Baca cerita
Kembalilah
Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Esok pagi datang dengan cepat, saat kulihat jam, ini masih jam 0455, ini masih sangat pagi, pikirku dalam hati. Timbul niatan dalam hatiku untuk melihat mereka tertidur, aku pun menaiki satu per satu anak tangga dan aku tiba di lantai dua. Nadine tertidur di sofa atas, ia tertidur dengan pulas di balik selimutnya, wajahnya sangat polos, aku pun tersenyum melihatnya tertidur. Selimutnya sedikit tersingkap, dan aku melihat ia hanya mengenakan pakaian dalam saat tertidur.
Untunglah aku tidak naik ke atas untuk menemani mereka, kalau tidak pasti pikiranku sudah macam-macam semalam. Aku menghela napas panjang, lalu kulangkahkan kakiku menuju kamarku sendiri, perlahan aku membuka pintu kamarku lalu kulihat Cauthelia tertidur dengan lelapnya.
Selimutnya tersingkap di bagian punggungnya, ia tertidur dalam posisi miring hampir tengkurap, dan saat kulihat tidak ada sehelai benangpun menutupi setengah punggung gadis itu. Deg, detak jantungku berdetak sangat cepat, pikiranku mulai mengkhayal yang macam-macam, aku pun menggelengkan kepalaku dengan perlahan, dalam benakku aku berkata, jangan Tama, belum saatnya.
Kudekati gadis itu dengan perlahan, niatku adalah ingin menutupi selimut itu ke seluruh tubuhnya agar ia tidak kedinginan, dan kulakukan itu dengan perlahan. Tetapi mungkin gerakanku terlalu keras, sehingga ia bergerak dan ia merubah posisinya, sehingga ia tidur terlentang saat ini.
“Kak,” panggilnya, seketika detak jantungku berdetak sangat keras.
“Iya sayang,” sahutku lalu memandang gadis itu dengan lembut.
“Temenin Dede bobo yah, sebentar ajah,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitik.
“Kakak gak berani sayang,” ujarku, tersenyum kepada gadis itu.
“Karena ini yah?” tanya gadis itu lalu ia mengeluarkan kemejaku dari balik selimut, ia lalu menjulurkan lidahnya, gaya khas Cauthelia.
Aku mengangguk pasti, “nanti malah kenapa-kenapa Dedenya,” ujarku lalu aku beranjak dari tempat tidurku, ia lalu menahan tanganku dengan lembut.
“Kenapa Kak?” panggilnya manja.
“Kalo pagi, Kakak pasti,” ujarku pelan.
“Dede ngerti Kak,” ujarnya lalu ia tersenyum kepadaku, ia lalu menggenggam tanganku lebih erat.
“Cuma memastikan ajah, sama yang bohay ajah Kakak gak kegoda, apalagi sama yang gak bohay,” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya.
Aku tersenyum kepadanya, lalu kuusap pelan kepalanya, lalu aku pun keluar dari kamar tersebut. Aku melihat Nadine, ia masih tertidur dengan pulasnya di sofa depan, aku pun tidak mengganggunya. Kuturun ke dapur, lalu kuputuskan untuk memasak sarapan untuk kami semua.
Hari ini hari Minggu, dan mungkin hari ini adalah hari Minggu terakhirku bisa melihat Cauthelia, ya hanya beberapa hari lagi ia akan meninggalkan aku, entah berapa lama. Semua yang telah kulakukan kepadanya, dan semua yang telah ia lakukan kepadaku, sudah benar-benar tertancap di dalam hatiku.
Setiap kali kuhela napasku, yang kurasa adalah selalu ada namanya, dan seakan hal tersebut tidak dapat terpisahkan oleh pikiranku. Sudah sudah sudah, semakin dalam aku memikirkannya, semakin tidak mungkin aku bisa pergi dari semua ini. Kuambil beberapa bahan dan aku mulai memasak pagi ini, tidak terlalu rumit, hanya Club Sandwich.
Empat puluh lima menit berlalu, kedua bidadariku sudah selesai bersiap, tunggu dulu, kedua bidadari, ingat aku hanya boleh memiliki satu saja, tidak boleh dua. Mengutip pernyataanku mengenai double traction, entah mengapa pikiranku selalu membandingkan mereka dengan hal yang berbau engineering.
Sudahlah, ujarku di dalam hati, aku pun mulai mempersiapkan makananku di meja, mereka sudah duduk di kursi meja makan.
Cauthelia mengenakan pakaian yang cukup sopan, seperti biasanya, kaus longgar dengan celana jeans panjang. Ia menggerai rambutnya yang panjang, dan tidak lupa kacamata full frame menambah kecantikannya pagi ini. Sementara Nadine mengenakan pakaian sedikit ketat yang membentuk tubuhnya dengan celana jeans pendek, hanya 5 cm dari lututnya.
