Part. 33
Mengoyak Luka Lama
Mengoyak Luka Lama
"Kulihat Gendis sedang duduk di sudut ruangan dengan memeluk kedua lututnya, anakku menyembunyikan wajah manisnya di sela-sela kaki. Nafasnya terlihat naik turun, tidak beraturan. Awalnya yang kudengar hanyalah isakan yang keluar dari bibirnya yang mungil, namun sekarang isakan itu berubah menjadi tangisan yang menyayat hati.
Aku segera menghampirinya, kusentuh lembut bahunya yang terguncang seperti sedang menangis hebat.
"Ndis... Ndis.. Gendis kenapa?"
Putriku tidak bergeming, ia tak bergerak sama sekali. Postur tubuhnya tetap seperti semula. Ia terus meringkuk di sudut kamar sambil menangis segukan.
Setelah berulang kali aku berusaha mengajaknya berbicara, kepala yang dihiasi mahkota ikal hitam legam itu mulai terangkat perlahan dan mendongak kepadaku.
"MAMAAAAAA.....!!!" Tangisnya pecah.
Tubuh mungilnya berhamburan ke dalam pelukanku.
Aku segera merengkuh tubuhnya dan mendekap erat. Mencoba memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi anakku tercinta.
Jerit histeris memilukan mulai berhasil menerobos keluar dari bibirnya yang sedari tadi terkunci rapat. Gendis terus menangis dalam dekapanku. Meluapkan semua rasa sakit dan sedih yang sedang ia rasakan.
Cukup lama kubiarkan putriku terisak menumpahkan semua lara yang tengah ia rasakan. Aku memejamkan mata, mendekap penuh kasih tubuhnya yang bergetar menahan tangis. Mencoba memberikan kehangatan yang menyeruak dari dalam diri.
Setelah ia puas menumpahkan semua keluh kesah yang begitu menyesakkan dada , perlahan-lahan Gendis mulai melepaskan pelukannya. Ia terdiam sesaat, menoleh dan menatap mataku lekat-lekat..
Aku tercekat melihat tatapan matanya. Ada kesedihan, perasaan takut dan beban yang begitu jelas terpancar dari netranya yang tampak sembab dan memerah. Entah apa yang sudah dilihat atau dirasakan oleh anakku. Saat itu aku melihat jiwa Gendis tampak begitu rapuh dan hancur.
"Maaamaaa..." ucapnya lirih disela isak tangisnya.
Aku memegang kedua pipinya, mengusap lembut setiap bulir air mata yang jatuh dari kelopak matanya yang terlihat sayu.
"Gendis kenapa tiba-tiba menangis? Sini cerita sama mama" bujukku lembut kepada anakku yang masih menangis terisa-isak.
Gendis menundukkan pandangannya. Ia tidak berani menatap mataku. Tampaknya putriku ragu ingin menceritakan apa yang saat ini tengah ia rasakan.
Aku bersimpuh di hadapan anakku. Menggengam erat jemarinya, berusaha membuat dirinya nyaman dan mempercayaiku.
"Sini sayang, ngobrol sama mama. Kan kita sudah janji tidak akan pernah ada rahasia?" Rayuku sambil mengusap rambutnya yang basah bersimbah keringat.
Gendis memalingkan wajahnya, tatapan matanya tampak melihat jauh ke dalam mataku.
Bibirnya bergetar, ia tampak berusaha keras untuk menyampakain isi hatinya kepadaku, Ibunya!
"Ndis, Ndis kenapa?? Ayo ngomong sama mama nak. Tolong jangan bikin mama khawatir." Tatapku teduh penuh cinta.
Terlihat awan mendung masih menggelayuti parasnya yang manis. Matanya yang bulat nampak berkaca-kaca.
"Ma.. mama uyu ceying beyantem cama ayah?"
(mama dulu sering berantem sama ayah) Kedua matanya yang kecil memandangku penuh rasa ingin tahu.
"Gendis kata siapa? Siapa yang bilang mama suka berantem sama ayah? Memang mama dan ayah pernah berantem depan Gendis?"
