Part. 34
Siapa Kamu
Siapa Kamu
"Namun sepertinya Allah mempunyai rencana yang lain. Semua yang telah putriku lihat begitu terpatri membekas di hatinya. Gendis benar-benar berbeda dengan anak seusianya. Ia ikut merasakan sakit hati yang aku alami. Ternyata penglihatannya kali ini adalah titik balik dari hubungan Gendis dengan ayahnya. Hubungan yang dikemudian hari penuh dengan rasa kecewa, dendam dan amarah.
Keesokan harinya, untuk menghilangkan rasa jenuh dan stress akibat peristiwa yang terjadi kemarin, aku mengajak Gendis berkeliling kompleks perumahan.
"Ndis, temani mama jalan pagi yuk? Nanti kita lihat rabbit di lapangan blok. A" bujukku ke Gendis yang sedang fokus menyusun lego.
Dengan mata berbinar, ia mengganggukkan kepala petanda menyetujui ucapanku.
"Yuk ma, aik cepeda ya" (yuk ma, naik sepeda ya) jawabnya bersemangat. Ia menaruh lego di atas karpet dan secepat kilat berlari ke teras menuju sepeda kesayangannya.
"Ma, uyuan" (ma, buruan) panggilnya ke arahku.
Aku segera menghampiri putriku. Mengangkat tubuhnya dan mendudukkan di sepeda roda tiga berwarna hijau. Dengan hati riang dan tangan mengepal ke udara, Gendis mulai berteriak lantang "GOOO....!!!"
Teriakannya seperti seorang cheerleader yang memberikan semangat kepada tim yang sedang bertanding. Dengan wajah ceria, aku mulai mendorong sepeda Gendis keluar rumah. Kami berjalan-jalan santai mengelilingi kompleks perumahan.
Sesekali wajah Gendis menoleh ke arah rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Ia melambaikan tangan. Dengan ramah, anakku menyapa mereka yang mungkin memanggilnya dari kejauhan.
Seperti biasa, ia akan bertanya tentang sosok yang mungkin saja baru ia lihat atau temui.
"Ma itu ciapa?" Tanya Gendis ketika melewati rumah yang sudah hampir rubuh.
Aku menoleh sekilas melihat ke rumah yang ia tunjuk.
"Itu jin, mahluk ciptaan Allah. Gendis tidak boleh takut sama mereka. Gendis cuma boleh takut sama Allah. Karena Allah yang menciptakan semuanya" nasehatku pada Gendis yang terus berpegangan erat pada stang sepeda.
Walau ia masih berusia setahun, namun sesering mungkin aku memberinya nasehat tentang agama. Aku berusaha memperkuat akidahnya sejak dini, agar pondasi imannya tak tergoyahkan.
"No, ma!! Itu om!" protesnya sambil tersenyum.
"Iya, itu jin yang memakai wujud om."
"Om..!! Om... Dis, alan-alan ulu ama mama!!" (om. om. Ndis jalan-jalan dulu sama mama) Pekiknya sambil melambaikan tangan.
Untung saja saat itu jalanan terlihat sepi. Kalau saat itu ada tetanggaku yang melihat dan mendengar ucapan Gendis, bisa-bisa putriku selain dicap rewel juga dibilang aneh!
Ketika melewati sekolah dasar yang tampak sunyi karena para muridnya sedang belajar di dalam kelas, Gendis mulai berteriak "Ma...!! Cekolah!! Dis au cekolah, NOW!!" (Ma, sekolah. Ndis mau sekolah, Now)
Aku mengusap pucuk kepalanya sambil tersenyum tipis.
"Nanti ya Ndis. Belum saatnya! Tidak ada sekolah yang mau menerima anak berusia satu tahun. Untuk sementara, Gendis belajar di rumah dulu sama mama."
Ia menendang-nendang sadel sepeda, putriku marah karena aku tidak meluluskan permintaannya.
Entah sudah berapa puluh kali, Gendis meminta untuk belajar di sekolah. Terkadang mata kecilnya mengintip dari celah pagar rumah hanya untuk melihat tetanggaku berangkat sekolah. Kemudian ia akan mulai berteriak.. sekolah, sekolah sambil mengambil tas pemberian alm. Eyang yang sengaja kutaruh di ruang tamu.
