SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 25)
Quote:
Januari 2005, malam semakin larut, dua suster datang dan menyuntikkan sampel obat yang akan diberikan. Suntikan di atas daging dan di bawah kulit yang dipergunakan untuk memastikan bahwa tubuhku menerima obat itu tanpa ada alergi. Panas dan perih, itulah yang kurasakan saat itu. Nadine, ya gadis itu ada di sebelahku saat ini begitu perhatiannya ia kepadaku kini, meskipun bukanlah ia yang aku harapkan datang pada hari ini.
“Gimana Nad, lancar gak?” tanyaku.
“Apanya yang lancar?” tanyanya sedikit ketus, “jalanan sih lancar,” sambungnya dengan nada yang ketus.
“Ea, loe jagain gue sih jagain, galaknya gak usah dibawa juga kali,” ujarku lalu berusaha beranjak dari pembaringanku.
“Tama!” teriaknya seketika ia menahan dadaku, “tidur sana tidur,” ujarnya dengan nada yang menampakkan kecemasan dan sinis disaat yang bersamaan, aku terdiam dan memandangnya, “ngapain loe liat-liat?” tanya Nadine lagi kepadaku.
Aku menggeleng, “loe manis banget kalo lagi cemas,” ujarku dan tersenyum, tiba-tiba wajahnya memerah di remangnya cahaya malam itu.
“Loe itu Tam, dari dulu senengannya bikin gue salting aja deh,” ujarnya lalu duduk lagi di kursinya.
“Loh, salahkah gue memuji Nadine Helvelina?” tanyaku sambil memanggil nama panjangnya.
“Enggak salah sama sekali sih,” ujarnya lalu ia mengambil tasnya.
“Eh, loe gak mau pulang kan?” tanyaku agak heran, ia lalu tersenyum.
“Terserah gue lah Tam, secara loe kan cuma temen gue,” ujarnya lalu mengernyitkan dahinya.
“Huh, sendiri lagi malem ini,” ujarku lalu menghela napas.
“Gue pengen temenin loe sampe sembuh,” ujarnya lalu menggenggam tanganku ringan.
“Yang bener Nad?” tanyaku tidak percaya, ia hanya tersenyum lalu mengangguk pelan, tapi pasti.
“Gue cuma nyiapin baju aja buat besok,” ujarnya lalu dengan tanpa canggung mengeluarkan seragam SMA di atas ranjangku, ya lengkap dengan pakaian dalamnya, aku hanya memandangnya keheranan.
“Berarti besok daleman loe warna item, nanti gue SMS bocah,” ujarku lalu tertawa kecil, sejurus kemudian ia mencubit pipiku.
“Sampe Kevin tahu warna daleman gue, awas loh Tam,” ujarnya dan mencubit pipiku makin keras.
Malam semakin larut, berulang kali kulihat Nadine menguap, tetapi ia masih berkonsentrasi dengan buku yang masih ia pegang sekarang, ya ia masih belajar. Ia sangat cantik dibalik kacamata full frame-nya malam itu, tetapi ya aku tidak pernah bisa meraih hatinya dengan alasan yang aku tidak mengerti. Aku tertidur, selain efek obat yang diberikan, juga karena memang deman di tubuhku sangat tinggi dan membuatku sangat tidak nyaman.
Aku terbangun pukul 0500, aku berusaha duduk dari pembaringanku, tetapi sesuatu menahanku. Ya, Nadine teridur di pahaku, wajahnya sangat polos tanpa kacamata full frame yang biasanya ia gunakan. Ini masih pagi, tetapi aku harus membangunkannya karen jarak dari rumah sakit ke sekolah cukup jauh.
“Nad,” panggilku pelan, ia tidak bereaksi apapun saat itu, “Nad, bangun udah jam lima,” ujarku lalu dengan sengaja kubelai rambutnya, ia malah mengenggam tanganku, aku sedikit terkejut saat itu.
“Nad, bangun udah pagi,” ujarku lalu ia pun membuka matanya perlahan, ia melihatku dan tersenyum.
“Met pagi Tam,” ujarnya tersenyum dengan wajah yang sangat merah, ia lalu melepas genggaman tangannya perlahan.
“Mandi sana, nanti loe telat,” ujarku, ia lalu mengacak-acak rambutnya dan melihatku, sejurus kemudian ia menggeliat dengan menaikkan kedua tangannya ke atas.
“Udah mandi, gak usah sok seksi di depan gue,” ujarku ketus.
“Yey, siapa yang sok seksi,” ujarnya tak kalah ketus sambil memandang ke arahku.
Baru pertama kali aku melihat gadis itu menggeliat, ia lalu dengan langkai masih gontai menuju ke kamar mandi untuk mandi pagi. Dua puluh menit kemudian, ia sudah keluar dari kamar mandi dengan seragam SMA-nya. Wangi sabun yang ia gunakan sangat khas, dan aku menyukainya, karena aku bisa mengenalinya hanya dengan mencium wangi sabun ini.