Ia menggeleng lemah "No..! No..!"
"Terus kenapa Gendis bilang mama suka berantem sama ayah?" Tanyaku lembut.
Gendis menundukkan wajahnya. Mata bulat kecilnya menatap kosong ke lantai. Ia berusaha keras mencari jawaban atas pertanyaan yang kuberikan.
Aku berusaha untuk tetap tenang walau hati kecilku terasa panik luar biasa. Diriku dibuat bertanya-tanya oleh perilaku Gendis. "Apa sebenarnya yang sudah dilihat oleh mata ketiga putriku, sehingga ia menangis seperti ini?"
"Terus Gendis tahu dari mana kalau mama suka berantem sama ayah?"
Anakku terdiam. Hening.
"Dicini ma, dicini !!" Ia menunjuk ke kepalanya.
(disini ma, disini)
"Dis, iat dicini!!" (Gendis lihat disini) Jari telunjuknya tetap menunjuk ke kepalanya.
Tanganku terulur. Mengusap lembut wajahnya.
"Memangnya tadi di kepala Gendis, Ndis melihat mama lagi berantem sama ayah?"
Dengan wajah datar, ia menggangguk pelan.
Jemariku menggengam tangannya dengan erat. Berusaha menguatkan hatinya untuk menceritakan semua penglihatan yang sudah dilihat oleh mata batinnya. Sambil terisak-isak, Gendis kembali melanjutkan ucapannya.
"Alam- alam, mama beyantem cama ayah di dapul...l!!"
(malam-malam, mama berantem sama ayah di dapur)
Aku tertegun. Persendianku terasa lemas mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan.
Jantungku bergemuruh kencang memikirkan apa saja yang sudah dilihat dalam pikirannya.
Jangan- jangan anakku mendapat penglihatan tentang masa laluku dan suamiku! Peristiwa yang sudah aku kubur dalam-dalam. Kejadian yang tidak pernah ingin aku ingat kembali!!!
"Mama ukul ata ayah ampe beldalah..!! Iyakan ma???" (mama mukul mata ayah sampe berdarah. Iyakan ma?) Tatapnya dengan sorot mata yang begitu sulit kupahami.
Mataku memanas mendengar ucapannya. Ternyata tepat dugaanku. Penglihatannya sudah membawa putriku melihat ke masa lalu aku dan ayahnya.
"Mama ekik lehel ayah di dapul...!!"
(mama cekik leher ayah di dapur) ucapnya sambil memperagakan mencekik lehernya sendiri.
Tangisnya kembali pecah. Ia kembali berhambur ke pelukanku.
Sambil menangis tersedu-sedu, Gendis menceritakan kemabali rentetan peristiwa yang sudah ia lihat dalam pikirannya.
"Ayah ga ica afas" (ayah ngga bisa nafas)
"Ayah iem ja di ekik mama" (ayah diem aja dicekik mama)
"Ati mama ingung, iat ayah ga apa-apain" (hati mama bingung, melihat ayah nggak ngapa-ngapain).
"Ndis...!! Ndisssss....!!!! Tolong jangan diteruskan!!" Pekikku tertahan seraya mengelus punggungnya yang masih bergetar menahan isak tangis.
"NOOOO...!!! NOOOOO!!!" Serunya sambil menyentak tanganku.
Matanya menatap ke arahku penuh dendam dan amarah.
"Mama....!! Mama..!!" Jeritnya tertahan. Ia berusaha menahan gejolak yang membuncah di dada.
"Eyus, mama ambil ico, mau nucuk lehel AYAH....!!!!"
(terus mama ambil pisau, mau nusuk leher ayah) Teriaknya histeris.
"Mama ayuh iconya di lehel ayah" (mama menaruh pisaunya di leher ayah) Matanya menatapku, berusaha meminta penjelasan atas apa yang pernah aku lakukan.
"Astagfirullahaladzim...!!!"Aku menutup bibirku dengan kedua tanganku. Berusaha untuk tidak menjerit.
Tubuhku terasa lemas mendengar setiap cerita yang keluar dari bibir merahnya.
