Part. 45
Yogjakarta Bag. 2
Yogjakarta Bag. 2
""Astaghfirullahaladzim..!! Jeritku tertahan. Rasanya ingin sekali aku berteriak sekencang mungkin berusaha meminta pertolongan. Namun tengorokanku tercekat, aku kesulitan bernafas. Semakin lama aku semakin sesak dan pandanganku mulai kabur.
Braakk..!!" Suara bantingan pintu lemari jati menyadarkanku. Diringi jerit tangis yang meluncur deras dari bibir anakku.
Kini, mahluk itu kembali terkunci rapat di dalam rumahnya kembali.
"HUAA..! HUUA..!" Gendis yang sedang tertidur pulas tiba-tiba menjerit histeris.
Aku tersentak kaget mendengar teriakan Gendis. Dengan mata terpejam, anakku berteriak histeris sambil meronta-ronta. Ia tampak begitu gelisah. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengangkat tubuhnya dari pembaringan dan mendekap kepala Gendis erat di dada. Aku menggoncang-goncangkan perlahan tubuh putriku, berusaha membangunkannya.
"Ndis.. Ndis.. ayo bangun nak!" Pintaku dengan perasaan bingung dan was-was.
Aku menoleh ke sofa tempat dimana suamiku sedang tertidur pulas. Tapi tak ada yang bisa kuharapkan, mas tetap terlelap. Terbuai dalam mimpinya.
"Ndis..!! Bangun sayang..!! Ayoo bangun!!"
Aku semakin khawatir melihat kondisi anakku yang terus menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Hatiku serasa diriis-iris, tak tega mendengar tangisannya.
Dengan mata terpejam gelisah, Gendis terus meronta. Menendang dan memukul ke segala arah. Ia terus meraung-raung. Tangisan tanpa ada satu tetes air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Aku kewalahan dan hampir saja menyerah mengahadapi amukan Gendis yang tenaganya sangat luar biasa kuatnya. Sampai akhirnya sesosok wajah muncul di balik pintu. Kulihat ibu Dwi dengan tergesa-gesa berjalan ke arahku.
"Gendis kenapa lagi Ma?" Tanya beliau dengan wajah bingung.
Ku atur nafasku yang sempat memburu agar bisa menjawab pertanyaan ibu Dwi. Tidak mungkin aku menceritakan apa yang baru saja kulihat. Bisa- bisa situasinya akan bertambah runyam.
"I-ima nggak tahu ma. Tiba-tiba saja Gendis langsung menangis kencang. Ima juga bingung apa penyebabnya" jawabku berbohong.
Suamiku yang tadinya tertidur lelap, langsung terbangun ketika mendengar suara ibu Dwi yang sedang berbicara denganku. Mas segera berjalan menghampiriku dan membelai lembut kepala putrinya.
Tanpa mempedulikan kehadiran suamiku, tante segera mengambil segelas air yang berada di atas meja. Beliau menuang sedikit air ke telapak tangannya dan mengusapkan ke wajah putriku. Alhamdulillah tangis dan teriakkan Gendis berangsur-angsur berhenti. Dengan nafas tersengal-sengal dan mata sembab terpejam, putriku meneruskan tidurnya kembali.
"Alhamdulillah Gendis sudah kembali tenang" ucap tante sambil menatap wajah putriku lekat-lekat. Tersirat jelas di wajahnya kalau beliau juga tidak tega mendengar tangisan Gendis yang begitu menyayat hati.
"Terima kasih ya ma, sudah bantuin Ima. Maaf kalau tangisan Gendis sudsh mengganggu waktu tidur mama dan om"
"Sudah tidak usah dipikirin. Yang penting Gendis sudah kembali tenang. Mama kembali ke kamar dulu" pamitnya seraya bergegas meninggalkanku.
Suamiku yang tadinya begitu perhatian, begitu melihat ibu Dwi kembali ke kamarnya, ia langsung meninggalkanku sendirian. Mas kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Huuh.. Kalau bukan karena tante datang kesini, mas malas bangun!!" Ucapnya tak berperasaan.
Aku memicingkan mata. Keningku berkerenyit.
"Haah..?? Apa barusan yang kamu bilang mas?? Jadi tadi kamu tadi bangun cuma karena tidak enak sama tanteku?" Geramku menahan amarah.
"Iya, mas terbangun karena tidak enak sama tante! Masa ibu Dwi sudah rela datang kesini dan mas cuma tidur saja" Jawabnya dengan tenang.
Aku terdiam, menatap ke arah suamiku dengan penuh kebencian. Berusaha mengendalikan diri agar tidak mengamuk. Menahan emosiku yang sudah di ubun-ubun. Bibirku rasanya begitu siap mencaci maki pria yang berada di hadapanku dengan kata-kata kasar. Namun aku tidak ingin membuat kegaduhan dan membikin putriku menangis.
"Jangan-jangan selama ini, mas selalu berpura-pura tak mendengar tangisan Gendis?" Desisku tajam.
Hanya keheningan yang ku dapatkan. Bibir suamiku terkatup rapat. Ia tak mengucapkan sepatah katapun.
Wajahku memerah, mataku panas. Dengan mata nanar, aku memandang marah ke arah suamiku.
"Ya Allah.. kamu kenapa sih mas?? Kenapa tidak ada sedikit pun empati sama anakmu sendiri?" Desisku sambil sekuat tenaga menahan bulir air mata yang siap tumpah ruah memenuhi pipi.
Suamiku terdiam. Seperti biasa, ia tidak akan meminta maaf walau ucapannya sudah menyakiti hatiku. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia memunggungi aku yang masih berdiri menatap ke arahnya dengan penuh kebencian. Suamiku kembali melanjutkan kembali tidurnya yang sempat tertunda karena jerit tangis putrinya.
Rasanya saat utu juga aku ingin memukul wajah suamiku. Namun ku urungkan niatku. Aku tidak ingin membuat kegaduhan di depan keluarga Dwi. Dengan tubuh bergetar menahan emosi. Aku mempererat dekapanku ke Gendis.
