Part. 40
Hotel Misterius
Hotel Misterius
"Aku berjalan ke arah pintu yang menganga lebar. Yang berada di hadapanku hanyalah tembok yang terlihat kosong. Kepalaku celingukan mencari Ibu Dwi di koridor hotel. Suasana begitu hening. Aku membisu, mataku terpaku ke arah siluet hitam yang tengah berdiri tegak di mulut lorong hotel.
Bayangan hitam mulai mengangkat tangannya. Ia memanggil-manggil diriku, menyuruhku untuk menghampirinya. Apa aku sedang berhalusinasi? Aku berusaha untuk berpikir jernih, tapi otakku rasanya tidak dapat ku gunakan dengan baik. Aku tidak ingin mempercayai penglihatanku, tapi kenapa aku dengan jelas bisa melihatnya?
Aku tersentak kaget ketika ada tepukan yang lumayan kencang mendarat di bahuku.
"Mbaaa!! Kenapa malah bengong sih??"
"Eeh, iya Wi! Ma-maaf!" Kedua mataku berkedip cepat dan segera menoleh ke arah Dwi yang wajahnya tampak sedang mengamati raut mukaku.
"Mba dari tadi kenapa hanya diam??" Tanya Dwi seperti mencurigaiku.
"Nggak apa-apa Dwi. Mba cuma lagi mencari Ibu" jawabku berbohong.
Sejurus kemudian aku memalingkan wajahku, melihat ke arah tepat dimana bayangan tersebut berada. Namun siluet hitam itu telah lenyap, menghilang begitu saja bagai tertiup angin.
"Aneh..!! Kemana menghilangnya bayangan hitam itu?" Desisku halus.
"Mbaaa.. lagi melihat apa? Kok wajah mba seperti orang yang terpana begitu?" Tanya Dwi sambil melongokkan kepalanya ke arah lorong hotel.
"Ng-ngak Wi! Tadi mba kira ada bell boy yang sedang berjalan kemari. Aku terpaksa berbohong agar Dwi tidak mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
Suasana mulai terasa aneh. Semilir angin membawa wangi yang belum pernah kucium sebelumnya. Aroma berbagai macam bunga melintas dan menyeruak ke dalam indera penciumanku. Tubuhku merinding dan bergidik. Hembusan udara membelai halus tengkukku yang terasa dingin. Aura di lorong hotel terasa mencekam dan tegang. Sekelebat kulihat bayangan wanita berbaju putih sedang berjalan melayang menyusuri lorong. Aku segera menarik tangan Dwi dan menutup pintu kamar.
Aku terdiam beberapa saat, berusaha mengatur nafasku yang mulai berirama cepat. Aku khawatir kalau penjelasanku akan membuat Dwi semakin ketakutan. Bisa-bisa sepupuku ini menangis dan minta check out secepatnya. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku "pukul sembilan belas lewat lima belas menit". Terlalu beresiko bagi Gendis jika malam ini juga kami harus meninggalkan hotel. Aku tidak mau jika anakku terus menerus menjerit ketakutan di sepanjang perjalanan.
"Huuf" aku mendesah pelan.
Mau tidak mau, malam ini aku harus bertahan menginap di hotel yang auranya begitu menyeramkan!
"Wi, apa kamu yakin saat membuka pintu, tidak ada ibu di sana?"
Dwi menatapku dengan tatapan sinis.
"Maksud mba apa?? Aku berdusta gitu!!" Dengusnya menahan marah.
"Bukan begitu Wi, mba kan cuma bertanya? Bukan menuduh?" Jawabku berusaha menenangkan emosi sepupuku.
"Tadi mba juga dengarkan kalau ada suara Ibu terial memanggil nama mba? Aku nggak salah dengarkan?"" Tatapnya dengan mata memerah berusaha menahan tangis.
"Iya, mba dengar kok."
"Ta-tapi kenapa pas aku buka pintu, Ibu nggak ada? Terus siapa dong yang tadi mengetuk dan memanggil nama mba??" Dwi mulai merengek seperti anak kecil yang kehilangan permen kesukannya.
