Part. 35
Monster Jelek
Monster Jelek
"Wajah manis putriku muncul dari pintu gerbang yang tidak tertutup. Gendis menatap El dengan sorot mata tajam layaknya predator yang sedang mengintai mangsa. Perlahan ia berjalan mendekat, air wajahnya terlihat begitu tenang. Berbeda dengan El yang terus meraung, menjerit histeris. Tangan-tangan kecil El bergetar. Kehadiran Gendis semakin membuat tubuh kecilnya menggigil takut.
"El ayo play" ajak Gendis.
Tangannya terulur ke arah El yang tubuhnya mengerut ketakutan. Keponakanku semakin mempererat dekapannya, berusaha mencari perlindungan dari ayahnya.
"Ulang..!! Ullaanngg yaahh..!!" (pulang, pulang yah) Jerit dan tangis El dengan nafas tersengal-sengal.
"El, NO CRY...!!" Bentak Gendis dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
Tampaknya putriku tidak paham kalau kehadirannya sudah membuat El diteror ketakutan. Seandainya El bisa menghindar, mungkin ia sudah berlari sejauh mungkin agar tidak melihat seringai putriku.
"Mba Gendis, El lagi tidak mau main dulu ya" ucap adikku sambil terus berusaha menenangkan tangisan putranya.
"Why?" Tanya Gendis dengan tatapan menelisik penuh rasa ingin tahu yang dalam.
"El lagi rewel. Mba Gendis lihat sendirikan kalau El dari tadi menangis terus?"
Gendis beralih menatap ke arahku.
"Ma, Dis au ain ama El"(ma, Ndis mau main sama El) rengeknya manja.
Aku menarik nafas halus. Bingung menghadapi permintaan anakku satu-satunya.
"El, main sama mba Gendis yuk. Bude baru saja membelikan mba Gendis hot wheels." Rayuku berharap agar El segera menghentikan tangisnya.
Namun jeritan dan teriakan El tak kunjung reda. Tangisannya semakin menjadi-jadi.
"Tuh.. El lagi nggak mau main sm Ndis" aku berusaha memberi pengertian ke putriku.
"Ndis, om Aan mau tanya. Tadi kenapa Gendis membentak El?? Makanya El jadi takut sama mba Gendis."
Gendis menatap mata adikku dalam-dalam. Rahangnya mengatup keras.
"Dis No entak El..!!!" (Gendis No bentak El) Sahutnya tanpa mengalihkan tatapan matanya sedetikpun.
"Terus tadi Gendis bentak siapa?" Tanya adikku penasaran.
"Ittuuu..!!" Gendis menunjuk ke sebelah adikku.
Serentak pandangan kami tertuju ke arah yang Gendis tunjuk.
Aku menggigit bibir bawahku. Perasaanku mulai diselimuti rasa takut. Ini terlalu meyeramkan. Tubuhku bergidik ngeri.
Kulihat adikku mulai meraba dan memegang tengkuknya. Riak wajahnya terlihat panik.
"Teh...!!" Desisnya lirih.
Aku mendelikkan mata, memberikan kode. Meminta agar adikku menceritakan apa yang saat ini sedang ia rasakan.
Wajah adikku celingukan. Ia terlihat kebingungan, seperti mencari sesuatu yang hilang.
"Kamu kenapa An??" Tanyaku tak sabaran.
"Tehhh... ke-kenapa dari tadi Aan merasa ada yang lagi meniup tengkuk dan kuping Aan ya!!!"
Adikku yang terkenal pemberani dan tidak pernah mengenal rasa takut. Baru kali ini kulihat raut wajahnya terlihat pias seakan ingin mati berdiri.
"Jangan macem-macem deh An! Bercandamu tuh nggak lucu!" Sahutku ketus.
"Ya Allah teh..!! Ini Aan serius..!! Aan lagi nggak bercanda..!!" Gumamnya dengan bibir bergetar.
Aku terdiam, mengamati raut wajah adikku yang tampak tegang. Kalau Aan sudah mengucapkan nama Sang Pencipta, bisa kupastikan kalau dirinya sedang tidak bermain-main. Sebrengsek-brengseknya kelakuan adikku. Ia tidak pernah berani berdusta memakai nama Penciptanya.
