Aku terdiam sesaat, setelah itu aku mencium kening gadis itu, kucium dengan perlahan dan kubelai dengan lembut, sesaat pula ia terdiam dan hanya memandangku. Hujan yang turun begitu derasnya siang ini membuat kami kebasahan, saat kutersenyum kepadanya, deru napasnya kini mulai teratur, ia pun mendekapku dengan sangat hangat. Ia menangis saat itu, aku mendengar jelas ia terisak saat ia mendekapku makin erat.
“Maafin Dede yah Kak,” ujarnya dengan nada yang merasa sangat bersalah.
“Kenapa Dede malah minta maaf sama Kakak?” tanyaku keheranan.
“Karena Dede bener-bener gak tahan tadi,” ujarnya lalu mendekapku dengan sangat erat, “Dede malu sama Kakak soalnya Kakak yang cowok malah bisa nahan,” ujarnya dalam tangis, aku terdiam sesaat.
“Gak apa-apa sayang,” ujarku di telinganya, disaat hujan yang turun dengan derasnya siang itu, “Kakak sayang dan cinta sama Dede, tapi bukan gitu yang Kakak mau,” ujarku di telinganya, “buat Kakak, Dede adalah segalanya sekarang,” ujarku di telinganya.
“Kak,” panggil Cauthelia lalu saat itu mengagetkanku.
“Iya sayang,” sahutku.
“Dadanya masih sakit kah?” tanya gadis itu.
Aku hanya memandangnya dan tersenyum, aku menggeleng pelan, “udah gak kok sayang.”
“Mendingan cari tempat teduh yuk,” ujarku lalu berusaha berdiri, lalu aku merangkul gadis itu untuk mencari sebuah tempat di bawah pohon yang rindang, setidaknya bisa menahan air hujan tidak jatuh langsung menimpa tubuh kami.
“Dulu Kakak gak pernah sehangat ini sama cewek,” ujarku kepada Cauthelia.
“Maksud Kakak gimana?” tanyanya dengan wajah yang keheranan.
“Ya dulu Kakak cuek banget sama Nadine, pas masih SMP,” kenangku, ia lalu tersenyum kepadaku.
“Untungnya Kakak hangat sama Dede, kalo enggak Dede nangis deh udah susah-susah deketin Kakak,” ujarnya lalu dengan manja ia menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Dede gak dingin sayang?” tanyaku kepadanya.
Ia sedikit mengangguk, “dingin Kak, nih tangan Dede ajah kaku kayak es,” ujarnya lalu meletakkan kedua tangannya di pipiku.
“Iya, dingin banget sayang,” ujarku lalu menggenggam tangan kirinya, lalu saat itu ia meletakkan tanganku di dada kirinya.
Aku terdiam cukup lama, aku merasakan kehangatan, aku merasakan detak jantungnya berdenyut lemah menembus kulitnya dan terasa di tanganku. Ia tersenyum kepadaku dengan wajah yang sangat merah, aku lalu membalas senyumannya, aku mengerti apa yang ia maksudkan.
“Gimana rasanya sayang?” tanya gadis itu dengan mendesah.
“Hangat, detak jantung Dede kerasa lemah, tapi cepet,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.
“Kak,” ujarnya dengan wajah yang merah, sadar tanganku sudah menyentuh bagian yang menurutku berbahaya, hampir tanpa batasan antara kulitku dengan kulitnya.
“Mau seberapa banyak lagi Dede rendahin diri Dede di depan Kakak?” tanyaku kepadanya, seketika pula Cauthelia terkejut.
Ia memandangku dengan wajah yang memerah, sekaligus terheran, “seringkali Kak, karena Dede udah menyerahkan semuanya buat Kakak, dengan rela,” ujarnya pelan, wajahnya sangat merah saat itu.
“Buat Dede, Kakak itu kebahagiaan buat Dede,” ujarnya lagi pelan, “Dede ngerasa tiap detik hidup Dede terasa berarti karena ada Kakak,” ujarnya lalu mendekatkan wajahnya kepadaku, dan makin membenamkan tanganku di dadanya.
“Tapi, mau berapa kali lagi sayang?” ujarku pelan, “mau berapa kali lagi sayang?” tanyaku menegaskan.
Ia tertunduk, “berulang kali sampe Kakak mau,” ujarnya lalu ia mencium bibirku dengan hangat.
“Karena Dede enggak pernah tahu, seberapa berartinya Dede buat Kakak, sampe Dede tahu kalo Kakak relain penyakit Kakak kambuh demi nyariin Dede,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah, tetapi aku tahu ia sangat bersedih saat itu.
