudah tidak sopan" ujarnya dengan lembut dan ramah.
"Eh iya, ada apa ya bang?" Jawab suamiku sambil melirik sekilas ke belakang.
"Begini pak, saya ingin mengatakan sesuatu tapi saya harap Bapak dan Ibu jangan sakit hati mendengar ucapan saya" tuturnya dengan berhati-hati. Tampaknya ia begitu takut kalau ucapannya akan menyinggung perasaan aku dan suamiku.
Mataku menyipit. Dengan dahi mengerenyit, aku menatap aneh ke arah pengayuh becak melalui layar ponsel yang sedang ku genggam "Kenapa raut wajah abang becak menjadi serius begini?" batinku.
"Silahkan pak, memangnya bapak mau bilang apa?" Tanya mas dengan raut wajah penasaran.
Mohon maaf ya pak, bu! Sedari tadi semenjak saya lihat bapak dan ibu mondar mandir menawar becak. Saya terus mengamati putri njenengan" ucapnya takut-takut.
"Loh, memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan anak saya?" Ucap mas dengan wajah terkejut.
" Ya, putri njenengan ini tidak apa-apa pak. Insya Allah, anak bapak selalu dalam lindungan Gusti Allah" jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Terus kenapa sampeyan tadi bilang selalu mengamati putri saya?" Cecar suamiku yang merasa tidak puas dengan jawaban yang ia terima.
Pengemudi becak tersenyum sambil terus mengayuh becaknya dengan pelan.
"Begini pak, maaf ya.. kalau saya perhatikan, bentuk kepala putri bapak agak berbeda dengan anak-anak lainnya"
Suamiku menaikkan ke dua alisnya.
"Maksudnya bagaimana?? Beda apanya??"
"Kalau dilihat dari pengamatan saya, jika ada orang yang memiliki ciri-ciri bentuk kepala seperti putri njenengan, pasti mereka bisa melihat alam gaib"
Suamiku tertawa kecil.
"Nggak lah, anak saya biasa saja kok pak" jawab mas merendah. Atau kah suamiku memang tidak mempercayai ucapan abang pengayuh becak?
"Ini saya serius loh pak. Anak bapak ini bisa melihat dan berbicara dengan mahluk tak kasat mata"
"Masa iya sih pak? Wong anak saya sama seperti anak lainnya." Goda suamiku.
Aku yang sedari tadi mendengar percakapan mereka hanya bisa tersenyum simpul. "Pantesan abang ini dari tadi ku perhatikan selalu mengamati Gendis. Ternyata ia juga paham kalau putriku berbeda dengan anak-anak lainnya" gumamku sambil terus menikmati pemandangan.
Ada terbersit sedikit rasa bersalah dalam benakku karena sudah berpikiran yang macam-macam mengenai tatapan bapak tersebut.
"Maaf pak.. Apa saya boleh tahu nama lengkap putrinya?"
"Untuk apa nama lengkap anak saya pak?" Suamiku mengerenyit bingung.
"Ya ndak untuk apa-apa. Itu juga kalau sampeyan tidak keberatan untuk memberitahu saya. Saya juga tidak akan memaksa pak! Yang pasti, saya tidak ada sedikit pun berniat jahat ke putri dan keluarga sampeyan"
Mas terdiam sejenak. Tampaknya ia tengah berpikir untuk apa abang pengayuh becak menanyakan nama asli putrinya. Setelah suamiku berpikir masak-masak, mas mulai memberitahu nama asli anak kami.
"Gendis *** ********" Memangnya untuk apa nama anak saya pak?" Tanya mas penuh rasa ingin tahu.
"Tunggu sebentar pak" tukas beliau. Sambil terus mengayuh becaknya, bapak tersebut tampak sedang berhitung menggunakan jarinya. Sesekali bola matanya berputar ke atas, tanda ia sedang berpikir atau berusaha mengingat sesuatu.
"Gendis.... artinya gula. Dan gula itu manis" gumamnya pelan.
"Pas baru lahir, putri njenengan selalu rewel ya pak?"
Aku tersentak kaget mendengar ucapan beliau. Bagaimana mungkin pengayuh becak ini bisa mengetahui kalau putriku semenjak lahir selalu rewel? Kan kami baru saja bertemu?
"Tahu dari mana pak kalau anak saya dari bayi rewel?" Sahutku cepat.
"Saya hanya menebak berdasarkan jumlah nama putri ibu" jawabnya merendah.
"Oowh.." aku hanya manggut-manggut mendengar jawabannya.