Ucapan Gendis bagaikan belati yang menancap tepat di jantungku. Semua kalimat yang terucap dari bibirnya telah mengoyak luka lama di hatiku. Menorehkan kembali luka yang telah lama kusimpan rapat dan berusaha kulupakan.
Mataku terpejam, mengenang kembali peristiwa yang terjadi empat tahun silam. Kejadian yang hampir membuatku menjadi seorang pesakitan!
Putriku.. ia sudah menerawang masa lalu rumah tangga kedua orangtuanya. Peristiwa yang membuat aku melayangkan gugatan cerai ke suamiku.
Ini benar-benar sudah tidak masuk akal! Pada saat peristiwa itu terjadi, anakku belum terlahir ke dunia!! Tidak mungkin juga Gendis mencuri dengar rahasia ini karena aku pribadi tidak pernah mau membahas peristiwa itu dengan suamiku lagi. Namun bagaimana mungkin semua ucapan Gendis benar-benar bisa menceritakan rentetan kejadian yang terjadi di malam terkutuk itu!
"A-apa putriku sudah melihat semuanya?? Kejadian yang terjadi malam itu ??" Jeritku dalam hati.
"Ndis.. Ndis.. mama mohon tolong lihat ke mama!! Tolong lihat mata mama" Pintaku dengan bibir bergetar ketakutan.
Ia menatapku. Menelisik berusaha mencari tahu kebenaran dari penglihatannya.
Nafasku memburu berusaha menahan air mata yang siap tumpah ruah kapanpun. Ini adalah hal yang paling kutakutkan! Anakku mendapat penglihatan yang semestinya tidak boleh ia lihat.
"Etulkan, mama, ayah elantem?"
(Betulkan, mama, ayah berantem)
Lagi-lagi aku hanya terpaku mendengar pertanyaannya.
"Ayah cakitin ati mama kan...??" (ayah sakitin hati mama kan) Tanyanya dengan tatapan kosong.
"Ayah udah celing ikin mama angiiiissss...!!!!"
(ayah sudah sering bikin mama nangis) Ucapnya dengan bibir yang bergetar hebat.
"Mama cedih...!!" (mama sedih) Tatapnya penuh empati ke arahku.
"Ati mama cakit...!!! Mama au angiiissss api ga bica...!!! ( hati mama sakit. Mama mau nangis tapi mama nggak bisa)
"Mama angis dicini!" (mama nangis disini) tunjuknya tepat ke dada.
Tangis putriku kembali meledak. Dengan nafas tersengal-sengal ia tampak begitu sulit untuk berbicara.
Aku segera merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Pertahananku luluh lantak. Tangisanku pecah! Dadaku terasa sesak dan sakit. Luka yang belum juga pulih, kini kembali menganga lebar.
Batinku terasa perih mendengar semua ucapannya. Jiwaku memberontak dan tidak menerima kalau anakku harus melihat kejadian masa lalu yang begitu menyakiti perasaannya!!
"Ya Rabb, mengapa begitu pedih yang kurasakan?" Bulir kristal bening mulai menumpah ruah dari kelopak mata.
Hatiku miris, Gendis masih terlalu kecil untuk melihat kejadian itu! Peristiwa yang seharusnya tidak boleh ia ketahui!! Seharusnya mata polosnya hanya untuk melihat hal-hal yang yang indah! Bukan malah sebaliknya!! Rasa sakit dihati perlahan-lahan berubah menjadi perasaan kecewa dan marah.
Apa saat itu aku menghujat Penciptaku karena sudah memberi ijin Gendis untuk melihat masa laluku?? Jawabannya TIDAK!!
Saat itu, aku begitu membenci diriku sendiri dan suamiku! Seandainya aku bisa memutar balikkan waktu. Aku ingin kembali ke malam itu! Malam dimana seharusnya aku bisa lebih mengendalikan emosi. Seandainya saat itu aku bisa menahan diri, mungkin hati Gendis tidak akan terluka seperti ini.
Ruangan sunyi menjadi saksi bisu tangisan aku dan putriku. Aku berusaha menangkan diriku dan tangisan Gendis yang semakin menjadi-jadi. "Ndis.. sesakit itukah yang saat ini tengah engkau rasakan?
