Part. 44
Yogyakarta Bag. 1
Yogyakarta Bag. 1
"Mobil yang dikendarai suamiku meninggalkan tempat parkir hotel dan melaju ke jalan raya. Menuju ke kota selanjutnya, Yogyakarta.
"Bismillah, Yogjakarta.. aku datang" Bisikku sambil menyunggingkan senyum.
Setelah hampir empat jam berkutat dengan kemacetan yang cukup membosankan. Kendaraan kami akhirnya memasuki kota Yogykarta. Sore itu sejumlah ruas jalanan di Yogyakarta tampak padat. Sepanjang trotoar juga terlihat ramai sesak wisatawan yang berbelanja di kios pedagang kaki lima.
"Tidak seperti biasanya, kenapa Yogja sekarang jadi macet banget ya? Gumam ayah Dwi.
"Maklum saja om, nanti malam kan pergantian malam tahun baru" sahut mas.
"Loh, iya toh? Om kok sampai lupa!" Ujar ayah Dwi sambil menepuk keningnya.
"Waduh bahaya nih! Bisa susah cari penginapan. Dan harga kamar hotel bisa over priced. Rencananya, malam ini kita akan menginap dimana mas?" Ibu Dwi mulai menimbrung obrolan.
Suamiku tampak berpikir sejenak. Nampaknya ia juga bingung memikirkan apa ada hotel yang kosong di penghujung tahun seperti ini.
"Kita coba ke hotel itu saja te. Nanti Dedi coba tanya, malam ini ada kamar yang ready atau tidak" jawab suamiku sambil mengarahkan kendaraan ke halaman parkir yang luas. Dari balik jendela, sepasang bola mataku mengamati penuh kekaguman pada arsitektur bangunan hotel yang terlihat sedikit kuno namun tampak terawat.
"Mas apa tidak salah malam ini kita akan menginap disini? Kenapa tidak mencari penginapan yang biasa saja? Biar lebih murah?"" Raut ayah Dwi terlihat khawatir. Mungkin beliau merasa tidak enak hati dengan suamiku.
"Sepertinya kalau dadakan dan malam tahun baru begini akan susah untuk mencari penginapan yang murah. Lihat saja itu om, parkiran di hotel ini juga penuh sesak dengan plat kendaraan yang datang dari luar kota. Sebenarnya Dedi juga agak sedikit was-was, takut kalau hotel disini roomnya penuh semua"
"Bismillah mas. Semoga malam ini masih ada kamar yang tersedia. Salah kita juga sih tidak memesan hotel dari jauh-jauh hari" sahutku sambil mengamati area parkir kendaraan yang cukup padat.
"Tumben mba pinter" bisik Dwi dari arah belakang sambil cekikikan.
Suamiku segera memarkirkan kendaraannya di lahan parkir kosong tak jauh dari lobi hotel. Mas dan ayah Dwi segera turun dari mobil dan menuju lobi untuk menanyakan ketersediaan kamar. Sekitar sepuluh menit kemudian, ayah Dwi kembali dan memberitahu kalau hanya ada satu kamar yang tersisa. Kami pun disuruh bersiap-siap menurunkan barang bawaan seperlunya.
"Ma, kamu susul suamimu. Biar nanti om dan tante yang membawakan perlengkapan Gendis"
"Baik om, terima kasih"
Aku segera menggendong Gendis dan menyusul suamiku. Saat langkah kakiku memasuki area lobi, harum wangi aroma therapy menyeruak ke dalam indra penciuman, menyambut kedatanganku. Mataku terpana menyusuri lobi hotel yang terlihat luas dan dipenuhi lukisan serta furniture antik.
"Mewah banget hotelnya" aku berdecak kagum.
"Ma..! Ma..! Akep ya ma!" (Ma. Ma, Cakep ya ma) Nampaknya Gendis juga menyukai hotel pilihan ayahnya.
"Iya Ndis, hotelnya bagus banget"
Mas yang melihat kedatanganku segera berjalan menghampiriku dan mengambil Gendis dari pelukanku
"Ma, kamar yang ready cuma satu. Executive suite. Nggak apa-apakan?"
"Terus tidurnya bagaimana mas? Kan ada keluarga Dwi?"
