Part. 37
Healer
Healer
"Hangat!! Ya, saat itu aku merasakan hawa hangat yang menyelimuti pinggangku. Lambat laun, rasa hangat itu mulai menjalar ke arah telapak kaki dan punggung. Rasanya saat itu sekujur tubuhku seperti sedang disinari lampu fisioterapi. Membuat tubuhku merasa lebih relaxdan nyaman.
"Se-sebentar! Mengapa kini aku merasakan hembusan nafas di sekitar pinggangku??
Persendianku mulai terasa lemas, tidak kaku lagi. Semua otot yang menegang perlahan mengendur. Aku juga sudah bisa bernafas dengan normal, tidak kurasakan rasa sesak yang menghimpit di paru-paru.
"Ma....!! Dah..!! Uka ata..!!" (ma, sudah. Buka mata)
Perlahan aku membuka mataku.
"Ma, iat Dis!!" (ma, lihat Gendis)
Dengan terpaksa aku membalik badan menghadap ke arah putriku.
"Eh..!! Kenapa ini?? Mengapa aku tidak merasakan sakit sama sekali??"
Aku mencoba menggoyangkan kakiku... Satu, dua, tiga..
"Kakiku rasanya begitu ringan!! Tidak terasa berat seperti kemarin!"
Perlahan, aku mengangkat tubuhku untuk duduk. Ada rasa takut dan was-was menyelimuti diri. Aku takut kalau rasa nyeri itu menyerang kembali.
"Astagfirullah.....!!!" Aku terkejut.
Kini aku bisa kembali duduk normal tanpa harus merasakan nyeri yang luar biasa menyiksa.
Kali ini aku mencoba untuk berdiri. Dengan bantuan kedua tanganku, aku mengangkat tubuhku.
"Alhamdulillah Ya Rabb!! Kini aku bisa berdiri tegak, tidak perlu membungkuk lagi!"
Aku mulai menggerakkan pinggangku ke kanan dan ke kiri. Aku merasa takjub, semua sakit yang kurasakan telah sirna.
"NDIS....!!" Pekikku kegirangan.
Tubuh mungilnya tersentak kaget mendengar jeritanku.
Aku berhamburan ke pelukan putriku. Aku tak bisa membendung air mata. Aku mulai menangis tersedu-sedu. Air mata bahagia mengalir deras keluar dari pelupuk mataku.
"Alhamdulillah Ndis, doa Ndis diijabah Allah"
Aku terus menangis sambil menciumi kedua pipi anakku.
"Mama apa angis??" (mama kenapa nangis)
"Pinggang mama sudah tidak sakit lagi Ndis! Lihat nih, mama sekarang sudah bisa bergerak bebas" ucapku sambil menggenggam kedua tangannya.
"Mama buh??" (mama sembuh) Mata bulatnya menatap ke dalam netraku.
"Iya Ndis. Alhamdulillah mama sudah sembuh. Terima kasih sudah mau doain mama ya." Aku memeluk erat tubuhnya yang mungil.
Ia tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya.
"OLE.. mama buh..!! Mama Dis buh..!!" ( Hore, mama sembuh. Mama Gendis sembuh) Teriaknya kegirangan sambil berlari kesana kemari.
"Ndis, tolong kemari sebentar nak"
Gendis berlari menghampiriku. "Apa gi ma?" (Apa lagi ma)
Aku memegang kedua bahunya, kutatap dalam-dalam bola matanya yang berbinar aneh.
"Tolong dengerin ucapan mama. Yang bikin mama sembuh itu Allah bukan Gendis! Gendis cuma bantu doain mama. Alhamdulillah atas seijin Allah, sakit mama bisa hilang" Aku memberi penjelasan ke anakku.
Aku tidak ingin kalau putriku sampai berpikir kalau dirinyalah yang telah menyembuhkan aku! Gendis harus paham kalau semua ini terjadi atas ijin Sang Pencipta.
"Tolong ingat baik-baik ya Ndis. Semua terjadi atas seijin Allah, bukan karena Gendis!! Kalau Allah tidak mengijinkan, Gendis tidak bisa berbuat apa-apa."
Gendis tersenyum manis. Ia menganggukkan kepalanya. "Ya ma, Awoh..!!" (Ya ma. Allah)
"Good, paham ya nak" aku membelai lembut rambutnya yang bergelombang.
