Part. 43
Gamelan Gaib
Gamelan Gaib
"Beberapa kali aku mengerjapkan kelopak mata, berusaha mengembalikan kesadaranku. Aku menatap Gendis yang tampak gelisah. Kaki dan tangannya terus menendang kesana kemari. Merusak balutan selimut yang membelai hangat tubuhnya. Awalnya kupikir putriku sedang mengalami mimpi buruk. Laambat laun terdengar jerit tangis penuh kepiluan dari bibirnya yang sempat terkatup rapat.
Gendis terus meronta dalam dekapanku. Matanya mendelik. Menatap nyalang ke segala penjuru arah. Ia tampak sulit bernafas. Detak jantungnya kurasakan bertambah cepat. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Putriku kembali diteror rasa takut.
HUA...!! HUUUAAA...!!" Terdengat jeritan maha dahsyat dari bibirnya yang mungil.
"Ndis, Ndis..! Sadar nak..!!" Aku mengguncangkan bahunya perlahan, berusaha membuatnya terbangun dari sesuatu yang tengah menerornya.
Namun usahaku sia-sia. Jeritan dan tangis anakku semakin bertambah kencang, memecah keheningan malam. Kelopak matanya terbuka lebar, pupilnya terlihat membesar. Ia terus meraung-raung tanpa henti. Membuat hati siapapun yang mendengarnya akan merasa pilu. Aku segera mengangkat tubuh Gendis dari atas kasur dan mendekapnya erat dalam pelukan.
Aku berdiri dengan tubuh gemetar mencoba menahan rasa panik. Sekilas aku melirik ke arah suamiku yang sedang mendengkur pulas. Aku berteriak menyerukan namanya, berusaha meminta pertolongan. Namun tampaknya teriakan serta jeritan Gendis tidak bisa membangunkan suamiku. Mas tetap tertidur pulas layaknya seorang bayi. Aku kini merasa sendirian, ketakutanku semakin menjadi.
"ELGI..!! ELGI..!!" (Pergi. Pergi) Jerit Gendis
berusaha mengusir sesuatu yang menganggunya.
"Ndis, sadar nak! Ayo sadar!" Aku menepuk ke dua pipinya perlahan.
"Kecana..!! Kecana..!!" (Kesana.Kesana) Teriaknya histeris sambil menunjuk ke arah pintu kamar.
"Ual..!! Uaall..!! Now!".(Keluar. Keluar. Now) Jerit tangisnya semakin lama makin keras. Bibirnya terus meracau tanpa henti.
Dengan berat hati, aku pun mengikuti kemauan putriku. Sambil menggendong tubuhnya yang terus meronta-ronta, aku menuju ke pintu kamar.
"UKA INTU!!" (Buka pintu) Perintahnya Cumiik kencang.
Perlahan kubuka pintu kamar hotel. Kini aku dan putriku berdiri di ambang pintu. Bola mata Gendis berputar cepat ke segala arah. Tampaknya begitu banyak mahluk halus yang terpampang di matanya.
Telunjuk putriku terangkat pelan, menunjuk ke arah lorong yang terasa dingin dan pengap.
"CANA.. CANA! Elgi Cana!!" (Kesana. Kesana. Pergi Kesana) Jarinya menunjuk ke ujung lorong sebelah kanan.
Namun aku menolak permintaan putriku.
"Ndis, sadar! Ini tengah malam dan kita sedang menginap di hotel!"
"CANAAA..!! ULANG UBULAN..!!! (Kesana. Pulang ke kuburan) Matanya terbuka lebar-lebar, menyiratkan amarah luar biasa.
Aku terkesima dengan tatapan liar putriku.
"Ya Allah Ndis..!! Tolong sadar nak, ngapain tengah malam begini mau ke kuburan?" Rintihku berusaha menahan tangis.
"ULANG UBULAN NOW...!!!" Jeritnya lagi sambil menendang tubuhku, ia berusaha keras melepaskan diri dari pelukanku.
Semakin Gendis meronta keras, semakin erat pula dekapanku. Perasaanku mulai tak menentu. Aku segera membawa putriku kembali masuk ke dalam kamar. Tak ku gubris tangisannya yang semakin menjadi-jadi tanpa ada setetes air mata pun yang keluar dari kelopak matanya.