"Sudah.. gampang diatur itu. Yang penting kita lihat saja dulu kamarnya. Kalau kasurnya kurang, tinggal pesan extra bed"
"Mbaaaa...!!" Pekik Dwi sambil memelukku dari belakang.
"Apaan?'" Sahutku ketus.
Kulihat keluarga Dwi sudah menyusul ke dalam hotel.
"Ini baru namanya hotel mba! Lihat tuh, mewah banget kan?"
Aku tersenyum tanda setuju dengan pendapat sepupuku.
"Kalau di hotel mewah begini, baru nggak ada demitnya! Gendis aman deh!!" Ucap Dwi asal-asalan.
"Huus!! Jangan ngomong sembarangan ah!" Mataku melotot ke arah Dwi.
"Mba nih kalau aku kasih tahu nggak percaya! Eh.. Om, kolam renangnya ada di lantai berapa?" Dengan antusias, Dwi bertanya ke suamiku.
"Kalau om tidak salah dengar, swimming poolnya ada di roof top"
"Waaaa... roof top,.waktunya foto-foto" mata Dwi mengerjap manja.
"Norak!!" Aku mencibir kelakuan Dwi.
"Biarin..! Weekk!!" Balasnya sambil menjulurkan lidah.
Seorang room boy menghampiri kami dan menyapa ramah. Beliau menanyakan nomer kamar dan segera menaikkan barang bawaan kami ke luggage trolley. Dengan menaiki lift, kami menuju ke lantai dua. Tempat dimana kamar kami berada. Langkah room boy terhenti di kamar bernomer 290. Kamar yang terletak di paling ujung koridor. Ia segera membukakan pintu dan menyalakan lampu kamar. Setelah mas memberikan tips dan mengucapkan terima kasih, ia bergegas meninggalkan kami.
Kakiku melangkah memasuki ruangan. Mataku terpana melihat kamar yang malam ini akan aku tempati.
"Kamarnya luas banget Wi" aku mengamit tangan sepupuku dan membawanya berkeliling ruangan. Ada satu kamar tidur utama, dilengkapi kamar mandi yang sangat besar dan semuanya terbuat dari marmer.
"Mba, Gendis suruh tidur di kamar mandi saja. Anakmu kan kalau tidur tidak bisa diem. Jadi kamar mandi ini cocok banget untuk dia" ujar Dwi tertawa geli.
Aku menjewer kuping Dwi dan tertawa pelan "Kamu saja yang tidur di kamar mandi. Badanmu kan gede banget, boros!" Balasku tak mau kalah.
"Iihs.. mba ah" ujarnya manja.
Mataku terus berkeliling kesana kemari, mengamati isi kamar yang dipenuhi barang-barang mewah.
"Ma, nanti biar keluarga Dwi yang tidur di kamar utama. Kita tidur di r. tv!" Suara mas terdengar dari ruangan yang terletak di sebelah kamar utama.
Tanganku terjulur ke arah Gendis yang sedang tiduran di atas kasur sambil menonton film kartun.
"Ndis ikut mama lihat-lihat ruangan sebelah yuk"
"Ayuk ma"
Dengan bergandengan tangan, aku dan putriku berjalan menuju ke ruang tv. Aku terperanjat kaget ketika memasuki ruangan. Di dalam ruangan itu terisi berbagai macam furniture yang terbuat dari jati pilihan, yang kutaksir harganya sangatlah mahal. Disudut ruangan, dekat lemari tv, ada satu lemari yang yang menarik perhatianku. Lemari besar itu! Entah mengapa bulu halus di tubuhku langsung berdiri ketika pertama kali melihatnya. Aku menggelengkan kepala perlahan, berusaha menepis pikiran buruk.
Gendis melepaskan jemarinya dari genggamanku. Ia melangkah perlahan menuju lemari jati yang dimataku tampak begitu indah sekaligus menyeramkan. Putriku mengamati lemari itu dari atas hingga bawah. Bola matanya yang bulat memandang tajam ke arah lemari. Entah apa yang tengah ia amati.Setelah anakku puas melihat-lihat lemari yang terkunci dengan rapat, ia berjalan menghampiriku.
