Part. 42
Pria Berbaju Hitam
Pria Berbaju Hitam
"Serentak aku dan tante yang duduk di kursi tengah segera melihat ke arah depan. Di tengah kabut yang sedikit memudar, tampaklah sesosok pria berpakaian serba hitam dan memakai topi caping khas petani. Lelaki berbaju gelap itu tampak mengayuh sepeda ontel yang di samping kanan kirinya terdapat dua keranjang besar terbuat dari rotan. Ia terus menggowes sepedanya membelah rintik hujan yang semakin lama bertambah deras.
Cahaya kilat menyambar meyilaukan dan terdengar suara gemuruh dari guntur di angkasa. Hujan turun semakin lebat menyapu semua debu di jalanan. Lelaki setengah baya itu tampaknya tak mempedulikan air yang turun dari langit dan membasahi tubuhnya. Ia mengayuh sepeda tuanya dengan berhati-hati tanpa menoleh sedikit pun ke arah kami. Tampaknya pria itu terlalu fokus mengendarai sepedanya. Atau mungkin ia takut jika kendaraan beroda duanya tergelincir dan mengakibatkan rerumputan yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah harus berhamburan ke tepi jalan atau jatuh ke permatang sawah.
Mendekati sebuah jembatan yang konon terkenal dengan hal-hal mistisnya, kabut mulai turun dengan lebat. Semakin menutupi jarak pandang. Tubuh pria itu pun ikut terselubung dan teredam dalam kabut tebal.
"Mas Dedi, tolong tetap arahkan lampu sorot ke arah pengendara sepeda. Kasihan kalau beliau sampai tidak bisa melihat jalanan yang tertutup oleh kabut" pinta ayah Dwi iba.
"Baik om" suamiku dengan sigap terus menyorotkan lampu kabut ke arah pengendara sepeda, agar beliau bisa dengan leluasa melihat jalanan di depannya.
"Kenapa tiba-tiba hawanya berubah menjadi tidak enak ya?" Ibu Dwi bergumam pada dirinya sendiri, seraya memeluk tubuhnya yang seperti orang menggigil kedinginan.
"Ngg.. kenapa badan mama sekarang jadi merinding begini?" Ujar tante sambil celingukan melihat ke arah kanan dan kiri.
"Huuss..!! Di tempat seperti ini jangan berbicara sembarangan!" Sahut ayah Dwi dengan mimik wajah tidak suka.
Sebenarnya dalam hatiku juga mengamini ucapannya ibu Dwi. Entah mengapa, perasaanku mulai diliputi rasa tidak tenang dan was-was. Aku menengok ke arah jendela, gelap! Tidak terlihat apapun. Semakin lebat curah hujan yang turun, semakin banyak kabut yang terbentuk. Membuat semuanya tampak gelap gulita, bagaikan sebuah jagat raya tanpa ada mahluk hidup yang menghuninya.
Aku menengok ke kursi bagian belakang, ku lihat Dwi sedang tertidur lelap sambil memeluk handphonenya. Aku menghela nafas halus. Perjalanan ini mulai terasa begitu menakutkan dan membosankan.
"Aah..!! Om..om..!!" Pekik mas tertahan, membuyarkan lamunanku.
"Kenapa mas Dedi? Kok pakai teriak-teriak segala?" Tanya ayah Dwi sambil menatap lekat wajah suamiku.
"Li-lihat om! Pengemudi sepeda itu menghilang!" Suara suamiku tercekat.
Ayah Dwi, aku dan tante segera mengalihkan pandangan ke arah depan jalanan raya. Saat itu kami semua benar-benar tidak dapat menemui sosok pengemudi sepeda. Tubuhnya menghilang, raib bagaikan di telan bumi.
"Kemana sosoknya pergi??" Desis om lirih.
"Iya pak, kemana perginya orang itu ?" Sahut Ibu Dwi sambil mengedarkan pandangan ke luar jendela, berusaha mencari sosok pengayuh sepeda.