Terlalu berbahaya jika aku mengikuti kemauan putriku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Gendis berhasil melepaskan diri dari pelukanku. Bisa-bisa anakku berlari tak tentu arah dan berteriak-teriak di sepanjang lorong hotel. Aku terus beristighfar dan melatunkan ayat-ayat suci di telinga Gendis. Memohon pertolongan Allah agar menyingkirkan semua mahluk yang malam ini berusaha mengganggunya. Namun tangisan putriku semakin meledak-ledak.
Suasana dalam kamar semakin menegangkan. Suamiku terus tertidur lelap, ia seperti tidak mendengarkan suara-suara gaduh di sekelilingnya.
Setelah bergumul cukup lama dengan jerit dan amukan Gendis, perlahan-lahan isak tangisnya mulai mereda. Suara jeritannya kian samar terdengar. Nafasnya kembali teratur dan ia mulai memejamkan kelopak matanya, seolah tidak pernah ada yang mengganggu tidurnya. Gendis kembali tertidur lelap. Ku tatap wajah putriku dengan perasaan sedih. Kelopak matanya tampak bengkak dan memerah akibat menangis terlalu lama.
"Kasihan kamu Ndis, kenapa [I]mereka[/l] selalu saja datang menganggumu? Hati mama sakit setiap mendengar Gendis yang selalu menjerit ketakutan!" Kesedihan mendalam merayapi jiwaku.
Setelah aku merasakan bahwa putriku sudah kembali tenang dan ia tidak akan mengamuk lagi, perlahan ku letakkan tubuh mungilnya yang bersimbah peluh diatas kasur beralaskan sprei putih. Aku menghela nafas berat memikirkan sosok apa yang telah mengganggu tidur putriku hingga ia begitu ketakutan.
"Ketika Gendis meracau, putriku berulang kali mengucapkan kalimat kuburan. Jangan-jangan yang tadi datang mengganggu waktu tidur anakku adalah salah satu mahluk gaib penghuni kompleks makam tua? Sejenak aku terdiam membisu.
"Jika memang benar tebakanku, untuk apa mereka datang jauh-jauh kemari? Apa mereka juga tertarik untuk berkenalan dengan anakku?" Aku menatap lekat-lekat wajah bulat anakku berusaha mencari jawaban. Namun hanya wajah damai yang kutemukan.
Aku memejamkan mata rapat-rapat, menghembuskan nafas pelan.
"Sudahlah..!! Dari pada aku harus menerka-nerka hal yang tidak ku pahami, lebih baik esok pagi akan ku tanyakan langsung pada anakku mengapa ia begitu ketakutan" gumamku lirih.
Segera aku merebahkan diri di samping anakku, mengatur nafas pelan agar detak jantungku kembali normal. Aku menarik selimut dan memejamkan mata, namun jerit tangis Gendis terngiang-ngiang di telingaku. Raut wajahnya yang menyiratkan ketakutan begitu jelas terpampang di hadapanku. Dengan nafas memburu, aku membuka netraku kembali. "Sepertinya malam ini aku akan sulit tidur cepat"
Aku memalingkan wajah, menatap muka polos Gendis yang sedang tertidur pulas, dalam balutan selimut tebal dan hangat. Wajah yang sangat aku sayangi. Perlahan, ku dekatkan wajahku ke pipinya dan kucium dengan penuh kasih sayang. Aku menarik nafas dalam-dalam. Tertegun, lama sekali.
Setelah puas mengamati raut wajah Gendis, aku kembali merebahkan tubuhku. Aku berusaha setenang mungkin dan menutup rapat kelopak mataku. Tubuhku terasa begitu letih, aku juga harus mengistirahatkan beban pikiran yang terus berkecamuk dalam benakku. Perlahan-lahan aku mulai mengantuk, aku siap terlelap dengan cepat.
***
"Mama..! Angun! Ayo angun..!!" (Mama. Bangun. Ayo bangun) Terdengar suara Gendis meneriakkan namaku berulang-ulang.
Aku tak mengidahkan panggilannya. Mataku terasa begitu berat. Aku enggan membuka netraku walau untuk sejenak.
