Part. 39
Silumar Ular
Silumar Ular
"Tiba-tiba Gendis menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat pasi. Matanya terkesiap memandang tajam ke arah pohon yang dedaunnya berjatuhan dan bergoyang-goyang saat angin meniupnya. Tubuh mungil putriku bergetar dan terlihat peluh mulai membasahi keningnya. Ia tampak dicekam perasaan takut yang luar biasa. Dirinya terlihat tidak berdaya menghadapi teror yang kembali menghantuinya.
"Ma..!! Maaa..!!" Desisnya tertahan. Sambil menarik ujung lengan baju yang kupakai.
"Apa Ndis? Gendis melihat apa lagi??"
"Tu ma....!!" (Itu ma) Tunjuknya ke atas pohon yang auranya terlihat menyeramkan.
"Di atas pohon ada apa lagi sayang?
"Ma, di oon ada ig onkey uga" (Ma, di pohon ada big monkey juga) Ujarnya seraya menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti seekor kera.
"Big monkey?" Aku mendelik kaget mendengar penuturan putriku.
"Iya ma. Ig onkey black, atanya elah. Ada ajem-ajem di alanya!" (Iya ma. Big mokey black, matanya merah. Ada tajem-tajem di atas kepalanya)
"Dis ...Atuuut ma..!! Iihh ceyem...!! Ceyem..!!" (Takut ma, Ih seram, Seram) Bisiknya di telingaku.
Aku mendekap hangat tubuh mungil putriku erat-erat. Berusaha memberikan perlindungan dan menguatkan mentalnya agar tidak takut ketika melihat penampakan dan gangguan dari mahluk gaib.
"Jangan takut ya Ndis. Ingat, ada Allah yang menjaga Gendis"
Anakku mengganguk lemah. Ia menoleh dan menatap ke dalam mataku. Putriku terlihat begitu takut dan tertekan. Aku merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Ma, big monkey alak. Ga cuka Dis!" (Ma, big monkey galak. Nggak suka Gendis)
"Tapi big monkey tidak berniat jahatin ndis kan?" Tanyaku ragu.
Putriku terdiam, sinar matanya yang hangat menatap penuh arti ke arah pohon rambutan.
"No, ma!! Big monkey ilang ga cuka Dis dicini. Huss..!! Huus..!! Dis diculuh elgi auh-auh!" (No ma. Big monkey bilang dia nggak suka kalau Gendis berada disini. Ndis dsuruh pergi jauh-jauh)
""Memangnya kenapa big monkey keberatan kalau Ndis berada disini? Kan kita tidak mengganggu dia?"
"Dis da auu..!" (Gendis nggak tahu)
"Ma, ma cnake g akal. Yang akal big monkey ama kakak iceng" (Ma, snake tidak nakal. Yang nakal big monkey sama kakak iseng) ucapnya lirih. Ujung matanya tampak mengamati sebuah dahan yang terlihat cukup besar.
"Kakak???" Hatiku dibuat keheranan mendengar perkataan Gendis. Sebegitu banyakkah mahluk astral yang mendiami pohon rambutan Bi Nina? Mulai terbersit tanya dalam hatiku.
"Iya ma, kakak aju white. Ukanya elek. Iihh... elek..!!" (Iya ma, kakak baju white. Mukanya jelek. Ih jelek) Tunjuknya ke arah dahan yang mulai berayun pelan.
"Ambutna ajannnnggg...!! Tuhh, kakak agi uduk..!! Kakak etawa-etawa iat Dis!" (Rambutnya panjang. Tuh, kakak lagi duduk. Kakak ketawa-ketawa lihat Ndis)
Secara spontan Gendis langsung menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya terpejam dan ia mulai berteriak "Eliciiikkkkkk!!! Ctop..!! Ctopp!! Elicik au!! Uping Dis atit!!" (Berisik. Stop..Stop. Berisik tau. Kuping Gendis sakit)
"Ma..!! Etawa kakak belicik! Dis ga cuka!" (Ma, ketawa kakak berisik. Gendis tidak suka)
Semakin lama Gendis menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tampaknya putriku begitu terganggu mendengar lengkingan dan suara tawa kakak berbaju putih.