Aku mengalihkan pandangan mengamati anakku. Kuperhatikan kedua bola mata Gendis bergerak liar kesana kemari. Netranya yang kecil tajam seperti sedang mengamati sesuatu. Sesosok mahluk tak kasat mata yang saat ini sedang berdiri di dekat adikku.
"Gendis, mama mau tanya. Tadikan Gendis bilang kalau yang Gendis bentak itu bukan El. Memangnya tadi ada orang lain disamping El?" Pancingku penuh rasa curiga. Aku berdoa semoga anakku paham dengan apa yang kutanyakan.
"Iya ma, ada..!! Olang elek!!" (Iya ma, ada. Orang jelek)
" Orang jelek? Memang bentuknya seperti apa?"
"Iteem ma, eleekk..! Atana melah?" (Hitam, jelek. Matanya merah)
"Dia baik atau jahat?"
"Aat ma..!! Aat..!!" (Jahat ma, jahat)
"Sekarang, mahluk jelek yang tadi Gendis lihat ada dimana?" Tanyaku penuh harap cemas.
"Tuuuhh...!! Di elakang om Aan. Agi iup-iup uping om Aan!!" (Tuh. Di belakang om Aan. Lagi tiup-tiup kuping om Aan) Ucapnya dengan polos.
Aku dan Aan terkesiap mendengar jawaban Gendis. Wajah adikku semakin terlihat seperti kekurangan darah.
"Aaaahhhh.....!!!" Teriakan Aan mengagetkanku.
"Anak teteh seremmmm!!" Jeritnya sambil menengok ke belakang, berusaha menemukan sosok mahluk yang dari tadi mempermainkan dirinya.
Suasana semakin menegangkan. Selain tangisan El yang tak kunjung reda, sekarang mahluk tak kasat mata itu mulai mengganggu adikku. Sepertinya mahluk itu berusaha memberi tahu kalau ia sedang mengikuti adikku dan anaknya.
"Mba Gendis, om Aan minta tolong. Bisa suruh pergi yang di belakang om Aan tidak?" Pinta adikku dengan wajah memelas.
Gendis terdiam, raut wajahnya berubah tegas dan galak. Putriku mulai melangkah mendekati adikku. Tangannya terangkat menunjuk ke udara kosong. Terdengar bentakan dari bibirnya yang mungil.
"Amu, elgi..!! NOW..!! Dis ga cuka kamu..!!" (Kamu, pergi. Now. Ndis nggak suka kamu) Tegasnya dengan wajah dingin.
"El oleh acuk ke lumah Dis. Amu NOOOO..!!" (El boleh masuk ke rumah Gendis. Kamu NO)
"Amu ELEK..!! Amu Aaat..!!!" (kamu jelek. Kamu jahat)
Gendis tak bisa menahan marahnya, dadanya kembang kempis mengatur nafas kesal. Sejenak Ia terdiam. Terlihat binar aneh dari iris putriku. Nampaknya saat ini Gendis tengah berkomunikasi secara batin atau telepati dengan mahluk yang terus meneror omnya. Itensitas gaib ini nampaknya agak bandel. Mahluk ini susah untuk disuruh pergi. Tatapan Gendis kembali berapi-api.
"GO..!! NOWWWW....!!! " Pekiknya membuat bulu halus ditanganku meremang.
"Angan itut El..!! El adik Dis..!!" (jangan ikutin El. El adik Gendis)
Suasana hening. Angin berdesir lirih menerpa wajahku. Tubuhku seketika menggigil diselimuti hawa dingin yang aneh.
"Dah. Dah Go!" (Sudah, sudah Go) tutur Gendis sambil menatap ke Aan.
"Alhamdulillah" ucapku dan Aan berbarengan.
Perlahan tangisan El mulai mereda. Matanya yang memerah tampak mencuri pandang ke arah putriku. Wajah tampannya mulai dihiasi senyum simpul.
"El, yuk play?" Ajak Gendis dengan tangan terjulur ke arah El.
El tersenyum dan meminta turun dari gendongan ayahnya. Ia berjalan menghampiri Gendis dan meraih tangan putriku. Dengan bergandengan tangan, mereka mulai berjalan masuk ke dalam kediamanku.