"Ya Allah.. kenapa Engkau memberi penglihatan masa lalu ini ke putriku?? Apa tujuan-Mu sebenarnya?? Kasihan anakku....!!!" Jeritku dalam hati.
Karena keegoisan aku dan pasanganku, kini putriku juga yang harus menanggung beban deritanya. Merasakan rasa sakit yang pernah aku rasakan.
Otakku terasa penuh sesak, rasanya aku ingin berteriak dan menjerit sekeras-kerasnya mengeluarkan semua beban yang membelenggu. Begitu banyak luka terpendam di dalam hati yang saat itu siap meledak.
"Ma.....!!" Desisnya lirih.
Rahangku mengatup keras dan rapat Aku tak menjawab ucapan Gendis. Aku terus menangis dalam hati. Sakit, sedih... hanya itu yang aku rasakan. Rasanya tubuhku membeku, mati rasa.
"Ma.... !!!!" ucapnya kembali sambil menarik bajuku yang basah bermandikan keringat dan air mata.
Aku menyeka bulir kristal di ujung kelopak mataku dan memberanikan diri menatap wajahnya yang bulat.
"A-apa??" Jawabku dengan nafas tersengal-sengal.
"Mama ga inta ayah???"
(mama nggak cinta ayah) .
"Hey... Gendis bicara apa?"
"Mama ga ayang ayah tan??" (mama nggak sayang ayah kan) Tanyanya sambil menaruh kedua tangannya di pipiku.
"Ndis.. tolong jangan bicara begitu" tatapku nanar. Kepalaku mulai berkunang-kunang mendengar semua kenyataan yang meluncur deras dari bibirnya.
Anakku menggelengkan kepala dan mulai menangis.
"Mama ga cayang ayah..!!" (Mama nggak sayang ayah) Tatapnya mengiba.
"Mama acih atit ati..!!" (Mama masih sakit hati) Ujarnya sambil memegang dadanya.
Aku menatap tak berdaya ke arah putriku
Segera kuraih kedua jemarinya yang terasa halus dan lembut. Kuciumi tangan mungil itu sambil terus memohon maaf berulang-ulang.
"Maafin mama ya nak, maaf...!! Tolong maafin mamamu yang bodoh dan penuh dosa ini!" Hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan.
"Ma-ma..!! Ma-ma Dis..!!" isaknya dengan nafas tersengal-sengal.
"I-iya Ndis, kenapa sayang?" Lidahku kelu. Aku kehabisan kata-kata.
"Ma, dicini mama ada ciapa?" (Ma, disini mama ada siapa) Tangannya yang terasa dingin menyentuh dadaku.
Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan kubuka mataku dan memberanikan diri menatap ke dalam netra putriku.
Kutaruh telapak tanganku di atas tangannya yang masih bertumpu di dadaku. Aku ingin Gendis ikut merasakan semua ucapanku. Kalimat tulus dari seorang ibu yang begitu mencintai putrinya.
"Di hati mama ada Gendis! Gendis anaknya mama! Gendis cintanya mama!! Gendis yang sudah mama tunggu selama hampir sepuluh tahun!" Ucapku sungguh-sungguh.
"Angan inggain Dis ya Ma"
(Jangan tinggalin Gendis ya Ma)
Aku terkejut mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin putriku satu-satunya bisa mempunyai pikiran seperti itu!
"Ndis..! Tolong dengerin ucapan mama. Mama sayang Gendis..!! Mama cinta Gendis..!! Gendis itu harta dan nyawanya mama! Mama nggak akan pernah meninggalkan Gendis! Mama janji!! Hati mama selamanya hanya untuk Gendis!! Itu saja yang harus Gendis pahami oke!!!" Mataku membulat besar dan memerah akibat terus menangis.
"Ayah celing ikin mama angiiiiiss"
(ayah sering bikin mama nangis)
"Dis ga cayang ayah..!! Ayaahh aat...!!"