Aku tidak tega melihat putriku yang tampak begitu menderita. Perlahan aku merengkuh tubuhnya yang basah, merasakan badannya yang sedikit gemetar. Kemudian aku menggendong dan membawanya menjauh dari pelataran halaman rumah Bi Nina.
Saat itu pikiranku cuma satu. Aku harus membawa Gendis menjauh sejauh mungkin agar indra pendengarannya tidak terganggu oleh tawa kakak. Tampaknya pendengaran anakku begitu sensitif, sehingga telinganya terasa sakit setiap kali mendengar suara yang terdengar begitu kencang dan cuamikkan telinga.
Aku berjalan sambil menggendong putriku yang terus menutup telinganya rapat-rapat. Nafasku mulai tersengal-sengal karena harus berjalan sambil menggendong Gendis yang bobot tubuhhya lumayan berat. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ekor mataku melihat ada sebuah warung kecil yang menjual berbagai macam makanan dan minuman di sebelah kiri jalan.
Tanpa berpikir panjang, aku segera melangkahkan kaki memasuki halaman warung yang begitu terawat dan bersih. Segera kuturunkan putriku yang sudah mulai sedikit tenang di sebuah kursi kayu yang terletak tepat di depan warung. Aku terduduk dan mulai mengatur nafasku yang tidak beraturan.
"Permisi Bu, ada air mineral yang dingin tidak?" Tanyaku pelan.
"Oh ada, sebentar Ibu ambilkan" jawab penjual yang mengenakan jilbab biru sambil tersenyum ramah. Ibu penjual kemudian mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas kecil yang berada dalam warungnya.
"Ini neng, air mineralnya" ujarnya seraya menyerahkan pesananku.
"Terima kasih. Maaf bu, apa saya boleh menumpang beristirahat disini sebentar?" Tanyaku sambil meneguk air yang berada dalam genggamanku.
"Ooh mangga neng, silahkan saja. Kalau Ibu lihat dari logatnya, tampaknya Neng bukan orang sini ya?" Tatapnya menelisik ke arahku.
"Iya bu, saya bukan asli sini" jawabku sambil tersenyum.
"Terus Neng datang kemari mau bertandang ke rumahnya siapa?" Tanyanya penuh rasa ingin tahu.
"Itu Bu, saya keluarganya Bi Nina. Lagi ada acara arisan keluarga disini" jawabku sambil menunjuk ke arah rumah saudaraku.
"Oohh... neng geulis masih keluarganya Bi Nina. Rumah Bi Nina yang di atas itu kan? Yang di halamannya ada pohon rambutan?" Suaranya tercekat seperti menyembunyikan sesuatu.
"Betul bu. Ibu juga kenal sama Bi Nina ya?"
"Enggak neng. Ibu tidak kenal dekat. Cuma sekedar tahu saja dari tetangga beliau kalau... Ah, sudahlah tidak usah dipedulikan ucapan saya"
Hatiku tergelitik mendengar ucapannya yang mengambang.
"Maaf bu, memangnya tetangga Bi Nina suka bilang apa ya?" Instingku mengatakan ada yang tidak beres dengan rumah keluargaku.
Bisa dibilang kediaman Bi Nina sangatlah besar. Sayangnya rumah itu jarang ditempati, karena Bi Nina lebih sering menempati rumah beliau yang berada di Jakarta agar lebih dekat dengan keluarga dan anak-anaknya. Jadi hanya sesekali saja beliau berkunjung ke rumahnya yang di Cikampek.
"Hampura ya neng kalau Ibu ikut campur. Tapi menurut desas-desus tetangga di sekitarnya. Rumah Bu Nina itu terkenal seram dan angker neng!"
Mataku membeliak terkejut.
"Angker bagimana bu?" Aku mulai bertanya layaknya seorang wartawan yang sedang menginterogasi narasumber.
"Ini kata tetangga yang berada di sebelahnya ya. Menurut mereka, hampir setiap malam dari halaman rumah Bu Nina sering terdengar suara wanita cekikikan! Aduh neng.. Ampun..!! Lihat nih tangan ibu jadi merinding begini!" Ujarnya sambil bergidik ngeri.