"Ndis lihat dia, pria jahat yang hanya berpura-pura peduli kepada Gendis hanya karena merasa tidak enak hati dengan orang lain. Camkan baik-baik Ndis, dia musuh kita... selamanya!" Bisikku lirih menahan amarah yang memuncak.
Hatiku terasa sakit mendengar ucapan mas. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ayah bisa pura-pura peduli ke anaknya hanya karena perasaan tidak enak kepada orang lain?? Aku pikir suamiku sudah berubah. Lebih peduli dan menyayangi Gendis dengan tulus, namun tampaknya doa yang kupanjatkan dikala bercengkrama dengan sang Pencipta belum menggerakkan pintu hati suamiku. Malam ini, suamiku kembali menunjukkan wajahnya yang asli!
"Astagfirullahalaziem" batinku. Aku beristighfar sebanyak-banyaknya dalam hati.
Aku mengelus dadaku beberapa kali, berusaha menenangkan batin yang sempat bergejolak. Setelah hatiku cukup tenang, aku segera meletakkan Gendis di atas pembaringan. Aku terduduk, diam. Merenungkan nasibku dan putriku. Ada rasa sedih dan sakit hati yang mendalam saat ku tatap wajah anakku yang tanpa dosa.
"Gendis sayang, seandainya saja waktu itu mama mempunyai cukup keberanian untuk segera membawamu pergi menjauh dari pria yang kamu sebut ayah ini..." bisikku lirih.
Seketika itu juga, semangatku untuk berlibur bersama suami dan keluargaku sirna sudah. Kalau aku nekat, rasanya ingin sekali malam itu juga aku segera membawa anakku pulang ke Jakarta menggunakan kereta. Namun aku takut.. takut kalau terjadi sesuatu pada putriku di jalan. Hatiku kembali ciut, aku mengurungkan niatku.
Aku menghela nafas. Dadaku terasa sesak akibat harus menahan tangis yang bergemuruh dalam hati. Aku meraih jemari mungil putriku, menggenggamnya dengan erat. Berusaha menguatkan hatiku yang malam ini kembali terluka.
"Mama cayang...!! Mama cayang..!!" (Mama sayang. Mama sayang)
Aku merasakan jemari mungil putriku membelai lembut pipiku. Sesekali ia mencium keningku dengan penuh cinta. Nafasnya terasa hangat di wajahku. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat bidadari kecilku sedang duduk manis di sampingku. Bola matanya yang indah menatap teduh netraku.
"Ndiiiss... Tumben anak mama sudah bangun!" Ucapku lirih, sambil mencium ke dua tangannya.
Aku melirik sekilas ke arah lemari jati yang semalam telah meneror diriku dan membuat putriku menangis. Memastikan kalau lemari coklat tua itu tetap terkunci. Aku menarik nafas lega, lemari yang terlihat begitu menakutkan itu kini tertutup rapat, tanpa ada celah sedikitpun yang terlihat.
"Mama, angun. Agi! Tuuuhh Uwi dah angun!" (Mama, bangun. Pagi. Tuh Uwi sudah bangun) Tunjuknya ke arah Dwi yang sedang menonton tv.
Aku melirik sekilas ke arah sepupuku. "Tumben ni anak bisa bangun pagi. Biasanya dia selalu bangun siang" gumamku pelan.
Iris mataku juga melihat suamiku sudah tidak ada di sofa yang semalam ia tiduri. Ujung mataku melihat mas sedang asik menikmati secangkir kopi di meja makan.
Aku mendengus kesal. Emosiku kembali memuncak melihat wajah suamiku.
Gendis menatapku dengan tatapan aneh. Tampaknya putriku sedang berusaha membaca pikiranku. Aku segera mengajaknya berbicara, berusaha mengalihkan perhatian Gendis.
"Iya ini mama sudah bangun. Ndis, kenapa semalam Gendis menjerit-jerit? Apa ada yang mengganggu Gendis?"
"Dis ga elit-elit ma. Dis alam cleep ama mama kok" (Gendis nggak jerit-jerit ma. Gendis semalam sleep sama mama kok)
Aku menatap wajah putriku dengan penuh seksama. Tidak tersirat kebohongan di wajahnya yang polos. "Mungkin Gendis tidak ingat dengan peristiwa semalam. Atau kah putriku hanya mengalami mimpi buruk? Sudahlah yang penting putriku baik- baik saja"
"Adi yuk ma. Dis au elenang di amal andi" (Mandi yuk ma. Ndis mau berenang di kamar mandi) suaranya yang manja terngiang-ngiang di telinga.
"Yuk, mandi sama mama" aku segera meraih tangan Gendis dan mengajaknya ke kamar mandi. Namun suara Dwi menahan langkahku.
"Mba.. mau kemana??" Teriak Dwi kencang.
Aku melirik dengan ekor mataku. "Mau mandi!"
"Mandi?? Sama nyonya?? Aku ikuutt.. Hahaha.. Mandi bareng ya? Sudah lama nih nggak mandi bareng sama mba dan nyonya" Goda Dwi sambil menggerak-gerakkan ke dua alisnya naik dan turun ke bawah.
"Ya sudah. Buruan!"
Pagi itu, aku bercanda dan cekikikan dengan Dwi di kamar mandi karena melihat kelakuan lucu Gendis yang berenang di bathtub. Aku jadi bisa sedikit melupakan rasa sakit hatiku. Cukup lama juga kami bermain air di kamar mandi hingga ada suara gedoran yang cukup kencang dari balik pintu.
"IMA..! DWi..! KALAU DI KAMAR MANDI JANGAN BERCANDA!! BURUAN MANDINYA!!" Teriak tante dari balik pintu.
Aku dan Dwi saling bertatap-tatapan, menutup mulut rapat-rapat berusaha keras menahan diri untuk tidak tertawa. Dengan cepat, kami segera menyudahi acara mandi sambil terus berusaha menahan gelak tawa.
