Baca cerita
Kembalilah
Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Aerish terdiam mendengar jawabanku, mungkin tidak diduga olehnya aku akan menjawab seperti itu. Ia hanya melihatku dengan tatapan yang sangat sedih di saat itu. Dan ya semuanya juga kulakukan karena juga rasa cintaku kepada Cauthelia yang semakin hari semakin dalam kepadanya. Kami hanya berpandang-pandangan satu dan lainnya tanpa ada suara yang tercipta diantara kita.
Tidak ada hal yang membuatku bersedih selain kepergian Cauthelia yang sebentar lagi akan membuat hidupku akan sepi, Aerish, saat ini aku sudah tidak mempedulikan perasaannya setelah apa yang ia lakukan kepada Cauthelia tadi. Sejurus kemudian, ia meminta maaf kepadaku dan kuantarkannya pulang ke rumah pada malam itu.
“Tam, aku minta maaf banget yah masalah tadi,” ujarnya pelan, tertunduk.
“Kan udah aku bilang, kalo minta maaf harusnya sama Elya, bukan sama aku,” ujarku sambil tetap berkonsentrasi mengemudikan E38 ini.
“Iya aku tahu, aku salah,” ujarnya lalu terdiam.
“Terus Nadine sama Lia gimana?” tanyanya.
“Manti aku anterin pulang abis nganterin kamu,” ujarku.
“Janji yah anterin mereka pulang,” ujarnya dengan nada yang cemas.
“Loh kenapa emangnya?” tanyaku heran.
“Aku cuma gak mau, kalo kamu nanti ngelakuin hal yang enggak-enggak sama mereka, terlebih sama Lia,” ujar Aerish dengan nada cemas.
“Emang kenapa sama Elya?” tanyaku penasaran.
“Aku dapet cerita dari Dino sih Tam,” jawabnya singkat.
“Dan kamu percaya?” tanyaku balik, ia hanya mengangguk, entah yakin atau tidak.
“Aku aja udah difitnah beberapa kali sama Dino,” ujarku lalu tertawa kecil, “terus kamu masih percaya gitu sama Dino?” tanyaku dengan nada sedikit mengejek.
“Ya, aku sih gak tahu benernya dimana Tam, cuma Dino pernah bilang, sebenernya Lia itu sering dia liat ke diskotik, katanya sih tempat gaulnya disana Tam,” ujar Aerish serius, aku lalu melihatnya, dan aku sedikit berpikir.
“Kalo ngeliat sikap dan sifatnya Elya, gak mungkin dia sering ke diskotik,” ujarku seraya berpikir, Aerish hanya memandangku, “aku aja dibilang ngehamilin kamu makanya kamu aborsi terus pindah sekolah,” ujarku sambil tertawa, gadis itu hanya memandangku dengan wajah yang sangat merah.
“Tama mau hamilin aku apa?” tanyanya pelan.
Aku sedikit terkejut, “maksud Aerish?” tanyaku tidak mengerti.
“Iya kamu emang mau hamilin aku?” tanyanya lagi.
Aku terdiam dan tersenyum, “pasti mau,” ujarku pelan.
“Heh?” tanyanya sedikit terkejut.
“Lah kalau aku nikahin kamu, masa iya aku gak hamilin kamu,” ujarku lalu tertawa kecil, entah mengapa begitu ringan aku menjawab pertanyaan itu.
“Berarti kamu mau nikahin aku?” tanyanya pelan.
Aku terdiam beberapa saat lalu memandangnya, “kalo kamu berusaha buat ngerubah sikapmu, aku mungkin akan nikahin kamu,” ujarku mengucapkan apa yang muncul di kepalaku saat ini.
“Sikap mana yang kamu gak suka dari aku?” tanyanya sambil menggenggam tanganku yang memegang tuas perseneling yang saat itu sedang menggunakan mode Manumatic.
“Cuma sikap kamu yang tempramen aja, selebihnya gak perlu berubah,” ujarku pasti.
“Jadi karena masalah tadi ya,” ujarnya tertunduk, aku hanya mengangguk mengiyakan.
Seiring dengan laju kendaraan ini, hujan turun lagi membasahi bumi, rintik hujan yang jatuh menimpa windshield mobil ini langsung mengalir saat tuas wiper kutarik. Rumah Aerish memang cukup jauh dari rumahku, jalan menuju ke sana tidak terlalu bagus tetapi tidak terlalu jelek, agak susah untuk mengendarai E38 di sini, tetapi ya aku harus mengantarkannya pulang.
Dan sampailah aku di depan rumahnya, hujan masih turun dari langit, malas rasanya untukku turun dan mengantarkan Aerish ke rumahnya. Tama, mengapa kau tidak mau mengantarkan Aerish turun? Padahal saat pulang naik motor bersama Elya, kau rela berbasah-basahan? Tanyaku dalam hati, entahlah mungkin hatiku yang sudah terpatri kepada Cauthelia saat ini.