"Kalau dilihat dari perhitungan nama anak sampeyan. Gendis ini selain bisa berinteraksi dengan mahluk halus, anaknya juga tidak bisa diem. Bisa dibilang aktif tapi bukan hyper aktif. Adik Gendis juga sangat cerdas dan gampang menangkap semua pelajaran yang nantinya akan ia dapatkan" tutur abang becak dengan logat suaranya yang khas.
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya sambil mengamini dalam hati. Bukankah semua ucapan yang bagus itu merupakan doa? Insya Allah kalau orangnya tulus mendoakan, maka akan didengar dan dikabulkan oleh sang Pencipta.
Pengayuh becak melanjutkan ucapannya lagi tentang weton dan tokoh pewayangan yang bersinggungan dengan nama putriku. Sayangnya aku sudah lupa dan kurang memahami ucapan beliau. Yang aku ingat, bapak itu menyebutkan nama besar tokoh pewayangan yang bernama Semar.
"Anak njenengan ini besarnya akan banyak dicari orang. Insya Allah banyak yang membutuhkan bantuannya. Semoga adik Gendis bersedia membantu sesama tanpa pamrih dan selalu dalam lindungan Pemilik Seluruh Alam" ucapnya tulus.
"Aamiin, Insya Allah ucapan bapak akan menjadi doa yang baik untuk Gendis. Bapak paham kah tentang dunia supranatural?" Tanyaku penasaran.
"Oalah.. ndak bu! Saya ini hanya seorang tukang becak yang tidak paham apa-apa. Kebetulan saja, saya agak sedikit memahami karakter seseorang berdasarkan namanya"
"Masa sih pak? Jangan-jangan bapak merendah!"
"Aduhh bu, ngapain juga saya harus bohong sama sampeyan? Saya benar-benar tidak paham tentang dunia gaib" ujarnya sambil tersenyum simpul. Senyuman yang menyiratkan beribu misteri.
"Ya sudah kalau bapak tidak mau jujur" sahutku sambil terus mengamati raut wajah pengayuh becak dari ponsel yang kupakai untuk merekam video aku dan putriku.
"Maaf ya bu, saya cuma mengerti segitu saja. Kalau untuk tahu lebih pasti, njenengan bisa mencari orang yang lebih paham lagi. Bukan seperti saya" ujarnya merendah.
Aku tertawa kecil.
"Saya juga mau minta maaf pak. Tadi saya sempat kesal sama bapak, karena saya perhatikan, bapak selalu mengamati putri saya terus. Saya jadi tidak suka sama bapak" aku mengutarakan isi hatiku.
"Laaah.. tidak apa-apa bu! Sama-sama. Saya juga minta maaf kalau sudah membuat ibu merasa tidak nyaman. Saya tahu kok kalau ibu tidak suka sama saya. Tatapan mata ibu galak banget setiap melirik ke arah saya" jawabnya polos.
"Tapi ya mau bagaimana lagi. Saya harus jujur dengan apa yang saya lihat. Kalau anak ibu dan bapak berbeda dengan anak lainnya. Suatu hari nanti, bapak dan ibu akan menyaksikannya sendiri"
Aku memandang ragu ke arah suamiku. Kalau aku pastinya percaya jika Gendis berbeda dengan anak-anak lainnya. Namun suamiku? Entah sampai kapan ia akan membuka mata hatinya dan menerima kenyataan kalau putrinya memang terlahir berbeda.
Tak terasa becak yang ku tumpangi mulai memasuki alun-alun Kidul. Gendis tampak antusias melihat ke arah alun-alun. Ditemani cahaya rembulan, putriku bersorak kegirangan ke arah alun-alun. Ia melambaikan tangannya sambil tertawa cekikikan. Aku yang sudah terbiasa menghadapi tingkah polah anakku hanya bisa tersenyum seraya mengecup pucuk kepalanya.
"Anak njenengan ini hatinya juga lembut dan halus. Tidak bisa dikasari, pasti langsung menangis" abang becak meneruskan ucapannya.
"Masa sih bang?" Tanyaku ragu.
"Betul bu! Lihat saja nanti kalau anaknya sudah tumbuh agak besaran sedikit. Adik Gendis akan menjadi anak yang sopan dan berperasaan halus. Ia akan sangat dekat dan menyayangi ibunya dengan sepenuh hati. Bersyukur sekali bapak dan ibu dikaruniai anak seperti Gendis"
"Alhamdulillah. Insya Allah pak. Minta doanya saja" jawabku sekenanya. Semua ucapan beliau, bagiku hanyalah sebagai pengisi waktu kosong. Tidak aku masukkan ke hati sama sekali.