Gendis.. walau masih berusia satu tahun, namun semangat belajarnya begitu tinggi. Insya Allah untuk selamanya, bukan hanya sekedar saja.
"Dis au cekolah!" (ndis mau sekolah) pekiknya tajam.
"Ndis, coba dengarkan mama baik-baik. Gendis masih kecil, belum boleh sekolah disitu. Yang sabar ya nak." Aku menunjuk ke sekolahan yang baru saja kami lewati.
Anakku merajuk. Bibirnya tampak maju berapa centi ke depan.
"Sabar.. nanti ada saatnya Gendis belajar di sekolah." Bujukku berusaha memberi pengertian.
Namun Gendis tetap pada pendiriannya. Ia mulai merajuk sambil terus meneriakkan kalimat "sekolah" sepanjang perjalanan.
Aku tak menggubris amarahnya. Aku terus mendorong sepeda Gendis menapaki aspal perumahan yang terlihat mulus.
Ketika melewati salah satu rumah yang terlihat begitu megah dan mewah, putriku menoleh dan memandang ke arah rumah tersebut.
"Ma.. Stop!!" Pintanya sambil terus mengamati rumah bercat abu-abu.
Telunjuknya perlahan terangkat dan menunjuk ke atap rumah mewah berlantai tiga.
"Ma, tu apa..?? Iihh ceyeem..!!" (Ma, itu apa. Ih serem) Tuturnya sambil bergidik ngeri.
Aku menghentikan doronganku. Mataku terpaku ke atap rumah tersebut.
"Seram? Memangnya Gendis lihat apa?"
Ia menggelengkan kepala, membuat rambutnya yang ikal ikut bergerak kesana-kemari.
"Gendis takut tidak?"
"No..!!" Jawabnya riang.
"Yang berada di atas atap tidak mengganggu Gendiskan?"
"No ma!! uma uduk, iem. Agi ait kemali" (No ma. cuma duduk, diam lagi melihat kemari)
"Oh.. ya sudah kalau dia nggak menganggu dan tidak bikin Gendis takut"
Baru saja aku membatin dalam hati mengenai sosok yang sedang bertengger di atas atap, tiba-tiba terdengar suara yang membuat bulu kudukku merinding.
"AAAUUU...!! AUUUUUUUU..!!!" Suara lolongan anjing terdengar begitu panjang dari rumah mewah yang ditunjuk Gendis.
Seketika bulu leherku meremang kaget sekaligus takut mendengar lolongan memilukan yang bersahut-sahutan.
Aku menghela nafas berat dan mempercepat langkahku menjauh dari rumah gedong yang berdiri angkuh di tepi jalan.
Gendis mulai tertawa cekikikan. Ia begitu bahagia mendengar lolongan anjing yang meratap pilu. Mungkin di indera pendengarannnya, lolongan yang menyeramkan itu seperti sebuah symphony yang terdengar merdu.
Putriku mulai berdiri dari duduknya, kakinya bertumpu pada pijakan sepeda. Kepalanya terangkat, mendongak ke atas langit. Ia membuka mulutnya dan melolong menirukan suara serigala.
"Aauu... Auuuu.. " suara lolongan pelan terdengar dari bibirnya. Ia tampak begitu menghayati perannya sebagai seekor serigala.
"Ndis jangan begitu! Ayo duduk! Nanti jatuuuh..!!" Bentakku ketakutan.
Gendis menoleh ke arahku dan tersenyum jahil.
"Mama atut" (mama takut) ucapnya sambil tertawa.
"Dasar jahil..!!" Balasku sambil membelai rambutnya yang hitam legam.
"Ma, Dis au adi wolf!" (ma, Gendis mau jadi wolf) Celotehnya riang.
"Heey..!! Nggak boleh bicara begitu. Gendis itu manusia, bukan hewan!"
"Why?"
"Gendis itu anak mama!! Kalau serigala itu hewan. Jangan bilang begitu lagi ya Ndis"
Ia terdiam, mungkin putriku masih bingung bagaimana cara membedakan manusia dan binatang.