"Hey..!! Jangan cengeng begitu! Lihat nih, kita di kamar tidak cuma berdua tapi berempat! Jadi tidak usah takut begitu ah!!" Jawabku gusar.
"Ta-tapi mba..!!" Dwi tidak meneruskan ucapannya. Wajahnya yang putih semakin terlihat pucat.
"Om, om tadi juga dengarkan suara Ibu memanggil nama mba Ima?" Tanya Dwi ke suamiku yang sedang meluruskan pinggangnya di atas kasur.
"Suara apa?? Om dari tadi tidak mendengar suara apa-apa."
"Aahh.. Om Dedi jangan isengin Dwi dong! Jelas-jelas tadi ada suara Ibu diluar manggil-manggil mba Ima!!" Dwi ngotot dengan apa yang telinganya dengar.
"Aduh Dwi, ngapain juga om harus bohong!" Dari tadi om tidak mendengar suara apa-apa!"
"Sudah.. sudah jangan berdebat. Biar mba telpon Ibu dulu!" Aku berusaha menengahi mereka.
Aku segera mengambil ponsel yang berada dalam tas dan memencet nomer telpon tanteku. Tanpa menunggu lama, Ibu Dwi segera menjawab teleponku.
"Ada apa Ma?" Tanya Ibu Dwi.
"Ma, barusan mama ke kamar Ima nggak?"
"Nggak tuh! Mama dan om dari tadi cuma rebahan di kasur! Memangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa ma. Ma, mama di room berapa?"
"Mama di room 140, letaknya jauh di belakang. Kenapa? Kamu mau kesini?"
"I-iya ma, Ima mau ke kamar mama sekarang."
"Ya sudah, mama tunggu." Ibu Dwi segera mematikan teleponnya.
"Mas, aku titip Dwi dan Gendis ya. Aku mau ke kamar tante dulu"
Suamiku cuma menggangkukkan kepalanya. Sedangkan putriku masih asik loncat-loncatan di atas kasur sambil tertawa kegirangan.
Dwi menarik tanganku. Tatapannya memelas, memohon agar aku tidak meninggalkannya.
"Mba... jangan pergi. Sudah biarin aja!!"
"Jangan gitu Dwi! Mba harus memastikan dulu siapa yang tadi menirukan suara Ibu! Mba penasaran!"
"Ta-tapi mba...!! Aku takut kalau ada kejadian seperti dulu. Mba ingatkan waktu kita menginap di hotel Subang?"
Aku menepuk pelan bahu Dwi, berusaha menenangkannya.
"Sudah nggak usah khawatir. Kamu di kasur saja sama Gendis. Tuh.. om Dedi kan ada di bawah. Jadi kamu aman disini." Aku menunjuk ke arah suamiku yang sedang mendengarkan musik dari ponselnya.
"Justru itu mba! Aku malah semakin takut kalau ada Gendis! Tahu sendirikan anakmu gimana? Kemana dia pergi, pasti ada mahluk yang tertarik kepadanya!" Tatap Dwi dengan wajah memelas.
"Jadi kamu mau ikut mba ke kamar Ibu??"
"He-eh. Malam ini aku mau tidur di kamar Ibu dan Bapak saja"
"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita cari kamar Ibu sekarang."
Aku melirik ke suamiku yang tampak asik dengan handphone di tangannya.
"Mas, mas.. aku mau ke kamar tante sama Dwi. Kamu tolong jagain Gendis! Lihatin anak kita, jangan sampai dia terjatuh ke lantai!"
Suamiku mengancungkan jempolnya ke atas, tanda ia mendengar ucapanku.
Setengah bergegas, aku dan Dwi segera melangkah keluar kamar. Dwi mencengkram lenganku dengan erat. Tampaknya ia begitu ketakutan. Temaram lampu lorong hotel dan udara yang terasa dingin semakin membuat suasana begitu mencekam. Lampu lorong yang awalnya terang benderang kini berpendar temaram.
Di sepanjang lorong hotel yang berwarna cream dan remang-remang, membuat wajah Dwi yang putih terlihat begitu pucat seperti vampire yang kekurangan darah.
"Aahh... kenapa aku malah mengamati wajah sepupuku!" Aku memalingkan wajahku dan mulai fokus mencari kamar bernomer 140.