Ketika melewati keraton, sorot mata putriku berubah menjadi tajam. Ia tampak mengamati ke arah keraton yang pintu gerbangnya tertutup rapat dan tanpa ada penjagaan sama sekali.
"Ma.. Ma tu apa?" (Ma. Ma itu apa) Tunjuk Gendis ke arah pohon-pohon besar yang berjejer di depan keraton.
"Itu namanya pohon beringin"
Gendis terdiam, ia tampak berpikir sejenak. Sesaat kemudian terlontar ucapan dari bibirnya yang mungil.
"Alahh ma..! Tu kan oon!" (Salah ma. Itu bukan pohon)
"Itu namanya pohon sayang" aku menjelaskan dengan perlahan.
"No..! No..!" Gendis menggeleng-gelengkan kepalanya.
Putriku tetap kekeuh dengan pendiriannya. Kalau barisan pohon beringin yang berdiri kokoh depan istana bukanlah sebuah pohon.
"Memangnya yang Gendis lihat itu apa?" Tanyaku setengah berbisik ke telinga putriku.
"Tu ma.. ameee, akep-akep" (Itu ma, rame. Cakep-cakep).
"Siapa yang cakep nak?" Tanyaku penasaran.
" Tuuuu....!!" ? (itu) Tunjuknya ke arah deretan pohon yang berdiri kokoh di sepanjang gerbang istana.
"Mama iatan?" (Mama lihatkan) Ujarnya lagi seraya menatap bola mataku dalam-dalam.
Aku tersenyum kecut. Buku kudukku sontak meremang semuanya. Aku terdiam, tidak berani melanjutkan pertanyaan. Ada rasa takut menyelinap di dada jika harus tahu apa yang saat ini tengah putriku lihat.
"Penjagaannya disitu ramai ya dik?" Ternyata abang becak sedari tadi mencuri dengar pembicaraanku dan Gendis.
"Ame..!..Ameee..!! Byee!!" (Ramai. Ramai. Bye) Pekik Gendis ke arah keraton.
"Jangan kaget pak, bu. Kalau dilihat pakai mata biasa, keraton tampaknya sepi tanpa penjagaan. Coba kalau dilihat pakai mata batin. Yang akan bapak dan ibu lihat justru sebaliknya" terang abang tersebut berusaha menjelaskan apa yang barusan putriku lihat.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda paham. Sedangkan suamiku tampaknya tidak tertarik mendengar ucapan yang terlontar dari mulut pengayuh kendaraan beroda tiga tersebut. Mas tampak asik merekam pemandangan di sekitar alun-alun.
Becak terus melaju jauh meninggalkan alun-alun dan keraton. Kendaraan beroda tiga ini mulai memutar balik ke arah Malioboro.
"Pak..! Pak..! Berhenti di sini saja" suara mas mengagetkan ku yang sedang asik melihat lampu yang bersinar terang di sepanjang jalan.
"Loh kan belum sampai depan hotel sampean pak?" Raut wajah abang becak terlihat kebingungan.
"Tidak apa-apa pak. Saya mau mengajak istri dan anak saya makan di restoran dulu " tungkas mas seraya menyerahkan selembar uang berwarna merah ke tangan pengayuh becak.
Ku lihat bangunan yang berdiri di sebelah kiriku. Ternyata sebuah restoran yang sangat bagus. Dengan berbagai macam bentuk lampion berwarna warni yang menambah indah suasananya.
"Ba-baik pak. Ma-maaf ini uangnya tidak ada kembaliannya" ucapnya terbata-bata.
"Sudah tidak usah dipikirkan. Ini rejeki bapak" ujar mas seraya menggendong Gendis dan membawanya berjalan menjauh dari becak.
"Terima kasih banyak pak, bu. Sekali lagi, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika ucapan saya ada yang tidak berkenan di hati bapak dan ibu"
"Sama-sama pak" jawabku sambil tersenyum.
Aku dan suamiku mulai berjalan memasuki pelataran restoran. Samar-samar telingaku mendengar suara abang becak "Tolong dijaga putrinya baik-baik bu".
Aku menoleh ke arahnya, berusaha memastikan pendengaranku. Namun pengayuh becak itu sudah tidak berada di tempatnya lagi. Seluruh tubuhnya tampak berubah menjadi angin dan menghilang di balik kegelapan malam.
***
Keesokan paginya ketika sedang sarapan di restoran.
"Semalam Gendis amankan mas? Tidak menangis dan menjerit ketakutan seperti di hotel yang kemarin?" Ayah Dwi memulai perbincangan dengan suamiku.