“Tam,” panggilnya mengagetkan lamunanku.
“Eh, iya Dek,” ujarku tidak sengaja.
“Tuh kan mikirin Lia?” sungutnya agak kesal kepadaku.
“Maaf Rish, tiba-tiba inget Elya kalo lagi ujan gini,” ujarku lalu menghela napas panjang, dan memang nama Elya sudah benar-benar terpatri di hatiku.
“Tuh kan, apa kata aku, kamu gak bisa jaga perasaan aku,” ujarnya sedikit kesal.
“Iya maaf ya, aku janji gak akan ulangin lagi kok,” ujarku kepadanya, ya aku tahu aku memang bersalah atas kejadian tadi.
“Kalo gitu, acara kita hari ini batal yah soalnya kamu mau nganterin Nadine sama Lia?” tanya gadis itu lesu.
Aku terdiam, lalu aku menatapnya, “reschedule bisa?” tanyaku kepadanya, giliran ia yang terdiam dan tidak menjawab apapun setelah beberapa menit.
“Okay, kita langsung jalan, nganterin Elya-nya nanti aja,” ujarku lalu menekan pedal rem dan bersiap menuju D, tetapi tanganku ditahan.
“Iya deh, kita reschedule Tam, daripada perasaan was-was soalnya ada Elya di rumah kamu,” ujarnya dengan menghela napas panjang.
Setelah itu aku mengantarkannya turun ke rumahnya, dengan kondisi sedikit basah. Setelah itu Aerish mengucapkan salam perpisahannya kepadaku, gadis itu tetap cantik seperti biasanya, dan aku mengakui itu. Tetapi ada hal yang sampai saat ini membuatku sangat kaget, yaitu sikap tempramentalnya yang berawal dari sifatnya yang posesif, tapi sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi, ujarku dalam hati.
Aku bertolak untuk pulang menuju rumahku, dan hujan masih saja mengguyur bumi dengan deras pada malam itu. Aku bergegas untuk pulang, karena aku harus mengantarkan Nadine pulang malam ini. Biarlah Nadine di rumah, ujarku dalam hati, masakannya juga enak siapa tahu ada sarapan enak besok pagi, aku membayangkan apabila Cauthelia dan Nadine menjadi, ah sudahlah aku tampaknya terlalu berlebihan.
Dua puluh dua menit kemudian, aku tiba di rumah, aku pun turun tanpa memarkirkan mobil di garasi. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan tidak ada seorangpun yang menyambutku di dalam sana. Hei, ini baru pukul 2018, mengapa tiba-tiba rumahku menjadi sepi, dan parahnya pintunya tidak dikunci. Aku sedikit bingung, tidak mungkin kan mereka pulang sendiri pada keadaan hujan seperti ini.
“Dek, Nad,” panggilku pelan, aku pun menyusuri rumahku sendiri, “sayang dimana?” panggilku lagi, setelah itu aku putuskan untuk naik ke lantai 2.
“Dek, sayang,” ujarku lalu saat aku tiba di kamarku aku melihat kedua gadis itu tertidur di ranjangku.
Wajah mereka berdua sangat polos. Nadine begitu manis dan cantik. Ia begitu lugu wajahnya saat dengkuran halus terdengar dari bibirnya, sementara Cauthelia juga terlihat manis dan begitu cantik seraya mengerucutkan bibirnya pada saat ia tertidur pulas. Aku tersenyum melihat kedua gadis itu, lalu kuputuskan untuk menutup pintu itu perlahan dan duduk di sofa lantai 1 sambil menonton DVD.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamarku terbuka, aku menebak pasti Elya yang turun dan menghampiriku. Ternyata dugaanku salah, gadis yang saat itu turun adalah Nadine. Ia turun sambil membenahi rambut sepundaknya yang sedikit acak-acakan, dengan mata yang sedikit sayu, ia juga membenahi kacamatanya.
“Tama udah pulang?” tanyanya dengan nada suara yang masih sedikit parau.
“Iya Nad, sekarang aku mau anterin kamu pulang,” ujarku lalu bergegas ingin berdiri.
“Masih ngantuk ah,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitik, Nadine mengapa kau sama saja menggodanya seperti Cauthelia, sejurus kemudian ia duduk di sebelahku dan menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Hei, pulang Nad, udah jam berapa ini?” tanyaku kepadanya, ia lalu menatapku sayu sambil membenahi kacamatanya.
Ia menatap jam di ruang tamu, “masih jam delapan ah, nanti ajah,” ujarnya dengan nada yang sangat menggelitik, aku lalu menghela napas cukup panjang.
“Yaudah, nanti aku anterin ya,” ujarku canggung saat ia mulai mendekap lenganku.