"Yuk ma, iat-iat agi" (Yuk ma. Lihat-lihat lagi) Gendis segera meraih tanganku dan menggenggam erat.
Sambil menggandeng tangan Gendis, kakiku menjelajahi ruangan yang beralaskan karpet berwarna merah. Selain tv berukuran raksasa yang sedang ditonton suamiku. Di ruangan itu juga terdapat sofa dan sofa bed. Disana juga ada ruang makan dengan meja yang sangat luas yang bisa menampung sekitar sepuluh orang. Ada satu ruangan juga untuk menelpon. Dan tunggu sebentar, i-itu ruangan apa..??
Di sudut ruangan, ku lihat ada sebuah bilik tertutup dengan sebuah pintu kecil di tengah-tengahnya. Setengah dari ruangan diberi kaca tembus pandang. Terlihat dua sofa yang saling berhadapan. Nampaknya ruangan itu dikhususkan untuk rapat atau membicarakan hal yang bersifat privacy.
Aku menjadi penasaran. Perlahan langkah kakiku berjalan mendekat, berusaha untuk melihat lebih jelas. Namun jemari Gendis menarik tanganku, menahanku. Ia menggelengkan kepala pelan, memberi petanda agar aku tidak mendekati tempat itu.
"No..! No..!" Bisiknya pelan.
"Memangnya kenapa Ndis?"
"Dicitu..." (Disitu) putriku tampak ragu melanjutkan ucapannya.
"Disitu kenapa Ndis? Ada yang seramkah?" Tanyaku pelan.
Gendis menggelengkan kepalanya. Namun matanya tetap mengintai ke ruangan yang terlihat misterius.
"Ga ada yang elem ma. Uma dicitu ame" (Nggak ada yang seram ma. Cuma disitu rame) ujarnya setengah berbisik.
"Ramai??" Ke dua alisku bertaut mendengar penjelasan anakku.
"Iya ma. Dicitu ame olang agi uduk. Mama No aggu eleka ya" (Iya ma. Disitu rame orang lagi duduk. Mama No ganggu mereka ya)
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan putriku.
"Oow.. jadi mama tidak boleh mendekat kesitu karena takut menggangu mereka?"
"He-eh! Mama intal" (Mama pintar)
"Ayo alik ke ayah! Angan dicini. Eleka g cuka diiat ama mama" (Ayo balik ke ayah. Jangan disini. Mereka tidak suka dilihat sama mama)
Seketika itu juga, bulu halus di tengkukku berdiri. Kurasakan ada sepasang tangan dingin yang sedang mencengkram erat pundakku. Awalnya aku tidak mengindahkan namun lama kelamaan, cengkraman itu terasa semakin kuat dan menyakitkan. Jantungku berdetak hebat seirama dengan tubuh yang menegang kaku. Kini aku tersengat rasa takut luar biasa.
"Eh, ke-kenapa ini?? Kok badan mama jadi meriding begini? Dan pundak mama kenapa jadi terasa berat dan sakit ya?" Aku keheranan dengan apa yang aku alami. Aku meraba-raba pundak dan tengkukku, memastikan kalau apa yang tengah kurasakan hanyalah ilusi belaka.
"Tuh, mama kan. Udah Dis ilang angan dicini. Eleka ga cuka. Eleka alah tuh ama mama" (Tuh mama kan. Sudah Gendis bilang jangan disini. Mereka nggak suka. Mereka marah tuh sama mama)
"Tapi kan mama tidak mengganggu mereka Ndis?" bisikku lemah.
"Iya.. api eleka ga cuka diiat mama" (Iya tapi mereka nggak suka dilihat mama)
Gendis menatap ke belakang tubuhku. Ia terdiam, mengamati mereka.
"Ini mama Dis! Aap mama ya! Mama ga aat kok!" (Ini mama Gendis. Maafin mama ya. Mama nggak jahat kok)" ujarnya ke udara kosong di belakangku.
Aku tersentak kaget, merasakan beban berat yang sempat menghimpit pundakku telah sirna.
"Astagfirullahalaziem, alhamdulillah Ya Rabb..!"