"Mbaaa..!! Aku takut!!" Ujar Dwi setengah berbisik.
Aku menepuk perlahan lengan Dwi "Yang kuat Wi..! Ingat, kita tidak sendirian!"
Dwi menggangukkan kepalanya. Sesekali ia merapikan jilbabnya yang melorot ke kening dengan jemarinya yang lentik.
Aku dan Dwi terus berjalan menyusuri lorong yang berhawa pengap dan suram. Aku mulai mengecek nomer kamar yang kami lewati satu persatu. Dengan jeli dan teliti, aku berusaha menemukan kamar dimana Ibu Dwi berada.
"Disini nomer kecil semua Wi! Berarti benar kata Ibu, letak kamarnya di belakang. Tapi kita harus lewat arah yang mana?" Tanyaku kebingungan.
Padahal bangunan hotel tempat ku menginap tidaklah begitu besar. Hanya terdiri dari satu lantai. Namun di dalam hotel ini begitu banyak lorong dan simpang yang membingungkan layaknya sebuah labirin berukuran raksasa.
Langkahku terhenti di persimpangan koridor. Hatiku menerka-nerka, arah mana yang harus ku pilih? Tetap berjalan lurus atau belok ke arah kiri? Saat sedang berpikir keras, mataku terkesiap melihat cahaya lampu lorong hotel berkedip-kedip seperti lampu yang akan padam. Dwi yang dicekam rasa takut semakin merapatkan tubuhnya ke badanku.
"M-mba...! Li-lihat kesana..! I-itu apa?" Jarinya mengarah ke ujung lorong.
Aku menatap ke arah yang Dwi maksud.
"Astagfirullah" pekikku tertahan.
Dari tempatku berdiri, dengan jelas ku lihat sosok siluet hitam sedang berdiri di ujung lorong hotel. Dwi segera menyembunyikan wajahnya di balik tubuhku. Bahunya bergetar, ia mulai menangis terisak-isak.
"Ibu...! Bapaaaak..!! Aku takut..!!" ucapnya lirih.
"Ma..! Ima..!" Terdengar suara berat dan menggema. Mahluk itu memanggil-manggil namaku.
Bulu halus di tengkukku serentak berdiri. Belakang kepalaku mulai terasa berat. Pandanganku kabur, mataku berkunang-kunang. Kecemasan dan rasa panik mulai menerjang diriku. Aku khawatir jika saat ini mahluk itu tengah berusaha untuk masuk ke dalam tubuhku.
Tubuhku terasa kaku hingga sulit kugerakkan. Aku takut bukan alang kepalang!
"Sadar Ima! Sadar! Ingat Penciptamu!!" Terdengar bisikan di telingaku.
Aku segera tersadar dan mengalihkan pandangan dari sosok yang seperti menghipnotisku. Aku segera mengucap istighfar dan takbirberulang-ulang.
"Allahu Akbar..!! Allahu Akbar!!" Pekikku pelan.
"Wi, usahakan jangan melihat ke arah bayangan itu! Baca doa Dwi! Jangan sampai diri kita kosong dan lengah!" Teriakku seperti orang gila.
Namun tak ada jawaban sedikitpun dari sepupuku. Ia malah semakin mencengkram lenganku kuat-kuat. Yang terdengar hanyalah hembusan nafas pelan dan lantunan doa melantun dari bibir sepupuku. Aku pun berusaha sekuat tenaga melawan gelombang rasa takut dan panik. Aku harus menjaga pikiranku agar tetap jernih dan tenang agar bisa melindungi diriku sendiri dan Dwi!
Anehnya di tengah suara ricuh teriakanku, tak ada satupun tamu hotel yang membuka pintu kamarnya untuk sekedar melihat dan mengecek apa yang sedang terjadi. Suasana tampak begitu hening. Sunyi senyap! Sepertinya hanya ada aku dan Dwi yang berada di hotel terkutuk ini.
Bibirku dan Dwi terus melantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an, memohon pertolongan Allah agar terhindar dari segala mara bahaya yang saat ini berada di hadapan kami. Lambat laun cahaya di lorong yang sempat meredup berangsur-angsur terang kembali. Dan sosok mahluk beraura hitam pekat itu perlahan memudar. Aku pun kini bisa kembali bernafas lega.