"Ayah..! Mama ga au angun!" (Ayah. Mama nggak mau bangun)
"Bangunin terus Ndis! Bilang kalau sekarang sudah siang!" Sahut suamiku.
"MAMA ANGUN!! CIANG!! YAH ALAH TUH!" (Mama bangun. Siang. Ayah marah tuh) Teriaknya di kupingku sambil ke dua tangannya dengan jahil berusaha membuka paksa kelopak mataku.
"Ma, angun.. ati ayah alah. Ata ayah elotot!" (Ma, bangun..nanti ayah marah. Mata ayah melotot)
"ANGUN.. ANGUN..AYO ANGUN..!!" (Bangun. Bangun. Ayo bangun) Teriaknya sambil mengikuti irama lagi di film Sopo Jarwo.
"Eeeh.. mama masih ngantuk Ndis. Mama cape!" Jawabku dengan mata setengah terbuka.
"Mama alas aya Uwi nih!! (Mama malas kaya Dwi nih) Pekiknya kencang.
"ANGUN..!! NOW!! Dis alah nih!!" (Bangun. Now. Gendis marah nih) Anakku mulai memberikan ultimatum.
Aku menggeliat pelan dan melanjutkan tidurku kembali.
Anakku tidak kehilangan akal. Ia terus berteriak dengan lantang sambil memanggil-manggil namaku. Sekarang ia mulai melompat-lompat di atas kasur. Loncatannya yang kencang membuat tubuhku terguncang berapa kali.
"Ndis, tolong berhenti. Kepala mama jadi pusing" tatapku sayu.
"Akanya angun ma, andi...!" (Makanya bangun ma. Mandi)
"Emang Gendis sudah mandi?"
"Daah.. cama ayah!" (Sudah. Sama ayah)
Mataku kembali tertutup rapat.
"MAAAA...!!!!" Teriaknya marah.
"Iya, iya.. mama banggun" aku mulai terduduk, bersender di kepala ranjang tempat tidur.
"HOLE... Mama Angun!!" (Hore. Mama bangun) Pekiknya girang sambil turun dari tempat tidur dan berlari ke arah ayahnya yang sedang menikmati secangkir kopi.
"Yah, mama dah angun" (Yah, mama sudah bangun) Tunjuknya ke arahku.
Suamiku yang tengah berdiri membelakangi jendela, menatap wajahku lekat-lekat.
"Wajahmu kenapa kuyu begitu? Seperti orang kurang tidur!" Cemoohnya penuh tanda tanya.
Aku merenggangkan tubuhku. Mengangkat ke dua tangan ke atas, melemaskan otot dan sendi-sendi yang kaku. Badanku semuanya terasa sakit dan pegal. Mungkin ini akibat aku terlalu lama menggendong Gendis semalam.
Sekarang gantian aku yang menatap sinis ke arah suamiku.
"Memang semalam mas tidak mendengar suara apapun?" Tanyaku ketus.
Suamiku melirik ke arahku yang masih berusaha mengumpulkan puing-puing kesadaran.
"Memangnya tadi malam ada suara apa?" Keningnya mengerenyit.
"Ya Allah mas!! Kamu kok kacau banget sih jadi suami dan ayah??" Semalam Gendis itu mengamuk dan nangis kejer!! Minta keluar kamar di tengah malam buta. Bibirnya terus menerus meneriakkan "kuburan"!!" Ucapku menggebu-gebu.
Mas yang mendengar perkataanku, memicingkan mata tak percaya.
"Masa sih ma? Kok mas tidak mendengar apa-apa ya?"
"Haduuh..! Mas itu benar-benar tidak mendengar atau pura-pura budeg?? Masa suara tangisan sekencang itu, tidak dengar sama sekali!!" Balasku sengit.
"Serius Ma. Semalam itu mas tidak mendemgar suara apapun. Mungkin mas kecapean kali ya?"
Aku menggidikkan bahu. Berusaha untuk mempercayai ucapannya, walaupun sulit.
"Ma..! Ayah..! Cetop!! No.. No.. Belantem!!" (Ma. Ayah. Stop. No.No berantem)
"Nggak Ndis, mama dan ayah tidak berantem. Kami cuma mengobrol" jawab mas bijaksana.