"Saat ini kita berada di atas jembatan yang letaknya sangat tinggi. Tidak ada jalan setapak menuju ke arah bawah sungai. Dan di dekat sini tidak terdapat rumah penduduk sama sekali om! Dedi hapal sekali dengan tempat ini!" Suamiku memberi penjelasan dengan suara bergetar.
"Apa mungkin pengemudi sepeda itu jatuh ke bawah jembatan?" Tanya tante dengan raut wajah kebingungan.
"Ng-nggak mungkin kalau bapak itu jatuh ke bawah jembatan. Jelas-jelas dari tadi Dedi melihat sosoknya yang masih terus mengayuh sepeda. Dan lampu mobil terus menyorot ke arahnya!" Bantah suamiku sambil melirik sekilas ke arahku.
"Terus bagaimana penjelasan yang masuk akal kemana menghilangnya orang tersebut? Tidak mungkin kan kalau ia raib di telan kabut?" Cecar ibu Dwi berusaha menggunakan akal sehat.
"Nah, maka itu te! Dedi juga bingung. Wong tiba-tiba saja sosok pria berbaju hitam beserta sepedanya menghilang begitu saja dari pandangan Dedi!"
"Sudah..! Sudah..! Jangan dipikirkan. Mungkin saja sekarang di sekitar jembatan sudah ada jalan setapak untuk turun. Dan bapak itu sekarang sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Ayo semuanya berdoa dalam hati. Dan untuk mas Dedi, tolong bawa kendaraannya lebih berhati-hati lagi!" Ayah Dwi memberi intruksi kepada kami semua.
Tanpa menunggu lama, aku segera berdoa dalam hati sambil mendekap erat putriku yang masih tertidur lelap.
"Aneh.. kemana perginya sosok tersebut?" Tanyaku dalam hati.
Aku yang beberapa kali pernah mengunjungi daerah ini, paham betul dengan yang dimaksud suamiku. Jembatan ini begitu terkenal dengan keangkerannya. Di bawahnya hanya terdapat sebuah sungai yang arusnya begitu deras dan sering meminta korban nyawa manusia. Jadi tidak ada satupun warga yang berani membangun rumah di wilayah ini.
Suasana dalam kendaraan seketika menjadi hening. Semua orang berusaha untuk tetap tenang, walau aku mengetahui bahwa kami semua dihantui rasa panik dan bertanya-tanya kemana perginya sosok pria berbaju hitam. Aku merasa lega karena Dwi tidak terbangun dan mendengar percakapan kami. Seandainya ia sempat menguping tentang yang barusan terjadi, niscaya ia akan berteriak histeris dan membuat semua orang semakin panik.
"LI-LIHAT...!! SI-SIAPA I-ITU YANG BERADA DI TEPi JEMBATAN!!" Teriak suamiku sambil menunjuk ke sisi samping jembatan.
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, mata kami semua langsung tertuju ke arah yang suamiku tunjukkan. Di bawah guyuran hujan, samar-samar kami semua melihat sosok pria berbaju hitam yang sedari tadi kami cari. Lelaki itu tampak berdiri tegak di sisi pagar jembatan tanpa ditemani sepeda tuanya. Entah kemana perginya sepeda yang sedari tadi setia menemaninya berjalan di antara rintik hujan.
Separuh wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup caping yang terbuat dari anyaman bambu. Namun bisa kulihat garis kerutan yang membalut tegas mukanya yang sudah tidak lagi muda. Kini ia berdiri tepat menatap ke arah kami. Wajahnya kaku, garis bibirnya melengkung membuat bulan sabit. Aku bergidik ngeri. Di mataku senyumannya terlihat seperti seringai yang menyeramkan dan mendirikan bulu kuduk. Lelaki itu menunduk seolah-olah mengucapkan terima kasih dan mengucapkan selamat jalan. Perlahan ia pun menghilang dari pandangan.
Aku menelan ludah di tengah rasa takut yang melanda diriku.
Ibu Dwi menjerit histeris dan Ayah Dwi mulai meneriakkan kalimat "Astaghfirullahaladzim..!! Astaghfirullahaladzim...!!" Pekiknya berulang-ulang.