"Ndis, El yang akur ya. Jangan berkelahi. Ingat, kalian itu saudara." Teriakku dari kejauhan.
Aku dan adikku segera jongkok di jalanan. Dengkulku masih bergetar hebat akibat peristiwa yang baru saja terjadi.
"Dengkul Aan lemeessss teh"
Aku tertawa geli mendengar ucapannya.
"Ya sama!! Kamu pikir, dengkul teteh dari tadi nggak gemeteran apa?"
"Teehh..!! Anakmu kacau!! Dia hampir bikin Aan jantungan! Nggak lucukan kalau masih muda udah terserang heart attack"
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon adikku.
"Sekarang kamu sudah bisa merasakan yang teteh rasakan? Gimana kalau posisi kita ditukar? Kamu yang jadi teteh! Setiap hari cuma berdua sama Gendis, mendengar ucapan-ucapannya yang di luar logika? Mengalami peristiwa yang di luar nalar manusia normal. Sanggup nggak kamu??"
"Ha.ha.ha.. Ogah..!! Terima kasih..!! Tapi Aan salut sama teteh. Sanggup ngurus Gendis sendirian. Aan nggak tahu kalau Gendis yang jadi anak Aan, apa Aan bakal kuat mengasuhnya atau tidak."
"Harus kuatlah..!! Anakkan titipan dari Allah. Harus dijaga dan dirawat baik-baik. Bukannya malah dipukul atau ditendang!" Sindirku halus.
Aan tertawa dan mulai menoyor kepalaku.
"Bisa aja nyindirnya!!" Jawab adikku sambil berdiri.
"Aan masuk dulu teh. Jangan sampe anak Aan dibikin takut lagi sama Gendis" ujarnya seraya meninggalkanku sendirian yang masih terbengong di pinggir jalan.
Aku segera mengangkat tubuhku dan mengekor langkah adikku. Aku juga penasaran apa yang sedang putriku dan El lakukan di dalam rumah.
Saat kakiku menapaki ruang tamu, kulihat Gendis dan El sedang bermain hot wheels dan robot-robotan. Mereka tampak akur, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Putriku tampak begitu dewasa, ia begitu memomong El.
Aku dan Aan tersenyum bahagia melihat El dan Gendis yang tampak anteng dan akur.
Setelah cukup lama mereka bermain dan melepas rindu, adikku pamit pulang.
"El, ati-ati. Ada elek di lumah El!" (El hati-hati. Ada jelek di rumah El)
Aan tertegun mendengar ucapan Gendis.
"Emangnya jelek tinggal di rumah om Aan ya mba?"
Gendis menggangukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan adikku.
"Jeleknya bisa tolong disuruh pergi nggak mba? Jangan tinggal di rumah El?"
Kali ini anakku menggelengkan kepalanya.
"Tu lumah elek, apul" (Itu rumah jelek, dapur)
"Sudah, perbanyak saja ibadah di dalam rumah. Stel murotal untuk meminimalisir gangguan mereka. Ingat, kamu punya Allah!!"
Adikku menyengir mendengar ucapanku.
"Terima kasih sudah nasehatin El ya mba. Tolong doain El terus ya mba." Ucap Aan sambil membelai rambut anakku.
"Minta sama Allah, bukan sama Gendis!!" Ketusku dengan wajah masam.
"Kakakku galak nih!!" Gurau Aan.
"Ya iya..!! Kalau memohon sama Allah, masa sama Gendis! Ngaco kamu!!" Bentakku kesal.
Adikku ini paling susah dikasih tahu. Orangnya ngeyel!
Putriku tersenyum lebar memperhatikan pertengkaran kami berdua.
"Om dan El pamit dulu. Kapan-kapan kalau om libur kerja nanti main kemari lagi" ucap Aan sambil membuka pintu, memasuki kendaraannya.
"Bye, mba Gendis" Adikku melambaikan tangan dari dalam kendaraannya.
Gendis meringis, memamerkan dderetan giginya yang putih dan rapi. "Bye El..!!" Lambaian tangannya, mengiringi kepergian sepupunya.