"Ayo ma, elgi. Eleka ilang ga papa" (Ayo ma pergi. Mereka bilang nggak apa-apa)
Aku yang masih terpana dengan perkenalan mereka hanya bisa berdiri mematung. Gendis dengan cepat segera menarik tanganku. Berusaha membawaku menjauh dari bilik yang berada tepat di pojok ruangan. Sepertinya putriku benar-benar tidak mengijinkan ku berlama-lama di ruangan itu.
"Mama, No! No! Kecitu agi!!" (Mama. No.No. Kesitu lagi) Gendis mewanti-wanti diriku untuk tidak mendekat ke ruangan yang bagiku terlihat sangat aneh.
"Angan ikin eleka alah!! Angan akal!"" (Jangan bikin mereka marah. Jangan nakal) Perintahnya mengguruiku.
Dengan wajah pias dan nafas tak beraturan, aku menggangguk lemah.
"Maafin mama ya Ndis karena tidak mau mendengarkan nasehat Gendis"
"Iya ma. Akana ulut ya. Be good" (Iya ma. Makanya nurut ya. Be good)
"Ma.. Dis ke kekek uyu" (Ma, Gendis ke kakek dulu) pamit putriku sambil berlari menuju ke ruangan sebelah.
Dengan langkah pelan dan kaki gemetar, aku berjalan menuju ke sofa. Aku menghempaskan tubuhku di atas kursi yang empuk. Aku terduduk diam sambil menundukkan kepala. Bibirku mengatup rapat, berusaha menyimpan dalam-dalam kejadian yang baru saja aku alami. Bahaya kalau sampai aku keceplosan.
Karena pilihannya hanya dua. Aku kembali dibilang berhalusinasi atau malam ini juga Dwi akan menjerit-jerit ketakutan dan segera minta checkout, hingga kami semua harus bermalam di mobil. Aku menghela nafas panjang, bergumam pada diri sendiri "ini pilihan yang sulit! Biarlah rahasia ruangan kecil itu hanya aku dan Gendis yang tahu.
"Sudah selesai lihat-lihatnya?" Tanya mas sambil menonton tv.
"He-eh.." jawabku singkat.
"Baguskan kamarnya? Worth it lah sama harganya" ujarnya lagi tanpa berkedip sedikitpun dari layar tv.
"Iya mas. Room disini besar banget dan banyak sekali ruangannya" jawabku ragu.
Tak lama kemudian, Ibu Dwi mendatangi kami.
"Mas Dedi, kata om, sebaikny malam ini mas keluar sebentar untuk mencari penginapan yang lain, yang lebih murah. Jadi kita menginap disini semalam saja"
Mas terdiam. Menatapku, meminta persetujuan.
"Bukan kenapa-kenapa mas. Sayang uangnya kalau hanya untuk dipakai menginap di sini." Ibu Dwi memberi penjelasan. Mungkin beliau takut kalau suamiku tersinggung dengan ucapannya.
Setelah berpikir sejenak, suamiku menyetujui saran dari orangtua Dwi. Mas segera pamit keluar untuk mencari penginapan. Aku yang sedang duduk di sofa, sesekali mengintip keluar melalui jendela kaca yang besar. Semakin malam trotoar terlihat ramai, dipenuhi orang-orang yang sedang duduk santai.
"Mungkin mereka sedang menunggu acara kembang api tanda pergantian tahun"[/Ibatinku.]
Dari bayangan yang terpantul di kaca jendela, terlihat tubuh Dwi sedang berjalan mengendap-endap di belakangku
"DOR..!! Bengong aja, kesambet loh!"
Aku terdiam tetap menatap ke luar jendela.
"Aahh.. Mba nggak seru nih! Pura-pura kaget dong!!" Raut wajahnya tampak kesal karena niatnya mengagetkanku tidak berhasil.
"Bawel..!" Ucapku pelan sambil terus mengamati lautan manusia yang lalu lalang di sepanjang trotoar.
Dwi kini duduk di sebelahku, ia berbisik pelan sekali "Mba, ruangan ini kenapa rasanya aneh banget ya? Apalagi lemari itu?" Tunjuk Dwi takut-takut ke arah lemari jati dengan motif ukiran tradisional.