(Ndis nggak sayang ayah. Ayah jahat)
Pikiranku buntu. Aku benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya ke putriku? Aku menutup kelopak mataku. Hatiku seperti teriris-iris mendengar setiap kalimat yang terucap dari bibirnya yang mungil.
"AAAAAAAAAATTTTTTTT....!!! Jeritnya histeris.
"Ndis..!! Jangan bilang begitu! Gendis harus sayang sama ayah" Aku berusaha sekuat mungkin meredam emosi anakku.
"NOOO...!!" Teriaknya dengan nada membentak.
"Dis enci ayah" (Gendis benci ayah)
"Ga ada ayah dicini...!!" (Nggak ada ayah disini) Ia menunjuk ke dadanya.
"Mama, oongin Dis!!" (Mama Bohongin Gendis) Tatapnya sinis.
Aku terdiam dengan sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Kerongkonganku rasanya tercekat. Aku mulai kesulitan bernafas karena diserang rasa panik.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" Aku benar-benar dibuat kebingungan dengan semua kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Saat itu pikiranku buntu. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana seharusnya sikapku dalam menyikapi semua perkataan Gendis? Ia hanyalah seorang anak kecil yang belum paham apa-apa. Aku tidak ingin penglihatannya kali ini membuat mental putriku rusak.
Aku hanya ingin ia tumbuh layaknya seperti anak-anak kecil lainnya. Tumbuh dengan penuh rasa kasih sayang. Hidup bahagia tanpa menanggung beban. Tanpa penglihatan yang menyiksa batin dan pikirannya.
"Tuhan.. Aku tidak tahu apa rencana besar-Mu untuk putriku. Mengapa Engkau memberikan anugerah kepadanya berupa penglihatan ini. Sungguh hamba tidak megetahui semua rahasia besar-Mu. Namun aku mohon, jangan biarkan anakku menderita dengan semua kelebihan yang telah Engkau berikan. Hamba tidak sanggup melihatnya menangis. Melihatnya merasakan sakit yang juga aku rasakan. Aku mohon, janganlah Engkau limpahkan semua kesalahanku dan suamiku ke anakku! Apakah hamba bersalah jika meminta hal ini kepadaMu?" Jeritku dalam doa. Berharap Sang Pencipta mau mendengar doaku.
"Maa...!! Mama cayang Dis??" (mama sayang Gendis?)
Aku merundukkan tubuhku dan mencium lembut keningnya. Kutatap dalam-dalam kedua matanya yang bening.
"Sayang banget Ndis! Tolong jangan pernah ragukan rasa sayang mama ke Gendis...!!" Ucapku dengan mataku berkaca-kaca.
"Dis uga ayang mama" (Ndis juga sayang mama) peluknya erat ke tubuhku.
Aku membalas pelukannya, seolah tak ingin berpisah sedetikpun dengan putriku.
"Mama mohon, tolong jangan pernah jauh dari mama. Jangan pernah tinggalin mama. Gendis itu segalanya buat mama" bisikku lirih di telinganya.
Seandainya diijinkan, aku ingin hidup lebih lama lagi agar bisa menemani Gendis dalam merajut semua mimpi-mimpinya. Mendampinginya dalam hari-hari penuh suka maupun duka. Dan selagi aku hidup, takkan kubiarkan siapapun menyakiti dirinya!
"Selamanya.. iya selamanya mama akan melindungimu. Dan mama berjanji, hati mama cuma untuk Ndis." Ucapku tulus.
***
Mungkin ada diantara pembaca yang berpikir sangat menyenangkan dan membanggakan jika memiliki anak seperti Gendis. Jika ditanya apa aku bangga memiliki anak seperti Gendis? Tentu saja Ya!
Tetapi jika aku ditanya, apa aku bangga dengan kemampuan yang dimilikinya? Dengan tegas aku akan menjawab Tidak! Mengapa? Karena bagiku ini seperti beban berat yang harus dipikulnya seorang diri.
