Part. 38
Mahluk Tak Kasat Mata
Penunggu Pohon Rambutan
Mahluk Tak Kasat Mata
Penunggu Pohon Rambutan
"Aku mulai melangkahkan kaki memasuki lobi. Hawa dingin dan suasana sepi menyapaku. Kuperhatikan Gendis mengarahkan netranya berkeliling menatap ke segala arah. Bola matanya yang bulat menerawang, menatap langit-langit mall. Perlahan telunjuknya mengarah, menunjuk ke atas. Matanya melebar dan terdengar jeritan dari bibirnya yang merah merekah.
"WAAAAAA...!! Ebang, ebang..!! Kakak ebang..!!" (Waa. Terbang, terbang. Kakak terbang)
"Anyak kakak EBANGGGG" (Banyak kakak terbang) tatapnya melayangkan pandangan kekaguman luar biasa.
Mata indahnya terus mengamati ke atap langit-langit mall yang dipenuhi lampu yang memancarkan cahaya berwarna-warni.
"Ma, iat.. kakak ebang, keyeeenn..!! (Ma lihat. Kakak terbang, keren)
Iris mataku berpendar menatap ke langit-langit yang terlihat indah karena pancaran cahaya lampu.
"Terbang? Banyak yang lagi terbang ya diatas sana" pikirku mencoba menerawang ucapan Gendis.
Dengan girang, netranya yang bulat terus berkeliling. Tak henti-henti tangannya bertepuk tangan dan bibirnya terus mengoceh, mengucap kalimat "Keyeeeeenn...!! Kakak keyennnn...!!" (Keren, kakak keren)
"Ma, fokus!!" Suara lembut suamiku berbisik di indra pendengaranku.
"Eh, i-iya mas" aku tergagap kaget.
Kuperhatikan iris mata Gendis terus menatap ke arah langit-langit. Ia tampak begitu kagum dengan kakak yang sedang terbang kesana kemari.
"Ndis, kakaknya jangan dilihatin terus. Katanya mau belanja toys?"
Pancinganku berhasil. Gendis mengalihkan pandangannya dan kembali fokus menatapku.
"Toys??" matanya mengerjap indah.
"Iya, toys. Kan Gendis bilang mau beli toys?
"Yeeee... toys..!!" Dengan girang Gendis langsung berlari mendahului kami dan melupakan kakak yang tampaknya masih asik beterbangan di atas langit-langit mall.
Selama berjalan mengelilingi mall. Kuperhatikan ada beberapa toko yang menarik perhatian putriku. Langkah kakinya berhenti di depan toko yang menjual pakaian branded, matanya menatap tajam ke dalam toko yang pagi itu masih terlihat lengang dan sepi dari pembeli. Riak wajahnya tampak sedang mengamati sesuatu.
Terkadang putriku sampai memiringkan kepalanya hingga sembilan puluh derajat untuk melihat para mahluk halus yang ditugaskan menjaga toko oleh manusia yang sudah bersekutu dengan mereka . Sepertinya mahluk tak kasat mata yang berada di dalam toko itu berwujud unik, sehingga menarik perhatian anakku. Untuk sesaat Gendis terdiam, tampaknya putriku tengah berkomunikasi secara batin atau bertelepati dengan mereka.
"Bye..!!! Dis au eli toys ulu" (Bye. Ndis mau beli toys dulu) pamitnya pada mereka sambil melambaikan tangannya.
Kulihat sikap mas acuh tak acuh. Nampaknya mas tidak begitu peduli dengan perilaku aneh Gendis. Mungkin suamiku masih belum bisa menerima keunikan yang ada pada diri putrinya. Di mata suamiku, saat ini Gendis sedang berbicara dengan teman imajinasinya.
Setelah membeli mainan di salah satu toko yang terkenal dengan slogan toysnya kami melanjutkan membeli sepatu di salah satu toko yang terkenal dengan lambang hewannya. Dengan ramah pramuniaga menyambut kedatangan kami. Mas yang memang hobi berbelanja langsung melihat-lihat dan memilih sepatu untuk Gendis.
Sedangkan aku sibuk mengawasi putriku yang tidak bisa diam. Awalnya ia terlihat asik melihat-lihat dan mengamati isi toko. Namun lama kelamaan, Gendis mulai berlari sambil tertawa cekikan. Sepertinya salah satu mahluk gaib penghuni toko mulai mengajaknya bermain.