Setelah sarapan dan mengemasi semua barang bawaan. Ayah Dwi meminta kepada suamiku untuk segera check out dan melanjutkan perjalanan. Tempat wisata yang pertama kali akan kami kunjungi adalah Candi Borobudur.
Kendaraan melaju cepat menuju Magelang, tempat dimana Candi Borobudur berada. Setelah menempuh jarak hampir dua jam lamanya, akhirnya kami sampai di area parkir yang siang itu cukup padat. Kami segera turun dari kendaraan dan berjalan menuju ke tempat loket yang letaknya lumayan jauh dari tempat parkir. Berhubung hari itu dalam suasana tahun baru, Candi Borobudur terlihat begitu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara.
Setelah membeli tiket masuk, kami segera berjalan menuju ke shuttle bus yang akan membawa kami berkeliling menuju ke Candi Borobudur. Gendis tampak begitu antusias saat menaiki bus yang ia beri nama "tayo". Sepanjang perjalanan menuju ke Candi, ia selalu memamerkan giginya yang rapi sambil bertepuk tangan dengan riang. Siang itu semua begitu ceria, hanya aku yang tampak murung dan memasang wajah tak bersahabat ke suamiku.
"Mama..! Mama..!! Look..!!" Pekik Gendis ketika melihat Candi Borobudur dari kejauhan.
"Bagus ya Ndis?" Itu namanya Candi Borobudur"
"Andi ma? Dis cuka..! Cuka..!! Waaa aguuuss angeet ma!" (Candi ma. Gendis suka. Suka. Waa bagus banget ma)
"Keeekk" teriak Gendis sambil menengok ke kursi belakang, tempat dimana orangtua Dwi duduk.
"Apa?"
"Dis uka Oloudul" (Gendis suka Borobudur) ujarnya sambil bertepuk tangan dan menghentakkan kakinya ke kursi bus.
Orang tua Dwi tertawa pelan melihat kelakuan cucunya yang lucu dan menggemaskan.
Dwi yang duduk di sebelahku dan dari tadi asik berselfie ria, merapatkan duduknya ke arahku.
"Kamu kenapa mba? Aku perhatiin muka mba dari hotel sampai sekarang judes amat. Apalagi kalau lagi melihat ke om Dedi?"
Aku mendengus pelan.
"Mau tahu aja atau mau tahu banget?"
"Aku kan kepo an mba!!" Ga perlu ditanya lagi!!"
"Ntar aja lah mba kasih tahunya. Mba lagi nggak mood untuk berbicara sekarang ini"
Dwi menatapku dengan penuh perhatian.
"Om bikin masalah lagi ya?"
Aku terdiam. Malas menjawab pertanyaan yang bagiku tidak penting.
"Sudah, santai saja. Nanti pas di candi, kita langsung hunting bule oke!" Ucapnya tengil, berusaha menghiburku dengan guyonannya yang bagiku sedikit lucu.
"STRESS..!!" Sahutku sambil mencubit pahanya pelan.
Bus wisata pun telah tiba di tempat pemberhentian dekat candi, kami semua segera turun. Tanpa ada ucapan sepatah katapun, suamiku langsung mengambil alih Gendis dari dekapanku. Aku menatapnya sinis. Entahlah, mas memang tulus ingin menggendong putrinya atau hanya menjaga gengsinya di mata keluargaku.
"Aduh, lihat tuh..!! Borobudur penuh banget sama wisatawan!" Tunjuk ayah Dwi ke arah candi.
Dari kejauhan, terlihat begitu banyak wisatawan yang memadati wilayah candi. Sampai-sampai tangga untuk menuju ke atas candi juga penuh sesak oleh pengunjung yang saling berdesak-desakan. Aku yang hanya melihat dari kejauhan sudah merasakan rasa sumpek luar biasa. Bagaimana kalau aku juga ikut berdesak-desakan bersama mereka?
Aku mendengus kesal.
"Terus bagimana dong pak? Kasihan Gendis kalau kita tetap memaksakan diri untuk naik ke atas?" Sahut ibu Dwi dengan raut wajah kecewa.
"Mas Dedi, tampaknya saat ini kondisi sedang tidak memungkinkan untuk membawa Gendis melihat stupa di Borobudur. Bagaimana kalau kita sementara waktu beristirahat di tamannya saja?"
Suamiku yang tidak suka dengan hal yang ribet, tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan saran dari ayah Dwi. Akhirnya hari itu, kami tidak jadi membawa Gendis untuk melihat Borobudur dari dekat. Mas segera menyewa tikar untuk tempat kami melepas lelah, sekaligus melihat candi walau hanya dari kejauhan.
Putriku tampaknya tidak terlalu menghiraukan kalau hari ini ia telah gagal untuk melihat candi Boribudur. Ia malah asik berlarian di sepanjang taman yang dipenuhi oleh rumput gajah. Walau matanya sesekali tampak mengagumi bangunan candi dari kejauhan.
Gendis yang awalnya hanya berlari pelan disekitar keluargaku yang sedang duduk beristirahat, tiba-tiba mempercepat langkah kakinya. Aku yang sedari tadi menemani dan mengawasi putriku, segera berlari mengejarnya. Anakku terus berlari menuju ke taman yang struktur tanahnya membentuk gundukan bukit.
"Ndis.. tunggu mama! Larinya pelan-pelan nak! Jangan sampai Gendis terjatuh!" Teriakku panik, takut kalau anakku jatuh terguling- guling ke bawah. Maklum saja, di sekitar taman begitu banyak pohon besar yang akarnya menonjol keluar. Aku tidak mau kalau anakku sampai terluka.
Namun Gendis tidak mendengarkan teriakanku.
Ia terus saja berlari, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku yang terus memanggil-manggil namanya. Ku amati, putriku tampak begitu antusias menuju ke bukit yang paling tinggi!
Tanpa beristirahat dan mengenal lelah, akhirnya Gendis sampai di bukit yang ia tuju. Derap langkah kakinya terhenti, wajahnya menunduk dan putriku mulai bersimpuh serta mengangkat ke dua tangannya. Sepertinya putriku sedang berdoa. Entah doa apa yang ia panjatkan. Setelah selesai berdoa, Gendis mengusap wajah dengan telapak tangannya.