“Nad,” panggilku pelan, “aku bahagia bisa kenal sama kamu,” ujarku pelan di telinganya.
“Sama-sama Tam,” ujarnya masih di dekapanku.
“Jadi Betelgeuse buat aku selalu yah,” pintaku lembut kepadanya.
“Selalu Tam,” ujarnya dengan hangat, “kenapa tiba-tiba Tama begitu romantis?” tanyanya kepadaku.
“Karena aku ngerasa bersalah sama Nadine,” ujarku.
Aku mencium bibirnya dengan hangat di malam itu, tanpa ada sebersit pikiranpun tentang Cauthelia malam ini. Aku menciumnya, seakan aku tidak pernah mengenal Cauthelia, seakan ia tidak pernah ada dekat denganku. Aku menciumnya sangat lama hingga aku menyudahinya, dengan wajah yang sangat merah ia tersenyum kepadaku.
“Aku tahu ini bodoh, tapi aku sayang sama Elya, tapi aku juga sayang sama Nadine,” ujarku pelan, saat itu Nadine hanya memandangku dengan wajah yang sangat merah.
“Biarlah Tama cinta sama dua, tiga, ato empat wanita, asalkan ada Nadine di hati Tama, itu udah cukup,” ujarnya pelan, “cinta Tama udah sempurnain Nadine,” ujarnya lalu ia membuka sweater yang ia gunakan.
Deg!
Jantungku kembali berdetak kencang saat ia mengatakan hal itu. Ia menggenggam tanganku dengan perlahan ia letakkan tanganku di dada kirinya, aku memandangnya dengan tidak percaya, mengapa ia lakukan ini? Hatiku bertanya-tanya saat ini. Tanganku terpaku disana saat ia mulai melepaskan kancing kemeja yang ia gunakan satu persatu.
“Detak jantung yang sama kayak Elya,” ujarku pelan, “aku bisa ngerasain cinta di setiap detaknya,” ujarku berusaha mengalihkan suasana malam itu.
“Lakuin, seperti apa yang Tama lakuin ke Elya,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah, “maaf kalo gak segede punya Elya,” ujarnya lagi.
Satu jam tiga puluh menit kemudian aku tiba di Villa, saat itu aku sudah lelah, ya semua yang kulakukan hari ini membuatku sangat lelah, entah apa lagi yang akan terjadi besok, yang pasti hari ini pengakuan kedua gadis itu membuatku semakin terikat kepada mereka berdua, entah bagaimana aku harus bertindak setelah ini. Setelah mengecup lembut bibirku, Nadine sejurus menuju kamar, sementara aku masih duduk di ruang depan sambil menonton televisi.
Kulihat kedua tanganku sendiri, apa yang sudah kulakukan kepada mereka? Tanyaku dalam hati, rasa sesal itu kembali datang, ketagihan, dan apalah itu namanya, dan aku merasa diriku sangatlah bodoh. Ini sudah pukul 2315, aku menghela napas panjang, lalu kuputuskan untuk memeriksa jendela dan pintu satu persatu setelah itu aku ingin memeriksa keadaan kedua gadis itu sebelum aku pergi tidur.
Semua pintu sudah terkunci, dan semua jendela juga sudah terkunci, saatnya aku menghampiri Nadine yang lebih dekat dari posisiku saat ini. Kubuka pintu kamarnya, dan setelah itu aku mendekatinya, aku tersenyum kepada gadis yang sudah tidur lelap di balik selimutnya, perlahan, kucium keningnya dan aku meninggalkan kamar itu.
Kali ini aku menuju kamar Cauthelia, saat kubuka kamarnya, pemandangan yang menguji imanku terlihat di sana. Cauthelia, yang tertidur polos tanpa sehelai benang, saat itu seluruh selimutnya tersingkap dan hanya menutupi bagian perut ke bawah. Wangi keringat gadis itu benar-benar membuat hasratku memuncak, aku menggelengkan kepala perlahan, kuhampiri gadis itu dan kuraih selimut dari bagian perutnya, lalu kunaikkan selimut itu hingga ke pundaknya.
Sekilas tapi jelas aku melihat bagian perut ke atas, aku hanya menahan napasku supaya tidak menganggunya dan terbangun. Setelah selesai, aku mencium keningnya, perlahan, aku lalu keluar dari kamar tersebut. Sejujurnya wangi keringat gadis itu benar-benar menggodaku, tetapi Westinghouse Air Brake sudah berfungsi normal. Aku menuju ke kamarku sendiri dan aku pun merebahkan diriku disana, tidak lama kemudian aku tertidur.
<<<PREV 4.24 (EP42)
Comments (0)