Netraku mengamati lemari jati yang berdiri kokoh. Entah mengapa hatiku merasakan seperti ada sesuatu di dalamnya. Aku merasa ada banyak mata yang terkunci dalam lemari yang tengah melihat ke arahku. Diam-diam aku bergidik ngeri.
"Kok sama ya Wi? Mba dari pertama melihat lemari itu juga ada perasaan takut Sepertinya ini bukan lemari jati biasa Wi. Kalau menurut perasaan mba, lemari ini ada penunggunya" desisku halus.
Tatapan Dwii beralih ke arahku. Hembusan nafasnya yang wangi menerpa wajahku.
"Semoga saja, malam ini anakmu nggak kenapa-kenapa ya mba. Susah juga ya ternyata punya anak seperti Gendis" gelak tawa Dwi menggema di seluruh penjuru ruangan.
"Ya mau bagimana lagi? Sudah peka dari sananya. Masa iya, mba harus [I]complain ke Allah?" Guyonku berusaha mencairkan suasana.
"Yang tabah ya mba, ini ujian dalam hidupmu!" Dwi menepuk bahuku pelan sambil memasang wajah menyebalkan.
Karena merasa jenuh tidak bisa keluar hotel. Akhirnya aku dan Dwi menghabiskan waktu menonton film. Ku dengar gelak tawa canda Gendis dan kakeknya dari kamar sebelah. Tampaknya putriku masih anteng bersenda gurau dengan ayah Dwi. Aku melihat jam tangan di pergelangan kiri, ternyata cukup lama juga suamiku belum kembali. Tampaknya mas sedikit kesulitan mencari penginapan yang available untuk besok kami tempati.
Aku mendesah pelan. Sesekali mataku melirik ke arah jalan raya yang letaknya tepat di samping jendela kamar. Malam semakin larut, jalanan semakin bertambah padat. Penuh dengan lautan manusia yang berkerumun di sepanjang jalan. Semua kendaraan tidak ada yang bergerak, terdiam di tempat. Lamunanku dikejutkan ketika melihat pantulan bayangan suamiku. Dengan spontan, aku menoleh ke belakang. Ku lihat wajah suamiku begitu letih. Nafasnya terlihat ngos-ngosan.
"Parah banget jalanan. Macet total!" Gerutunya sambil meraih secangkir air mineral yang tersedia di atas meja dan meneguknya sampai habis.
"Gimana om, dapat nggak hotelnya?" Tanya Dwi basa basi.
"Alhamdulillah dapat Wi! Tapi baru bisa diisi sekitar pukul 16"
"Ya nggak apa-apa om. Kan besok sehabis breakfast, bapak mau ajak cucunya melihat candi Borobudur. Habis dari sana baru kita check in di penginapan yang baru"
"Tumben otaknya dipake" aku menoel pipi Dwi yang bersemu merah.
"Udah dari dulu kali!!" Ketus sepupuku.
"Mas, letak penginapannya jauh atau tidak dari Malioboro?"
"Tenang saja Ma, letak hotelnya mas jamin starategis! Kita gampang jalan kemana-mana. Pas di depan penginapan juga ada cafe dan restaurant yang cozy!"
"Syukurlah kalau letak hotelnya strategis. Jadi kalau mau kemana-mana tidak repot" balasku singkat.
Derap langkah kaki orang sedang berlari kencang terdengar menuju ke ruangan tempat kami berada.
"Pasti sebentar lagi bocah yang nggak bisa diam muncul nih" ucap Dwi sambil memandang dinding yang menjadi pembatas ruangan.
Tak lama kemudian muncullah seraut wajah bulat dan lucu dari balik pintu. Ia tersenyum dan berlari dengan cepat ke dalam pelukanku.
"Mama.. Dis angen" (Mama, Gendis kangen)
Aku tersenyum sambil memeluk tubuhnya yang terasa dingin akibat hembusan ac.
"Baru juga main sebentar sama kakek, masa sudah kangen sama mama?" Godaku sambil menatap bola matanya yang bulat kekanak-kanakan.