"Aamiin.. Aamiin..!" Ujarnya berulang-ulang sambil menyunggingkan senyum.
Aku terpana melihat tingkahnya. Siapa yang telah mengajari anakku berdoa dengan khusyu? Mengapa ia memilih berdoa di bukit yang paling tinggi dan sepi dari pengunjung? Seperti ada seseorang yang menuntun langkahnya menuju ke tempat ini.
Aku menghampiri Gendis yang masih duduk bersimpuh di atas rerumputan.
"Ndis, Gendis habis ngapain?"
Dengan mata berbinar, ia menjawab pertanyaanku "Dis, oa" (Gendis berdoa)
"Berdoa?? Siapa yang ngajarin Gendis berdoa disini?" Tanyaku yang benar-benar keheranan akan sikapnya yang aneh.
"No..! No..!" Hanya itu ucapannya seraya berlari meninggalkanku.
Anakku kembali berlari kencang menuruni gundukan tanah yang curam. Kini ia menuju ke tempat kelurgaku yang sedang duduk santai. Sesampainya disana, Gendis langsung duduk di pangkuan ayah Dwi. Aku mengatur nafasku pelan. Lumayan juga harus mengejar Gendis yang berlari cepat menuruni bukit.
"Hey, habis dari mana kamu?" Tanya kakek yang keheranan melihat wajah cucunya yang bersimbah peluh.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan kakek, Dwi segera menyerahkan sebotol mineral ke bibir putriku. Gendis langsung menyambut air yang diberikan Dwi.
"Gllek.. Gleekk..! Enyaak Wi..! Maacih Uwi aik" (Enak Wi. Terima kasih Dwi baik) Tutur Gendis sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Uwi umben aik ama Dis" (Dwi tumben baik sama Gendis)
"Ooh.. gitu ya!! Berarti kemarin-kemarin Dwi jahat sama Gendis?" Geram Dwi dengan wajah masam.
"Kek..! Kek..! Uwi alah ama Dis!" (Kakek. Kakek. Dwi marah sama Gendis) Ujar Gendis sambil menarik lengan baju ayah Dwi, meminta perlindungan.
Kakek tersenyum dan mengelap peluh yang memenuhi kening putriku dengan tisu yang ia pegang.
"Ima, memangnya Gendis habis dari mana? Kenapa badannya bersimbah keringat begini?"
"Itu om, tadi Gendis tahu-tahu berlari ke arah bukit yang paling tinggi. Terus Gendis berdoa disana" jawabku jujur.
Ayah Dwi menatap lekat wajah cucunya. "Kamu ngapain berdoa di atas bukit?? Gendis habis berdoa ke Dewa? Atau Gendis habis melihat dan bertemu dengan Dewa ya?" Tanya ayah Dwi dengan raut wajah serius.
"Ewa kek?"(Dewa kek) Gendis terlihat bingung dengan ucapan kakeknya.
"Huus..!! Jangan bilang begitu ke cucunya!" Bentak Ibu Dwi dengan raut wajah tidak suka.
"Waduh, maafin kakek ya. Cucu kakek pasti belum paham tentang Dewa" ujar ayah Dwi seraya mengecup lembut puncak kepala anakku.
"Mas Dedi bagaimana kalau kita langsung check-in ke hotel. Cuaca disini terik banget" ujar tante sambil mengipas-ngipas wajahnya yang memerah akibat terbakar cahaya matahari.
"Iya te. Biar sekalian istirahat dan malamnya bisa jalan-jalan keliling Malioboro"
Kami pun segera meninggalkan taman dan menuju kembali ke parkiran. Borobubur yang sangat indah dan membawa sejuta tanya tentang perilaku anakku.
Gendis sempat memalingkan wajahnya sekilas melihat ke arah candi. Bibirnya merekah, ke dua tangannya terkatup di depan dada. Ia menundukkan wajahnya sedikit memberi hormat. Putriku mengucapkan salam perpisahan "Bye Oloudul. Apan-apan Dis ain ali agi ama mama" (Bye Borobudur. Kapan-kapan Gendis main kemari lagi sama mama) Teriaknya sambil melambaikan tangan ke arah candi yang berdiri kokoh dan megah.
Malam harinya, aku dan keluargaku menikmati suasana di daerah Malioboro, makan malam menikmati gudeg dan krecek favoritku.
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja..
Bibirku mendendangkan lagu KLA Project yang berjudul "Yogyakarta".
"Ma, kita ajak Gendis keliling alun-alun naik becak yuk" ajak mas yang sedang memangku Gendis.
"Malas ah!" Ketusku sambil memalingkan wajah. Aku masih kesal jika teringat ucapan suamiku kemarin malam.
"Ima..!! Sana jalan-jalan sama suamimu! Kapan lagi bisa ajak Gendis keliling naik becak?" Tante menatap tajam ke arahku.
Dengan terpaksa dan memasang wajah judes, akhirnya aku mengiyakan ajakan suamiku.
Entah sudah berapa kali aku dan suamiku mondar mandir di sepanjang Malioboro. Mencoba menawar becak yang mau membawa kami berkeliling alun-alun Selatan. Namun sudah hampir setengah jam, mereka semua menolaknya! Mereka mau menerima jika suamiku mau mengikuti kemauan mereka untuk berkunjung ke tempat pembuatan kaos dan bakpia. Dengan tegas, mas menolaknya. Karena tujuan suamiku hanya ingin mengajak putrinya mengelilingi alun-alun Kidul.
Hari semakin malam dan suamiku terus berusaha mencari becak yang bersedia membawa kami mengelilingi alun-alun. Akhirnya mas mendekati seorang pengayuh becak yang sedang duduk santai di dalam becaknya. Setelah tawar menawar, akhirnya beliau bersedia mengantar kami melihat alun-alun. Namun aku merasakan adanya kejanggalan dari abang pengayuh becak tersebut. Ku perhatikan sedari tadi ekor matanya tampak selalu mencuri pandang ke arah putriku!
