Part. 36
Lumpuh
Lumpuh
"Sesampainya di rumah, aku segera menurunkan Gendis. Sejenak aku meluruskan pinggangku, selonjoran di lantai. Pinggang sebelah kiri mulai terasa nyeri luar biasa. Diikuti rasa panas dan ngilu yang mulai menjalar naik ke punggung. Aku mulai diselimuti rasa cemas dan takut. Aku khawatir kalau penyakit yang dulu pernah kuderita kembali menyerangku. Lumpuh!! Ya, dulu aku pernah lumpuh!
Pikiranku melayang membawaku kembali ke masa lalu. Sekitar tahun 2008, aku pernah mengalami cidera yang mengakibatkan pinggangku terkena syaraf kejepit dan membuatku lumpuh. Saat itu aku hanya bisa terbaring, tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.
Alhamdulillah, Allah masih sayang kepadaku. Melalui perantara tetanggaku yang seorang binaragawan, aku diperkenalkan dengan seorang sinshe di kawasan Halim Perdana Kusuma. Menurut Bang Miko (tetanggaku), sinshe tersebut biasa menangani atlet binaraga yang mengalami cidera dan tegang otot. Beliau juga memahami tentang urat syaraf. Bang Miko bilang, atlet binaraga yang mengalami cidera parah bisa disembuhkan oleh beliau.
Akhirnya Bang Bek membuat janji dengan sinshe tersebut. Alhamdulillah beliau berkenan untuk datang ke rumahku. Saat pertemuan pertama, urat syaraf di pinggang kiriku diurut oleh beliau (namun yang kurasakan hanya seperti diusap), rasanya tidak sakit sama sekali.
Menurut beliau, dalam waktu dua minggu, aku sudah bisa kembali berjalan normal. Dan ternyata ucapannya menjadi kenyataannya. Setelah dua minggu berselang, aku bisa berjalan tegak tanpa merasa sakit sama sekali. Namun sebelumnya, beliau juga memperingatkan aku.
"Dik, urat syaraf di pinggang kirimu ini sangat lemah. Jangan sampai pinggangmu ini diurut atau kamu mengangkat beban yang terlalu berat. Kalau kamu tidak mengikuti saran saya, penyakit syaraf kejepitmu akan kambuh. Dan kamu bisa kembali lumpuh" pesan beliau sebelum pamit pulang.
Aku selalu mengingat dan menjalankan pesan beliau. Bertahun-tahun lamanya, pinggangku tidak pernah diurut. Aku juga tidak pernah menangkat beban yang berat-berat. Namun kali ini karena rengekan Gendis yang merasa jijik dan takut untuk melangkahkan kakinya di jalanan maka aku melanggar pantangan tersebut.
Sambil selonjoran di lantai, mataku mengawasi Gendis yang tidak bisa diam. Putriku yang aktif terus berlarian kesana-kemari. Ia terlihat selalu ceria.
"Ya Allah, apa yang akan terjadi jika aku kembali lumpuh? Siapa yang akan mengurus putriku?" Rasa takut mulai menyergapku.
Dengan perlahan aku mencoba mengangkat tubuhku dari lantai yang terasa dingin. Namun dari bagian pinggang hingga ke punggung terasa begitu kaku dan tegang. Tubuhku begitu sulit untuk kugerakkan! Aku bagaikan manekin yang hanya bisa duduk berdiam diri.
"Nyuutt" aku meringis menahan nyeri.
Aku kembali memaksakan tubuhku untuk berdiri. Ya Allah sakitnya... Tubuhku merasakan sakit luar biasa!!
Aku menggeretakkan rahangku kuat-kuat, berusaha meredam rasa nyeri yang mendera. Pinggangku terasa sakit, seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ribuan !!
Aku menutup kelopak mata dan mengigit bibirku. Sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak menjerit dan menangis. Aku tidak ingin jeritanku membuat putriku terkejut.
Ketika aku berdiri, rasa sakit yang kurasa semakin berkali lipat. Pinggangku sangat sakit karena menahan berat tubuhku. Aku mencoba berdiri tegak, namun otot pinggangku terasa kaku seperti kayu. Dengan berpegangan pada dinding teras, aku berjalan tertatih layaknya seorang bayi yang baru belajar berjalan.