"Ma, Awoh ana?" (ma, Allah dimana)
Bola mataku berputar mendengar ucapan yang keluar dari bibirnya yang mungil.
"Sini sayang, duduk sama mama."
Dengan bersemangat, Gendis menghampiriku dan mulai duduk di pangkuanku. Aku memeluk tubuhnya dari belakang dan ku genggam erat jemarinya.
"Allah itu tempatnya di Arsy. Tempat yang paling tinggi"
"Igi ma?" (tinggi ma)
"Iya, tempatnya Allah itu di tempat yang paling tinggi. Kita, manusia tidak bisa melihatNya"
Gendis menoleh ke arahku. Melayangkan tatapan tajamnya padaku. Tatapan matanya begitu menusuk ke dalam sanubari.
"Ma, Dis au emu Awoh" (ma, Gendis mau ketemu Allah)
Aku tersenyum tipis mendengar pintanya. Aku kembali membelai mahkotanya penuh rasa sayang.
"Nanti Ndis..! Ada saatnya semua mahluk ciptaan-Nya akan bertemu dengan Allah. Bertemu Penciptanya!"
"Apan ma?" (kapan ma)
"Mama tidak tahu kapan. Yang pasti akan ada saatnya nanti Ndis, mama ketemu sama Allah" ucapku sambil mencium kedua pipinya.
"Oke ma... Dis apan-apan emu Awoh" (oke ma. Gendis kapan-kapan ketemu Allah.
"Insya Allah....!" Bisikku lembut.
Bunyi nada dering telepon masuk mengagetkanku. Kulihat di layar ponsel tertera nama suamiku. Aku meminta izin Gendis untuk mengangkat telepon yang terus berdering.
"Dis, ayah nelpon. Mama angkat dulu ya teleponnya. Nanti kita ngobrol lagi"
"Ayah.. ma??"
"Iya ini ayah lagi menelpon mama"
Secepat kilat Gendis langsung mengambil ponsel yang berada di sampingku.
"AYAH... Alooooo..!!!" Teriaknya dengan kencang.
"Ini Gendis ya? Ayah kangen nak. Mama lagi apa Ndis?" Jawab mas dengan suara terputus-putus. Tampaknya suamiku masih berada di pedalaman sehingga susah sinyal.
"Ndis tolong kemarikan teleponnya sebentar. Mama mau bicara sama ayah"
"Nih ma" Gendis menyerahkan ponsel ke tanganku.
"Assalamu'alaikum mas"
"Wa'alaikumsalam Ma. Ima maaf, sinyal mas kurang bagus. Bagaimana kondisi pinggangmu? Masih sakitkah?"
Aku segera merubah panggilan menjadi video call. Aku tak sabar ingin melihat reaksi suamiku kalau aku sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal.
Dan sesuai dugaannku, suamiku terperangah melihat aku yang sudah bisa berdiri tegak.
"Ma..? Kok bisa? Bukannya kamu bilang kalau sudah tidak bisa berdiri dan berjalan?" Tatapnya tanpa berkedip sedetikpun.
Aku tersenyum dan tertawa girang. "Alhamdulillah mas, Allah masih sayang aku. Nanti aku ceritakan semuanya lewat email"
"Ya sudah, mas tunggu email dari kamu. Mas turut bahagia kalau Ima sudah tidak kesakitan lagi" ucap suamiku sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Mas, jadikan kamu pulang dua hari lagi?"
"Insya Allah, nanti mas kirim tiket penerbangannya. Ya sudah, mas tunggu email dari Ima sekarang juga."
"Siap mas" aku dan Gendis tertawa melihat ke kamera.
"Byee, Ndis, Ima..!! Jaga diri kalian baik-baik!"
Gendis tersenyum dan melambaikan tangannya ke kamera "Da..da.. Ayah...!!"
Tanpa membuang waktu aku segera mengirim email ke suamiku. Kuceritakan semua tanpa ada yang terlewatkan. Entah suamiku mempercayainya atau tidak. Tapi aku percaya akan keajaiban Sang Pencipta. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkata "Kun Fayakun."