“Dede itu berharga buat Kakak,” ujarku pasti, ia lalu melihatku dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Dede tahu ada berapa banyak bilangan dari nol sampe satu?” tanyaku dengan pelan, ia terdiam dan memandangku, lalu ia menggeleng dengan manja.
“Antara nol sampe satu ada bilangan gak terhingga,” ujarku pelan.
“Nol melambangkan hari ini, satu melambangkan hari esok,” ujarku lalu aku membelai rambut gadis itu, “dan diantara nol sampe satu ada bilangan tak terhingga, itulah perasaan yang Kakak rasain kalo ada di deket Dede, banyak dan tak terhingga,” ujarku lalu tiba-tiba ia meneteskan air mata.
“Dede udah tahu Kakak sejak lama, dan Dede baru tahu Kakak mikir begitu sama Dede,” ujarnya lalu makin membenamkan lagi tanganku di dadanya.
“Dede tahu, Dede itu gadis sempurna di mata Kakak,” ujarku pelan, ia lalu memperhatikanku kata-kataku dengan seksama, “Dede memberikan Kakak segalanya yang gak pernah Kakak tahu tentang cinta dan ketulusan, karena Dede lah Kakak bisa mencintai gadis lagi setelah dua tahun Kakak tersiksa dengan perasaan Kakak,” ujarku lalu ia tersenyum dan menggeser tanganku hingga masuk lebih dalam.
“Dede memang sempurna secara fisik, Dede cantik, badan Dede bagus, Dede cerdas, tapi bukan itu Kakak jadi cinta sama Dede,” ujarku pelan, “Kakak liat kejujuran di tiap kata-kata Dede, Kakak liat ketulusan di tiap sorot mata Dede, dan Kakak liat cinta di setiap gerak tubuh Dede,” ujarku lalu air mata gadis itu makin menjadi.
Gadis itu memandangku dengan tatapan yang entah aku tidak mengerti harus berkata apa. Antara cinta, sayang, hasrat, bingung, heran, semuanya menjadi satu. Seakan tidak peduli dengan apa yang kukatakan tadi, ia makin membenamkan tanganku lebih dalam lagi, aku hanya terdiam, merasakan denyut jantungnya yang makin cepat saat ini.
“Sekarang Kak,” ujarnya, “Dede gak peduli,” ujar gadis itu dengan air mata yang masih mengalir, “Dede bahagia Kakak bilang begitu, tapi Dede juga sedih karena Dede pasti akan pergi dari Kakak,” tangisannya makin menjadi.
“Sayang, udah sayang,” ujarku lalu mengusap kepalanya dengan lembut.
“Tapi Dede mau, Dede gak peduli,” ujarnya setengah teriak.
Aku menghela napas panjang setelah mendengar ucapannya saat itu, aku tersenyum kepadanya, “okay, gimana kalo Kakak buat janji sama Dede?” tanyaku kepadanya.
Ia memandangku, “janji apaan yah Kak?” tanya gadis itu.
“Janji Kakak akan nikahin Dede kalo emang kita jodoh dan kita ketemu lagi,” ujarku pelan.
Ia lalu memandangku, “gak ada jaminan Kak,” ujarnya dengan air mata yang mengalir deras.
Aku menciumnya terlebih dahulu, kujatuhkan ia di rumput di bawah hujan yang turun deras saat itu. Kulumat bibirnya di dinginnya cuaca Lembang pada siang itu. Bahkan aku tidak menyingkirkan tanganku dari tubuhnya, ia pasrah dengan apapun yang kulakukan. Baru kali ini aku membiarkan melewati Semboyan 7, membiarkanku melakukan perbuatan beresiko menimbulkan PLH.
Dua jam kemudian, kami tiba di Villa milik orang tua Cauthelia, disana Nadine menunggu kami pulang. Kami mengenakan baju yang sudah basah kuyub karena hujan memang belum kunjung berhenti, dengan cekatan Nadine mengambilkan handuk untuk kami. Wajah Cauthelia terlihat sangat bahagia, tidak henti-hentinya ia tersenyum kepadaku, aku pun tersenyum kepadanya.
Setelah mengeringkan badan, aku pun bergegas mandi, dan meminjam pakaian kering milik Cauthelia untuk kugunakan pulang nanti. Aku duduk di sofa, memikirkan apa yang telah terjadi tadi, sesekali aku tersenyum, sesekali aku bersedih. Entah apa yang Cauthelia pikirkan saat ini, tetai ia terlihat bahagia saat ini. Aku menghela napas panjang, dan kunyalakan pemutar DVD yang Cauthelia miliki, kupilih salah satu lagu yang akhir-akhir ini sering kudengarkan.
Comments (0)