Kami semua dilanda ketakutan dan khawatir. Takut kalau sesosok berwujud manusia itu akan mencelakakan kami semua. Alhamdulillah, Allah masih melindungi keluargaku. Sepertinya mahluk itu hanya ingin menunjukkan wujud dan eksistensinya kepada kami semua.
Kami terdiam membeku, mematung tidak bergerak dan tidak bersuara memikirkan peristiwa tidak masuk akal yang baru saja terjadi di hadapan kami.
"P-pak..!" Suara tante memecah kesunyian.
"Diam!! Jangan bicara sepatah katapun! Terus berdoa dalam hati. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa!" Potong ayah Dwi. Sepertinya beliau paham dengan apa yang akan istrinya katakan.
Tante beringsut ketakutan ke arahku. Dengan tubuh bergetar, ia mendekap bantal erat-erat ke dalam pelukannya. Wajahnya yang cantik terlihat pucat. Sedangkan ayah Dwi dan suamiku tetap terlihat tenang dan fokus menatap ke arah depan jalanan.
Seiring berjalannya waktu, gerimis perlahan memudar dan kabut yang tadi sempat menutupi jalanan ikut menghilang. Kendaraan kami sudah berjalan jauh meninggalkan desa tempat kediaman Bulik.
***
Menjelang maghrib, kendaraan mulai memasuki pusat kota P. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam kendaraan begitu hening. Sepertinya kami semua berusaha mengenyahkan perasaan ngeri dan ganjil yang terus membayangi pikiran. Mas segera mengarahkan kendaraannya ke salah satu hotel yang cukup terkenal dan mempunyai nama di kota itu. Tante segera membangunkan Dwi yang masih terbuai dalam mimpi untuk bersiap-siap turun.
Dari balik kaca, aku memandang ke arah bangunan hotel yang bercat putih dan terdiri dari lima lantai.
"Lumayan juga hotelnya jika dibandingkan dengan hotel yang kemarin malam aku tempati. Semoga saja disini tidak ada kejadian aneh yang menimpa anakku atau pun diriku" Gumamku dalam hati.
"Nanti jangan semua barang diturunkan! Cukup seperlunya saja, karena kita cuma menginap semalam disini. Biar besok ketika check out tidak terlalu repot!" Perintah ayah Dwi menyadarkan lamunanku.
Setelah suamiku memarkirkan kendaraannya, Kami segera menurunkan barang bawaan dan menuju ke lobi hotel. Mas langsung menuju ke meja receptionist dan segera memesan dua kamar untuk keluargaku dan orantua Dwi.
Gendis yang berada dalam gendonganku mulai menggeliatkan tubuhnya. Tampaknya putriku sudah terbangun. Bola matanya yang jernih mengerjap beberapa kali sambil mengamati lampu lobi yang bersinar terang. Matanya berkeliling dan tertumbuk pada pajangan berbentuk angsa yang terletak di meja lobi.
Dengan tidak sabar, ia langsung meminta turun dari dekapanku.
"Ma..! Ma..! Uyun! Dis au uyun!" (Ma. Ma. Turun. Ndis mau turun) Pintanya sambil menatap ke dalam mataku.
"Ya sudah kalau Gendis mau turun. Tapi jangan menyentuh apapun ya nak" nasehatku pada Gendis yang segera berlari menuju meja kayu jati yang terletak di lobi.
Gendis tampak asik mengamati patung angsa besar yang terbuat dari kristal. Sesekali terdengar ocehan dari bibirnya yang merah. Setelah putriku puas mengamati patung tersebut, ia mulai berlari ke arah ayah Dwi.
"Kekek....!!" Jeritnya sambil memeluk kaki ayah Dwi.
"Iya..! Gendis mau apa?" Tanya ayah Dwi seraya memainkan rambut ikal cucunya.
"Kekek ati alam cleep am Dis g!" (Kakek nanti malam sleep sama Ndis ya) Pintanya manja.
"Tentu nggak boleh dong Ndis. Kan nanti malam, Gendis tidurnya sama ayah dan mama. Kapan-kapan saja tidur sama kakek ya?"