Setelah perjuangan yang cukup menguras tenaga, aku segera merebahkan tubuhku di sofa yang berada di ruang tv.
Aku terdiam, ekor mataku menatap pilu ke arah Gendis yang sedang asik bermain sendirian.
Nafasku terasa berat. Hatiku terasa sesak dan sedih.
"Ndis, Ndis.. tolong kesini sebentar nak" panggilku lemah.
Gendis menghampiriku. Tatapan polosnya memandangku penuh arti.
"Apa ma?" Ucap bibir yang mungil. Tangannya bergelayut manja di lenganku.
Kubelai lembut rambutnya yang basah kuyup terkena keringat. Aku memaksakan diri tersenyum dari bibirku yang bergetar dan tampak pias.
"Ndis, pinggang mama lagi sakit. Maafin mama ya karena tidak bisa menemani Gendis bermain" tatapku lembut.
"Mama atit??" (mama sakit) Tanyanya pelan.
"Iya, mama lagi sakit. Jadi mama mau beristirahat sebentar. Bolehkan?"
Ia menatap ragu.
"Atit apa ma?" (sakit apa ma)
"Ini pinggang mama sakit banget. Makanya mama mau rebahan sebentar. Siapa tahu kalau mama sudah istirahat, pinggang mama tidak terasa nyeri dan kaku lagi."
Gendis langsung memeluk dan mencium keningku dengan penuh rasa kasih sayang.
Aku tercekat "Apa Gendis paham dengan apa yang sedang kurasakan?" Tanyaku dalam hati sambil membalas pelukannya dengan erat.
"Ma, Dis obo amping mama ya" (ma, Gendis bobo samping mama ya)
Tanpa menunggu persetujuanku, Gendis langsung merebahkan dirinya disampingku. Tubuhnya yang mungil memunggungiku.
Gendis yang sikapnya selalu periang dan ceria. Pagi ini tiba-tiba seperti berempati. Ia menjadi anak yang kalem dan penurut! Putriku seakan-akan mengerti dengan kondisi tubuhku.
Aku memeluk erat tubuhnya dari belakang. Dan menggenggam jemarinya yang terasa hangat. Damai.. Itu yang kurasakan ditengah kegalauanku.
Sesekali Gendis menoleh ke belakang, melihat wajahku. Ia terduduk dan jemarinya yang lentik memegang keningku.
"Mama ga anas!!" (mama nggak panas) matanya yang polos seperti keherenan.
"Mama memang tidak sakit panas. Tapi pinggang mama ini yang sakit banget" ucapku sambil memegang pinggang yang semakin berdenyut nyeri.
"Nggang ma??" (pinggang ma)
"Iya yang sakit itu pinggang mama bukan kening mama" jawabku sambil tersenyum tipis.
"Tar..!!" Ia mulai turun dari sofa dan berlari ke kamar.
"Kriiieekk" suara pintu lemari jati dibuka.
Tampaknya Gendis sedang mencari sesuatu di dalam lemari pakaian .Tak lama kemudian, anakku kembali dengan membawa sapu tangan berwarna biru muda. Ia tersenyum melihatku.
"Mama, omples" (mama kompres) ujarnya sambil meletakkan sapu tangan di keningku.
Aku tertawa geli, ternyata Gendis belum begitu memahami ucapanku.
"Terima kasih ya Ndis sudah peduli sama mama" ucapku sambil mencium tangannya yang terasa halus dan lembut.
"Ial mama epet embuh, akana Nsis omples (biar mama cepat sembuh. Makanya Gendis kompres)
Ia terduduk di sampingku. Berulang kali ia meraba keningku. Berusaha mengecek suhu tubuhku. Bibirnya merengut manja.
"Uuuhh... anas..!!" (uh, panas) pekiknya sambil mengibaskan tangannya seolah-olah sedang kepanasan.
"Gendis..!! Gendiis...!!" Aku tersenyum melihat tingkah polahnya yang menggemaskan.
