“Tama lagi bengong,” ujar Nadine sesaat setelah ia meletakkan lumpia buatannya.
“Eh, Nad, maaf aku cuma inget pas pertama kali aku masakin omelette buat kamu,” ujarku lalu memandangnya.
“Nadine inget, dan itu yang buat Nadine suka sama omelette sampe sekarang,” ujarnya lalu duduk di sebelahku.
“Nad, makasih yah buat lumpianya,” ujarku sambil mengambil satu lumpia yang dimasak oleh Nadine, gadis itu tersenyum kepadaku dan kami pun memakannya.
Tiga puluh menit berlalu, tetapi hujan belum kunjung reda, aku segera memutuskan untuk mengantarkannya pulang ke rumah karena memang ini sudah larut malam. Nadine tampak tidak ingin pulang terlebih dahulu, entah mengapa ia lalu menyandarkan seluruh tubuhku kepadaku.
“Tam, Nadine enggak mau pulang,” ujarnya pelan.
“Terus kalo ditanyain sama Ayahnya Nadine gimana?” tanyaku kepadanya.
“Bilang aja lagi maen di rumah siapa gitu,” ujarnya dengan wajah yang penuh harap.
“Pulang yah, udah malem tahu,” ujarku kepada gadis itu.
Ia lalu tertunduk, “Tama enggak suka yah deket-deket sama Nadine?” tanyanya, deg mengapa ia bertanya hal seperti itu di saat seperti ini? Tanyaku di dalam hati.
“Tama suka kok deket-deket sama Nadine, Tama cuma bingung aja, apa jawaban aku kalau nganterin Nadine kemaleman,” ujarku.
Seketika ia tersenyum, “emang Tama gak tahu yah?” tanya gadis itu kepadaku, aku menggeleng, “Mama Nadine gak di rumah, Papa Nadine udah gak sama Mama sejak SMP,” ujarnya dan hal itu jujur membuatku menjadi kaget.
“Maksudnya, Papa sama Mama Nadine udah cerai,” ujarku tidak percaya, ia terdiam cukup lama, “maaf ya Nad kalo aku nyinggung kamu,” ujarku lagi penuh sesal.
“Belum sampe cerai sih, cuma udah gak nafkahin Mama aja semenjak Nadine SMP,” ujarnya lalu tertunduk, “karena peristiwa itu Nadine dulu banyak murung Tam,” ujarnya lagi, dan peristiwa itu mengingatkanku beberapa kejadian saat kami masih duduk di bangku SMP saat itu.
“Terus, kamu sendiri gimana Nad, trauma kah sama cowok?” tanyaku kepada Nadine, gadis itu tersenyum.
Ia menggeleng, “enggak buat Tama,” ujarnya dengan pelan, wajahnya memerah lalu ia menunduk.
“Maksud kamu?” tanyaku tidak percaya.
“Tadinya Nadine pikir, semua cowok itu sama aja, tapi pas Nadine kenal Tama, pandangan Nadine mengenai cowok berubah,” ujarnya.
Deg!
Jantungku kembali berdetak dengan sangat cepat.
“Kayaknya kamu berlebihan deh Nad,” ujarku pelan, aku tidak mengerti apa yang ia katakan sebenarnya.
“Tama itu beda, Tama gak kayak cowok yang laennya,” ujarnya lalu ia menggenggam tanganku, “dan karena itulah Nadine bener-bener mencintai Tama,” ujarnya lalu secepat kilat bibirnya menyambar bibirku.
Sekali lagi, Nadine menciumku dengan hangat, sungguh rasanya menggetarkan hatiku saat ini. Aku tidak percaya dengan apa yang ia lakukan kepadaku saat ini. Kali ini aku yang menuntunnya, aku menciumnya seperti aku mencium Cauthelia, dan itu semakin membuat hangat suasana malam ini. Aku menyudahi ciumanku, entah dengan alasan apa, ia lalu memandangku dengan agak heran.
“Tama takut Lia mergokin kita ya?” tanya Nadine kepadaku, ia memandangku dengan lesu, aku terdiam, mungkin itu alasanku mengapa aku menyudahi ciumanku kepadanya, “cinta Tama buat Lia besar yah,” ujar Nadine lalu tersenyum.
“Aku gak ngerti Nad, tapi aku ngerasa begitu,” ujarku lalu terdiam, “maaf aku gak bisa mencintai kamu dengan tulus,” ujarku lalu jari telunjuknya menutup bibirku dengan lembut.
“Nadine udah pernah bilang, buat Nadine mencintai Tama ajah cukup, dan Nadine gak butuh balasan,” ujarnya dengan wajah yang sangat merah, “dan aku udah nemuin sosok terbaik buat Nadine ada di Tama, dan mencintai Tama udah ngebuat Nadine utuh,” ujarnya lagi.
Comments (0)