“Jadi, pagi ini mau kemana?” tanyaku kepada kedua gadis itu, Cauthelia dan Nadine saling berpandangan lalu tertawa kecil.
“Pokoknya ada deh,” ujar Cauthelia ia lalu tersenyum manis kepadaku, “yang pasti Dede mau nyetir, boleh yah?” tanyanya kepadaku.
Aku berpikir sejenak, “untuk gadis yang umurnya belom 17 tahun, mendingan gak usah,” ujarku lalu tertawa kecil.
“Looooh, nanti gak kejutan Kak,” ujarnya sedikit protes.
Aku pun tertawa, “mendingan gak jadi kejutan daripada kenapa-kenapa di jalan sayang,” ujarku tak sengaja mengucapkan kata-kata itu di depan Nadine.
“Cieeeeeee, sayang nih ye,” ujar Nadine meledek, “terus sayang buat Nadine gimana Tam?” tanyanya lagi meledekku, aku terdiam tidak dapat berkata apa-apa lagi.
“Seneng deh kalo ngeliat muka Kakak merah gitu,” ujar Cauthelia, ia tidak kalah meledekku, dan itu membuatku makin terdiam.
“Tunggu tunggu, kalo Kakak panggil Dede sayang, terus panggil Nadine juga sayang, nanti kalo Kakak panggil dua-duanya nengok,” ujarku berkelit padahal aku sangat malu.
“Biarin aja Tam, daripada Nadine iri,” ujar Nadine, ia tersenyum kepadaku.
“Nadine juga nih sekarang bandel,” ujarku tiba-tiba.
“Semalem itu ngapain pake segala ikut-ikutan Elya?” tanyaku dengan sedikit ketus.
“Karena Nadine sama kayak Elya, Nadine sayang sama Tama, gak peduli apapun yang Tama lakuin kepada Nadine, karena Tama begitu berarti buat Nadine,” ujarny dengan wajah yang sangat merah.
“Dan sampe kapanpun Dede juga akan mencintai Kakak, walaupun sekarang Dede tahu kalo Kakak udah punya Kak Aerish,” ujarnya pelan, “untuk sementara,” ujarnya lagi dengan wajah yang sangat merah.
Deg!
Detak jantungku kembali meningkat, pernyataan kedua gadis ini membuatku semakin terbuai dalam perasaan yang semakin menjadi kepada dua orang gadis tersebut. Entah bagaimana harus kunyatakan, mungkin seperti ini, bagaimana perasaan dicintai oleh dua orang gadis terbaik dan sempurna, terlebih mereka mencintai dengan tulus. Seperti itulah perasaan yang kurasakan saat ini, hanya saja tinggal siapa yang harus kupilih.
Kami menghabiskan sarapan tersebut, cukup menyenangkan sarapan Club Sandwich ditemani oleh dua gadis yang selalu tersenyum kepadaku pagi ini. Sejurus kemudian aku mandi dan bersiap, aku melihat sisa tabunganku, dan kurasa itu cukup untuk membeli 50 liter RON95.
Jam 0718, kami bertolak dari rumah Ayahku dan aku meminta mereka membereskan apa-apa yang sudah mereka lakukan di rumah Ayahku, karena kalau sampai ketahuan aku membawa gadis untuk tidur di rumah, aku pasti diusir oleh Ayahku dari rumah tersebut, sehingga aku harus memastikan bahwa tidak ada yang tersisa dari jejak mereka.
Setelah membeli RON95 di SPBU dekat rumah, Cauthelia memberikanku secarik kertas yang berisikan tulisan Villa Papa di Lembang, detak jantungku spontan langsung meningkat tajam, bagaimana mungkin aku pergi ke Lembang sementara mobil ini harus kukembalikan ke garasi pada sore hari, apalagi di sebuah tempat yang cukup private bersama dua orang gadis, tidak mungkin tidak mungkin tidak mungkin, Tama hentikan pikiran gilamu.
“Kakak kok diem aja?” tanya Cauthelia yang duduk di kursi belakang kiri.
“Eh enggak cuma sedikit kepikiran,” ujarku lalu melihat speedometer di Instrument Cluster, 140 Kmh saat ini.
“Hayo Tama mikirin apa?” tanya Nadine yang duduk di kursi belakang kanan.
“Enggak mikirin apa-apa, cuma kepikiran Villa-nya kosong ato enggak,” ujarku lalu menutup mulutku sendiri, haduh Tama, apa yang kau lakukan, hancur sudah reputasiku di depan kedua gadis ini.
“Ternyata Kakak makin lama makin lurus, yeeeey,” ujar Cauthelia malah senang dengan perkataanku barusan.
“Haduh Elya, kalo nanti tiba-tiba Tama khilaf terus kita diapa-apain gimana?” tanya Nadine meledek, ia lalu tertawa kecil bersama Cauthelia.