Di tengah rasa takut dan panik yang sedang menghantuiku. Perilaku Gendis bagaikan setetes embun segar yang menyejukkan hati.
Sepertinya Gendis memperlakukan aku sebagaimana aku memperlakukan dirinya. Saat ini ia sedang meniru perilaku Ibunya yang pernah merawat dirinya ketika sedang sakit panas.
"Mama, obo! NOW..!! Ial epet embuh..!!" (mama bobo. Now. Biar ceoat sembuh) perintahnya seperti seorang dokter ke pasien.
"Iya bu dokter. Bu dokternya galak nih. Masa mamanya dibentak!" cibirku sambil meringis kesakitan.
"Cleep mama!! NOW" (sleep mama. Now) Jemarinya menutup mataku dengan paksa.
Aku berusaha memejamkan mata. Ada rasa senang sekaligus sedih mengharu biru dalam hati. Walaupun Gendis belum paham dengan sakit yang sedang kurasakan, namun ia begitu peduli denganku. Ia berusaha merawatku sebisa mungkin. Perhatiannya membuatku ingin menangis.
"Ndis, mama yakin. Walau usiamu masih kecil tapi kamu akan selalu menyayangi mama. Mama akan menuai apa yang sudah mama tabur. Gendis tipe anak yang tahu terima kasih." Dengan mata terpejam, bibirku menyunggingkan senyum.
***
"Krucuuuukkk" perutku berbunyi keroncongan.
Aku terbangun dari tidurku. Aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Mataku terbuka perlahan. Perutku kembali berbunyi petanda minta diisi. Kulihat Gendis masih tertidur pulas di atas karpet. Tubuhnya meringkuk sambil memeluk guling kesayangannya.
Ketika aku berusaha untuk duduk, pinggangku terasa tegang dan sakit semuanya. Aku terdiam merasakan rasa sakit yang begitu menusuk tubuh. Rasa sakit yang kurasakan menegaskan bahwa ini benar-benar terjadi. Sensasi sakit dan nyeri yang tajam seperti terbakar mulai menjalar di sekujur tubuh. Aku sulit untuk menggerakkan tubuhku!
Seperti tengah mengintai musuh, aku berdiri perlahan dan berjalan dengan terbungkuk-bungkuk. Sambil berpegangan pada tembok, aku terus merambat menuju ke dapur. Sesekali langkahku terhenti. Aku sampai harus meringis untuk menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
Aku menarik nafas dan membuang perlahan. Aku berusaha untuk mengendalikan diri dan pikiranku.
"Ya Allah, jarak dari ruang tv ke dapur tidaklah begitu jauh. Biasanya dengan cepat aku bisa menuju kesana. Namun sekarang, dengan langkah tertatih, rasanya begitu lama."
Sambil terus meringis menahan sakit, aku kembali membungkuk berjalan menuju dapur. Pinggangku sekarang terasa panas. Peluh berjatuhan dari pelipisku. Kaos yang kupakai basah, banjir keringat. Dengan berpegangan pada wastafel, aku mulai menangis segukan. Aku menyerah! Aku begitu kesakitan!
"Mama apa angis" (mama kenapa menangis) suara Gendis mengagetkanku.
Aku tergagap, aku segera mengusap bulir air mata yang menetes di pipi.
"Ng-nggak..! Mama nggak apa-apa! Gendis kapan bangunnya? Kok mama tidak mendengar suara Gendis bangun?"
"Alucan. Dis apel. Au akan!" (Barusan. ndis laper, mau makan) jawabnya cepat.
"Ooh, Gendis lapar. Sebentar ya, mama ambilkan nasi dan lauk. Nanti mama suapin Gendis. Sana tunggu mama di ruang rv" pintaku sambil menepuk pipinya yang tembem.
Gendis menatap diriku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seolah-olah dirinya tengah meneliti atau mencari sesuatu.
"Kenapa Ndis? Kok natapnya begitu banget?"
"Mama dah embuh?" (mama sudah sembuh) Tanyanya penuh perhatian.