Sesekali terdengar Gendis berteriak "Ugu Dis..!!" (tunggu Gendis) Ujarnya sambil berlari mengelilingi rak-rak yang berisi sepatu.
Semakin lama putriku semakin mempercepat larinya dan "BRUUKKKK" belum sempat kucegah, tubuh mungil putriku menghantam dinding kaca transparan. Beberapa pramuniaga yang berjaga di dekat pintu masuk terpekik kaget. Aku segera berlari menghampiri Gendis yang mengerang kesakitan.
"Aduhh... Atiitt ma!!" (Aduh, sakit ma)
Aku segera berlutut dan mengecek tubuh Gendis, alhamdulillah tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Hanya ada memar merah di keningnya yang sedikit membengkak.
Kuusap pelan keningnya yang tampak lebam.
"Hati-hati kalau berlari. Jadi nabrakkan?"
Gendis terus mengaduh kesakitan walau sudut matanya tarus mengawasi keluar toko.
"Mama tu emen Dis akal" (mama itu temen Gendis nakal) Ujarnya sambil menunjuk ke pembatas toko yang terbuat dari kaca bening.
"Siapa yang nakal?"
"Tu...!! Ma..!! Emen Dis yi epet!! Dis ablak deh" (itu ma. Temen Ndis lari cepat. Gendis nabrak deh)
"Memangnya tadi Gendis dapat teman disini?"
Gendis mengangguk pelan.
"Teman Gendis laki-laki atau perempuan?"
"Eyempuan ma, antiikkk" (Perempuan ma, cantik)
"Tuuhh..!! Emen Dis agi etawa-etawa iat cini" (Tuh, temen Ndis lagi ketawa-ketawa lihat kesini)
"Huu.. amu akal!!" (Huu, kamu nakal) Putriku mencibir ke arah mahluk yang hanya bisa dilihat oleh mata ketiganya.
"Ya sudah, jangan diikuti lagi temannya ya. Yang barusan Gendis tabrak itu namanya kaca. Gendis tidak bisa menembus kaca" aku memberi penjelasan ke putriku.
"Aca ma?" (Kaca ma) Wajahnya terlihat kebingungan.
"Iya ini kaca. Tadi temen Ndis lari lewat sini kan?" Aku menunjuk ke arah kaca.
"He-eh. Ali itu ma" (He-eh. Lari kesitu ma).
"Nah, temen yang tadi mengajak Gendis main itu jin, bukan manusia. Jin bisa dengan mudah menembus kaca. Kalau anak mama tidak bisa menembus kaca"
Raut wajah Gendis tampak kebingungan mendengar penjelasanku. Aku menggelengkan kepala. Nampaknya putriku masih belum bisa membedakan mana manusia dan mahluk halus.
"Ada apa? Kenapa tadi berisik banget?" Tanya mas dengan tatapan menelisik.
"Ini mas tadi Gendis menabrak kaca"
"Kok bisa?? Kamu gimana sih! Jagain anak yang benar dong! Kalau Gendis sampai terluka bagimana?" Tatap mas dengan raut wajah khawatir.
Aku mengehela nafas berat. "Iya, maafin Ima karena sudah ceroboh menjaga Gendis"
"Anak ayah tidak apa-apakan?" Tanya mas ke Gendis.
"Atit yah.. Ala Dis atiit!" (Sakit Yah. Kepala Gendis sakit)
"Kasihan anak ayah" Mas mencium kening Gendis yang mulai membiru.
"Ndis ini cobain sepatunya dulu. Pas tidak?" Pinta suamiku.
Gendis menjulurkan kakinya dan mencoba sepatu yang dipilih ayahnya.
"Pas..!! Putri ayah jadi semakin cantik! Sudah siap liburan deh" goda mas sambil mencium kedua pipi Gendis.
"Ya sudah, mas bayar dulu terus kita pulang"
Mas segera menuju ke kasir dan membayar barang belanjaan. Setelah itu kami menuju ke parkiran dan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku bersyukur karena selama di mall, putriku tidak menangis dan menjerit ketakutan seperti dulu ketika dirinya masih bayi.