Gendis menghampiri ayahnya, netranya menatap dalam-dalam. "Awas kalo oong!! Dis ga cuka!!" (Awas kalau bohong. Gendis tidak suka)
"Ndis, tolong kesini sebentar" aku meminta Gendis untuk mendekat ke arahku.
Anakku segera berlari ke arahku yang masih bermalas-malasan di atas kasur. Dengan bersusah payah karena keberatan badan, akhirnya Gendis berhasil naik ke tempat tidur. Ia kini duduk di sebelahku.
"Apa ma? Mama au omong apa?" (Apa ma. Mama mau ngomong apa) Bulu matanya yang lentik mengerjap-ngerjap. Membuatku gemas.
"Mama mau tanya, semalam kenapa Gendis menangis dan berteriak kuburan? Memangnya apa yang Gendis rasakan?"
Putriku menatapku dengan tatapan yang sulit ku mengerti.
"Adi alam ya ma?" (Tadi malam ya ma)
"Iya tadi malam. Hayo kenapa semalam Gendis bilang makam terus? Memangnya ada yang datang dan ajak Gendis main lagi ya?" Pancingku agar anakku mau menceritakan apa yang sudah menggangu tidurnya semalam.
"Adi alam, anyak yang atang ma" (Tadi malam banyak yang datang ma)
"Datang?? Ke kamar ini?"
"Iya maaaa..!!"
"Memangnya semalam siapa yang datang kesini Dis?" Mas menyela ucapanku yang baru saja akan memberikan pertanyaan ke Gendis.
"Itu yah.. anyak deh!" (Itu yah. Banyak deh) Ujarnya dengan polos.
"Banyaknya berapa nak?" Mas mulai penasaran dengan ucapan putrinya.
"Ayah nih..!! Dis ana au!!" (Ayah nih. Gendis mana tau)
"Mereka mau apa datang ke sini nak?" Tanyaku lembut
"Au ajak Dis ain ke ubulan" (Mau ajak Gendis main ke kuburan.
"Kuburan??" Suamiku terperangah ketika anaknya mengucapkan kalimat kuburan.
"Iyaaa... ubulan, neng.. neng..neng.." (Iya kuburan.) Putriku menirukan suara alat musik dan mulai melenggak- lenggokan tubuhnya yang luwes.
"Ada kekek aju utih ama elempuan antik. Elempuana ajak Dis ali-ali i ubulan" (Ada kakek berbaju putih sama perempuan cantik. Perempuannya ajak Gendis nari-nari di kuburan)
"Terus nak?"
"Dis ga au ali. Dis ape! Akanya Dis culuh pelgi. Dis au bobo cama mama" (Gendis nggak mau nari. Gendis cape. Makanya Gendis suruh pergi. Gendis mau bobo sama mama)
"Ooh.. makanya semalam Gendis teriak-teriak keluar? Itu Gendis menyuruh mereka pergi?"
"Iyaaa maaa..!!" Sahutnya manja.
Mas masih berdiri di tempatnya semula. Wajahnya terlihat berpikir keras.
"Kenapa Gendis tidak mau diajak mereka main ke kuburan?" Tanya mas menginterogasi putrinya.
"NOO...!! Dis ape, antuk" (No. Gendis cape, ngantuk) jawabnya jujur.
Suamiku terdiam seribu bahasa.
"Jangan-jangan yang semalam datang kesini...." Ucapnya pelan sambil menghela nafas berat.
"Tok..Tok..Tok..!" Suara ketukan di pintu kamar menghentikan ucapan suamiku.
"Siapa?" Tanya mas sambil menatap ke arah pintu bercat coklat tua.
"Dwi..!!" Terdengar suara sepupuku dari balik pintu.
"Tunggu sebentar Wi"
Mas berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu kamar.
"UWIIIIIIIII..." jerit Gendis sambil bergegas turun dari kasur dan berlari ke arah mbanya.
"Ndis jeleekk" goda Dwi sambil tertawa pelan.
"Uwi elekkk" (Uwi jelek) Gendis menirukan ucapan Dwi.
"Heey.. ayo berbicara yang sopan!" Teriakku dari atas pembaringan.
Dwi kini sudah berdiri di hadapanku yang masih bermuka bantal. Pagi ini, Dwi terlihat rapi dan cantik. Ia menatapku dengan tatapan sinis.