"Ya Allah. Gendis perhatian banget." Aku mengusap pipinya.
"Insya Allah, mama sudah sembuh" jawabku berbohong.
"Yeee..yeee..!! Mama embuh..! Embuh..!!" (mama sebuh. sembuh) Ujarnya sambil berlari menuju ke ruang tamu.
"Maafin mama karena sudah berbohong sama Gendis" Tatapku nanar.
Setelah mengambil sepiring nasi beserta lauk pauk, aku memaksakan diri berjalan menuju ke putriku. Nafasku terengah-engah. Debaran jantungku terasa begitu cepat. Berkali-kali langkahku terhenti.
"Ma, epeettt!! Dis apel..!!" (ma cepat. Dis laper) teriaknya dari sofa sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
"Sabar, sebentar..!" Balasku lirih.
Aku menarik nafas berat. "Semangat..!! Demi Gendis..!!" gumamku dalam hati. Aku memacu diriku untuk berjalan menghampiri putriku.
***
Setelah selesai menyuapi Ndis makan siang. Aku segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suamiku. Namun seperti biasa, suamiku susah sinyal! Akhirnya aku mengiriminya pesan. Memberitahukan kondisiku yang mulai susah berjalan dan kemungkinan terburuk kalau aku akan kembali lumpuh.
Aku juga menghubungi Ibunya Dwi.
"Assalamu'alaikum ma"
"Wa'alaikumsalam. Tumben kamu nelpon mama siang-siang. Ada apa?"
Rahangku mengeras. Aku mencoba menahan rasa sakit. Namun tidak berhasil. Aku mulai menangis terisak-isak.
"MA..!! Kamu kenapa menangis!! Apa rumah tanggamu ada masalah lagi??" Teriak suara tante dari ujung ponsel.
"E-enggak ma." Ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
"Sudah jangan bohong sama mama!! Ada apa?"
Akhirnya tumpahlah semua tangisku. Sambil menangis segukan, aku menceritakan semua rasa sakit yang tengah kurasakan. Tante segera berinisiatif memberikan referensi seorang dokter ahli syaraf terkenal di salah satu RS swasta. Beliau berjanji akan segera mendaftarkan namaku untuk diperiksa oleh dokter tersebut sore ini. Ia meminta aku dan Gendis untuk bersiap-siap. Karena sebentar lagi ia akan segera datang menjemputku.
Ba'da Ashar, om dan tante tiba di rumahku. Dengan menumpang kendaraannya, aku segera dibawa ke salah satu RS swasta terkenal. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa terbaring sambil terus berdoa semoga penyakit yang kuderita hanyalah sakit biasa.
Sore ini lalu lintas tampak lengang, sehingga kendaraan bisa bergerak dengan lancar. Setelah menempuh perjalanan hampir 1.5 jam lamanya, aku turun di lobi RS yang luas. Dengan dipapah tante, aku segera menuju ke ruang sp. penyakit syaraf yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk RS. Sedangkan putriku tampak asik melihat aquarium raksasa yang terletak di lobi RS bersama ayahnya Dwi.
Setelah menunggu hampir 30 menit, kulihat seorang dokter wanita memasuki ruangan periksa. Tak lama kemudian seorang perawat manggil namaku.
Jantungku berdegub kencang. Keringat dingin membasahi tanganku.
Dengan berjalan seperti nenek-nenek, aku melangkah perlahan dengan sedikit membungkuk. Aku sudah tidak bisa menegakkan atau meluruskan pinggangku lagi. Semakin aku berusaha berjalan normal, maka aku akan menjerit kesakitan!
"Malam Dok" sapaku ramah kepada dokter di hadapanku.
"Malam, silahkan duduk" jawabnya ramah.
Akupun duduk berhadapan dengan dokter cantik yang berada tepat didepanku.
"Ada keluhan apa Bu?"
Aku langsung menceritakan sakit yang kurasa beserta kejadian yang pernah menimpaku. Dokter tersenyum dan memintaku untuk tiduran di atas tempat tidur periksa.