Aku juga segera memberi tahu keluarga Dwi kalau aku sudah sembuh. Tanteku terkejut mendengarnya sekaligus mengucap syukur. Mereka semua turut berbahagia karena kini aku sudah bisa berjalan normal.
Malam itu keluargaku berbahagia atas kesembuhanku. Semua ini karena mukjizat dari Allah. Tak henti-hentinya bibirku mengucapkan hamdalah kepada sang Pencipta.
Kejadian ini sekaligus membuka mata hatiku kalau putriku memiliki bakat healer. Sepertinya satu persatu ucapan Eyang dan Pak haji mulai menjadi kenyataan. Sempat terlintas dibenakku, apa mungkin Allah memberiku rasa sakit agar aku mengetahui bakat putriku? Kemampuannya untuk menyembuhkan sesama? Ataukah ini hanya kebetulan belaka? (Wallahu'alam)
***
Sambil menyesap secangkir kopi, aku menghitung hari menunggu kepulangan suamiku. Dari tiket yang dikirim via email oleh mas, kalau tidak ada halangan besok pagi kami akan segera bertemu dan berkumpul kembali.
Aku tersenyum membayangkan pertemuan esok hari. Rasanya tak sabar ingin segera berkumpul kembali bersama-sama, menjadi keluarga yang utuh. Suamiku juga berjanji akan mengajak aku dan Gendis berlibur keliling Jawa Tengah. "Aahh.. rasanya aku tak sabar ingin segera liburan bersama Gendis."
"Ndis, besok ayah pulang. Gendis happy tidak?" Tanyaku sambil terus menyunggingkan senyuman.
"Oleeee.... Ayah Dis ulang..!!" (hore, ayah Ndis pulang) Teriaknya sambil bertepuk tangan.
"Insya Allah besok pagi ayah sampai di rumah. Tolong doain ayah selamat di perjalanan ya Ndis"
Gendis mengambil remote tv yang tergeletak tidak jauh dari dirinya. Ia mulai mendekatkan remote tv ke telinga dan pura-pura menelpon ayahnya.
"Aloo yah, ti ati alan. Byeee!!" (Halo ayah, hati-hati di jalan. Bye) Aku tertawa kecil melihat kelakuan Gendis yang begitu lucu dan menggemaskan.
"Gendis..!! Gendiiss...!! Kamu lucu banget sih nak." Ucapku sambil mengacak-ngacak rambutnya.
"No..!!!" Gendis berlari menjauhiku. Dari bayi, Gendis itu paling tidak suka jika rambutnya diacak-acak. Ia akan langsung berteriak marah.
Putriku menyenderkan tubuhnya pada dinding ruang tamu, ia tampak sedang merenungkan sesuatu. Kedua alisnya yang tebal tampak mengerut bersamaan.
"Ma, epon om Aan. Ilang tal alam ati-ati i alan" (ma, telepon om Aan. Bilangin ntar malam hati-hati di jalan)
Aku menatap ke arah putriku yang netranya menatap lurus ke karpet ruang tamu. Raut wajahnya terlihat serius.
"Apa Gendis sedang melihat sesuatu? Tumben Gendis memperingatkan agar adikku berhati-hati"
"Sebentar Ndis, mama kirim pesan ke om Aan dulu"
Aku langsung mengetikkan jemariku di layar ponsel.
"An ada pesan dari Gendis. Dia bilang agar kamu hati-hati di jalan. Memangnya malam ini kamu mau ke luar kota?"
Cukup lama aku menunggu pesan balasan dari adikku.
"Tiingg" terdengar notifikasi pesan masuk di what's app.
"Iya teh. Malam ini Aan harus berangkat ke luar kota. Tolong bilang ke Gendis terima kasih untuk nasehatnya."
Aku segera memberitahu Gendis isi pesan adikku. Gendis tertunduk sejenak, ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Perlahan ia menengadahkan wajahnya melihat ke arahku.
"Ma, om Aan doa. Angan upa oa" (ma, om aan doa. Jangan lupa doa)
"Iangin ma.. cana!!" (Bilangin ma, sana) Perintahnya dengan mata berkilat
"Iya, iya.. sebentar."
Sekali lagi, aku segera menyampaikan pesan Gendis ke adikku. Dan adikku hanya membalas dengan memberikan emoticon jempol.