Bibir putriku merengut manja mendengar jawaban kakeknya. Anehnya Gendis terus memaksa, meminta agar ayah Dwi menemaninya tidur di kamar. Ayah Dwi menatap wajah putriku dengan tatapan tidak tega.
"Ya sudah, begini saja. Nanti biar kakek nemanin Gendis sampai masuk ke kamar oke?"
Anakku tersenyum manis saat mendengar ucapan orang yang ia sayangi.
"Acciikk.. cama kekek!!" (Asik.. sama kakek) Serunya sambil berlarian di sekitar lobi hotel.
"Om, disini tidak ada connecting room. Tapi kamar kita cuma beda satu nomer. Tidak masalahkan?" Tanya suamiku pada ayah Dwi.
"Ya sudah, tidak apa-apa mas. Yang penting jarak kamar kita tidak terlalu jauh seperti di hotel kemarin!"
"Baik om. Oh iya, ini kunci kamar om dan tante" suamiku menyerahkan card kamar bernomer 305 ke tangan ayah Dwi.
"Terima kasih mas. Kalau mas di kamar nomer berapa?"
Suamiku melihat ke arah card yang berada dalam genggamannya "Dedi di kamar 303 om.'
"Bu.. tolong kesini sebentar. Ini kunci kamar kita. Ibu dan Dwi langsung beristirahat saja di kamar. Bapak mau mengantar Gendis dulu ke kamarnya" Ujar beliau sambil menyerahkan card kamar ke tangan istrinya.
Ibu Dwi menerima kunci kamar dengan wajah datar, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mungkin jiwanya masih terguncang akibat peristiwa yang baru saja tadi.
"Ayo Gendis, kita ke kamar" ajak suamiku.
"Ndis, ingat nanti kakek cuma nemanin Gendis sampai kamar. Tapi kakek tidak tidur di kamar Gendis ya?" Tatap ayah Dwi ke putriku.
Sambil terus menggandeng tangan kakeknya, kami sekeluarga menuju ke lantai tiga menggunakan lift. Hotel yang aku tempati terlihat sepi. Kulihat hanya ada beberapa tamu yang menginap disini. Lift berhenti. Kami segera keluar dan menyusuri lorong hotel yang beraroma seperti roti manis. Sesekali mataku melihat ke deretan nomer yang terpasang di pintu kamar.
"Hmm.. nomer 305. Ma.. ! ini kamar mama!" Teriakku ke arah tante yang masih celingukan mencari kamarnya.
Tante dan Dwi segera menghampiriku. Ibu Dwi segera membuka pintu kamar hotel.
"Da..da..Gendis..!! Nini dan mba Dwi masuk ke kamar duluan ya" ujar tante seraya membuka pintu kamarnya.
"Bye Ndis jelek...!!" Dwi menjulurkan lidah, menggoda putriku.
"Huuu.. Uwiii lese!!" (Dwi rese) Balas Gendis tak kalah singit.
Akhirnya kini giliran aku yang sampai di depan pintu kamar bernomer 303. Kulihat Dwi dan tante sudah memasuki kamar mereka yang letaknya tidak terlalu jauh dari kamarku.
Setelah memasukkan cardlock ke lubang kartu yang ada di bagian atas gagang pintu, suamiku segera memutar gagangnya ke bawah. Membuka pintu kamar hotel yang terlihat gelap. Suamiku langsung menaruh cardlock di kotak sensor jaringan listrik yang terletak di samping saklar dan berjalan memasuki kamar.
Listrik pun menyala. Kamar yang tadinya gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Gendis semakin mempererat genggamannya ke tangan kakek. Mereka mulai berjalan masuk. Namun langkah kaki putriku tertahan, ia tampak ragu. Iris matanya nampak berkeliling menjelajahi setiap sudut ruangan kamar hotel. Perlahan kakinya melangkah mundur dan ia menarik tangan kakek dengan kencang.
"Kek, No..! No! Cini!" (Kek, no. no. sini)Ujarnya dengan bibir bergetar dan tatapan waspada menuju ke plafon dan sudut ruangan.