Kemampuannya itu bagaikan pisau bermata dua. Jika tidak diarahkan dengan baik akan melukai dirinya sendiri, bahkan orang lain. Apalagi untuk aku sebagai orang terdekatnya. Jika aku tidak bisa memahami apa yang sudah ia lihat atau apa yang tengah ia rasakan, maka itu bisa berdampak buruk bagi psikologis putriku.
Contohnya kejadian yang terjadi hari ini. Anakku mendapat penglihatan tentang masa lalu orangtuanya yang penuh pertikaian dan kekerasan. Bukankah itu bisa memberi sisi negatif ke dirinya? Bisa mengguncang jiwa dan membuatnya trauma? Apalagi saat itu usia Gendis masih tergolong belia, ia berusia satu tahun.
Namun aku berusaha sekuat tenaga untuk selalu mengajaknya berbicara, berdiskusi tentang apa yang ia lihat, rasakan. Berusaha memberikan pemahaman sesuai kapasitasnya sebagai anak kecil. Dan jangan pernah lelah terus mencari tahu dan membaca ilmu parenting dalam mendidik anak indigo.
"Sisanya serahkan ke Sang Maha Kuasa. Karena Pencipta mendesain mahluknya sedemikian rupa bukan tanpa maksud dan tujuan tertentu." (Mas Yus- DMI)
***
Setelah kelelahan karena menangis terus menerus, akhirnya Gendis pun tertidur lelap. Mungkin energinya sudah terkuras habis karena penglihatannya yang begitu menguras emosi.
Aku menimbang ponsel di tanganku. Seolah sedang menimbang-nimbang pikiranku sendiri. Tanganku bergerak ragu menyentuh layar ponsel, memikirkan pesan apa yang harus kukirimkan ke suamiku.
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi. Tentang penglihatan Gendis, pertengkaran kami! Semuanya aku ceritakan! Tak ada yang terlewatkan sedikitpun. Hatiku penasaran, ingin mengetahui reaksi suamiku.
Lama kutunggu balasan pesan yang ku kirimkan, namun tak kunjung juga kuterima. Nampaknya suamiku sibuk sehingga tidak sempat untuk mengecek ponselnya.
"Tiingg" akhirnya tampak juga balasan darinya.
Suamiku nampak terkejut ketika kubeberkan semua ucapan putrinya.
"Tolong maafkan semua kesalahan mas. Maaf" hanya kalimat itu yang aku terima.
Ia meminta maaf atas semua perbuatan dan kelakuannya yang sudah membuat putrinya sakit hati.
Emosiku terpancing. Aku mencaci maki suamiku lewat pesan yang kukirim! Aku menyalahkan perilakunya! Sendainya ia tidak pernah macam-macam, aku juga tidak akan pernah berbuat sekejam itu kepada dirinya. Sekarang putriku yang harus menanggungnya. Ia ikut merasakan apa yang juga kurasakan.
Hatiku terbawa arus emosi tak terkendali.
"Ma tolong beri pengertian ke Gendis. Mas tidak mau apa yang telah ia lihat, membuat Ndis membenci dan menaruh rasa dendam ke mas. Tolong bantu mas ya."
Aku terdiam bersama lamunan yang tak ingin aku tinggalkan.
"Haruskah aku menuruti permohonan suamiku? Bukankah semua masalah ini timbul karena kelakuannya sendiri?"
Aku memijit pelipis dan bahuku yang terasa tegang
"Masa bodoh ah, itu urusanmu dan Gendis! Bukan urusanku!" Gerutuku dalam hati.
Aku hanya bisa berdoa semoga Gendis dengan cepat dapat melupakan apa yang telah ia lihat. Bukankah anak kecil itu pemaaf? Mereka dengan mudahnya dapat segera melupakan semua yang telah mereka lihat?
Namun sepertinya Allah mempunyai rencana yang lain. Semua yang telah putriku lihat begitu terpatri membekas di hatinya. Gendis benar-benar berbeda dengan anak seusianya. Ia ikut merasakan sakit hati yang aku alami. Ternyata penglihatannya kali ini adalah titik balik dari hubungan Gendis dengan ayahnya. Hubungan yang dikemudian hari penuh dengan rasa kecewa, dendam dan amarah.
Bersambung
Comments (0)