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Ibu penjual warung.
"Mungkin itu hanya kebetulan saja bu" jawabku berusaha mengalihkan ketakutannya.
"Iihss, nggak atuh neng! Bukan cuma tetangganya saja yang bilang begitu. Tapi satpam disini juga! Sudah beberapa kali satpam disini melihat dan mendengar suara wanita sedang tertawa di atas pohon rambutannya Bu Nina!" Ucapnya bersungguh-sungguh.
Baru saja aku ingin meneruskan pertanyaanku. Dari kejauhan kudengar seseorang memanggil-manggil namaku.
"Ima! Gendis! Kalian berada disini rupanya!!" Suara ayah Dwi membuatku terkejut.
"Eh, iya om. Memangnya kenapa?"
"Ayo cepat ke mobil, kita akan melanjutkan perjalanan. Tampaknya suamimu ingin singgah ke kota P terlebih dahulu!"
"Sebentar ya om. Nanti Ima dan Gendis segera menyusul ke mobil"
Aku segera membayar minuman yang sudah kubeli. Tak lupa ku ucapkan terima kasih karena sudah mengijinkanku dan putriku untuk beristirahat barang sejenak di warungnya.
Dengan tergesa-gesa, aku segera menuju ke lokasi parkir mobil yang berada di lapangan. Dari kejauhan kulihat keluargaku sudah berkumpul di dalam kendaraan yang siap membawa kami ke kota P. Aku segera masuk ke dalam mobil diiringi tatapan aneh Ibu Dwi.
"Kamu kok nggak pamitan sama keluarganya Bi Nina sih?" Cerocos tante tanpa henti.
"Ma-maaf ma. Tadi Gendis ketakutan. Jadi Ima tidak sempat pamitan sama keluarga Bi Nina"
"Takut bagaimana??" Ujarnya sengit.
"Gendis takut sama yang menghuni pohon rambutan ma"
Kuperhatikan mas terdiam terpaku di samping ayah Dwi. Sedangkan Dwi asik berkutat dengan ponselnya di kursi belakang.
"Penghuni pohon rambutan?" Kedua alis tante bertaut melengkung.
"Iya ma, tadi pas baru sampai halaman luar rumah Bi Nina, Gendis langsung disambut sama mahluk astral penghuni pohon rambutan"
"Seperti apa wujud yang dilihat Gendis?"
"Kata Gendis sih ada ular besar, gunderuwo dan kuntilanak"
"Mbaa... stop!! Jangan terusin ucapannya!" Bentak Dwi dengan raut wajah tidak suka.
Suasana hening sejenak.
"Berarti benar cerita yang pernah mama dengar itu" ujarnya sambil menghela nafas pelan.
"Cerita apa ma?"
"Jadi waktu kamu tinggal di Kalimantan, ada peristiwa yang terjadi di rumah Bi Nina. Kamu kenalkan Bi Resti?"
" Ima kenal ma. Istrinya om Samudra kan?"
"Betul" gumamnya pelan.
"Waktu itu om Samudra baru saja pulang berlayar. Seperti biasa yang dilakukan suami istri setelah lama tak berjumpa, mereka kemudian bermesraan. Nah, keesokan harinya mulai terjadi keanehan. Tiba-tiba Bi Resti tidak bisa berbicara dan berjalan layaknya manusia normal." Dengan pandangan kosong, tante menatap keluar jendela.
Ibu Dwi menghela nafas berat seolah dirinya begitu enggan untuk meneruskan ceritanya. Namun setelah kupaksa, akhirnya beliau berkenan melanjutkan ceritanya.
"Semakin hari wajah Bi Resti terlihat kuyu dan pucat. Wajahnya terlihat kosong tanpa expresi dan dari bibirnya yang terdengar hanyalah suara desisan. Tubuhnya juga mulai berjalan dengan cara meliuk-liuk di lantai dengan lidah terjulur, persis seperti ular yang sedang melata di atas tanah!"
Sejenak Ibu Dwi terdiam dan menarik nafas. Ia menatap lurus ke depan.