"Kenapa?" Tanya ayah Dwi sambil menatap wajah putriku.
Beberapa kali anakku menggelengkan kepala seolah tak kuasa melihat yang sedang terpampang di hadapannya.
"No, kek!! No...! Dis atut!" (No kek. No. Gendis takut) Jawabnya lirih.
Mas yang sudah berada di dalam kamar, menatap ke putrinya. "Ndis, ayo masuk! Jangan cuma berdiri di situ saja!"
"No..! Dis g au acuk!" (No. Gendis nggak mau masuk)
"Ayo Ndis, kasihan kakek. Kakek juga mau ke kamar dan beristirahat" bujuk mas agar putriku mau melangkahkan kakinya ke dalam kamar.
Ayah Dwi mengangkat tangannya. Petanda meminta mas untuk menghentikan ucapannya. Sepertinya ayah Dwi memaklumi rasa ragu dan takut yang tengah menggelayut di wajah cucunya.
Pupil mataku membesar, mengamati ruangan berwallpaper bunga-bunga. Aku berasumsi mungkin di kamar yang akan kutempati terdapat banyak mahluk halus yang wujudnya menyeramkan. Dan saat ini putriku sedang berjuang keras melawan rasa takutnya melihat wujud mereka yang beraneka macam.
"Disini banyak yang mukanya seram ya?" Tanya ayah Dwi sambil terus menggenggam jemari putriku.
"He-eh kek. Anyak uka elek dicitu, dicitu!" (He-eh kek. Banyak muka jelek disitu, disitu) Gendis menunjuk ke atas plafon dan ke sebuah sofa yang terdapat di sudut kamar.
"Ada yang ebang, ada yang elotot. Iginya elek! Ajem!" (Ada yang terbang, ada yang melotot. Giginya jelek. Tajem) Papar Gendis berusaha menjabarkan apa yang tengah mata ketiganya lihat.
"Ndis tolong dengerin kakek! Gendis jangan takut sama mereka. Malam ini, seluruh ruangan ini adalah kamar Gendis! Bukan kamar mereka! Yang harus pergi itu mereka, bukannya Gendis!" Ujar ayah Dwi dengan lantang memberima semangat dan keberanian untuk cucunya.
"A-api kek?" (Ta-tapi kek) Tatap Gendis dengan raut wajah bingung.
"Tapi kenapa?"
"Eleka ga cuka kita dicini. Ata eleka itu amal eleka. Dis alus kelual" (Mereka nggak suka kita disini. Kata mereka itu kamar mereka. Gendis yang harus keluar).
Ayah Dwi terdiam. Bola matanya nampak menjelajah ke setiap sudut yang putriku bilang banyak penunggunya. Wajahnya berubah mengeras, menahan amarah.
"Tolong dengerin kakek. Sekarang juga kakek minta sama Gendis untuk memejamkan mata. Bilang dalam hati ke semua mahluk yang ada di dalam ruangan ini untuk segera keluar sekarang juga. Cucu kakek pemberani! Gendis jagoan! Kesayangan kakek tidak boleh takut sama mereka!"
Gendis menuruti permintaan ayah Dwi. Ia mulai memejamkan kelopak matanya.
"BRUUUKKK..!!" Terdengar suara benda jatuh seperti terkena hembusan angin kencang.
"Allahu Akbar..!!" Pekik suamiku.
Kulihat lampu lantai yang tinggi menjulang dan berada di sudut kamar terjatuh menghantam lantai. Dengan sigap, mas segera membetulkan lampu yang terjatuh.
"Kenapa lampu ini tiba-tiba terjatuh?" Tatap mas keheranan.
Gendis yang sempat terpejam sontak membuka kembali matanya.
"Cudah kek!" (Sudah kek) Ucapnya sambil tersenyum ke arah ayah Dwi.
"Coba sekarang Gendis lihat, masih ada yang mukanya jelek nggak di kamar ini?"
Sejenak putriku terdiam dan netranya yang tajam mulai menyisir ke dalam ruangan.
"No..! No..!! Uka elak dah elgi kek!" (No.No. Muka jelek sudah pergi kek) celetuknya dengan nada riang.