Bersambung
Braakk..!!" Suara bantingan pintu lemari jati menyadarkanku. Diringi jerit tangis yang meluncur deras dari bibir anakku.
Kini, mahluk itu kembali terkunci rapat di dalam rumahnya kembali.
"HUAA..! HUUA..!" Gendis yang sedang tertidur pulas tiba-tiba menjerit histeris.
Aku tersentak kaget mendengar teriakan Gendis. Dengan mata terpejam, anakku berteriak histeris sambil meronta-ronta. Ia tampak begitu gelisah. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengangkat tubuhnya dari pembaringan dan mendekap kepala Gendis erat di dada. Aku menggoncang-goncangkan perlahan tubuh putriku, berusaha membangunkannya.
"Ndis.. Ndis.. ayo bangun nak!" Pintaku dengan perasaan bingung dan was-was.
Aku menoleh ke sofa tempat dimana suamiku sedang tertidur pulas. Tapi tak ada yang bisa kuharapkan, mas tetap terlelap. Terbuai dalam mimpinya.
"Ndis..!! Bangun sayang..!! Ayoo bangun!!"
Aku semakin khawatir melihat kondisi anakku yang terus menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Hatiku serasa diriis-iris, tak tega mendengar tangisannya.
Dengan mata terpejam gelisah, Gendis terus meronta. Menendang dan memukul ke segala arah. Ia terus meraung-raung. Tangisan tanpa ada satu tetes air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Aku kewalahan dan hampir saja menyerah mengahadapi amukan Gendis yang tenaganya sangat luar biasa kuatnya. Sampai akhirnya sesosok wajah muncul di balik pintu. Kulihat ibu Dwi dengan tergesa-gesa berjalan ke arahku.
"Gendis kenapa lagi Ma?" Tanya beliau dengan wajah bingung.
Ku atur nafasku yang sempat memburu agar bisa menjawab pertanyaan ibu Dwi. Tidak mungkin aku menceritakan apa yang baru saja kulihat. Bisa- bisa situasinya akan bertambah runyam.
"I-ima nggak tahu ma. Tiba-tiba saja Gendis langsung menangis kencang. Ima juga bingung apa penyebabnya" jawabku berbohong.
Suamiku yang tadinya tertidur lelap, langsung terbangun ketika mendengar suara ibu Dwi yang sedang berbicara denganku. Mas segera berjalan menghampiriku dan membelai lembut kepala putrinya.
Tanpa mempedulikan kehadiran suamiku, tante segera mengambil segelas air yang berada di atas meja. Beliau menuang sedikit air ke telapak tangannya dan mengusapkan ke wajah putriku. Alhamdulillah tangis dan teriakkan Gendis berangsur-angsur berhenti. Dengan nafas tersengal-sengal dan mata sembab terpejam, putriku meneruskan tidurnya kembali.
"Alhamdulillah Gendis sudah kembali tenang" ucap tante sambil menatap wajah putriku lekat-lekat. Tersirat jelas di wajahnya kalau beliau juga tidak tega mendengar tangisan Gendis yang begitu menyayat hati.
"Terima kasih ya ma, sudah bantuin Ima. Maaf kalau tangisan Gendis sudsh mengganggu waktu tidur mama dan om"
"Sudah tidak usah dipikirin. Yang penting Gendis sudah kembali tenang. Mama kembali ke kamar dulu" pamitnya seraya bergegas meninggalkanku.
Suamiku yang tadinya begitu perhatian, begitu melihat ibu Dwi kembali ke kamarnya, ia langsung meninggalkanku sendirian. Mas kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Huuh.. Kalau bukan karena tante datang kesini, mas malas bangun!!" Ucapnya tak berperasaan.
Aku memicingkan mata. Keningku berkerenyit.
"Haah..?? Apa barusan yang kamu bilang mas?? Jadi tadi kamu tadi bangun cuma karena tidak enak sama tanteku?" Geramku menahan amarah.
"Iya, mas terbangun karena tidak enak sama tante! Masa ibu Dwi sudah rela datang kesini dan mas cuma tidur saja" Jawabnya dengan tenang.
Aku terdiam, menatap ke arah suamiku dengan penuh kebencian. Berusaha mengendalikan diri agar tidak mengamuk. Menahan emosiku yang sudah di ubun-ubun. Bibirku rasanya begitu siap mencaci maki pria yang berada di hadapanku dengan kata-kata kasar. Namun aku tidak ingin membuat kegaduhan dan membikin putriku menangis.
"Jangan-jangan selama ini, mas selalu berpura-pura tak mendengar tangisan Gendis?" Desisku tajam.
Hanya keheningan yang ku dapatkan. Bibir suamiku terkatup rapat. Ia tak mengucapkan sepatah katapun.
Wajahku memerah, mataku panas. Dengan mata nanar, aku memandang marah ke arah suamiku.
"Ya Allah.. kamu kenapa sih mas?? Kenapa tidak ada sedikit pun empati sama anakmu sendiri?" Desisku sambil sekuat tenaga menahan bulir air mata yang siap tumpah ruah memenuhi pipi.
Suamiku terdiam. Seperti biasa, ia tidak akan meminta maaf walau ucapannya sudah menyakiti hatiku. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia memunggungi aku yang masih berdiri menatap ke arahnya dengan penuh kebencian. Suamiku kembali melanjutkan kembali tidurnya yang sempat tertunda karena jerit tangis putrinya.
Rasanya saat utu juga aku ingin memukul wajah suamiku. Namun ku urungkan niatku. Aku tidak ingin membuat kegaduhan di depan keluarga Dwi. Dengan tubuh bergetar menahan emosi. Aku mempererat dekapanku ke Gendis.
"Ndis lihat dia, pria jahat yang hanya berpura-pura peduli kepada Gendis hanya karena merasa tidak enak hati dengan orang lain. Camkan baik-baik Ndis, dia musuh kita... selamanya!" Bisikku lirih menahan amarah yang memuncak.