"Merasa ada yang tidak beres, akhirnya om Samudra menghubungi keluarga Bi Resti yang berada di Jakarta dan menceritakan semua keanehan yang menimpa istrinya. Setelah dilakukan perundingan keluarga, akhirnya Bi Nina selaku kakak tertua Bi Resti, meminta bantuan seorang guru ngaji yang juga memahami dunia supranatural."
"Bu.. !! Jangan diterusin ceritanya!! Aku takut!!" Pekik Dwi menyela percakapan aku dan Ibunya.
"Bu, Uwi atut..!!!" (Ibu, Dwi takut) Goda putriku.
Celoteh yang terlontar dari bibir Gendis membuat semua yang mendengarnya tertawa geli. Ucapan anakku sedikit mencairkan suasana yang sempat menegang.
"Terusin saja ma! Ima penasaran!" Bujukku yang begitu antusias mendengar penuturan Ibu Dwi.
Tante kemudian mengambil cemilan keripik yang tergeletak disamping pintu dan mulai mengunyahnya.
"Alhamdulillah guru ngaji tersebut bersedia mengobati Bi Resti. Hari yang ditentukan telah tiba. Dengan bersusah payah, om Samudra dengan dibantu beberapa keluarga besarnya segera membawa Bi Resti ke rumah Bi Nina. Karena sesuai perjanjian, pengobatan terhadap Bi Lesti akan dilakukan di kediaman Bi Nina."
Sejenak tante tertegun. Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya.
"Hari yang di tunggupun tiba, saat pertama kali Bi Resti bertemu dengan pak ustad, tatapan Bi Resti terlihat menyalang. Dari bibirnya terus mendesis seperti ular yang sedang marah, waspada akan ancaman yang berada di hadapannya."
"Ayo lanjutin lagi ceritanya ma!!" Pintaku tak sabaran.
"Setelah pa ustad berkomunikasi dengan mahluk halus yang saat itu bersemayam dalam tubuh Bi Resti, akhirnya Pak Ustad menemukan titik terang mengapa Bi Resti bisa kerasukan. Pak Ustad bertanya kepada om Samudra, apa beliau pernah memancing ikan di perairan laut China Selatan?"
Ibu Dwi menghentikan ceritanya dan meneguk sebotol air mineral. Setelah itu beliau kembali meneruskan ceritanya.
"Om Samudra mengiyakan pertanyaan pak ustad. Menurut om Samudra, ia dan beberapa crew kapal memang memancing dan mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak. Kemudian ikan-ikan tersebut mereka bakar dan santap habis."
"Setelah mendengar penuturan om Samudra, pak ustad berkata kalau salah satu ikan yang sudah dimakan oleh om Samudra itu sebenarnya merupakan wujud dari siluman ular yang sedang menyamar menjadi seekor ikan. Berhubung om Samudra memiliki pegangan untuk menjaga dirinya, maka ular siluman itu tidak bereaksi apa-apa di tubuhnya. Nah, ketika om Samudra dan Bi Resti melakukan persetebuhan, siluman ular itu dengan mudahnya langsung merasuki tubuh Bi Resti."
Beberapa kali Ibu Dwi menghentikan cerita dan terdiam. Matanya menatap nanar, memandang jalanan.
"Ma, pa ustad bisa mengusir siluman yang mendiami tubuh Bi Resti atau tidak?" Tanyaku antusias.
"Setelah dilakukan negosiasi, awalnya siluman itu menolak untuk keluar dari tubuh Bi Resti. Siluman itu sudah menyukai dan menganggap tubuh Bi Resti adalah tempat tinggalnya yang baru. Akhirnya seketika itu juga pa ustad langsung mengambil tindakan. Beliau segera membaca beberapa ayat Al-Qur'an dan dengan kedua tangannya, pa ustad seperti sedang menarik sesuatu keluar dari tubuh Bi Resti."
Ibu Dwi menghela nafas dan mulai mengatur suaranya.