Gadis ini, ya Nadine, entah mengapa perasaanku kepada gadis ini semakin menjadi semenjak ciuman pertamaku dengannya kemarin, entah rasanya seperti ia adalah pengganti Cauthelia saat ia tidak ada. Tama ingat, Nadine bukanlah pelarianmu, ia adalah gadis yang tulus mencintaimu.
“Tama taro ukiran drum dari Nadine di tempat yang bagus, Nadine jadi seneng,” ujarnya mengomentari dimana aku meletakkan ukiran drum darinya di sebuah tempat kaca di kamarku.
“Iya dong Nad, tempat yang bagus buat ukiran yang bagus,” ujarku memujinya.
“Buat orang yang udah bikin Nadine keliatan bagus juga,” ujarnya kepadaku.
Ia makin mendekap erat tanganku, “apaan sih Nad, gak gitu juga sih,” ujarku mengelak.
“Tapi Nadine sayang sama Tama,” ujarnya dengan lembut, “sampai kapanpun rasa itu gak akan pernah hilang dengan apapun Tam,” ujarnya lagi, tersenyum kepadaku.
“Aku bingung, apakah aku sayang sama kamu, tapi entahlah, aku udah punya Cauthelia sekarang,” ujarku pelan, tertunduk.
“Kenapa Tama lebih mengakui Lia ketimbang Aerish?” tanya gadis itu penasaran.
“Soalnya Elya gadis yang tulus, sama kayak Nadine,” ujarku pelan, “dan bodohnya aku gak peka,” ujarku lagi, aku lalu terdiam, suasana menjadi sunyi sesaat.
“Mencintai Tama adalah suatu hal yang cukup buat Nadine,” ujarnya dengan tersenyum, “makanya Nadine gak pernah minta Tama buat bales,” ujarnya lagi.
“Tapi kamu protektif banget Nad, kamu galak sama aku,” ujarku sedikit heran.
“Soalnya Nadine gak mau Tama tahu perasaan Nadine, biar sayang dan cinta itu Nadine yang simpen sendiri, gak untuk dibales,” ujarnya sambil tertunduk.
“Kalau Tama sayang sama Nadine juga gimana?” tanyaku serius.
“Berarti Tama harus mengkhianati Lia,” ujarnya lalu tersenyum.
“Kecuali Lia setuju kalo Tama juga boleh cinta sama Nadine,” ujarnya lalu ia melepaskan dekapannya di tanganku, ia lalu menggenggam tanganku dengan erat, “dua kali Nadine keduluan orang yah Tam,” ujarnya pelan sambil menggenggam erat kedua tanganku.
Deg!
Jantungku langsung berdetak sangat cepat ketika Nadine mengatakan hal tadi kepadaku. Bagaimana mungkin ia bisa tidak terpukul karena sikapku yang kurang peka selama ini, orang yang mencintaiku sejak dahulu, kini akhirnya kusia-siakan, ya hanya ada rasa menyesal yang kini hinggap di hati.
Rasanya aku ingin sekali memiliki kedua gadis itu, tetapi itu tidak mungkin kulakukan, aku tidak setega itu untuk menduakan gadis yang kucintai. Pendekatan kedua gadis ini memang sangat berbeda, sehingga mereka memberikan kesan tersendiri bagiku, orang yang mereka cintai.
“Tam, makasih yah buat semuanya,” ujarnya tiba-tiba setelah hening beberapa saat.
“Makasih buat apaan Nad?” tanyaku sedikit heran.
“Karena Tama aku jadi bisa menjadi orang yang lebih baik,” ujarnya dan tersenyum, ia lalu mendekapku dengan hangat.
“Nadine sayang sama Tama,” ujarnya pelan di telingaku.
“Tama gak tahu perasaan apa Nad,” ujarku yang sebenarnya juga bingung dengan apa yang kurasakan sendiri.
“Tama juga sayang sama Nadine,” ujarku akhirnya.
“Besar harapan Nadine, ya besar banget sama Tama,” ujarnya dengan pelan.
“Sebesar apa Nad?” tanyaku dengan bodoh bertanya hal itu.
“sebesar Betelgeuse yang terlihat dari Bumi, kecil, gak bermakna saat ada Sol di dekat Bumi, tapi jauh di sana Betelgeuse adalah bintang raksasa, perasaan yang besar itu punya Nadine,” ujarnya dengan filosofinya.
“Sebesar itu kah?” tanyaku, aku mulai bisa merasakan kesedihannya.
Ia mendekapku lebih hangat lagi, “sebesar Nadine ingin dinikahi dan melahirkan anak dari Tama,” ujarnya di telingaku, dan sontak saat itu detak jantungku langsung meninggi karena aku baru pertama kali mendengar kata-kata itu keluar dari bibir mungil Nadine.
Tags: baca cerita Kembalilah
Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah
Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah
Chapter 33 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling
Comments (0)