***
Malam ini hawanya terasa sangat berbeda dari biasanya. Aku berusaha memejamkan mata, meresapi heningnya malam. Namun seperti ada sesuatu yang manahanku. Entah kenapa kepalaku rerasa berat malam itu. Ada sesuatu yang selalu membuatku terjaga. Aku gelisah. Perasaanku tidak enak.
Kenapa malam ini begitu sulit bagiku untuk memejamkan mata? Padahal aku sudah teramat lelah dan letih. Tubuhku butuh beristirahat.
Kulihat mata putriku sudah tertutup rapat. Wajahnya terlihat begitu tenang dan damai. Aku membelai lembut rambutnya dan merapihkan poni yang menyentuh kelopak matanya.
"Mimpi indah ya Ndis" bisikku seraya mengecup kening dan kedua pipinya.
Putriku yang sedang tertidur lelap tiba-tiba tersenyum kecil.
Aku ikut tersenyum melihatnya "Sedang mimpi apa Ndis sampai senyam-senyum begitu. Apa Gendis sedang bermimpi indah?" Pikirku geli membayangkan mimpi apa yang dialami anak seusianya.
Kulirik jam yang terpatri indah di dinding kamar. Sambil mendengarkan bunyi detik yang begitu pelan, perlahan kelopak mataku mulai terkulai lemas. Aku mulai didera rasa ngantuk. Baru saja aku akan memasuki alam mimpi, tiba-tiba...
"HUUAA... HUUUAAA...!!" Terdengar jerit dan teriakan dari mulut putriku.
Aku segera terbangun dan melihat Gendis yang sedang mengigau. Dengan mata terpejam, tubuhnya terlihat meronta-ronta. Ia menendang dan memukul kesana kemari. Putriku mengamuk!
Aku segera mengangkat dan menggendong tubuhnya yang semakin terasa berat. Aku mengelus lembut punggungnya, berusaha menenangkan dan membangunkannya dari mimpi buruk yang tengah dialami anakku.
"Ndis..!! Ndisss..!! Ini mama!! Bangun nak!"
Dengan mata terpejam rapat, ia terus menjerit. Menangis sekancang-kencangnya.
Namun aku tak menyerah begitu saja. Aku segera membasahi telapak tanganku dengan air mineral yang selalu tersedia di dalam kamar.
"Bismillah" segera kuusap perlahan tanganku yang basah ke wajah putriku.
Alhamdulillah rencanaku berhasil.
Mata Gendis yang tertutup rapat mulai terbuka sedikit demi sedikit. Wajahnya tampak kebingungan. Tiba-tiba jari telunjuknya menunjuk ke arah plafon kamar berwarna putih terang. Tubuh putriku mengejang, kaku. Bola matanya membeliak ketakutan. Matanya menatap nanar ke arah langit-langit kamar. Bibirnya menjerit dan meraung tanpa henti.
Aku bisa membaca raut ketakutan yang terpancar jelas dari wajahnya.
Ndis..!!" Dekapku erat sambil melantunkan surat Al-Baqarah di telinganya.
"Ya Allah, kenapa lagi putriku? Apa yang sedang ia lihat sampai ketakutan begini?" Aku panik melihat bola matanya berputar melihat ke sana kemari.
"Jangan-jangan kambuh lagi tangisan dan jeritan yang dulu selalu setia menemaniku setiap malam!!" Aku mengusap wajah Gendis agar anakku segera mengalihkan tatapannya dari sesuatu yang tengahh menerornya.
Lengkingan dan teriakannya yang bernada tinggi membuat gendang telingaku sakit. Tangisannya menyayat memecah keheningan malam.
Aku yang masih trauma dengan perilaku Gendis ketika masih bayi, mulai diserang rasa takut dan panik luar biasa. Aku khawatir kalau perilaku Gendis kembali seperti dahulu kala.
Hatiku terus berdoa dan bibirku tetap melantunkan ayat ruqyah dasar di telinganya. Memohon perlindungan kepada Allah.
Alhamdulillah, Allah mendengar doaku. Perlahan anakku mulai tenang. Tatapan matanya kembali normal seperti sedia kala.
Tangisannya perlahan mereda dan kemudian menghilang. Dirinya kembali tenang. Dan anehnya mata putriku kembali terpejam. Ia terlelap, melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Dengkuran halus terdengar dari nafasnya yang terlihat beraturan.