"Seketika itu juga tubuh Bi Resti memberontak hebat. Matanya memerah, ia meronta- ronta dan menggeliat seperti ular yang kepanasan. Kemudian terjadilah pertempuran antara pak ustad dan siluman tersebut. Semua keluarga yang berada dalam ruangan disuruh keluar karena takut terkena efeknya. Setelah terjadi pertempuran yang cukup lama, akhirnya pak ustad berhasil menarik dan mengeluarkan siluman itu dari tubuh Bi Resti. Kemudian beliau menaruh sosok siluman ular itu di pohon rambutan yang terletak di pekarangan rumah Bi Nina."
"Berarti ma, yang tadi Gendis lihat itu merupakan siluman ular yang pernah mendiami tubuh Bi Resti?"
"Bisa jadi...!" Gumamnya lirih.
"Terus kunti dan gunderuwo itu siapa ma?" Tanyaku penasaran.
"Mungkin mereka hanya mahluk yang ikut menumpang bersemayam di pohon rambutan." Ayah Dwi yang dari tadi terdiam mulai menyambung ucapanku.
Aku menghela nafas lega "Alhamdulillah siluman ular itu hanya menunjukkan wujudnya ke putriku tanpa berniat mengganggu sama sekali."
Kendaraan yang aku tumpangi terus melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kota Cikampek dan menuju ke arah kota P.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir empat jam lamanya, akhirnya kendaraan kami tiba di salah satu desa yang berada di Jawa Tengah.
Ketika itu hari sudah menjelang hampir maghrib. Gendis terlihat mulai gelisah dan cemas. Beberapa kali iris matanya berpendar menatap nyalang ke luar jendela mobil. Sedetik kemudian, nafasnya terengah-engah dan ia mulai menangis kencang.
Wajahnya yang tanpa dosa terlihat kaku. Sinar matanya berusaha meminta pertolongan dari apa yang tengah dilihat oleh mata ketiganya. Bola matanya mendelik, menatap ke atas kap kendaraan. Semua yang berada dalam kendaraan mulai panik. Kami berusaha mengalihkan perhatian dan menenangkan Gendis, namun semua usaha yang kami lakukan tidak berhasil. Putriku terus menangis dan menjerit tanpa henti.
Aku segera membenamkan wajah Gendis ke dalam pelukanku. Sepertinya saat ini begitu banyak mahluk astral berenergi negatif yang tengah dilihat mata batinnya.
"Wi, cepat cari hotel terdekat!" Teriakku panik.
Dengan sigap, Dwi langsung membuka aplikasi hotel.
"Pak bawa mobilnya pelan-pelan. Nanti seratus meter dari sini ada hotel" teriak Dwi dengan suara parau.
"Nah itu om..!!" Itu ada hotel di sebelah kanan jalan!" Tunjuk mas ke sebuah hotel yang tidak terlalu besar.
"Yakin kita mau bermalam disitu?" Tanya ayah
Dwi dengan nada tidak percaya.
"Di sekitar sini sudah tidak ada hotel lagi pak. Kasihan Gendis, lihat wajahnya ketakutan begitu" desak Dwi ke ayahnya.
Akhirnya dengan berat hati, ayah Dwi membelokkan kendaraan memasuki parkiran hotel yang tidak terlalu luas. Aku segera turun dari dalam mobil dan membawa putriku ke lobi hotel.
Tangisan Gendis perlahan berangsur-angsur berhenti. Nafasnya terlihat naik turun. Sambil terisak-isak, ia berbicara "ma.. atut. Dis atut..!" (ma, takut. Gendis takut) ucapnya dengan bibir bergetar.
Aku membelai rambutnya yang halus.
"Jangan takut ya Ndis. Allah dan mama selalu menjaga Gendis" bisikku pelan.
Tak lama kemudian Dwi mengahampiriku dan menyerahkan sebotol air mineral.
"Mba, Gendis kasih minum dulu biar tenang. Kasihan bibirnya sampai gemetar begitu" ucap Dwi.
Aku segera menerima air mineral pemberian Dwi dan meminumkannya ke putriku. Setelah putriku lebih tenang, aku bertanya apa yang sudah membuatnya ketakutan sedemikian rupa. Namun tak ada jawaban yang terucap dari bibirnya yang pias. Tampaknya Gendis tidak ingin menceritakan penglihatannya padaku.