"Mba buruan bangun! Kita mau sarapan!! Emangnya mba mau kena semprot ibu kalau jam segini belum rapi??" Tegurnya sambil mendudukan tubuhnya di ujung ranjang.
"Sebentar Wi, badan mba sakit semua. Mba masih cape dan ngantuk"
"Yee.. gimana sih mba? Aku kan cuek sama kaya mba. Tapi ibu?? Mba seperti nggak tahu sifat ibu saja! Sudah sana buruan bangun! Terus mandi!" Dwi memasang wajah judes.
Rasa lelah membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Namun begitu terbayang wajah ibu Dwi, aku segera mengangkat tubuhku dari pembaringan. Dengan langkah gontai, aku melangkah menuju ke kamar mandi.
Hanya butuh waktu lima belas menit, aku segera keluar dalam keadaan rapi.
"Nah gitu dong, kan jadi cakepan dikit" goda Dwi jahil.
"Mama angi" (mama wangi) Gendis memeluk ke dua kakiku sambil mengendus tanganku yang beraroma vanilla.
"Gendis juga cantik dan manis" ujarku tersenyum tulus.
"Ya sudah, ayo kita ke retoran sekarang. Jangan sampai orangtua Dwi menunggu terlalu lama" ajak mas sambil menggendong Gendis yang hari itu tampil kasual.
Dwi berjalan di depanku. Mas yang berdiri di ambang pintu tampak menungguku berjalan menghampirinya. Sepertinya ada yang ingin ia sampaikan.
Ketika aku melintas di hadapannya, mas berbisik perlahan "sehabis sarapan, mas mau ngobrol sebentar sama Ima. Nanti akan mas ceritakan semuanya. Tapi jangan ada Dwi!" Bisiknya halus.
Aku mengedipkan mata tanda setuju. Kami segera menaiki lift dan turun ke lantai satu, dimana letak restoran berada. Tidak baik membuat ibu Dwi menunggu terlalu lama. Bisa-bisa kami semua kena semprot dengan ucapannya yang ketus.
***
Selesai mengisi perut yang keroncongan, aku dan keluarga Dwi segera kembali ke kamar masing-masing. Seperti biasa, saat Gendis melihat wajah kakeknya, ia akan langsung menempel dan mengikuti kemana pun beliau pergi.
"Bye ma, Dis ama kekek ulu" (Bye ma. Gendis sama kakek dulu) Pamit anakku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
Sesampainya di dalam kamar, aku segera memilih duduk di kursi yang terletak dekat jendela. Aku begitu penasaran dengan apa yang akan diceritakan suamiku.
Mas menghampiriku, berdiri tak jauh dari hadapanku. Wajahnya menatap lurus ke luar jendela.
"Apa mas? Tadi katanya mau cerita?"
"Maafin mas ya, mungkin gara-gara mas memaksa Gendis untuk ikut nyekar ke makam kakeknya. Semalam Gendis jadi mengamuk, diganggu penghuni disana"
"Memangnya ada apa sama kompleks makam kemarin?"
Suamiku menatapku lekat-lekat.
"Dulu, waktu mas masih kecil dan tinggal sama Bulik. Makam yang kita kunjungi itu terkenal dengan mistisnya"
"Mistis? Maksudnya??"
"Dulu di kompleks area makam, pada malam-malam tertentu sering terdengar suara gamelan. Seperti sedang ada orang yang melakukan hajatan di sana"
"Hajatan di kuburan??" Mimikku berubah serius.
"Betul. Kompleks pemakanan yang kemarin sore kita kunjungi itu terkenal dengan gemelan gaibnya. Jika ada warga di sekitar makam yang ingin menyelenggarakan hajatan, biasanya selalu meminjam gamelan kepada mereka. Dan mahluk penunggu gamelan juga berbaik hati mau meminjamkan gamelan milik mereka ke warga sekitar.
"Memang, bagaimana cara manusia bisa meminjam gamelan ke mahluk halus?"
"Ima ingat, tidak jauh dari gerbang ada pendopo yang digunakan untuk menaruh keranda mayat?"
Bola mataku berputar, berpikir keras.