Aku menghela nafas. "Semoga tidak terjadi apa-apa dengan adikku".
Ucapan putriku seperti sebuah peringatan. Petanda bahwa awan kelabu pembawa musibah akan datang. Aku termenung, hatiku mulai diselimuti rasa was-was berlebihan. Aku takut akan terjadi sesuatu hal buruk yang menimpa adikku satu-satunya.
"Ya Allah tolong jaga selalu orang-orang yang aku sayangi dan menyayangi aku, serta selalu berbuat baik kepadaku dan keluargaku" kupejamkan mata dan membawa nama dalam doa. Hanya doa yang bisa kulakukan ketika diriku mulai dilanda perasaan gelisah dan bimbang. Meminta kepada Allah untuk menjaga selalu orang-orang yang aku sayangi.
***
Malam itu hujan turun begitu derasnya, udara dingin terasa menusuk di kulit. Aku terbangun, ponselku berdering tanpa henti. Kulihat jam dinding di kamar menunjukkan pukul dua.
Alisku bertaut.
"Siapa yang menelpon malam-malam begini?"
Di tengah cuaca yang sedingin es, rasanya tubuhku enggan beranjak dari selimut yang membuatku terasa hangat. Namun kalau tidak segera kuangkat, takutnya itu telepon yang penting. Dengan rasa kesal dan malas, aku beranjak turun dari ranjangku yang empuk.
Kuambil ponsel yang tergeletak di atas lemari. Kulihat nama yang tertera di layarnya "Mama" ternyata Ibunya Dwi yang dari tadi berusaha menghubungiku.
Aku langsung mengangkat telepon dari tante. "Assalamu'alaikum ma."
"Wa'alaikumsalam Ma" terdengar helaan nafas berat dari ujung sana. Membuat hatiku bertanya-tanya mengapa Ibunya Dwi menelpon di tengah malam buta.
"Ima, kamu sudah dapat kabar belum dari adikmu?"
"Kabar? Kabar apa ma?" Perasaanku mulai tidak enak
"Adikmu mendapat musibah di jalan. Ia mengalami kecelakaan..!! Suara tante terdengar berat.
Aku tercekat. "Astagfirullah" aku menutup mulut dengan tanganku.
Jemariku bergetar. Jantungku berdesir hebat dan lututku terasa lemas saat mendengar kabar dari Ibunya Dwi.
"Mama kata siapa??" Tanyaku dengan bibir bergetar. Aku benar-benar khawatir dengan kondisi adikku.
"Tadi Aan sendiri yang menelpon mama. Aan bilang, dia berusaha menelpon Ima tapi tidak diangkat. Makanya mama langsung menghubungi kamu!"
"Terus bagaimana dengan kondisi Aan? Dia nggak apa-apakan ma??"
"Alhamdulillah adikmu tidak apa-apa. Cuma mobil yang dikendarainya agak ringsek dibagian depan. Kalau adikmu tadi tidak waspada, mungkin mobilnya sudah hancur menghantam truk didepannya yang tiba-tiba mengerem mendadak."
"Ya Allah. Ahamdulillah kalau Aan selamat."
"Ya sudah, mama cuma mau kasih kabar itu. Kata Aan, tadi pagi anakmu mengingatkan dia untuk berhati-hati dan berdoa ya?"
Sempat sesaat aku terdiam, benakku berpikir.
"I-iya ma. Tadi pagi, Gendis minta Ima untuk bilang gitu ke Aan"
Terdengar sunyi dari ujung sana.
"Mama jadi kepikiran sesuatu"
"Apa ma?" Tanyaku penasaran.
"Gendis..! Apa anakmu sudah tahu kalau Aan akan mengalami kecelakaan?'
"Entah ma, Ima tidak tahu. Karena Gendis tidak bilang apa-apa ke Ima. Gendis cuma minta agar Aan malam ini berhati-hati."
Suasana mendadak hening.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu nanti langsung telepon atau sms adikmu saja"
"Baik ma nanti Ima langsung telepon Aan"
Tanteku mengucapkan salam dan langsung mengakhiri panggilan.
Tanpa membuang waktu, aku segera menelpon ke ponsel adikku. Namun berulang kali aku menelpon, hanya nada sibuk yang kuterima. Aku menyerah dan langsung mengirim pesan. Kuceritakan semua percakapan aku dan Ibu Dwi.