"Alhamdulillah aman om. Gendis tidurnya nyenyak banget sampai pagi"
"Syukurlah kalau begitu"
"Pak, kita ke pantai Parangtitis yuk" rengek Dwi manja.
Aku mengerling ke arah Dwi tanda kurang berkenan dengan ucapannya.
"Jangan! Kasihan adikmu. Kemarin malam saja di hotel sampai menjerit-jerit histeris begitu. Bagaimana nanti kalau diajak ke Parangtitis? Kita kan tidak tahu apa yang nanti Gendis lihat di sana" jawab ayah Dwi.
"Yaa.! Bapak..! Kapan lagi kita bisa kesana? Kan mumpung masih di Yogya" Dwi terus membujuk ayahnya untuk berjalan-jalan ke pantai yang terkenal dengan mitos Ratu Kanjeng Kidul.
Ibu Dwi berdeham kencang sambil melotot ke arah Dwi. Memintanya untuk diam.
Dwi tertunduk lesu menatap ke lantai keramik hotel yang berwarna putih.
"Sudah, kapan-kapan lagi kita bisa ke Parangtitisnya. Tunggu adikmu siap" ayah Dwi mencoba menghibur putrinya yang manja.
"Kapan siapnya? Gendis kan rewel terus!" Gerutu Dwi sambil memainkan ponsel di tangannya.
"Dwi yang sopan kalau berbicara!" Bentak tante sambil melayangkan pandangan tidak suka ke arah putrinya.
Dengan wajah cemberut, Dwi menundukkan wajahnya dan mengalihkan padangan ke ponsel yang selalu berada dalam genggamannya.
Mas Dedi, kita mau tetap menginap di Yogya atau melanjutkan perjalanan? Tanya ayah Dwi sambil melihat ke luar jendela restoran.
"Kalau lanjut ke Semarang bagaimana om? Biar sekalian Gendis tahu kota Semarang?" Usul mas sambil melirik ke arahku yang sedang menyuapi Gendis bubur.
"Boleh mas. Mau berangkat sekarang atau bagaimana?"
"Agak siangan saja pak ke Semarangnya. Sekarang kita cari oleh-oleh saja" usul Ibu Dwi yang dari semalam bawaannya ingin belanja terus.
Ayah Dwi manggut-manggut tanda setuju. Setelah menyelesaikan sarapan pagi, kami semua segera berbelanja oleh-oleh untuk dibawa pulang. Setelah itu siangnya kami berkemas dan bersiap-siap menuju ke Semarang.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam lamanya. Akhirnya kendaraan kami mulai memasuki kota Semarang. Kota yang terkenal dengan lumpianya. Memasuki pusat kota, mataku berkelana melihat rumah-rumah dan bangunan kuno yang berada di sepanjang jalan.
"Ooh.. seperti ini yang namanya kota Semarang" gumamku sambil berdecak kagum.
"Dwi, tolong carikan hotel yang berada di dekat pusat kota" pinta suamiku ke Dwi yang masih memasang wajah ditekuk.
Tanpa banyak bicara Dwi segera membuka aplikasi hotel dan menyebutkan sebuah nama hotel yang letaknya sangat strategis. Mas segera mengarahkan kendaraannya ke bangunan hotel yang Dwi maksud. Setelah memarkirkan kendaraannya, kami segera menurunkan barang bawaan dan mas segera menuju ke lobi untuk check in.
"Lantai 7, room 705 dan 706" ujar suamiku pada kami yang sedang mengamati bentuk bangunan hotel yang bisa dibilang cukup unik.
Aku sedikit bernafas lega ketika mengetahui kamar aku dan keluarga Dwi letaknya bersebelahan. Jadi Gendis tidak perlu repot jika ingin bermain ke kamar kakeknya.
Dengan menggunakan lift, kami segera menuju ke lantai 7. Aku berdecak kagum dengan dekorasi glamour dan interior hotel yang terbuat dari kaca tembus pandang.
Aku dan Gendis segera memasuki ke kamar 705. Sedangkan keluarga Dwi menempati kamar di sebelah kamarku. Aku segera mengeluarkan barang bawaan dan menatanya di dalam lemari. Sedangkan suamiku tampak asik berbincang-bincang dengan ayah Dwi di depan pintu kamar.
"Ma, Dis ayah ulu" (Ma, Gendis ke ayah dulu) pamit putriku seraya berlari menuju ke pintu kamar.
"Iya Ndis" jawabku sambil terus menata barang-barang.