"Alhamdulillah kalau semuanya sudah pergi. Jadi malam ini Gendis bisa beristirahat dengan nyenyak. Pintar cucu kakek" ujar om seraya mengelus rambut putriku yang bergelombang.
"Ayo acuuukk" (Ayo masuk) ajak Gendis sambil menarik tangan kakek.
Sambil tekekeh, Ayah Dwi mengantar putriku ke atas tempat tidur. Gendis langsung mengambil remote tv dan mulai menghidupkannya.
"Ya sudah, sekarang kakek mau kembali ke kamar untuk beristirahat. Gendis juga harus tidur karena besok kita harus melanjutkan perjalanan lagi"
"Oke kek!!" Sahut putriku sambil mengancungkan jempolnya.
Ayah Dwi mencium kepala putriku dan ia mulai melangkah meninggalkan kamar yang malam ini akan aku tempati untuk beristirahat.
Perasaanku mulai diliputi rasa was-was. Tadi sore anakku habis diajak berziarah ke kompleks pemakaman yang terkenal tua dan wingit. Dalam perjalanan menuju ke hotel, aku mengalami peristiwa mistis, bertemu dengan mahluk penunggu jembatan yang berwujud pria setengah baya.
Dan baru saja, putriku juga mendapat sambutan yang luar biasa dari mahluk astral penunggu kamar hotel. Hatiku terbersit ragu, apakah malam ini bisa ku lalui dengan tenang? Tanpa adanya gangguan yang berarti dari mereka? Pikiranku melayang-layang berusaha menerka peristiwa apa lagi yang akan ku alami.
Aku segera mengajak Gendis untuk membersihkan diri. Setelah itu aku menuju ke meja dekat jendela dan menelpon restoran untuk memesan makan malam. Dari balik tirai jendela, iris mataku memandang ke arah luar gedung. Suasana di luar tampak begitu hening. Tak ada satu pun orang yang berlalu lalang atau kendaraan yang melintas. Gerimis mulai turun di antara temaram lampu jalanan yang bersinar redup. Di mataku kota ini terlihat seperti kota mati.
Suara ketukan di depan pintu kamar, mengalihkan pandanganku. Sepertinya waiter restoran sudah datang mengantarkan makan malam yang aku pesan. Suamiku segera membuka pintu dan mengambil makanan yang dibawa oleh waiter. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan tips, mas berjalan ke arahku.
"Ma ini makan malamnya. Jangan lupa sekalian suapin Gendis" ujar mas seraya menyerahkan sepiring nasi goreng ke hadapanku.
"Terima kasih mas"
Dengan lahap, aku segera menyantap nasi goreng sea food kesukaannku. Sambil sesekali menyuapi Gendis dengan sop ayam favoritnya.
***
Setelah merasa kenyang dan kelelahan, putriku segera tertidur pulas dengan damai. Aku menatap wajah Gendis lekat-lekat. Raut wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan ketika sedang terlelap.
"Mimpi yang indah ya Ndis. Semoga malam ini, Gendis bisa tidur dengan nyenyak" ucapku sambil mencium ke dua pipinya.
Aku segera merebahkan diri di samping putriku. Baru saja aku hendak memejamkan mata, terdengar suara dengkuran keras dan menjengkelkan dari mulut suamiku. Aku mendengus kesal. Mataku jadi sulit terpejam. Aku menatap ke plafon kamar, perlahan mataku terasa berat, dalam hitungan detik aku menyusul Gendis ke alam mimpi
"Ehh..Ehh" suara erangan Gendis membangunkanku.
Beberapa kali aku mengerjapkan kelopak mata, berusaha mengembalikan kesadaranku. Aku menatap Gendis yang tampak gelisah. Kaki dan tangannya terus menendang kesana kemari. Merusak balutan selimut yang membelai hangat tubuhnya. Awalnya kupikir putriku sedang mengalami mimpi buruk. Lambat laun terdengar jerit tangis penuh kepiluan dari bibirnya yang sempat terkatup rapat.
Bersambung
Comments (0)