Perlahan langkah kakiku mulai memasuki lapangan badminton di Blok. A. Gendis kembali berdiri di atas pijakan sepeda. Wajahnya terlihat antusias dan sumringah saat melihat kelinci yang sedang berlarian di lapangan.
"Ma..!! Look rabbit..!!" Ujarnya sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Iya itu kelincinya, lucu ya. Nggak bisa diem kaya Ndis" sahutku sambil tertawa geli.
"Ma..!! Stop!! Dis au iat rabbit uyu." (Ma, stop. Gendis mau lihat rabbit dulu).
Aku segera menghentikan langkah kakiku. Dengan tidak sabar, Gendis turun dari sepeda dan mulai berlari ke arah lapangan. Matanya mengerjap-ngerjap lucu saat mengamati kelinci yang sedang berlarian dari pinggir lapangan. Sesekali ia berteriak kegirangan ketika salah satu kelinci berlari mendekatinya.
Setelah puas melihat kelinci yang sedang dijemur oleh pemiliknya, Gendis kembali menaiki sepeda dan meminta melanjutkan perjalanan.
"Ma, ewat citu" (ma lewat situ) tunjuk Gendis ke arah gang yang berada di sebelah kiri jalan.
Aku mengikuti arahan putriku. Aku membelokkan sepeda menuju gang yang jalannya tidak terlalu lebar.
"Mumpung masih pagi ini, jadi tidak ada salahnya kalau mencari keringat di Blok.A" pikirku sambil mengamati deretan rumah yang berjejer rapi.
Ada salah satu rumah yang menarik perhatianku. Rumah bercat biru muda yang halamannya dipenuhi tanaman hias. Membuat mata siapapun yang memandangnya merasa bahagia dan nyaman.
Saat sedang mengamati bunga mawar yang sedang merekah, terdengar suara merdu wanita mengucapkan salam dan memanggil namaku "Mama Gendis, sini mampir dulu."
Aku celingukan, berusaha mencari suara yang terdengar sangat familiar di telingaku.
Ketika aku menoleh ke rumah bercat biru muda, kulihat kepala Umi tersembul dari balik pagarnya yang bercat hitam.
"Eeehh.. Umi" mataku berbinar melihat wajah Umi yang selalu terlihat tegas namun meneduhkan hati.
Umi membuka pintu pagar, mempersilahkan aku memasuki kediamannya.
Aku segera menghampiri Umi, dan mencium tangan beliau.
"Rumah Umi disini ya? Kok Ima baru tahu?" Tanyaku sambil tersenyum seperti orang linglung.
"Kan mba Ima tidak pernah keluar rumah. Jadi mana tahu rumah Umi. Ayo masuk, mampir sebentar" pintanya tulus.
Aku mendorong sepeda Gendis memasuki halaman rumah yang tampak begitu tampak asri. Dari dalam rumah terdengar lantunan murotal yang begitu menyejukkan jiwa.
Aku mengucapkan salam dan melangkah memasuki pintu ruang tamu.
Baru saja kakiku menapak di lantai berwarna cream, Gendis langsung melepaskan genggamannya dariku. Ia segera berlari berhamburan menuju ke salah satu ruangan. Seolah-olah seperti ada magnet yang menarik putriku mendekat ke ruangan itu.
Aku yang merasa tak enak hati dengan kelakuan Gendis, segera berusaha mengejar dan melarang anakku menggeratak rumah orang lain seenaknya. Namun tangan Umi segera menghentikan langkah kakiku.
"Biarkan saja mba! Biarkan dede mau ngapain. Saya mau lihat apa yang dede lakukan di dapur."
Ternyata ruangan yang dituju putriku adalah dapur! Dari sekian banyak ruangan di rumah ini, kenapa Gendis malah memilih berlari menuju ke dapur? Ada apa disana?
Dengan isyarat tangan, Umi mengajakku mendatangi ruangan dimana putriku berada.
Saat itu aku melihat Gendis tampak terdiam mematung di ambang pintu dapur. Bahasa tubuhnya tampak ragu untuk melangkah lebih jauh. Matanya yang bening dan tajam berkeliling menelisik ke seluruh sudut ruangan.