Hatiku terasa sakit mendengar ucapan mas. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ayah bisa pura-pura peduli ke anaknya hanya karena perasaan tidak enak kepada orang lain?? Aku pikir suamiku sudah berubah. Lebih peduli dan menyayangi Gendis dengan tulus, namun tampaknya doa yang kupanjatkan dikala bercengkrama dengan sang Pencipta belum menggerakkan pintu hati suamiku. Malam ini, suamiku kembali menunjukkan wajahnya yang asli!
"Astagfirullahalaziem" batinku. Aku beristighfar sebanyak-banyaknya dalam hati.
Aku mengelus dadaku beberapa kali, berusaha menenangkan batin yang sempat bergejolak. Setelah hatiku cukup tenang, aku segera meletakkan Gendis di atas pembaringan. Aku terduduk, diam. Merenungkan nasibku dan putriku. Ada rasa sedih dan sakit hati yang mendalam saat ku tatap wajah anakku yang tanpa dosa.
"Gendis sayang, seandainya saja waktu itu mama mempunyai cukup keberanian untuk segera membawamu pergi menjauh dari pria yang kamu sebut ayah ini..." bisikku lirih.
Seketika itu juga, semangatku untuk berlibur bersama suami dan keluargaku sirna sudah. Kalau aku nekat, rasanya ingin sekali malam itu juga aku segera membawa anakku pulang ke Jakarta menggunakan kereta. Namun aku takut.. takut kalau terjadi sesuatu pada putriku di jalan. Hatiku kembali ciut, aku mengurungkan niatku.
Aku menghela nafas. Dadaku terasa sesak akibat harus menahan tangis yang bergemuruh dalam hati. Aku meraih jemari mungil putriku, menggenggamnya dengan erat. Berusaha menguatkan hatiku yang malam ini kembali terluka.
***
"Mama cayang...!! Mama cayang..!!" (Mama sayang. Mama sayang)
Aku merasakan jemari mungil putriku membelai lembut pipiku. Sesekali ia mencium keningku dengan penuh cinta. Nafasnya terasa hangat di wajahku. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat bidadari kecilku sedang duduk manis di sampingku. Bola matanya yang indah menatap teduh netraku.
"Ndiiiss... Tumben anak mama sudah bangun!" Ucapku lirih, sambil mencium ke dua tangannya.
Aku melirik sekilas ke arah lemari jati yang semalam telah meneror diriku dan membuat putriku menangis. Memastikan kalau lemari coklat tua itu tetap terkunci. Aku menarik nafas lega, lemari yang terlihat begitu menakutkan itu kini tertutup rapat, tanpa ada celah sedikitpun yang terlihat.
"Mama, angun. Agi! Tuuuhh Uwi dah angun!" (Mama, bangun. Pagi. Tuh Uwi sudah bangun) Tunjuknya ke arah Dwi yang sedang menonton tv.
Aku melirik sekilas ke arah sepupuku. "Tumben ni anak bisa bangun pagi. Biasanya dia selalu bangun siang" gumamku pelan.
Iris mataku juga melihat suamiku sudah tidak ada di sofa yang semalam ia tiduri. Ujung mataku melihat mas sedang asik menikmati secangkir kopi di meja makan.
Aku mendengus kesal. Emosiku kembali memuncak melihat wajah suamiku.
Gendis menatapku dengan tatapan aneh. Tampaknya putriku sedang berusaha membaca pikiranku. Aku segera mengajaknya berbicara, berusaha mengalihkan perhatian Gendis.
"Iya ini mama sudah bangun. Ndis, kenapa semalam Gendis menjerit-jerit? Apa ada yang mengganggu Gendis?"
"Dis ga elit-elit ma. Dis alam cleep ama mama kok" (Gendis nggak jerit-jerit ma. Gendis semalam sleep sama mama kok)
Aku menatap wajah putriku dengan penuh seksama. Tidak tersirat kebohongan di wajahnya yang polos. "Mungkin Gendis tidak ingat dengan peristiwa semalam. Atau kah putriku hanya mengalami mimpi buruk? Sudahlah yang penting putriku baik- baik saja"
"Adi yuk ma. Dis au elenang di amal andi" (Mandi yuk ma. Ndis mau berenang di kamar mandi) suaranya yang manja terngiang-ngiang di telinga.
"Yuk, mandi sama mama" aku segera meraih tangan Gendis dan mengajaknya ke kamar mandi. Namun suara Dwi menahan langkahku.
"Mba.. mau kemana??" Teriak Dwi kencang.
Aku melirik dengan ekor mataku. "Mau mandi!"
"Mandi?? Sama nyonya?? Aku ikuutt.. Hahaha.. Mandi bareng ya? Sudah lama nih nggak mandi bareng sama mba dan nyonya" Goda Dwi sambil menggerak-gerakkan ke dua alisnya naik dan turun ke bawah.
"Ya sudah. Buruan!"
Pagi itu, aku bercanda dan cekikikan dengan Dwi di kamar mandi karena melihat kelakuan lucu Gendis yang berenang di bathtub. Aku jadi bisa sedikit melupakan rasa sakit hatiku. Cukup lama juga kami bermain air di kamar mandi hingga ada suara gedoran yang cukup kencang dari balik pintu.
"IMA..! DWi..! KALAU DI KAMAR MANDI JANGAN BERCANDA!! BURUAN MANDINYA!!" Teriak tante dari balik pintu.
Aku dan Dwi saling bertatap-tatapan, menutup mulut rapat-rapat berusaha keras menahan diri untuk tidak tertawa. Dengan cepat, kami segera menyudahi acara mandi sambil terus berusaha menahan gelak tawa.
***
Setelah sarapan dan mengemasi semua barang bawaan. Ayah Dwi meminta kepada suamiku untuk segera check out dan melanjutkan perjalanan. Tempat wisata yang pertama kali akan kami kunjungi adalah Candi Borobudur.