Bola mataku berkeliling menyapu lobi hotel. Sebenarnya hatiku menolak untuk menginap di hotel yang bisa dibilang kecil ini. Perasaanku mengatakan kalau hotel ini terlihat "tidak begitu nyaman". Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa aku harus bermalam disini.
"Ayo ma, ajak Gendis ke kamar!" Teriak mas dari depan meja receptionist.
"Tante dan om kemana? Kok mereka tidak ada?" Tanyaku keheranan.
"Mereka sudah dari tadi ke kamar duluan. Kamar yang berdekatan lagi full. Ayah Dwi tadi menyuruh mas untuk memilih kamar yang dekat dengan lobi. Sedangkan mereka memilih kamar yang agak jauh di belakang." Mas memberi penjelasan kepadaku dan Dwi.
"Ya sudah, kalau begitu aku ikut ke kamar mba saja dulu, biar aku bisa main sama Gendis" tutur Dwi sambil mengamit lenganku dengan manja.
Aku, mas dan Dwi kemudian berjalan mengekor seorang bell boy yang membawa barang bawaan kami.
"Room 106!" Seruku ketika melihat bell boy membuka pintu kamar yang malam ini akan aku tempati.
Aku mengucapkan salam dan melangkah memasuki kamar yang lumayan besar dan luas. Tak lama kemudian dua orang bell boy datang membawakan extra bed untuk suamiku.
Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan tips kepada mereka, aku segera beristirahat di sofa. Sedangkan suamiku langsung merebahkan dirinya di atas extra bed. Gendis dengan riang mulai naik dan melompat kegirangan di atas kasur yang empuk.
"Lumayan juga kamarnya" pikirku sambil mengamati seluruh ruangan.
"Wi.. Wi.. cini ocat-ocat ama Dis" (Uwi, Uwi sini loncat-loncat sama Ndis) ajak Gendis ke Dwi yang sedang duduk di sampingku.
"Nggak ah, Uwi cape" jawab Dwi malas-malasan.
"Lihat tuh kelakuan anakmu mba! Tadi di mobil dia sudah bikin semua orang panik! Eh, sekarang malah asik loncat-loncatan di atas kasur! Sudah kaya nggak punya dosa sama sekali!"
Aku hanya tertawa mendengar ucapan Dwi yang seperti anak kecil. Saat aku sedang asik berbincang dengan Dwi, terdengar ketukan dari arah pintu kamar.
"Ma...!!! Imaaaa!!!" Suara Ibu Dwi memanggil-manggil namaku.
"Iyaa ma, sebentar!" Sahutku.
Dwi menoleh ke arahku.
"Mba, Ibu ngapain kesini?" Tanya Dwi dengan raut wajah bingung.
"Mana mba tahu. Mungkin ada barang mba yang ketinggalan di mobil. Tolong bukakan pintunya Wi. Mba masih cape, jadi malas jalan" pintaku ke Dwi.
Dengan malas-malasan, Dwi segera mengangkat tubuhnya dari sofa dan berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya.
"MBAAAA....!!!" Jeritan Dwi mengagetkan penghuni seisi kamar.
"Apa?? Ngapain teriak-teriak?" Sahutku gusar.
"Mba, ce-cepat kesini mba..!! CEPATTT..!!" Teriaknya lagi.
"Kenapa sih ini anak hobi banget bikin orang panik!!" Gerutuku kesal dengan sikapnya yang manja.
Aku segera berjalan menghampiri Dwi yang masih berdiri di ambang pintu kamar.
"Ibu mana Dwi? Kenapa tidak disuruh masuk?" Tanyaku dengan wajah cemberut.
"Si-sini deh mbaa..!!" Dwi menarik pergelangan tanganku dengan kencang.
"Li-lihat cepat...!! Di luar nggak ada orang sama sekali!" Ujarnya terkesiap.
Aku berjalan ke arah pintu yang menganga lebar. Yang berada di hadapanku hanyalah tembok yang terlihat kosong. Kepalaku celingukan mencari Ibu Dwi di koridor hotel. Suasana begitu hening. Aku membisu, mataku terpaku ke arah siluet hitam yang tengah berdiri tegak di mulut lorong hotel.
Bersambung
Comments (0)