Aku menyipitkan mata. "Kok bisa Gendis yang tadinya menangis histeris langsung tertidur lelap? Seolah seperti tidak pernah terjadi apa-apa."
Namun aku bersyukur, Gendis langsung tertidur pulas.
Saat itu naluriku mengatakan kalau ada yang salah dengan putriku! Ia sudah lama tidak pernah menangis dan menjerit di penghujung malam. Apa yang menyebabkan Gendis menangis? Ia tadi tampak begitu ketakutan. Seperti ada sosok mahluk yang mengganggunya. Namun siapa? Dan kenapa?
Sempat tersirat kalau putriku diganggu oleh mahluk gaib yang tadi pagi ia temui di dapur Umi. Namun segera kubuang jauh-jauh pikiran negatif yang mulai mengepung dalam diri.
Aku harus bersabar. Mudah-mudahan besok pagi, anakku mau menceritakan apa yang malam ini sudah ia lihat dan rasakan.
Tubuh mungilnya segera kuletakkan di atas pembaringan. Aku menatap wajahnya dengan seksama. Memastikan kalau putriku akan tertidur lelap sampai pagi. Kemudian aku membaringkan diri disamping tubuhnya yang terasa hangat.
Dengan nafas tak beraturan, bola mataku memandangi langit-langit kamar dan berusaha memejamkan mata. Tubuhku mulai terasa lemas dan kelopak mataku perlahan menutup, aku mulai menyerah pada rasa kantuk yang mulai mendera.
***
"Ma.. angun! Angun..Agi!!" (Ma, bangun. Bangun. Pagi) Aku merasakan ada tangan mungil menggoyang-goyangkan tubuhku
Aku menguap lebar dan membuka mataku.
"Pagi Ndis, kamu bangun jam berapa?" Sapaku pada Gendis yang sudah terjaga lebih dahulu dari diriku.
"Mama masih ngantuk" ujarku sambil memejamkan mataku kembali.
Gendis yang merasa dicuekin mulai menaiki tubuhku. Ia mencolok dan membuka paksa kelopak mataku yang terkulai lemas.
Akupun menyerah dan memaksa diri kembali membuka mata.
"Apa? Mama masih ngantuk. Semalam Gendis tidurnya tidak nyenyak. Jadi mama cape jagain Ndis."
"Ma.. angun ulu" (ma, bangun dulu) pintanya dengan tatapan memelas.
"Iya, iya.. ini mama sudah bangun. Gendis mau apa?"
"Ma.. alam ada kakak" (Ma, malam ada kakak)
"Kakak? Kakak siapa lagi?" Aku berusaha memulihkan kesadaranku. Jangan sampai aku melantur saat sedang berbicara dengan putriku.
"Kakak umah Mi" (Kakak rumah Umi)
Aku segera terduduk begitu mendengar penjelasannya. Aku begitu tertarik dengan ucapan yang terlontar dari bibirnya. Berarti benar dugaanku kalau semalam anakku diganggu oleh mahluk halus yang mendiami dapur Umi.
"Ngapain semalam kakak kemari?" Tanyaku ingin tahu lebih jauh.
"Au ajak Dis ain ma" (Mau ajak Ndis main ma)
Alisku mengekerut. Iris mataku melihat ke dalam mata anakku. Ia terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Kakaknya pakai baju apa Ndis?"
"White"
Aku bergumam.. "Mukanya cantik atau jelek?"
"Elek ma..!!" (Jelek ma)
"Terus Ndis mau nggak diajak main sama kakak?" Pancingku lebih jauh.
"NOOOO!! Dis antuk! Au obo!" (No! Ndis ngantuk, mau bobo)
Aku tertawa pelan. Pantesan semalam ia mengamuk, ternyata ada yang mau mengajaknya bermain. Namun ditolak mentah-mentah oleh putriku.
"Good" aku mengancungkan jempolku.
"Baru itu anak mama. Kalau sudah malam, jangan mau diajak main ya. Tolong suruh mereka pergi. Ingat pesan mama!"
Gendis tersenyum manis dan memeluk tubuhku.
"Dis ayang mama" (Ndis sayang mama) ujarnya sambil menciumi kedua pipiku.