Kendaraan melaju cepat menuju Magelang, tempat dimana Candi Borobudur berada. Setelah menempuh jarak hampir dua jam lamanya, akhirnya kami sampai di area parkir yang siang itu cukup padat. Kami segera turun dari kendaraan dan berjalan menuju ke tempat loket yang letaknya lumayan jauh dari tempat parkir. Berhubung hari itu dalam suasana tahun baru, Candi Borobudur terlihat begitu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara.
Setelah membeli tiket masuk, kami segera berjalan menuju ke shuttle bus yang akan membawa kami berkeliling menuju ke Candi Borobudur. Gendis tampak begitu antusias saat menaiki bus yang ia beri nama "tayo". Sepanjang perjalanan menuju ke Candi, ia selalu memamerkan giginya yang rapi sambil bertepuk tangan dengan riang. Siang itu semua begitu ceria, hanya aku yang tampak murung dan memasang wajah tak bersahabat ke suamiku.
"Mama..! Mama..!! Look..!!" Pekik Gendis ketika melihat Candi Borobudur dari kejauhan.
"Bagus ya Ndis?" Itu namanya Candi Borobudur"
"Andi ma? Dis cuka..! Cuka..!! Waaa aguuuss angeet ma!" (Candi ma. Gendis suka. Suka. Waa bagus banget ma)
"Keeekk" teriak Gendis sambil menengok ke kursi belakang, tempat dimana orangtua Dwi duduk.
"Apa?"
"Dis uka Oloudul" (Gendis suka Borobudur) ujarnya sambil bertepuk tangan dan menghentakkan kakinya ke kursi bus.
Orang tua Dwi tertawa pelan melihat kelakuan cucunya yang lucu dan menggemaskan.
Dwi yang duduk di sebelahku dan dari tadi asik berselfie ria, merapatkan duduknya ke arahku.
"Kamu kenapa mba? Aku perhatiin muka mba dari hotel sampai sekarang judes amat. Apalagi kalau lagi melihat ke om Dedi?"
Aku mendengus pelan.
"Mau tahu aja atau mau tahu banget?"
"Aku kan kepo an mba!!" Ga perlu ditanya lagi!!"
"Ntar aja lah mba kasih tahunya. Mba lagi nggak mood untuk berbicara sekarang ini"
Dwi menatapku dengan penuh perhatian.
"Om bikin masalah lagi ya?"
Aku terdiam. Malas menjawab pertanyaan yang bagiku tidak penting.
"Sudah, santai saja. Nanti pas di candi, kita langsung hunting bule oke!" Ucapnya tengil, berusaha menghiburku dengan guyonannya yang bagiku sedikit lucu.
"STRESS..!!" Sahutku sambil mencubit pahanya pelan.
Bus wisata pun telah tiba di tempat pemberhentian dekat candi, kami semua segera turun. Tanpa ada ucapan sepatah katapun, suamiku langsung mengambil alih Gendis dari dekapanku. Aku menatapnya sinis. Entahlah, mas memang tulus ingin menggendong putrinya atau hanya menjaga gengsinya di mata keluargaku.
"Aduh, lihat tuh..!! Borobudur penuh banget sama wisatawan!" Tunjuk ayah Dwi ke arah candi.
Dari kejauhan, terlihat begitu banyak wisatawan yang memadati wilayah candi. Sampai-sampai tangga untuk menuju ke atas candi juga penuh sesak oleh pengunjung yang saling berdesak-desakan. Aku yang hanya melihat dari kejauhan sudah merasakan rasa sumpek luar biasa. Bagaimana kalau aku juga ikut berdesak-desakan bersama mereka?
Aku mendengus kesal.
"Terus bagimana dong pak? Kasihan Gendis kalau kita tetap memaksakan diri untuk naik ke atas?" Sahut ibu Dwi dengan raut wajah kecewa.
"Mas Dedi, tampaknya saat ini kondisi sedang tidak memungkinkan untuk membawa Gendis melihat stupa di Borobudur. Bagaimana kalau kita sementara waktu beristirahat di tamannya saja?"
Suamiku yang tidak suka dengan hal yang ribet, tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan saran dari ayah Dwi. Akhirnya hari itu, kami tidak jadi membawa Gendis untuk melihat Borobudur dari dekat. Mas segera menyewa tikar untuk tempat kami melepas lelah, sekaligus melihat candi walau hanya dari kejauhan.
Putriku tampaknya tidak terlalu menghiraukan kalau hari ini ia telah gagal untuk melihat candi Boribudur. Ia malah asik berlarian di sepanjang taman yang dipenuhi oleh rumput gajah. Walau matanya sesekali tampak mengagumi bangunan candi dari kejauhan.
Gendis yang awalnya hanya berlari pelan disekitar keluargaku yang sedang duduk beristirahat, tiba-tiba mempercepat langkah kakinya. Aku yang sedari tadi menemani dan mengawasi putriku, segera berlari mengejarnya. Anakku terus berlari menuju ke taman yang struktur tanahnya membentuk gundukan bukit.
"Ndis.. tunggu mama! Larinya pelan-pelan nak! Jangan sampai Gendis terjatuh!" Teriakku panik, takut kalau anakku jatuh terguling- guling ke bawah. Maklum saja, di sekitar taman begitu banyak pohon besar yang akarnya menonjol keluar. Aku tidak mau kalau anakku sampai terluka.
Namun Gendis tidak mendengarkan teriakanku.
Ia terus saja berlari, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku yang terus memanggil-manggil namanya. Ku amati, putriku tampak begitu antusias menuju ke bukit yang paling tinggi!
Tanpa beristirahat dan mengenal lelah, akhirnya Gendis sampai di bukit yang ia tuju. Derap langkah kakinya terhenti, wajahnya menunduk dan putriku mulai bersimpuh serta mengangkat ke dua tangannya. Sepertinya putriku sedang berdoa. Entah doa apa yang ia panjatkan. Setelah selesai berdoa, Gendis mengusap wajah dengan telapak tangannya.