"Alhamdulillah penerangan sudah kembali normal dan mahluk itu sudah pergi tanpa meninggalkan jejak" ucapku lirih.
"Wi, situasinya sudah normal. Mahluk itu sudah menghilang." Ucapku seraya mengusap lembut tubuh Dwi yang menggigil ketakutan.
"Ya-yang benar mba?" Ucapnya dengan suara terbata-bata.
"Iya Wi, sekarang kamu sudah bisa membuka matamu!"
Perlahan-lahan sepupuku memberanikan diri untuk membuka kelopak matanya. Hatiku teriris sedih melihat netranya yang coklat tua terlihat bengkak dan memerah akibat menangis terlalu lama.
"Mbaa... aku takut! Kalau diteror ketakutan begini terus, lama-lama aku bisa gila!"
"Istighfar Wi, istighfar. Jangan bicara yang macam-macam!" Sahutku gusar.
"Kriieet... kriiieett" terdengar suara seperti benda yang sedang diseret-seret mendekat ke arahku dan Dwi.
"Mbaaa.. ini suara apa lagi??" Bisik Dwi tergagap ketakutan.
Aku tak menjawab pertanyaan sepupuku. Pandanganku menatap lurus ke depan, mengarah ke arah lorong. Aku bersikap waspada menunggu kejutan apa lagi yang akan segera kuhadapi.
Samar-samar dari kejauhan kulihat sosok kurus tinggi berbaju putih sedang mendorong sesuatu. Ia sedang berjalan mengarah ke tempatku berdiri. Netraku berusaha fokus ke arah lorong. Aku begitu penasan, suara apa yang sudah membuat telingaku ngilu. Gesekan benda berdecit semakin terdengar kencang dan mendekat. Aku mengatupkan kedua rahangku rapat-rapat. Aku berusaha meredam suara yang begitu mengganggu indra pendengaranku
Aku mengusap wajahku dengan tangan yang membeku sedingin es. Jantungku rasanya hampir copot! Kupikir bunyi itu berasal dari hantu yang menghuni hotel ini. Namun ternyata suara yang hampir membuatku mati berdiri, berasal dari bell boy yang sedang mendorong troli hotel yang biasa digunakan untuk mengantar barang. Mungkin roda troli itu kurang perawatan dan harus dikasih oli agar tidak lagi mengeluarkan suara berdecit.
Aku tersenyum lega dan mengambil nafas dalam-dalam. Tanpa membuang waktu, aku segera berjalan menghampiri bell boy dan bertanya dimana arah kamar 140.
"Selamat malam mas, maaf saya mau tanya dimana ya letak kamar 140?"
"Selamat malam bu! Kamar 140? Ibu bida langsung belok ke arah kiri dan terus mengikuti sepanjang lorong. Kamar 140 berada di sebelah kiri ujung koridor hotel" jawabnya sambil tersenyum ramah.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Dwi segera mengikuti arah yang ditunjukkan oleh bel boy tersebut. Ternyata benar ucapan staff hotel yang tadi berpapasan denganku, kalau letak kamar tante berada cukup jauh di belakang!
Dalam diam, aku dan Dwi berjalan dengan cepat melewati lorong yang penerangannya remang-remang. Sepanjang koridor, aku dan Dwi terus bergandengan tangan, menggenggam erat jemari kami masing-masing, seolah-olah takut terpisahkan. Aku masih trauma dan terbayang-bayang dengan sosok hitam yang malam ini sudah dua kali memperlihatkan wujudnya di hadapanku.
Akhirnya setelah berjalan cukup lama, langkah kaki kami pun terhenti di depan sebuah kamar bernomer 140.
Aku dan Dwi termangu berdiri di depan kamar yang terletak di paling ujung koridor.
"Wi, sepertinya ini kamar Ibu. Coba kamu telpon Ibu!"
Dwi segera mengeluarkan ponsel dari saku celana kanannya dan segera menelpon Ibunya hanya untuk sekedar memberi tahu kalau kami sudah berada di depan kamar beliau. Tidak lama kemudian terdengar pintu kamar dibuka. Dan muncullah seraut wajah yang sudah biasa kulihat.