Netranya berhenti tepat di arah tangga yang auranya membuatku merasa tidak nyaman. Ia menyipitkan matanya ke tangga yang terbuat dari kayu jati. Tubuhnya terdiam kaku, nampaknya putriku sedang berkomunikasi dengan sosok penunggu di tempat itu. Setelah merasa puas menyapu seluruh penjuru dapur, anakku berbalik badan dan kembali ke ruang tamu.
"Dede sudah selesai lihat-lihatnya?" Tanya Umi dengan raut wajah datar.
Gendis tidak mengidahkan pertanyaan Umi. Ia tampak cuek! Pandangannya fokus menatap ke arah rak buku yang tertata rapi.
"Kamu lihat apa di dapur? Ada temanmu ya?" Umi bertanya kembali ke anakku.
Namun sekali lagi, Gendis tidak menjawab pertanyaan Umi. Jemarinya tampak asik memilah buka yang hendak ia baca. Di mata Gendis, buku merupakan harta karun favoritnya! Sesekali bibirnya bergumam mengucapkan kalimat yang sulit kupahami.
"Memangnya di dapur Umi ada siapa Umm?" Dengan hati-hati aku bertanya pada Umi.
"Itu.. di dapur saya ada temannya dede!"
"Temannya Gendis?" Keningku mengerenyit mendengar jawaban Umi.
"Iya, temannya dede!! Teman yang cuma bisa dilihat oleh matanya dede. Kalau mata orang normal seperti kita ya nggak akan bisa melihatnya!"
"Oowwh" kepalaku manggut-manggut mendengar penjelasan Umi.
"Yang di dapur saya, orangnya iseng mba! Sering banget mindahin perabotan di dapur!" Gerutu Umi dengan wajah masam.
Aku memicingkan mata mendengar penuturan Umi.
"Kok bisa sih Umm? Maksud Ima kan Umi rajin beribadah, di rumah jug selalu terdengar lantunan muroja? Masa mereka masih betah di rumah Umi?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Ya bisa saja mba! Mereka itukan hobinya mengganggu manusia yang beribadah."
Aku terdiam sejenak berusaha mencerna ucapan Umi.
"Kenapa Umi tidak mencoba mengusirnya?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Belum mba. Untuk sementara ini saya biarkan saja dulu. Nanti kalau sudah keterlaluan baru saya usir. Biar nanti di ruqyah syar'i!!" Geramnya sambil menatap ke arah dapur yang catnya mulai tampak kusam.
Aku terdiam berusaha menahan tawa. "Ternyata bukan rumahku saja yang diganggu mereka, namun rumah Umi juga suka diganggu mahluk tak kasat mata. Sepertinya mereka salah memilih target." Tawaku dalam hati.
Umi mengalihkan tatapannya ke arah Gendis yang sedang membolak balik halaman buku fikih. Terlihat binar terpancar dari matanya.
"Tepat tebakan saya."
"Maksud Umi?"
"Mba ingat tidak waktu saat usia dede masih delapan bulan. Dede meminta majalah yang pernah saya bawa untuk mba?"
"Iya Umm, Ima ingat. Majalah Thibun Nabawikan?"
"Betul..! Dari pertama kali saya melihat cara dede memegang buku dan melihat tatapan matanya saat sedang membaca. Saya langsung bilang ke mba kalau daya tangkap dede di atas rata-rata anak seusianya. Sekarang coba mba perhatikan mata dede. Ia tampak begitu fokus membaca semua kalimat di buku yang sedang dipegangnya."
Tampak secercah senyuman dari bibirnya yang tidak pernah tersenyum.
Aku mengikuti perintah Umi. Walau anakku belum bisa membaca tapi Gendis tampak begitu fokus membaca buku yang sedang ia pegang. Gendis begitu menyukai buku, ia tampak tenggelam dalam bacaannya.
"Bola matanya fokus bangetkan mba? Susah loh untuk anak seusia dede bisa fokus melihat tulisan."
"Masa sih Umm?" Sahutku tak percaya.
