SEMBILAN HARI TERINDAH (BAGIAN 24)
Aku terdiam mendengar jawaban gadis tersebut, “mengapa semuanya menjadi aneh?” ujarku dalam hati, “mengapa semuanya menjadi tidak terkendali?”
Aku hanya ingin mencintai satu wanita saja, tidak dengan wanita lainnya, tetapi saat ini aku harus menghadapi kenyataan, ada Cauthelia dan Nadine dalam dekapanku, lalu bagaimana dengan Aerish? Aku tidak mengerti, perasaanku kepadanya sekarang sudah semakin berkurang.
Semakin lama, dekapan gadis itu semakin erat, biasanya Nadine yang cuek dan jutek, kini berubah menjadi Nadine yang hangat dan juga perhatian, seakan aku menemukan diri Nadine yang dahulu pernah hilang. Ya aku ingat semuanya tentang Nadine, gadis yang juga banyak memberikanku arti cinta.
Januari 2005, sebentar lagi Ujian Semester ganjil pertama untukku, ya aku masih kelas X waktu itu, tetapi takdil Illahi berkata lain, aku jatuh sakit pada saat sebentar lagi aku menghadapi ujian, dan parahnya aku divonis mengidap penyakit Hepatitis A. Dengan sangat terpaksa, aku mengikuti saran dokter untuk istirahat di rumah sakit, untuk waktu yang tidak ditentukan pastinya. Aku pasrah dengan semua nilai ujianku nanti, aku tidak bisa berpikir lagi saat demam di tubuhku mencapai 40’C.
Saat itu aku dirawat di sebuah rumah sakit yang cukup ternama, sehingga mudah saja bagi teman-temanku untuk datang dan menjengukku. Tetapi, siapa yang mau menjengukku saat sedang ujian semester seperti ini? Aku menginap di kamar kelas I, dan di dalam ruangan tersebut hanya ada aku sendiri, padahal seharusnya ada dua orang di sini, tetapi tidak apa-apa, meskipun pada malam pertama aku hanya tidur sendiri.
“Tama,” ujar suara itu.
“Nadine?” tanyaku tidak percaya, tidak mungkin bagaimana bisa gadis itu tiba-tiba datang ke kamar tempat aku dirawat.
“Badan loe demam gitu Tam,” ujarnya sambil memegang kepalaku yang memang sedang demam.
“Iya nih Nad, Hepa A,” ujarku lalu tersenyum.
“Loe kecapean sih, kebanyakan kelayapan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Loe sendiri ke sini?” tanyaku bingung.
“Enggak sama Aerish,” ujarnya lalu tidak lama kemudian gadis itu masuk, ya Aerish gadis yang kusukai saat ini.
“Hallo Tam,” ujarnya menyapaku, “udah sakit aja beloman ujian,” ujarnya lagi, mereka berdua lalu berada di sebelahku.
“Lah tadi kan Matematika,” ujarku kepada gadis itu.
“Iya sih, mana susah lagi pertanyaannya,” ujar Nadine lalu tersenyum kepadaku.
“Masa iya buat Nadine itu susah,” ujarku lalu tertawa kecil, lalu tiba-tiba kepalaku menjadi pusing, aku pun menahan nyeri di kepalaku.
“Tuh kan kebanyakan ketawa sih kamu,” ujar Aerish lalu tertawa, aku pun tertawa kecil karena mereka tertawa.
Mereka menemaniku, ya sejak siang itu hingga sore, bahkan mereka membawa buku pelajaran karena ingin belajar materi ujian untuk hari esok. Waktu terasa cepat dengan datangnya mereka di sampingku, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1900, ya waktunya mereka untuk pulang.
“Tam, aku balik dulu yah, cepet sembuh, baik-baik sama Nadine,” ujar Aerish sambil menggenggam ringan tanganku.
“Sama Nadine?” tanyaku heran, lalu Nadine tersenyum kepadaku.
“Gue udah bawa ini,” ujarnya lalu menaikkan tas ransel yang ia bawa, “malem ini gue yang jagain Tama,” ujarnya dengan senyuman yang sangat khas.
“Eh seriusan?” tanyaku kepada Nadine, gadis itu lalu mengangguk dengan pasti.
“Aku pulang dulu yah Tam,” ujarnya lalu ia pergi perlahan, seraya aku memperhatikannya sampai menutup pintu kamar tersebut.
Aku ingat sekali saat Nadine menjagaku saat itu, ya padahal aku tidak pernah mengharapkan dijaga olehnya, tetapi dengan tulus ia menjagaku saat itu. Saat mengingat hal itu, tiba-tiba jantungku berdetak makin kencang, ya aku merasa bersalah atas apa yang sudah gadis itu lakukan kepadaku dahulu.
“Nad,” panggilku masih dalam dekapan, “aku minta maaf yah atas semua yang udah aku lakuin,” ujarku tiba-tiba, ya aku merasa sangat bersalah kepadanya.
“Kenapa emangnya Tam?” tanya Nadine keheranan.
“Ya semuanya, aku bodoh banget gak pernah sadar kalo ada kamu di hidup aku selama ini,” ujarku dengan sangat menyesal, gadis itu lalu membelai rambutku dengan lembut.
“Tama gak pernah salah,” ujarnya dengan lembut, “seperti yang aku selalu bilang, mencintai Tama aja udah cukup buatku bahagia, dan aku gak butuh balesan apapun,” ujarnya lalu tangannya menuntun dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“Berapa tahun Nadine cinta dan sayang sama Tama?” tanyaku pelan.
“Lima tahun Tam,” ujarnya pelan.
Lima tahun bukanlah masa yang sebentar untuk mencintai seseorang, dan lima menit bukanlah masa yang panjang untuk membalas rasa cintanya saat ini. Aku tenggelam, dalam kemunafikan rasa cintaku kepada Aerish sehingga menutup banyak hal yang telah ia lakukan. Lembang, malam itu sangatlah dingin, tetapi hangatnya cinta Nadine menembus aliran darahku dan menutup dingin yang menusuk saat ini.
Comments (0)