Sudut bibirku menyunggingkan senyuman. Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari esok. Dimana aku akan bertemu dan berkumpul dengan keluarga Ibuku di Cikampek. Membayangkan bisa kembali bercengkrama dan bergosip dengan sepupu yang jarang kutemui.
Namun siapa sangka itu semua hanya menjadi khayalanku semata. Karena ternyata disana sudah menunggu beberapa mahluk astral yang siap meneror kedatangan putriku.
***
Kondisi pagi ini jalan raya masih terlihat sangat sepi dan jarang dilalui kendaraan. Mobil yang dikendarai mas melaju dengan cepat tanpa hambatan. Aku dan mas sepakat akan berangkat ke Cikampek dari rumah tante. Tanpa butuh waktu lama, kendaraan kami tiba di rumah Dwi.
Baru saja mas memarkirkan kendaraanya, Gendis langsung minta turun dan berlari ke dalam rumah.
"Eh.. cucu kakek sudah datang. Pagi banget sampainya?" Tegur ayah Dwi yang sedang memberi makan ikan di kolam depan.
Gendis tampak cuek dengan ucapan kakeknya. Langkah kakinya terus menuju ke ruang tamu yang pintunya terkunci rapat.
"Iya nih om biar tidak kejebak macet" sahut mas.
Aku dan suamiku langsung menghampiri ayah Dwi dan mencium tangan beliau.
Sedangkan putriku langsung mengintip dari balik kaca jendela ruang tamu sambil berteriak memanggil Dwi.
"Kum.. Uwi.. Uwi.. whel al yu?" (Assalamu'alaikum, Dwi, Dwi, Where are you)
Tante keluar dari dalam rumah dan tertawa mendengar ucapan Gendis.
"Wa'alaikumsalam. Ehhh.. Gendis sudah sampai.. Ayo, mba Dwi dimana hayo?" Goda tante sambil menghampiri aku dan mas.
"Ndak ada. Uwi iyang" (Nggak ada. Dwi hilang) ujar Gendis sambil menggendikkan bahunya.
Serentak kami semua tertawa melihat polahnya yang asal bicara.
"Coba cari mba Dwi dimana?" Pinta Ibu Dwi.
Putriku langsung masuk ke dalam rumah dan memasuki kamar utama. Wajahnya celingukan kebingungan. "Wi da ada ini" (Dwi nggak ada disini)
Gendis kembali berjalan dan membuka pintu kamar Dwi yang terlihat gelap.
"UWIIIIIIIII....!!!" Pekiknya kegirangan.
Gendis langsung naik ke atas tempat tidur dan menindih tubuh Dwi yang sedang tertidur lelap.
"WIIII... angun!! Dis atang!!" (Dwi bangun, Gendis datang) Teriaknya di telinga Dwi.
Namun Dwi tidak mengidahkan teriakan putriku. Ia terus mendengkur, tampaknya Dwi benar-benar mengantuk.
Gendis cemberut. Ia merasa kesal karena dicueki oleh kakaknya. Putriku kemudian turun dari ranjang dan melangkah ke halaman belakang.
"Ma, Dis au andi" (ma, Gendis mau mandi)
"Tadikan di rumah sudah mandi. Memang Ndis mau mandi lagi?"
"He-eh ma..! Adi agi!" (Heeh ma. Mandi lagi)
"Ya sudah tunggu sebentar. Mama isi baknya pakai air hangat dulu"
Aku segera mengambil bak mandi Gendis dan mengisinya dengan air hangat.
"Sudah Ndis. Ayo masuk ke dalam bak"
Setelah melucuti pakaiannya satu persatu, dengan girang anakku langsung masuk ke dalam bak. Ia mulai bermain air.
"Mama gi..!! Ana..!!" (Mama pergi, sana) Usirnya dengan wajah galak.
"Iya.. mama tunggu Gendis di dapur ya. Kalau sudah selesai main airnya langsung panggil mama"
Aku segera ke dapur dan menyomot pisang goreng yang baru saja selesai dimasak oleh Ibu Dwi.
"Ma, kita berapa lama liburannya?" Tanya tante dengan wajah sumringah.
"Ima kurang tahu ma. Yang pasti mas mengajak kita keliling Jawa Tengah. Mama sudah packing?"