"Yak.. pemirsa! Drama ibu dan anak sebentar lagi akan segera dimulai!! Sebaiknya Uwi harus menyingkir cepat-cepat, dari pada harus melihat drama yang tidak jelas ini" Ujar Dwi seraya meninggalkan ruang tv dan kembali ke kamar utama.
"Yaa.. Uwi egi! Uwi Dis iyang" (Ya. Dwi pergi. Dwinya Gendis hilang) Gendis menatap sedih kepergian mba sekaligus musuh bebuyutannya.
"Sudah biarin saja mba Dwi balik ke kamarnya. Kan mba Dwi cuma ke ruangan sebelah. Anak mama jangan sedih gitu ah" bujukku berusaha mengembalikan wajah ceria Gendis.
"Ndis..!! Sudah malam. Lihat itu sudah hampir pukul dua belas malam. Ayo tidur!" Perintah suamiku sambil melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
"Yuk Ndis, kita sikat gigi dulu terus bobo. Besok pagi sehabis sarapan, Gendis akan diajak ke Borobudur sama ayah, mama, kekek, dan nini"
"Uwi.. ma??"
"Hahaha.. anak mama pintar. Ingat saja sama mba nya!" Dengan gemas, aku menciumi wajah putriku.
"Iya, sama mba Dwi juga. Kasihan kalau mba Dwi ditinggal. Ntar dia nangis"
Gendis tertawa geli mendengar ucapanku. "Uwi angis.. huu.. huu" (Dwi nangis)
"Ma, ikat gigi now" (ma, sikat gigi now)
"Hayukkk" aku segera mengamit tangan Gendis dan menuju ke kamar mandi. Setelah menyikat gigi, aku dan Gendis segera merebahkan diri di sofa bed. Aku menarik selimut hingga sebatas leherku, berjuang keras memejamkan mata di tengah suara hiruk pikuk dentuman petasan dan tiupan terompet yang Cumiakkan telinga.
***
Malam itu aku terbangun, mataku terbuka lebar karena mendengar suara-suara aneh. Awalnya kupikir suara itu berasal dari arah jendela, namun saat ku buka mataku dan mempertajam indra pendengaran, aku mendengar seperti ada suara tikus di lemari. Pintu lemari jati yang awalnya tertutup rapat, tiba-tiba salah satu helai pintunya terbuka perlahan dan bergerak-gerak sendiri. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin engsel daun pintu lemari jati itu sudah rusak dan harus diperbaiki. Atau bisa jadi pintu itu terbuka sendiri karena tertiup angin.
"Se-sebentar! Angin?? Di dalam ruangan yang tertutup rapat begini?? Ti-tidak mungkin!! Aku tidak merasakan adanya angin yang bertiup!" Ujung mataku berkeliling berusaha mencari jawaban yang masuk akal.
Suara gerakan daun pintu di tengah keheningan malam membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Perlahan-lahan ayunan pintu yang terbuat dari jati itu bergerak semakin cepat dan menimbulkan suara yang kurang enak didengar "kriiett.. kriieett" aku meringis ngilu.
Netraku terus mengawasi pintu lemari yang berwarna coklat pekat. Aku merasakan adanya ancaman yang tengah mengintai anakku. "Si-siapa sosok mahluk yang sedang memainkan helai daun pintu yang begitu berat ? Apa tujuannya? Ingin menakut-nakutiku atau hanya ingin memperkenalkan dirinya kepada putriku?" Hatiku mulai bertanya-tanya.
Samar-samar dari celah pintu lemari yang gelap, terlihat sosok bayangan hitam berusaha merangkak keluar. Tubuhku bergetar ketakutan melihat tangan penuh keriput menyembul dari balik sehelai daun pintu. Kuku-kuku jari tangannya yang panjang menghitam tampak mencengkram erat pintu yang terbuat dari jati. Mataku terbelalak, menatap nyalang. Jantungku berdebar semakin kencang, nafasku memburu cepat. Aku ketakutan setengah mati.
"Astaghfirullahaladzim.!! Pekikku tertahan. Rasanya ingin sekali aku berteriak sekencang mungkin berusaha meminta pertolongan. Namun tengorokanku tercekat, aku kesulitan bernafas. Semakin lama aku semakin sesak dan pandanganku mulai kabur.
Bersambung
Comments (0)