Dengan bersusah payah, aku menuju ke tempat tidur yang sudah disediakan. Kemudian dokter memintaku untuk melakukan beberapa gerakan. Fungsinya untuk mengetahui apakah aku terkena syaraf kejepit atau hanya terkena kejang otot. Ternyata untuk mengangkat kakiku saja, aku tidak bisa! Aku mulai menangis, menjerit kesakitan menahan rasa nyeri yang luar biasa menyiksa.
Tubuhku bersimbah keringat dingin. Nafasku ngos-ngosan. Untuk sementara waktu, dokter memberiku 4 macam obat. 3 obat minum dan 1 obat semprot untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika dalam waktu 3 hari, pinggangku masih terasa sakit, aku disuruh kembali untuk melakukan MRI.
***
Di dalam mobil, aku hanya terdiam. Merenung memikirkan nasibku, nasib Gendis. Aku menyeka bulir air mata yang keluar dari ujung kelopak mata.
Ponselku berdering. Kulihat nama suamiku tertera di layarnya. Tampaknya ponsel suamiku baru mendapatkan sinyal.
Dengan menahan rasa ngilu, aku mengangkat teleponnya dan mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam. Ma, kamu nggak apa-apakan?" Tanya suamiku dengan nada khawatir.
"Sakit mas, sakit banget. Kambuh seperti dulu lagi" aku menangis terisak-isak.
"Kamu sudah ke dokter? Maaf, mas baru bisa menelpon. Mas baru dapat sinyal."
"Sudah mas, ini lagi perjalanan pulang diantar orangtua Dwi.
"Terus apa kata dokter??"
Aku menceritakan diagnosis dokter ada kemungkinan aku terkena syaraf kejepit. Namun untuk sementara, aku hanya dikasih obat-obatan. Jika dalam kurun waktu tiga hari, sakitnya tak kunjung reda, aku harus melakukan MRI.
"Ya sudah, tolong kamu menuruti perintah dokter. Mas hanya bisa mendukungmu!"
"Tuut..tuut..tuut.." komunikasi kami terputus. Sinyal ponsel suamiku kembali hilang.
Aku menghela nafas, terdiam menatap ke luar jendela. Sepi.. itu yang kurasakan. Saat ini aku benar-benar butuh dukungan dari suamiku. Namun sayangnya komunikasi kami terhalang jarak dan sinyal!
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Menahan marah yang mulai menyergap pikiranku.
"Ma, bagaimana kalau sementara ini, kamu dan Gendis tinggal di rumah mama?" Suara tante memecah keheningan.
"Nggak ma, terima kasih. Biar Ima dan Gendis di rumah saja. Nanti Ima bisa minta tolong mba Ani untuk mengurus rumah" jawabku tak bersemangat.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi kalau ada apa-apa langsung kabari mama!"
"Iya ma" aku mengangguk lemah.
Setibanya di rumah, sambil berjalan layaknya seorang wanita tua, aku segera menuju ke kamar. Aku langsung meminum obat pemberian dokter dan menyemprot pinggang yang semakin berdenyut sakit. Aku berharap obat dari dokter bisa sedikit mengurangi nyeri yang kurasakan. Namun tidak berhasil! Aku semakin didera kesakitan!
Kupikir obat itu tidak menunjukkan hasilnya karena baru kuminum. Mungkin keesokan hari baru ada efek yang berarti, pikirku polos. Aku berharap tegang otot ini dapat membaik dengan sendirinya dalam hitungan hari.
Namun lagi-lagi aku salah. Sehari, dua hari, tiga hari. Obat-obatan dari dokter tidak memberikan reaksi sama sekali! Ketika aku bergerak, rasa sakit di puggung bawah semakin terasa memburuk. Pinggangku nyeri seperti tertusuk sampai ke tukang ekor.
Akhirnya tante mengajakku untuk berobat ke RS swasta lainnya. Dengan harapan mencari second opinion. Namun lagi-lagi usahaku percuma. Obat-obatan dari RS kedua juga tidak membuahkan hasil. Bahkan diriku tidak mempan ketika meminun obat penghilang nyeri dosis tinggi.