Tak lama kemudian terdengar pesan masuk, adikku cuma tertawa dan menulis "tenang teh, Aan tidak apa-apa. Tidur lagi sana!"
Bibirku mengerucut membaca pesannya. "Dasar sableng! Dari dulu hobinya selalu bikin orang panik!! Kuletakkan kembali ponselku diatas lemari.
Aku terduduk di pinggir ranjang tempat tidur. Kupandangi lekat-lekat wajah Gendis yang tengah tertidur pulas. Kusap dengan penuh kasih sayang pipinya yang sehalus pualam.
"Ndis, terima kasih sudah memberi peringatan untuk mama dan om Aan. Terima kasih" desisku lirih sambil mengecup lembut keningnya.
***
Aku sedang duduk santai di meja makan sambil menikmati secangkir teh manis hangat. Terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Tanpa sadar senyumku seketika mengembang. Suamiku sudah pulang!
"Ndis itu ayah sudah sampai di rumah" Teriakku ke Gendis yang sedang asik menonton film kartun.
"Ayah??" Bulu matanya yang lentik tampak mengerjap-ngerjap naik turun.
"Iya, itu ayah di depan rumah" jawabku dengan wajah berbinar.
Terdengar pintu gerbang dibuka dan suara khas suamiku mengucapkan salam. Aku segera menjawab salamnya dan bergegas menyambut kepulangan suamiku. Putriku tidak mau kalah, ia berlari dengan cepat menyusul langkahku.
"AYAAHHH...!!" Jeritnya kegirangan ketika melihat seraut wajah muncul di ambang pintu ruang tamu.
"Ndiss...!!" Suamiku langsung menaruh kopernya dan segera memeluk Gendis.
"Ya Allah, ayah kangen banget Ndis. Kok Gendis makin berat ya?" Tanya mas kebingungan sambil menciumi pipi putri satu-satunya.
Senyumku merekah, kulihat Gendis begitu manja dengan ayahnya. Setelah tidak bertemu selama hampir tiga minggu, akhirnya putriku bisa merasakan kembali kasih sayang ayahnya.
Mas mendekat ke arahku dan mencium keningku. "Sehat Ma?" Tanyanya sambil memandangi wajahku lekat-lekat.
"Alhamdulillah, Ima sehat mas" jawabku sambil tersenyum.
"Ndis sini sama mama dulu. Biar ayah istirahat. Kasihan ayah, pasti capai karena habis menempuh perjalanan jauh."
"NOOO...!! Ni yah Dis..!!" ( No. Ini ayah Ndis) ia menolak untuk aku gendong. Tampaknya ia masih ingin bermesraan dengan ayahnya.
"Sudah nggak apa-apa. Mas tidak capai. Gendis kangen baget sama ayah ya?" Ucap suamiku sambil menggendong Gendis yang terus memeluk erat ayahnya.
"Yah Dis..!! Yah Dis..!" (ayah ndis, ayah ndis) ucapnya berulang-ulang.
"Iya ini ayahnya Gendis." Jawab mas sambil terus menciumi pipi putrinya yang bersemu merah.
"Ulun..!! Dis ulun..!" (turun, Gendis turun) Pinta anakku setelah merasa puas melepas rindu dengan ayahnya.
Mas menurunkan Gendis dari gendongannya. Tangan mungil putriku menggandeng suamiku, ia mengajak ayahnya untuk duduk di kursi ruang tamu.
"Lumayan juga ya menggendong Gendis, berat banget. Pantes sakitmu kambuh!" Gurau mas sambil memangku Gendis.
Aku mencibir ucapannya.
"Eh ma, mumpung mas libur dua minggu. Bagaimana kalau kita pergi berlibur ke Jawa Tengah? Mas mau ajak Gendis ke Jogjakarta." Mas menatapku meminta persetujuan.
"Boleh aja sih mas. Cuma kita bertiga?" Tanyaku ragu.
"Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau sekalian mengajak keluarga Dwi? Biar ramai dan bisa gantian menjaga Gendis. Bagaimana?"
Aku menatap ke lantai yang tidak kotor. Bola mataku berputar memikirkan usul suamiku.