"Ingat mas, pendopo yang tidak terlalu besar itu kan? Yang pas kita mau pulang, Gendis melambaikan tangan ke arah tempat itu?"
"Tepat sekali!" Sahut suamiku antusias.
"Terus apa hubungannya keranda mayit sama gamelan?"
"Jadi, jika ada warga yang ingin meminjam gamelan, maka sebelumnya akan diadakan selamatan terlebih dahulu di sekitar tempat itu. Sekeliling pendopo akan ditutup dengan kain mori putih. Dan akan ada sesepuh warga yang memimpin doa agar mereka bersedia meminjamkan gamelannya..." Suamiku menggantung kalimatnya.
"Ayo lanjutin mas! Ima penasaran!!"
"Biasanya kalau mahluk astral penjaga makam mengijinkan, maka ketika kain putih diturunkan, seketika itu juga sudah tersedia seperangkat gamelan disana"
"Sampai sekarang, penduduk setempat masih suka meminjam gamelan gaib tersebut mas?"
Suamiku menggelengkan kepala pelan. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan.
"Loh, memangnya kenapa mas? Kok mereka tidak mau meminjamkan gamelannya lagi?"
"Mereka tidak mau meminjamkan lagi setelah warga setempat sering menghilangkan peralatan gamelan dan menggantinya dengan benda yang serupa. Mungkin bagi manusia yang meminjam merasa tidak apa-apa jika barang yang hilang diganti dengan yang baru, namun lain halnya dengan penunggu gamelan, tampaknya mereka tidak menyukai hal itu. Mereka tahu peralatannya telah diganti dengan milik manusia, sehingga membuat mereka marah dan kecewa. Semenjak itu, mereka tidak lagi meminjamkan gamelannya keoada warga yang memebutuhkan"
"Menurut Ima, pantas saja kalau mereka marah. Lah, minjem barang tapi tidak bisa menjaga" gerutuku kesal.
"Begitulah sifat alami manusia, suka lupa balas budi" suamiku menghembuskan nafas pelan.
Aku menatap sinis ke arah suamiku.
"Sama seperti kamu kan mas?" Cibirku kesal.
Suamiku menundukkan pandangan. Raut wajahnya tampak menyesal.
"Sudah, tolong jangan di ungkit lagi" ucapnya lemah.
Ketukan di daun pintu, mengalihkan perhatianku. Suamiku melangkah ke arah pintu dan membukanya. Tampak wajah Dwi yang tengil berdiri sambil menyeringai di ambang pintu.
"Om, mba.. kata ibu check outnya sekarang saja. Takut kalau nanti kesorean, sampai Yogja akan susah cari hotelnya"
"Siaap bos. Eh, Gendis mana?" Tanyaku ketika sadar tidak melihat Gendis di samping Dwi.
"Pake ditanya lagi kemana anaknya. Tuh sama kekeknya, gelendotan terus!"
"Ya sudah, mas dan mba mau beberes dulu. Nati kita langsung ketemu di parkiran saja" Sahut mas sambil menyerahkan kunci kendaraan ke Dwi.
"Oke om, mba.. Ya sudah, aku turun duluan ya" Dwi melangkah meninggalkan kamar.
Dengan cepat, aku dan mas segera merapikan semua tas yang kami bawa. Setelah dirasa tidak ada barang yang tertinggal, kami segera turun ke lobi. Suamiku segera menyerahkan card ke meja receptionist. Setelah itu, kami bergegas menuju ke parkiran dan menata barang bawaan di bagasi mobil. Ku lihat keluarga Dwi dan Gendis sudah duduk manis di kursi masing-masing.
"Maaf ya om, tante, kalau sudah menunggu Dedi dan Ima terlalu lama"
"Santai saja mas Dedi. Yang penting tidak ada barang yang ketinggalan?" Sahut ayah Dwi.
"Insya Allah tidak ada om" suamiku mulai memanaskan mesin kendaraan.
Mobil yang dikendarai suamiku meninggalkan tempat parkir hotel dan melaju ke jalan raya. Menuju ke kota selanjutnya, Yogyakarta.
"Bismillah, Yogjakarta.. aku datang" Bisikku sambil menyunggingkan senyum.
Bersambung
Comments (0)