"IBUUUU....!!" Teriak Dwi sambil berhamburan ke pelukan ibunya.
Ibu Dwi tercengang melihat kelakuan putrinya.
"Kamu kenapa Dwi? Kaya sudah lama saja tidak bertemu ibu?" Tanya beliau dengan tatapan heran.
Dwi terus mendekap ibunya dengan erat. Sepertinya sepupuku ingin memastikan jika sosok yang saat ini berada di hadapannya adalah benar-benar Ibunya. Bukan mahluk yang sedang berusaha mencoba menipu Dwi.
"Ayo masuk dulu ke kamar. Ngapain malah berdiri di sini terus." Ajak tante sambil mengamati perubahan sikap Dwi dengan ekor matanya.
Kami pun segera memasuki kamar. Aku hanya berdiri termenung di dekat tv sambil mengamati Dwi yang langsung menangis tersedu-sedu di pangkuan ibunya. Ku lihat ayah Dwi sudah terlelap dalam mimpi. Sepertinya beliau kelelahan setelah menempuh perjalan jauh.
"Bu, ibu... tadi tuh di kamar mba Ima ada suara Ibu memanggil-manggil nama mba Ima. Tapi pas aku buka pintu kamar, aku nggak melihat siapapun di sana. Benerkan mba?" Dwi menatapku meminta persetujuan.
Aku tersenyum tipis dan mengganguk pelan. Aku malas berbicara karena aku tahu bagaimana sifat tante dan apa jawaban yang akan terlontar dari mulut orang tua Dwi.
"Aahh..! Itu hanya halusinasi kamu dan mba Ima saja. Mungkin kalian salah dengar?" Jawab tante diplomatis.
"Binggo!!" Tepat sesuai dugaanku! Ibu Dwi akan bilang kalau aku dan Dwi sedang menghayal.
"Ibu kenapa sih tidak pernah percaya sama ucapanku dan mba Ima?" Tatap Dwi berusaha meyakinkan ibunya.
Ibu Dwi terdiam, tiak menjawab pertanyaan anaknya. Ia hanya membelai lembut kepala putrinya, berusaha menenangkan anaknya yang manja. Tatapan tante beralih kepadaku.
"Ma, untung tadi mas Dedi tidak memilih kamar ini!" Seru Ibu Dwi mengejutkanku.
"Memangnya kenapa ma kalau tadi mas Dedi memilih tidur di kamar ini?" Tanyaku dengan tatapan ragu.
Tante menunjuk ke arah jendela kamar hotel.
"Lihat tuh pemandangan dari jendela kamar! Ada pohon kamboja gede banget! Duh, mana kamar disini katanya full semua lagi. Jadi mama tidak bisa minta pindah kamar!"
Aku melangkah pelan menghampiri jendela kamar dan mengintip dari balik tirainya. Benar yang Ibunya Dwi katakan. Tepat di depan jendela kamar ada sebuah pohon bunga kamboja yang sangat besar. Dibawah cahaya rembulan yang bersinar temaram, bayangan ranting dahan yang menjulur tepat menghadap jendela, tampak seperti jari jemari raksasa yang siap mencengkram siapapun yang mendekat ke arahnya.
Aku bergidik ngeri dan segera menutup kembali tirai gorden. Aku mengucap syukur dalam hati karena tadi suamiku tidak memilih kamar yang sekarang ditempati oleh keluarga Dwi. Apa jadinya kalau mas memilih kamar ini untuk bermalam? Bisa-bisa aku bukannya tertidur nyenyak, tetapi harus uji nyali karena salam perkenalan dari mahluk penunggu pohon!
"Ya sudah ma, Ima kemari cuma mau nganterin Dwi. Ima balik ke kamar dulu ya" pamitku sambil berjalan meninggalkan kamar.
Ibu Dwi mengganggukkan kepala dan tetap terdiam di atas kasur sambil berusaha menenangkan Dwi yang menangis terisak-isak.