"Sudah dari semalam"
"Ma berarti nanti dari Cikampek, kita langsung berangkat ke Jogja?"
"Ya terserah suamimu. Mama mah ngikut saja. Wong suamimu ini yang bayarin semuanya" canda Ibu Dwi sambil tersenyum simpul.
"Eh ma, sebentar!! Coba kamu dengerin deh! Kok anakmu sepertinya sedang berbicara dengan seseorang?"
Aku segera mempertajam indra pendengaran. Samar-samar kudengar putriku sedang bermain air diiringi suara tawanya yang khas. Hingga aku dan tante mendengar putriku meneriakkan sebuah nama.
"KEKEEEEKKKKK...!!" Teriaknya sambil tertawa cekikikan.
Keningku mengerenyit.
"Kakek?? Kakek siapa??"
"Ma..!! Sana samperin Gendis! Mama khawatir, itu anakmu sedang bercanda sama siapa?" Raut wajah Ibu Dwi berubah pias.
Aku dan tante dengan terburu-buru segera bergegas menuju ke halaman belakang.
Sesampainya disana, kulihat putriku sedang menyiprat-nyipratkan air kearah tangga toren. Ia tampak begitu kegirangan. Gendis seperti sedang bercanda dengan sesuatu yang hanya bisa dilihat dengan mata batinnya.
Aku melangkah menghampiri anakku yang terus tertawa kegirangan.
"Ndis, Gendis lagi tertawa sama siapa?" Tanyaku pelan.
"Hihihii... Tu ma!" Tunjuknya ke atas toren.
Mataku menyapu ke arah toren yang letaknya lumayan tinggi.
"Ada siapa di atas sana Ndis?"
"Tu ma.. Tu kekek!!" (Itu ma. Itu kekek)
"Kakek??" Tanyaku dengan raut wajah tidak percaya.
"Ya ma, tu kekek. Kekek Dis!" (Ya ma, itu kakek. Kakek Ndis)
Kulihat raut wajah Ibu Dwi semakin pucat. Sepertinya beliau agak takut mendengar ucapan anakku yang sedang bercanda dengan mereka.
"KEKEK UYUN!!" (Kakek Turun)
"EPEETTT..!! (Cepat)
"Cini Kek, tuyun!" (Sini Kakek, turun) Teriak Gendis sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Kek uyuan uyuna" (Kek buruan turunnya)
Namun sepertinya mahluk yang menyerupai ayah Dwi tidak mau turun. Mahluk itu terus berdiri di dekat toren dan terus menggoda putriku.
"Iihh.. kekek akal!! Cini ulun kek!" (Ih. Kakek nakal. Sini turun kek)
"Ndis, kakek ngapain diatas sana?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Kekek agi uduk. Opi atas" (Kakek lagi duduk. Ngopi di atas)
"Opina anass...huuff..huuff..!!" (Kopinya panas, huf, huf) Gendis menirukan orang yang sedang meniup.
Kepalaku berdenyut ringan mendengar ucapan Gendis. Seumur hidup aku main ke rumah Dwi, baru kali ini ada sosok gaib yang berani menyerupai wujud keluargaku.
"Ndis tolong dengerin mama. Itu yang di atas toren bukan kakek. Kan kakek lagi ngobrol di teras sama ayah?"
"NOOO!!" Teriaknya nyaring.
"Tu kekek atas!! Kekek Dis!!" (Itu kakek di atas. Kakek Ndis)
"Ya kek..!! Ya??" ( Ya kakek. Ya) Ujarnya lagi sambil tertawa girang.
"Bukan sayang, itu bukan kakek. Itu jin yang menyerupai kakek"
"No ma!! Tu kekek Dis" ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Yaaa... Kekek gi deh" (Ya, Kakek pergi deh)
"Kekek iyang" (Kekek hilang) sahutnya dengan raut wajah sedih.
"Nah karena kakek sudah pergi, main airnya sudahan ya. Mama nggak mau Gendis masuk angin"
Aku segera mengangkat tubuh putriku dan menyelimutinya dengan handuk tebal. Segera kugendong tubuhnya ke kamar Dwi yang kulihat pintunya sudah terbuka lebar.