Aku masih merapihkan barang bawaan di lemari yang telah disediakan saat ku dengar derap langkah kaki berjalan memasuki ruangan. Aku melirik dengan ujung ekor mata, ternyata suamiku yang datang.
Tapi...
Tunggu sebentar. Kenapa suamiku hanya sendirian? Dimana putriku?
"Loh Mas, Gendisnya mana?"
"Gendis...??" Suamiku malah balik bertanya dengan raut wajah bingung.
"Iya Gendis. Tadikan dia nyamperin kamu dan ayah Dwi pas kalian lagi asik ngobrol di pintu?"
"Nggak ada! Mas dari tadi tidak melihat Gendis sama sekali"
"Jangan bercanda kamu!" Sergahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.
"Serius mas, tidak bercanda. Ngapain juga mas ngisengin kamu. Mungkin Gendis lagi main ke kamar Dwi" tukas suamiku.
Perasaanku mulai tidak enak. Setengah berlari, aku bergegas menuju ke kamar sebelah diikuti oleh suamiku.
"Tok..! Took..! Ma..! Ma..! Gendis ada di kamar mama tidak?" Teriakku dari lorong hotel.
Pintu terbuka dan tampak wajah Dwi muncul dari dalam ruangan.
"Gendis nggak ada disini mba" sahutnya dengan wajah datar.
Tanpa berkata sepatah kata pun aku langsung melangkahkan kaki berjalan memasuki kamar. Aku termenung mengamati seluruh sudut ruangan tapi tidak ku temukan sosok putriku sama sekali. Hanya ada orangtua Dwi yang sedang rebahan di atas kasur. Sedangkan Dwi berdiri tidak jauh dari ku dan menatapku dengan tatapan bingung.
"Ma, om..! Lihat Gendis tidak?" Tanyaku dengan bibir bergetar.
"Nggak ada Gendis disini" sahut mereka.
Aku yang tidak mempercayai ucapan mereka berpikir kalau keluarga Dwi sedang menggodaku dan menyembunyikan putriku. Aku segera menggeledah seluruh ruangan. Semua lemari dan kamar mandi aku periksa, namun lagi-lagi tak ku temukan sosok putriku.
"Kamu kenapa sih Ma? Kan sudah dibilang Gendis tidak ada disini" ujar ayah Dwi sambil memandangku dengan heran.
"Jangan bohong ah! Kalau Gendis tidak ada disini, terus Gendis dimana dong om? Di kamar Ima juga tidak ada!" Tatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Yang benar kamu? Masa Gendis tidak ada sama Ima??" Ayah Dwi langsung bangkit dari pembaringan dengan wajah tercengang.
"Serius om. Tadi pas om dan mas ngobrol di pintu, Gendis pamit ke Ima kalau mau ke ayahnya. Nah pas mas masuk ke kamar. Mas datang sendirian. Menurut mas, Gendis tidak pernah nyamperin mas. Ima kira, Gendis lagi main di sini" ujarku sambil berusaha mengatur nafas.
"Ya sudah kalau Gendis tidak ada disini. Ima mau mencari Gendis dulu" jawabku dengan tubuh yang terasa lemas.
Dengan panik, aku segera berlari ke luar kamar diikuti oleh suamiku dan keluarga Dwi.
Nafasku mulai tidak beraturan, sesak rasanya bernafas. "Ya Allah, kemana perginya putriku satu-satunya?"
Mataku berkelana berusaha mencari ke segala arah sosok tubuh putriku diantara koridor hotel yang sepi. Namun tak ku temukan siluet tubuh Gendis di sana. Bahkan desah nafas suaranya pun juga tak terdengar sama sekali.
"NDIS.. GENDIS..!! Teriakanku menggema di seluruh penjuru lorong hotel berusaha agar Gendis mendengar suaraku dan membalas panggilanku. Namun tak ada satu pun jawaban yang ku terima.
Hening...
Di tengah rasa panik dan bingung, aku menatap lorong kosong di hadapanku. Sepanjang koridor hotel hanya kesunyian yang melingkupinya.
"Ndis, kamu dimana nak?"
Dengan gugup, aku mengedarkan tatapanku berusaha mencari keberadaan Gendis. Hatiku mulai diliputi rasa kalut dan bingung, tidak tahu harus kemana mencari putriku di hotel sebesar ini. Wajahku tegang. Perasaanku mulai diselimuti rasa was-was. Aku takut kalau tidak bisa menemukan anakku. Pikiranku kacau, tatapanku nanar. Semua terasa berputar, rasanya aku seperti kehilangan tempat untuk berpijak.
Bersambung
Comments (0)