"Aamiin.. Aamiin..!" Ujarnya berulang-ulang sambil menyunggingkan senyum.
Aku terpana melihat tingkahnya. Siapa yang telah mengajari anakku berdoa dengan khusyu? Mengapa ia memilih berdoa di bukit yang paling tinggi dan sepi dari pengunjung? Seperti ada seseorang yang menuntun langkahnya menuju ke tempat ini.
Aku menghampiri Gendis yang masih duduk bersimpuh di atas rerumputan.
"Ndis, Gendis habis ngapain?"
Dengan mata berbinar, ia menjawab pertanyaanku "Dis, oa" (Gendis berdoa)
"Berdoa?? Siapa yang ngajarin Gendis berdoa disini?" Tanyaku yang benar-benar keheranan akan sikapnya yang aneh.
"No..! No..!" Hanya itu ucapannya seraya berlari meninggalkanku.
Anakku kembali berlari kencang menuruni gundukan tanah yang curam. Kini ia menuju ke tempat kelurgaku yang sedang duduk santai. Sesampainya disana, Gendis langsung duduk di pangkuan ayah Dwi. Aku mengatur nafasku pelan. Lumayan juga harus mengejar Gendis yang berlari cepat menuruni bukit.
"Hey, habis dari mana kamu?" Tanya kakek yang keheranan melihat wajah cucunya yang bersimbah peluh.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan kakek, Dwi segera menyerahkan sebotol mineral ke bibir putriku. Gendis langsung menyambut air yang diberikan Dwi.
"Gllek.. Gleekk..! Enyaak Wi..! Maacih Uwi aik" (Enak Wi. Terima kasih Dwi baik) Tutur Gendis sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Uwi umben aik ama Dis" (Dwi tumben baik sama Gendis)
"Ooh.. gitu ya!! Berarti kemarin-kemarin Dwi jahat sama Gendis?" Geram Dwi dengan wajah masam.
"Kek..! Kek..! Uwi alah ama Dis!" (Kakek. Kakek. Dwi marah sama Gendis) Ujar Gendis sambil menarik lengan baju ayah Dwi, meminta perlindungan.
Kakek tersenyum dan mengelap peluh yang memenuhi kening putriku dengan tisu yang ia pegang.
"Ima, memangnya Gendis habis dari mana? Kenapa badannya bersimbah keringat begini?"
"Itu om, tadi Gendis tahu-tahu berlari ke arah bukit yang paling tinggi. Terus Gendis berdoa disana" jawabku jujur.
Ayah Dwi menatap lekat wajah cucunya. "Kamu ngapain berdoa di atas bukit?? Gendis habis berdoa ke Dewa? Atau Gendis habis melihat dan bertemu dengan Dewa ya?" Tanya ayah Dwi dengan raut wajah serius.
"Ewa kek?"(Dewa kek) Gendis terlihat bingung dengan ucapan kakeknya.
"Huus..!! Jangan bilang begitu ke cucunya!" Bentak Ibu Dwi dengan raut wajah tidak suka.
"Waduh, maafin kakek ya. Cucu kakek pasti belum paham tentang Dewa" ujar ayah Dwi seraya mengecup lembut puncak kepala anakku.
"Mas Dedi bagaimana kalau kita langsung check-in ke hotel. Cuaca disini terik banget" ujar tante sambil mengipas-ngipas wajahnya yang memerah akibat terbakar cahaya matahari.
"Iya te. Biar sekalian istirahat dan malamnya bisa jalan-jalan keliling Malioboro"
Kami pun segera meninggalkan taman dan menuju kembali ke parkiran. Borobubur yang sangat indah dan membawa sejuta tanya tentang perilaku anakku.
Gendis sempat memalingkan wajahnya sekilas melihat ke arah candi. Bibirnya merekah, ke dua tangannya terkatup di depan dada. Ia menundukkan wajahnya sedikit memberi hormat. Putriku mengucapkan salam perpisahan "Bye Oloudul. Apan-apan Dis ain ali agi ama mama" (Bye Borobudur. Kapan-kapan Gendis main kemari lagi sama mama) Teriaknya sambil melambaikan tangan ke arah candi yang berdiri kokoh dan megah.
***
Malam harinya, aku dan keluargaku menikmati suasana di daerah Malioboro, makan malam menikmati gudeg dan krecek favoritku.
Ada setangkup haru dalam rindu
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja..
Bibirku mendendangkan lagu KLA Project yang berjudul "Yogyakarta".
"Ma, kita ajak Gendis keliling alun-alun naik becak yuk" ajak mas yang sedang memangku Gendis.
"Malas ah!" Ketusku sambil memalingkan wajah. Aku masih kesal jika teringat ucapan suamiku kemarin malam.
"Ima..!! Sana jalan-jalan sama suamimu! Kapan lagi bisa ajak Gendis keliling naik becak?" Tante menatap tajam ke arahku.
Dengan terpaksa dan memasang wajah judes, akhirnya aku mengiyakan ajakan suamiku.
Entah sudah berapa kali aku dan suamiku mondar mandir di sepanjang Malioboro. Mencoba menawar becak yang mau membawa kami berkeliling alun-alun Selatan. Namun sudah hampir setengah jam, mereka semua menolaknya! Mereka mau menerima jika suamiku mau mengikuti kemauan mereka untuk berkunjung ke tempat pembuatan kaos dan bakpia. Dengan tegas, mas menolaknya. Karena tujuan suamiku hanya ingin mengajak putrinya mengelilingi alun-alun Kidul.
Hari semakin malam dan suamiku terus berusaha mencari becak yang bersedia membawa kami mengelilingi alun-alun. Akhirnya mas mendekati seorang pengayuh becak yang sedang duduk santai di dalam becaknya. Setelah tawar menawar, akhirnya beliau bersedia mengantar kami melihat alun-alun. Namun aku merasakan adanya kejanggalan dari abang pengayuh becak tersebut. Ku perhatikan sedari tadi ekor matanya tampak selalu mencuri pandang ke arah putriku!
Bersambung
Comments (0)