"GENDIS" jerit Dwi dari balik pintu kamar, mengagetkanku dan Gendis.
Dwi yang sudah terlihat cantik dan harum langsung memeluk tubuhku dan Gendis.
"Ndis, Uwi kangen! Nanti di hotel kita tidur sekamar ya?"
"Dis cleep Uwi" (Gendis sleep sama Dwi)
"Yeee... bobo sama Gendis" mata Dwi berbinar kegirangan.
"Ima, Dwi..!! Ayo siap-siap! Jangan sampai kita kejebak macet di jalan" Teriak ayah Dwi dari arah teras.
"Sebentar pak! Cucunya lagi dandan dulu!" Sahut Dwi sambil mengenakan pakaian ke Gendis.
Setelah Gendis rapi, Dwi dan suamiku sibuk memasukan tas ke dalam bagasi mobil. Setelah semua siap dan dirasa tidak ada yang ketinggalan, kami segera berangkat menuju ke Cikampek.
Sepanjang perjalanan, kami semua bersenda gurau dan tertawa kecil melihat kelakuan Dwi yang selalu bertengkar dengan Gendis. Walau Gendis masih kecil tapi dia tidak takut mengganggu Dwi yang selalu sibuk dengan ponselnya. Aku tersenyum geli melihat putriku yang selalu berusaha merebut ponsel dari tangan Dwi.
Kendaraan kami terus melaju sedang membelah jalan tol yang pagi itu belum terlalu dipadati kendaraan.
"Bismillah, semoga liburan kali ini berjalan lancar tanpa ada gangguan yang berarti" doaku dalam hati.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, akhirnya kendaraan kami memasuki Perumahan Daun Cikampek. Berhubung halaman parkir di rumah keluarga Bi Nina tidak terlalu luas, akhirnya ayah Dwi memarkirkan kendaraannya di lapangan yang terletak tidak jauh dari kediaman Bi Nina.
Begitu menjejakkan kaki di tanah lapang, udara segar dan pemandangan yang masih asri menyambut kedatangan kami. Dengan menggandeng tangan Gendis, aku melangkah menuju ke rumah Bi Nina. Hari itu Gendis terlihat begitu cantik. Dengan mengenakan dress berwarna merah jambu dan bando berwarna merah, dirinya semakin terlihat manis dan menggemaskan.
Aku dan putriku berjalan paling belakangan. Sedangkan yang lainnya sudah berjalan mendahului kami. Setelah menapak jalanan yang menanjak, aku dan Gendis tiba di pelataran rumah Bi Nina. Tepat di bawah pohon rambutan yang menjulang tinggi, tampak beberapa keluarga yang sudah datang terlebih dahulu sedang duduk sambil mengopi dan merokok di pendopo yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang.
"Waah.. Ima dan Gendis juga datang!" Seru Aa Dede yang sedang asik merokok di pendopo.
Aku tersenyum mendengar ucapan Aa Dede, anak pertama Bi Nina.
Baru saja kakiku melangkah memasuki pintu gerbang, tanganku langsung ditarik dan digenggam erat oleh tangan Gendis yang terasa sedingin es.
Kulihat, expresi wajah putriku begitu gelisah dan panik. Matanya menatap ke arah pohon rambutan dengan tatapan nanar. Perlahan, kakinya mulai melangkah mundur dengan teratur.
"No..! No..!!" Ia menarik tanganku dengan kuat.
"Ndis kenapa??" Tanyaku kebingungan.
Gendis menggelengkan kepalanya.
"Ma, No acuk!! No!!" (Ma, No masuk. No) Raut wajahnya semakin ketakutan, ia menggeleng sambil menatap ke dalam mataku.
"Gendis, Ima, ayo masuk!!" Panggil Bi Nina dari dalam rumah.
Dari luar pagar aku hanya tersenyum tipis. Aku memberikan kode ke suamiku untuk mendekat ke arahku dan Gendis. Mas segera berjalan menghampiriku.
"Ada apa?? Kenapa kalian tidak masuk?" Tanya mas dengan raut wajah masam.
"Maaf mas. Gendis tidak mau masuk ke dalam" jawabku gugup.
Kedua alis mas bertaut.
"Loh memangnya kenapa?" Mas memperhatikan Gendis yang mencoba menyembunyikan wajahnya di belakang tubuhku.