Aku membalas pelukannya lebih erat. Kukecup hangat kepalanya seraya kubisikkan kalimat "I love you more Ndis"
"Ma, angun yuk. Alan-alan" (ma, bangun yuk. Jalan-jalan)
Ku colek pipinya penuh rasa gemas. Tanpa banyak bicara, aku segera memeluk dan menggendong tubuh Gendis dan kubawa ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Oyee. andi!!" (hore, mandi) pekiknya kegirangan.
Setelah tubuh kami terasa lebih segar dan harum, aku segera membuatkan sarapan untuk putriku. Sambil menonton film kartun kesukaan kami, aku menyuapi bubur kacang hijau kesukaannya.
"Alhamdulillah, Ndis pintar, sarapannya habis. Sekarang waktunya jalan-jalan!!" Teriakku riang sambil berlomba lari dengan Gendis ke pelataran rumah.
Aku segera membuka pintu gerbang dan menapaki jalanan beton sambil bergandengan tangan dengan putriku.
Baru saja berjalan beberapa meter dari pekarangan rumah, Gendis mulai rewel. Dirinya terlihat tidak nyaman.
"Ma, endong ma.. endong" (Ma , gendong ma. Gendong) Rengeknya sambil menjulurkan tangan meminta di gendong.
"Tumben Gendis minta gendong dan tidak mau jalan. Biasanya ia langsung asik berlarian kesana kemari."
Dengan berat hati, aku meluluskan permintaannya. Aku meraihnya, mengangkat tubuh kecil yang padat berisi dan menggendong dengan kedua tangan.
Matanya yang bulat tampak sesekali mencuri pandang ke arah jalan beton. Ia memandang dengan perasaan jijik bercampur rasa geli.
"Hiii... !!" Ucapnya sambil mencibir.
"Olok.. hii..!!" (Jorok. Hii) tatap matanya tanpa berkedip.
"Apa yang jorok Ndis?"
"Tuu.. ma! Agi alan aya ulet" (Tuh ma. Lagi jalan kaya ulet). Ucapnya pelan sambil terus melihat ke jalanan.
"Ulat?? Memangnya ada ulat di jalanan?"
"He-eh!! No..!! No..!! iji maaaa" (No. No, jijik ma) Wajahnya meringis menahan rasa takut sekaligus jijik.
"Apa lagi yang sudah dilihat oleh mata batinnya sehingga tidak mau berjalan kaki" batinku dalam hati.
"Ndis, jalan yuk. Jangan digendong terus. Nanti pinggang mama sakit" aku memelas memohon agar putriku mau berjalan.
"NOO!!" Pekiknya sambil mempererat pelukannya.
Walau sudah kubujuk rayu dengan berbagi macam cara, Gendis tetap menolak untuk berjalan kaki. Ia tetap dengan pendiriannya, ingin tetap digendong sambil mengelilingi kompleks.
Lumayan juga olahraga pagi sambil menggendong tubuh Gendis yang terasa begitu berat. Di usianya yang setahun lebih, bobotnya mencapai enam belas kilo.
Sambil menahan beban yang luar biasa, aku menyeret tubuhku, menapaki jalan. Hangatnya sinar mentari pagi, ditambah berat tubuh Gendis, membuat tubuhku bersimbah keringat. Nafasku mulai ngos-ngosan. Aku tidak kuat. Tenagaku habis, staminaku menyerah. Aku melambaikan bendera putih.
"Ndis, jalan-jalannya sudah dulu ya. Besok pagi baru kita keliling lagi. Sekarang kita pulang ke rumah, mama cape" tatapku memelas.
"Oke..!" Gendis memberikan jempolnya tanda setuju.
"Alhamdulillah" bisikku lega.
Sesampainya di rumah, aku segera menurunkan Gendis. Sejenak aku meluruskan pinggangku, selonjoran di lantai. Pinggang sebelah kiri mulai terasa nyeri luar biasa. Diikuti rasa panas dan ngilu yang mulai menjalar naik ke punggung. Aku mulai diselimuti rasa cemas dan takut. Aku khawatir kalau penyakit yang dulu pernah kuderita kembali menyerangku. Lumpuh!! Ya, dulu aku pernah lumpuh!
Bersambung
Comments (0)