"Biasanya yang Umi amati, anak seusia dede itu ketika dikasih buku, matanya akan kesana kemari. Tidak bisa fokus. Beda sama dede."
"Alhamdulillah kalau begitu Umm, jadi Ima ada teman membaca di rumah" jawabku sambil tertawa kecil.
"Tolong mba Ima rajin membelikan dede buku bacaan yang bermanfaat. Dan jangan pernah bosan membacakan dede buku cerita. Percuma punya anak pintar kalau orangtuanya tidak bisa mengarahkan kemampuan anaknya. " Saran dari Umi yang mempunyai gelar psikolog begitu membekas di benakku.
"Insya Allah Umm. Ima akan selalu rajin membacakan buku dan mengajak Ndis berdiskusi. Ima akan selalu ingat semua pesan Umi untuk Ima dan Ndis."
Umi menepuk bahuku pelan. "Selalu semangat ya mba!". Ucapnya lirih.
Saat aku sedang asik mengobrol bersama Umi, Gendis menghampiriku. Tampaknya ia mulai merasa jenuh. Ia merengek minta pulang. Akupun segera berpamitan kepada Umi.
Aku mencium tangan Umi dan beliau membelai lembut jilbab yang kupakai. Ia mengecup kepalaku dan berbisik "Yang sabar ya mba dalam mengurus dede. Dampingi dede terus, dengarkan ucapannya! Jangan pernah menyerah. Selalu istiqomah!" Ucapnya sambil menitikkan air mata.
"Insya Allah Umm..!" Hatiku terenyuh mendapat perhatian dan kasih sayang Umi.
Umi yang terkenal tegas, beliau tempatku berkeluh kesah dan meminta saran. Wajah cantiknya selalu terlihat datar dan dingin tanpa ekspresi. Tidak pernah sekalipun ia tertawa ataupun menangis. Namun kali ini aku melihat bulir air mata jatuh dari sudut kelopak matanya.
Aku sejenak terdiam memandang matanya dalam. "Terima kasih ya Umm, karena selalu sayang sama Ima dan Ndis. Selalu ada untuk Ima." Bisikku lirih.
Aku mengucapkan salam, pamit undur diri.
Sambil mendorong sepeda berwarna hijau, aku melangkah pelan meninggalkan pekarangan rumah Umi.
Aku pikir perkenalan Gendis dengan penghuni di dapur Umi tidak akan meninggalkan masalah. Kupikir putriku sudah aman dari gangguan mereka. Namun ternyata dugaanku salah! Mereka masih mengintai putriku dalam kegelapan malam. Mereka menunggu saat aku lengah!!
***
Panas sinar mentari menerpa wajahku. Dengan menggunakan ujung lengan baju, aku menyeka keringat yang mengucur deras dari pelipis. Dengan rasa lelah, aku terus mendorong sepeda Gendis menuju ke rumah.
Dari kejauhan mataku melayang ketika melihat pintu pagarku tampak terbuka lebar. Tampak sebuah kendaraan berwarna hitam terparkir di halamannya.
"Kendaraan milik siapa itu? Dan siapa yang telah membuka pintu pagar? Bukankah ketika aku pergi semua pintu sudah kututup rapat?"
Dengan rasa penasaran, aku mempercepat laju langkahku.
Begitu sampai depan pelataran rumah, terdengar sayup-sayup suara anak kecil tertawa renyah. Suara yang tak begitu asing lagi! Itu suara El, anaknya adikku.
"Ndis, ada El di rumah." Aku menyentuh lembut bahu Gendis.
Gendis menoleh dan tersenyum "El, ma??"
"Iya itu ada suara El sama om Aan lagi di ruang tamu."
Dengan tergesa-gesa, Gendis langsung minta turun dari sepedanya. Tampaknya Ia tidak sabar ingin segera bertemu dengan El, sepupu yang usianya hanya terpaut dua minggu lebih muda darinya.
Setengah berlari, Gendis memasuki pekarangan rumah sambil berteriak memanggil nama El.
"El..!! El..!!" Pekik Gendis sambil berhambur ke dalam rumah.
Aku tersenyum dan mengekor di belakangnya.