"Sepertinya Gendis ketakutan. Dia dari tadi menatap terus ke arah pohon rambutan"
"Gendis sini ayah gendong" Mas berusaha meraih jemari Gendis yang mencengkram erat ujung kaos yang kupakai.
"NOOOOO!!!!" Pekiknya nyaring sambil menyentak tangan mas.
"Ndis!! Tolong dengerin ayah!! Di atas pohon itu tidak ada apa-apa! Jadi jangan takut!"
"NOO!! NOO!! Ada..ada..!!" Jerit Gendis kencang.
"Hey!! Ayo yang sopan! Jangan bikin ayah malu! Di dalam sudah banyak keluarga yang kumpul pengen ketemu Gendis!" Suara mas terdengar meninggi.
"NOOOO....!!!!! Dis ini ama mama!!" (No. Ndis disini sama mama)
Teriakan Gendis mulai mengundang beberapa pasang mata yang sedang duduk di pendopo melihat ke arah kami.
"Sudah mas, sudah!! Biar Ima diluar saja sama Gendis. Jangan paksa Gendis!! Mas saja yang menemui keluarga di dalam, tolong kasih tahu mereka kalau Gendis masih ingin bermain di luar!"
Mas mendengus kesal. Wajahnya terlihat memerah. Tampaknya emosi suamiku mulai terpancing melihat kelakuan putrinya.
"Ya sudah, terserah!!" Hardik mas sambil berjalan meninggalkan aku dan putriku.
Aku berlutut dan tertumbuk pada wajah putriku yang masih terlihat bingung dan takut. Aku tersenyum dan menggengam jemarinya erat.
"Ndis, kenapa Gendis nggak mau masuk ke dalam?" Tanyaku lembut penuh perhatian.
"Ma.....!!" Gumamnya lirih.
Ia menarik tanganku dan tertunduk lesu.
"Coba bilang sama mama. Apa yang Gendis lihat sampai ketakutan begini?"
Ia menatapku dengan wajah ragu. Sesekali bola matanya mencuri pandang ke arah pohon rambutan yang daunnya terlihat rimbun.
Putriku terdiam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak. Ia menggenggam erat kedua tangannya. Wajahnya yang cantik terlihat gelisah.
"Ma, atas oon ada cnake" (Ma, di atas pohon ada snake) Ucapnya dengan bibir bergetar.
"Big cnake..!!! Sshhhhh!!" (Big snake) Ujarnya sambil mendesis menirukan suara ular.
"Snake?" Tanyaku berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar.
"I-iya ma" ucap putriku sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Snakenya warna apa nak? Seramkah?"
"Big cnake, black. Atanya led. Cnake eyem ma" (Big snake, black. Matanya red. Snake serem ma) ucapnya lagi.
Gendis menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Walau sesekali ia terlihat penasaran dan berusaha mengintip dari sela-sela jemarinya.
"Cnake ga cuka alo Dis acuk ke dalam" (Snake nggak suka kalau Gendis masuk ke dalam)
"Cnake alah ama Dis!!" ( Snake marah sama Gendis)
"Kenapa Snake tidak suka kalau Gendis masuk ke rumah Bi Nina?" Tanyaku penasaran.
Putriku menarik nafas. Ia tertegun mendengar pertanyaanku.
"Dis ga au ma" (Gendis nggak tahu ma)
"Gendis takutkah sama snake yang ada di atas pohon?"
"No!!" Jawabnya tegas.
"Snakenya mengganggu Gendis tidak?"
Putriku terdiam sejenak. Matanya menatap ke jalanan yang kosong. Ia terlihat berusaha menyembunyikan rasa takut yang mendera dirinya.
Putriku hanya menggelengkan kepala, sedikit saja dan perlahan sekali.
Tiba-tiba Gendis menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat pasi. Matanya terkesiap memandang tajam ke arah pohon yang dedaunnya berjatuhan dan bergoyang-goyang saat angin meniupnya. Tubuh mungil putriku bergetar dan terlihat peluh mulai membasahi keningnya. Ia tampak dicekam perasaan takut yang luar biasa. Dirinya terlihat tidak berdaya menghadapi teror yang kembali menghantuinya.
Bersambung
Comments (0)