“Gak bakalan,” ujarku lalu menekan pedal gas lebih dalam, 155 Kmh saat ini.
“Kita liat ajah nanti Kak,” ujar Cauthelia, dan saat itu perasaanku mendadak menjadi tidak enak.
Melintasi Sadang dan Subang, aku memutuskan mencari jalan santai menuju Lembang, sengaja kulakukan itu supaya cukup lama tiba di tempat yang diinginkan. Memasuki Gunung Tangkuban Parahu, perasaanku mulai makin tidak enak, dan semakin tidak enak saat sudah mencapai Lembang.
Cauthelia menunjukkan jalan menuju Villa milik orang tuanya, dan setelah memasuki sebuah jalan yang hanya cukup dilalui satu mobil, sampailah kami di sebuah Villa yang tidak terlalu besar tapi indah, setidaknya itu yang ada dipikiranku kini. Kuparkirkan mobilku di garasi, dan sejurus kemudian aku turun dari mobil. Kulihat ada seseorang yang telah menunggu di sana, ia adalah Rachelia, kakaknya Cauthelia.
Tiba-tiba perasaanku berubah menjadi tenang saat melihat ada Mikayla yang keluar dari rumah dan menjemput kami, dan ternyata kedua orang tua Cauthelia ada di dalam Villa tersebut. Rasa syukur kupanjatkan tidak ada hentinya saat ini, aku terselamatkan, ujarku dalam hati, setidaknya tidak ada yang kukhawatirkan terjadi.
Aku masuk ke dalam Villa tersebut dan mencium tangan kedua orang tua Cauthelia, dan sejurus kemudian, mereka bertiga, bersama Mikayla ternyata ingin pergi ke suatu tempat. Sejurus kemudian, mereka mengajak Cauthelia dan Nadine untuk pergi, anehnya mereka mau. Tidak apa, yang paling penting adalah saat ini aku bisa fokus untuk menikmati pemandangan indah di belakan Villa tersebut.
Tidak lama berselang, Nadine, Cauthelia, dan keluarganya bertolak dari rumah, tinggallah aku sendiri di halaman belakang melihat indahnya pemadangan, seraya mengucap syukur atas kebesara Illahi yang telah memberikanku hidup yang indah saat ini, serta pemandangan yang indah pada siang hari yang cukup mendung itu.
“Tama,” panggil gadis itu, ya itu pasti Rachelia, kakaknya Cauthelia.
“Iya Kak,” sahutku lalu menoleh ke gadis itu, ia membawakanku dua cangkir cokelat panas.
“Boleh enggak gue duduk di samping loe?” tanya gadis itu sambil memandangku.
“Oh iya, silakan ini kan Villa punya Kak Rachel,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.
“Makasih yah,” ujarnya dan ia duduk di sebelahku.
“Udah lama kenal Elya?” tanyanya memulai pembicaraan, aku memandang ke arah langit.
“Baru 6 hari aku deket sama Elya, kalo kenal berapa lama aku gak tahu,” ujarku kepadanya.
“Baru 6 hari tapi kayak udah pacaran 6 tahun,” ujar Rachelia, ia lalu tertawa kecil.
“Bener juga Kak, aku juga ngerasain hal itu, terlebih sebentar lagi dia harus pergi,” ujarku lesu, “jujur yah Kak, aku sayang dan cinta banget sama Elya.”
“Aku gak mau dia tiba-tiba hilang, itu aja Kak,” ujarku lalu memandang wajah gadis itu.
“Gue tahu, pasti fisiknya juga ya?” tanya Rachelia.
Aku pun menggeleng, “bukan karena dia cantik dan bohay Kak, tapi karena ketulusannya,” ujarku lalu sedikit tertunduk, “mau gimana fisiknya dia, aku gak peduli, karena yang aku cintai itu hatinya Kak, bukan fisiknya,” ujarku dan berusaha tersenyum.
“Loe emang cowok yang baik Tam, Elya udah ceritain semuanya ke gue,” ujarnya lalu ia memberikanku cokelat panas yang tadi ia buat.
“Mendingan minum dulu biar hati loe ademan,” ujarnya lalu tertawa.
“Minum cokelat panas, yang ada hati jadi panas Kak,” ujarku lalu tersenyum.
“Kalo hati panas, marahan dong,” ujar gadis itu dan tertawa, “kalo loe cinta dan sayang sama adik gue, cuma satu hal yang gue minta, jangan pernah bikin dia nangis karena sakit hati,” ujar Rachelia dengan wajah yang serius.
Aku mengangguk setuju, “karena Elya sangat berarti buat aku, aku gak akan bikin dia nangis,” ujarku pasti.
Tags: baca cerita Kembalilah
Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah
Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah
Chapter 37 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling
Comments (0)