Kali ini tante mengajakku berobat ke RS swasta ketiga. Di RS ini aku disuruh mengikuti terapi painkiller Namun terapi ini juga tidak berhasil. Obat dosis tinggi pengilang nyeri kronis dan akut tidak mempan. Aku terus menderita, merasakan sakit yang semakin menyerang, menusuk sekujur tubuh.
Malam itu sambil terbaring di lantai kamar, aku merasakan semakin lama, kakiku sulit untuk kugerakkan. Kakiku seperti mati rasa!!
"Ya Allah, jika aku kembali lumpuh. Aku yakin Engkau telah memiliki rencana sendiri untuk diriku dan putriku. Apapun rencanaMu itu hamba yakin Engkau memiliki maksud dan tujuan tertentu" doaku sambil berlinang air mata.
Tiba-tiba aku teringat ucapan Eyang kalau putriku memiliki bakat menyembuhkan orang. Hatiku tergelitik ingin membuktikan kebenaran ucapannya. Namun bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan?
Bola mataku terus mengamati Gendis yang mengoceh tidak jelas dan asik berlarian mengelilingi kamar.
Aku harus berani mengambil resiko. Ketika pengobatan medis tidak membuahkan hasil dan mengharuskan aku untuk dioperasi, maka aku harus mencoba cara lain. Walau ini tergolong nekat namun tidak ada salahnya untuk ku coba.
"Ndis, tolong kesini sebentar nak."
Gendis menghentikan larinya, ia berjalan menghampiriku.
"Apa ma?" Ucapnya sambil berjongkok di hadapanku.
"Ndis mau nolongin mama tidak?" Tatapku mengiba.
"Olong apa ma?" (tolong apa ma)
"Mama kan sudah tidak bisa jalan dan tidak menenamani Gendis bermain. Bisa tidak Gendis doain mama? Gendis minta sama Allah untuk menyembuhkan dan menghilangkan rasa sakit di pinggang mama?"
Putriku mengamati raut wajahku. Ia tampak sedang menimbang permintaanku.
"Au ma, ial mama epet embuh tan?" (mau ma, biar mama cepat sembuhkan)
Aku menggangguk lemah.
"Iya, biar mama cepat sembuh. Biar mama bisa nemenin Ndis main lagi"
"imana ma?" (gimana ma)
"Nanti Gendis taruh tangan kanan Ndis di pinggang kiri mama ya" Aku mengucap spontan. Seperti ada yang mengarahkanku.
"Ama ecana" (mama kesana) Gendis memintaku memalingkan wajah, menghadap ke tembok.
Aku menuruti perintah Gendis. Aku membalikkan badan menghadap dinding kamar. Gendis mengangkat kaos yang kupakai. Perlahan telapak tangan kanannya menyentuh tepat di titik yang terasa sakit.
"Sekarang Gendis berdoa sama Allah, minta sama Allah untuk sembuhin mama. Nanti Ndis ikutin ucapan mama ya sayang"
"Iya ma" jawabnya bersemangat.
"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah tolong hilangkan rasa sakit di pinggang Ibuku. Ayo sekarang Gendis ikuti ucapan mama"
"Iyoim.. Awoh olong iang atit mama" (Bismillah. Allah tolong hilangkan sakit mama) Ucapnya dengan kalimat terbata-bata.
"Ma..! Mama eyem ma..!! Eyem NOW..!!" (Ma, mama merem ma. Merem Now) Pintanya setengah memaksa.
Aku menuruti ucapan putriku. Aku memejamkan mata.
Aku terperangah.
"A-apa ini?? Mengapa ada hawa aneh yang kurasakan?"
"Hangat!! Ya, saat itu aku merasakan hawa hangat yang menyelimuti pinggangku. Lambat laun, rasa hangat itu mulai menjalar ke arah telapak kaki dan punggung. Rasanya saat itu sekujur tubuhku seperti sedang disinari lampu fisioterapi. Membuat tubuhku merasa lebih relax dan nyaman.
"Se-sebentar! Mengapa kini aku merasakan hembusan nafas di sekitar pinggangku??
Bersambung
Comments (0)