"Boleh juga mas! Pasti seru kalau liburan beramai-ramai" jawabku sumringah.
"Ya sudah, coba tanya Ibunya Dwi, bisa tidak om mengambil cuti dan ikut kita liburan"
"Baik mas, tunggu sebentar."
Aku bergegas mengambil handphone dan menelpon tante. Mataku berbinar mendengar jawaban tante. Beliau menyambut baik tawaran suamiku untuk berlibur ke Jawa Tengah.
Dengan nada ceria segera kusampaikan ke suamiku kalau keluarga Dwi setuju untuk pergi liburan bersama kami. Namun sebelumnya tante meminta kami untuk menghadiri arisan keluarga di daerah Cikampek. Akupun sudah mengiyakan ucapan tanteku.
"Ndis besok jalan ke mall saya ayah yuk?"
Aku terperanjat mendengar ucapan suamiku. Apa? Gendis mau dibawa ke mall?
"Sebentar mas. Tadi kamu bilang besok mau ajak Gendis ke mall? Apa kamu nggak salah ngomong?"
"Iya, besok kita ke mall. Cari sepatu untuk Gendis. Memangnya kenapa?"
Pikiranku langsung tertuju ke peristiwa masa lalu. Saat Gendis pertama kali diajak ke salah satu mall di kawasan Bekasi. Kejadian yang membuatku trauma jika harus mengajak putriku ke pusat perbelanjaan. Dan sekarang suamiku malah ingin mengajak Gendis ke mall. Bagaimana kalau nanti anakku menangis dan menjerit histeris hingga menjadi tontonan pengunjung?
Aku langsung menolak mentah-mentah ajakan mas. Kami berdebat. Namun suamiku tetap kekeuh ingin membawa Gendis ke mall. Alasannya biar aku tidak trauma! Dan kali ini ada dirinya yang mendampingi kami. Akhirnya akupun mengalah. Aku menuruti permintaannya.
"Besok pagi kita berangkat, biar jalanan tidak macet"
"Alan-alan yah?" (jalan-jalan yah)
"Iya, besok Gendis jalan-jalan sama ayah dan mama"
"OLE... alan-alan, eyi toys" (hore. Jalan-jalan beli toys)
Aku mendesah pelan. Entah apa yang akan terjadi besok. Apa putriku akan melihat sesuatu yang aneh lagi? Hatiku mulai diselimuti perasaan mencekam
***
Keesokan harinya, sekitar pukul sembilan pagi. Kami sudah bersiap untuk pergi ke salah satu mall yang terletak di kawasan Bekasi. Mas mengajak berangkat pagi agar tidak terjebak macet.
Gendis tampak begitu bersemangat. Dengan mengenakan kaos biru dan rok selutut, putriku terlihat begitu cantik. Rambut ikalnya kubiarkan tergerai bebas sehingga semakin menambah kesan feminim dirinya.
Setelah perjalanan selama hampir dua jam, akhirnya kendaraan yang kami kendarai memasuki parkiran mall. Mas memarkirkan kendaraan tidak jauh dari pintu masuk. Jantungku mulai berdegub kencang, nafasku tak beraturan. Aku dilanda panik!
"Sudah tenang aja! Mukamu jadi seperti mayat hidup!" Goda mas sambil menggandeng tanganku, ia berusaha menenangkanku.
"Ta-tapi Ima takut mas. Ima takut kalau Gendis menjerit ketakutan lagi."
"Bismillah Ma! Ingat, kamu punya Allah. Allah yang akan menjaga Gendis!"
Aku menatap wajah suamiku dan tersenyum tipis. "Iya mas. Maafin Ima ya"
Mas tersenyum dan mulai menggandeng Gendis. Langkah kaki kami semakin mendekati lobi Mall. Gendis tertawa kegirangan melihat air mancur yang berada di dekat lobi.
Aku mulai melangkahkan kaki memasuki lobi. Hawa dingin dan suasana sepi menyapaku. Kuperhatikan Gendis mengarahkan netranya berkeliling menatap ke segala arah. Bola matanya yang bulat menerawang, menatap langit-langit mall. Perlahan telunjuknya mengarah, menunjuk ke atas. Matanya melebar dan terdengar jeritan dari bibirnya yang merah merekah.
Bersambung
Comments (0)