Semakin malam, lorong itu tampak gelap. Sampai ujungnya tak terlihat dan menambah kesan seram. Dengan tergesa-gesa, aku terus berjalan sambil menundukkan wajahku menatap ke lantai keramik berwarna abu-abu. Pkiranku cuma satu, secepatnya aku harus segera berada di kamarku!
"Sekarang aku harus berjalan sendirian menuju ke kamar. Mengapa perasaanku menjadi tidak enak? Kenapa ada rasa takut mulai menyelimuti diri? Aahh...!! Kemana nyaliku?" Ucapku dalam hati.
Di sepanjang koridor yang terasa sepi senyap bagaikan di kuburan, hatiku terus diliputi rasa was-was. Langkahku terhenti di persimpangan dalam koridor hotel.
Seperti ada kekuatan magnet yang sangat dahsyat, membuat ujung mataku melirik ke arah lorong tepat dimana aku dan Dwi melihat bayangan hitam.
"Arrgghhh...!!" Aku mengutuk diriku.
"Kenala aku harus menatap ke koridor itu lagi?? Apa aku sedang kurang kerjaan atau kah aku ingin menguji nyali?"
Hawa dingin menyapu wajahku. Penciumanku mencium bau busuk dan anyir. Perutku seperti diaduk-aduk. Aku langsung mual. Aku segera menutup mulutku rapat-rapat berusaha untuk tidak memuntahkan isi makanan di lantai hotel yang bersih.
"Bau apa ini?? Kenapa seperti bau bangkai? Bukannya tadi pas aku dan Dwi lewat disini tidak tercium aroma menjijikan apapun?"
Rasa takut seketika menjalar di tubuhku.
"Hi..hi..hi..!!" Terdengar tawa khas yang bisa mendirikan bulu roma siapapun yang mendengarnya.
Suara tawa yang awalnya terdengar samar. Lambat laun menjadi kencang, memenuhi lorong-lorong pendengaranku. Suara cekikikannya membuatku bergidik ngeri.
Dengan perasaan takut dan ragu, aku melirik ke arah lorong sebelah kiri. Tepat dimana suara itu berasal. Dalam pencahayaan yang tidak begitu terang, samar-samar ku lihat sosok berambut panjang kusut dan berbaju putih kumal tengah berdiri membelakangiku. Gaun yang mahluk itu kenakan begitu panjang hingga menutup kaki sampai ke lantai.
"Hanya mimpi..!! Ini semua hanya imajinasiku!!" Pekikku dalam hati berulang-ulang. Berusaha memastikan apa yang sedang ku lihat tidaklah nyata.
Aku menatap nanar ke arah mahluk astral yang menyerupai wujud seorang kuntilanak. Sosok itu terus tertawa melengking tanpa henti, membangkitkan seluruh bulu kuduk di tubuhku. Lututku bergetar, kakiku terasa lunglai! Mataku memandang kosong ke arah mahluk jahil yang suara tawanya perlahan-lahan berubah menjadi tangisan yang menyimpan banyak arti.
"Hiks..hiks..hikss..!!" Tangisnya tersedu-sedu seperti orang yang sedang memohon untuk dikasihani.
"Jangan.. jangan menoleh ke arahku! Ku mohon!" Ucapku dalam hati. Berusaha agar mahluk itu mau sedikit berbelas kasih agar tidak memperlihatkan wajahnya kepadaku.
Aku berusaha berteriak meminta pertolongan tapi rasanya percuma. Karena saat ini tak ada satupun tamu atau pegawai hotel yang sedang berjalan di koridor. Aku ingin menangis dan menjerit kuat-kuat, namun tenggorokanku tercekat. Lidahku pun terasa kelu, aku mendadak menjadi bisu.
Irama detak jantungku berdegub kencang tak beraturan. Nafasku memburu cepat seperti sedang dikejar setan. Dengan sekuat tenaga, aku memaksa kakiku untuk segera berlari meninggalkan mahluk yang terus menerus menangis menyayat hati. Namun tubuhku seperti tidak memiliki kekuatan! Kakiku terasa berat, terpaku tak bisa ku gerakkan. Kini aku hanya bisa berdiri terdiam mematung. Meringis, meratapi nasibku yang diteror ketakutan.
Bersambung
Comments (0)