Kulihat El tersenyum, berdiri di depan pintu. El menyambut kedatangan Gendis. Tampaknya El juga tak sabar ingin segera bermain dengan putriku.
Mendadak teriakan putriku senyap. Suasana hening. Langkah kaki Gendis terhenti di ambang pintu ruang tamu. Untuk sekian detik, tubuhnya berdiri mematung. Perlahan telunjuknya menunjuk ke wajah El.
"Ciapa kamu?? Apain ke lumah Dis??" (siapa kamu? Ngapain di rumah Gendis) Bentaknya dengan tatapan sinis.
"CIAPA KAMU.....!!!! PELGI...IIIIII!!!!!!" (siapa kamu! Pergi!) Teriaknya memecah keheningan.
El tersentak kaget. Wajahnya mengkerut ketakutan. Ponakanku mulai menangis histeris dan berlari ke adikku.
"Ulang..!! Ulaanng!! Ayah ulang" (Pulang. Pulang. Ayah pulang) Jerit El dalam pelukan ayahnya.
Aku segera menyentuh bahu Gendis yang bergetar menahan marah.
"Ndis, kenapa membentak El? Itukan adiknya Gendis" nasehatku sambil menatap wajahnya yang terlihat begitu galak.
"NOO..!! Itu ukan El!!" (No. Itu bukan El) Mata putriku menghunus tajam ke arah El.
Aku menatap ke arah Aan, berusaha mencoba meminta penjelasan. Namun adikku tampaknya juga bingung dengan perubahan sikap Gendis. Anakku yang biasanya ramah dan sopan, hari ini begitu terlihat galak dan agresif.
"KELUAL...!! NOW..!!" Pekik Gendis disertai jeritan melengking tinggi.
"An, cepat bawa El keluar!!" Pintaku saat melihat situasi yang mulai tidak wajar.
Dengan wajah kebingungan, adikku bergegas menggendong anaknya keluar rumah.
El membenamkan wajahnya dalam pelukan adikku, ia tak berani menatap ke arah Gendis sedetikpun.
Di luar rumah, kudengar El terus menangis ketakutan merengek meminta pulang. El tampak begitu takut dengan Gendis. Begitu pula sebaliknya, putriku tampak membenci El!
"Ada apa ini?" Pikirku mencoba menerka-nerka perilaku aneh Gendis.
Setelah aku berhasil menenangkan Gendis, aku segera berjalan ke luar rumah menghampiri Aan yang terus menenangkan tangisan El.
"An, anakmu kenapa?"
"Tau nih teh, Aan juga bingung."
"Kok teteh ngerasa kalau yang Gendis bentak itu bukan El ya? Tapi seperti ada sesuatu yang mengikuti El?"
Aan mengelus kepala El yang terus meraung-raung minta pulang.
"Entah teh. Tapi memang sudah beberapa hari ini, El bilang ada monster di dapur. El sampai takut kalau diajak ke dapur!"
"Nah kan, benar kata teteh. Jangan-jangan mahluk yang di rumah kamu ngikutin El! Itu yang bikin Gendis marah. Dia nggak suka rumahnya dimasuki mahluk tak diundang!"
"El..!!..El..!!" Teriak Gendis dari dalam rumah. Ia mulai kecarian sepupunya!
Tubuh El bergetar hebat saat mendengar Gendis memanggil namanya.
"Yah, ulang!" Rintih El lirih.
Aku sungguh tidak tega melihat raut wajah ponakan yang aku sayangi. Parasnya yang tampan dan ceria, sekarang terlihat pias ketakutan.
"ELLL... Ayo ain!!" Teriakan Gendis terdengar dari teras.
El semakin membenamkan diri menangis segukan dalam pelukan ayahnya.
Wajah manis putriku muncul dari pintu gerbang yang tidak tertutup. Gendis menatap El dengan sorot mata tajam layaknya predator yang sedang mengintai mangsa. Perlahan ia berjalan mendekat, air wajahnya terlihat begitu tenang. Berbeda dengan El yang terus meraung, menjerit histeris. Tangan-tangan kecil El bergetar. Kehadiran Gendis semakin membuat tubuh kecilnya menggigil takut.
Bersambung
Comments (0)