Baca cerita
Kembalilah
Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia terbaru di Storytelling Indo. Cerita
Kembalilah
bahasa Indonesia selalu update di Storytelling Indo. Jangan lupa membaca update cerita lainnya ya. Daftar koleksi cerita Storytelling Indo ada di menu Daftar Cerita.
Ketiga gadis yang telah memberikanku banyak arti kehidupan kini sudah berada di dekatku. Tetapi perbedaan mereka tetap terlihat sangat kontras antara satu dan lainnya. Saat piring sudah dibalik, Cauthelia yang pertama mengambilkanku makanan tersebut tanpa kuminta, hal itu membuat kedua gadis yang lainnya memandang Cauthelia dengan pandangan yang berbeda.
Nadine terlihat agak sedih, sementara Aerish memandang Cauthelia dengan sinis, dan aku hanya terdiam dan memperhatikan perang dingin di antara mereka. Kami memulai makan malam ini, ya makan malam yang seharusnya hanya untuk kami berdua, aku dan Cauthelia, tetapi kini kami malah makan malam berempat.
Setelah selesai makan malam, Cauthelia tetap dengan tulus merapikan piring dan gelas sisa makan malam tadi dan membawanya ke belakang tanpa diminta olehku. Sejurus kemudian Nadine menyusulnya menuju ke dapur, dan saat aku ingin menuju ke dapur, tangan kiriku ditahan oleh Aerish, ia menggelengkan kepalanya.
“Jangan ke dapur, aku mohon,” ujar Aerish dengan wajah yang penuh harap.
Sejenak, aku terdiam, “kenapa emangnya?”
“Kamu itu pacara aku sekarang Tam, please jangan deket sama Lia lagi,” ujarnya, aku lalu memandangnya dan sedikit menghela napas, ya secara teori dan teknis, aku adalah kekasih Aerish saat ini.
“Sebentar lagi Elya pergi, aku cuma pengen minta waktu sama dia,” ujarku.
Gadis itu menggeleng, “gak boleh sedikitpun, aku minta ngertiin perasaan aku ya Tam,” pintanya lagi dengan wajah yang penuh harap.
“Jadi gak boleh?” tanyaku sambil menghela napas.
Ia menggeleng pelan, “aku minta kamu jangan ketemuan sama Lia dulu, biarin dia pergi,” ujarnya.
Aku terdiam, “mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan pada hari-hari terakhirku bersama Elya?” Pikiranku mulai berkecamuk saat ini. Aku memandang Aerish sementara ia tersenyum di balik sedihnya, aku mengerti ia memang bisa saja bersedih karena kedekatanku dengan Cauthelia, ia cemburu, itu yang kurasakan.
Lima menit kemudian, keluarnya Cauthelia dan Nadine dari dapur mereka langsung menghampiriku. Cauthelia tersenyum kepadaku, aku pun membalas senyumannya. Tetapi Aerish memergokiku tengah tersenyum kepada Cauthelia, ia lalu mencubit ringan lenganku, betapa possessive-nya Aerish.
“Lia, aku bisa minta tolong gak?” tanya Aerish kepada gadis itu.
“Iya Kak, minta tolong apaan?” tanyanya dengan tersenyum.
“Bisa enggak kamu gak deketin Tama lagi?” tanyanya langsung, headshot.
Cauthelia sedikit terkejut wajahnya langsung berubah seketika, “kenapa gak boleh?” tanya Cauthelia dengan agak sedih.
“Tama sekarang udah jadi pacar aku, kalo Lia tetep deketin Tama, kamu bisa ngerusak hubungan aku sama Tama,” ujarnya dengan segala filosofinya.
“Kak Tama itu segalanya buat aku Kak,” ujar Cauthelia langsung kepada Aerish.
“Loh maksudnya?” tanya Aerish tidak terima.
“Kakak boleh jadiin Kak Tama sebagai pacar Kakak, tapi hati aku tetep punya Kak Tama,” ujarnya dengan tersenyum.
“Kok kamu begitu Lia?” tanya Aerish ia sangat sinis melihat gadis itu.
Cauthelia lalu duduk di sebelahku, “ya terserah Kak Aerish, kan aku udah bilang, mau Kakak pacaran sama Kak Tama sampai nikahpun, aku gak peduli, aku akan tetap jadiin Kak Tama nama yang terindah di hati aku,” ujar Cauthelia lalu memandangku dengan wajah yang sangat merah.
“Banyak hal yang udah kita lakuin di 5 hari ini, dan aku bersyukur bisa ketemu Kak Tama,” ujar Cauthelia, ia tersenyum dalam sedihnya.
Cauthelia hanya menggeleng ringan, “gak mau, aku gak tahu apakah aku bisa ketemu Kak Tama lagi ato enggak abis ini,” ujar Cauthelia membela diri, “aku mau habisin sisa 3 hari ini sama Kak Tama, suka ato enggak suka Kak Aerish sama aku,” ujar Cauthelia, ia malah menggenggam tanganku, sejurus kemudian Aerish memandang Cauthelia dengan tidak percaya.
“Kalo aku gak bolehin Tama gimana?” tanya Aerish kepada Cauthelia, tetapi ia tidak berusaha melepaskan genggaman tangan Cauthelia yang kini semakin erat.
“Kalo begitu biar Kak Tama yang jawab,” ujar Cauthelia dan memandangku.
Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa, ini adalah situasi yang cukup genting, aku tidak dapat mengambil keputusan dalam tekanan seberat ini. Sebenarnya hatiku mengatakan, aku ingin sekali bersama Cauthelia saja, tidak perlu ada Aerish untuk 3 hari ke depan tidak masalah. Tetapi inilah kenyataan yang harus kuhadapi, aku hanya memandang perlahan ke mata Aerish dan juga Cauthelia bergantian.
“Kalo menurut aku mendingan Tama tetep sama aja sama Lia, kayak biasanya,” ujar Nadine tiba-tiba, aku memandangnya, ia tersenyum kepadaku.
“Kan udah aku bilang Rish, Lia sama Tama itu saling memiliki, mereka itu lebih dari sekadar pacar,” ujar Nadine lalu semuanya terdiam.
“Tapi aku gak suka kamu deketin Tama, ngerti gak!” ujar Aerish ia lalu membentak Cauthelia.
Aku hanya bisa menghela napas dan berusaha menenangkan Aerish, “udah Rish, gak perlu begitu, lagian emang kenyataannya aku gak bisa jauh dari Elya,” ujarku kepadanya, wajah Cauthelia memerah sesaat setelah aku mengatakan itu.
“Sekarang apa yang bisa aku lakuin Kak Aerish?” ujar Cauthelia.
“Aku butuh Kak Tama, seluruh tubuh dan jiwa aku butuh Kak Tama, lebih dari apa yang pernah orang duga Kak,” ujar Cauthelia.
“Maksud loe seluruh tubuh?” tanya Aerish dengan nada tinggi.
“Untuk hal yang gak pernah Kak Aerish tahu,” ujar Cauthelia ia pun menunduk.
“Loe jangan macem ***l** deh!” bentak Aerish, aku sangat kaget ia seperti bukanlah Aerish yang aku kenal.
“Jangan sembarangan ngomong Kak,” ujar Cauthelia pelan tapi nadanya cukup menyakitkan, “mungkin aku emang ***l** tapi khusus Kak Tama, karena Kak Tama adalah segalanya buat aku,” ujarnya dan memandang Aerish.
Aerish tiba-tiba berdiri ia lalu dengan secepat kilat menghampiri Cauthelia dan menamparnya dua kali. Aku sangat terkejut, ingin rasanya kutampar balik Aerish saat itu, tetapi apa dayaku saat ini, aku bukanlah laki-laki yang bisa bersikap kasar kepada seorang gadis, aku hanya bisa menahan tangan Aerish saat itu.
“Rish, sekali lagi kamu begini, aku minta putus,” ujarku tegas kepada gadis itu.
Ia hanya memandangku dengan terkejut, “tuh kan Tama belain Lia lagi, ngertiin perasaan aku kenapa,” ujarnya.
“Dan kamu juga harus ngertiin perasaan Elya yang sebentar lagi pindah,” ujarku tidak mau kalah, Aerish terdiam melihatku membela Cauthelia, sementara Cauthelia hanya memegang pipinya yang merah akibat tamparan Aerish dengan air mata yang tergenang.
“Nad, bisa pisahin Elya dulu enggak, tolong bawa ke kamar aku ya,” pintaku kepada Nadine, gadis itu mengangguk setuju.
Aerish langsung melemaskan tubuhnya ia mendekapku dengan sangat erat, entah apa maksud gadis ini, apakah karena ia merasa bersalah, ataukah karena sikapnya dia yang posesif kepadaku?
Entahlah.
Wajar baginya untuk berlaku seperti itu, ya possessive dan cemburu, tetapi untuk menampar Elya, itu sungguh sudah sangat keterlaluan.
Ia mendekapku sangat erat, seakan tidak ingin dipisahkan dariku lagi, “Aerish apakah itu sisi lain dari dirimu?” Aku tidak pernah tahu bahwa ia adalah gadis yang sangat tempramen, padahal Elya tidak bereaksi banyak, ujarku dalam hati. Setelah sekian lama aku menyudahi dekapannya kepadaku.
“Tam, maafin aku yah,” ujarnya pelan.
“Buat masalah apa?” tanyaku, aku mengerti apa yang ia sesalkan.
“Masalah Lia, aku bener-bener kesel, gak bisa ngeliat kamu sama cewek laen,” ujar Aerish pelan, ia menyesal.
“Kamu gak salah sama aku, kamu salahnya sama Elya,” ujarku.
“Bisa enggak gak panggil dia Elya?” pinta gadis itu dengan nada yang sedikit sinis.
“Loh katanya kamu minta maaf sama aku, tapi kenapa pas aku bilang Elya gak boleh?” tanyaku keheranan.
Ia terdiam cukup lama, “karena aku cemburu,” ujarnya pelan.
“Tapi kamu gak boleh maen asal tampar aja Rish,” ujarku menasehati, “biar gimanapun Elya juga punya perasaan, dia juga cewek sama kayak kamu,” ujarku.
“Tapi tetep aku gak suka sama Lia,” ujarnya dengan wajah yang terlihat berbeda.
“Alasannya?” tanyaku singkat.
“Soalnya Lia punya segala sesuatu yang aku gak punya, dan aku envy,” ujarnya pelan.
Aku tersenyum, “tapi itu bukanlah alasan kamu buat benci sama Elya kan?” tanyaku, ia lalu tertunduk.
Aku lalu berinisiatif untuk menuju ke kamarku sendiri, saat aku menuju ke sana, wajah Aerish berubah, ada wajah kesal dan tidak suka tampak di setiap senti raut wajahnya. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi, aku tetap menghampiri Cauthelia karena memang menurutku gadis itulah yang saat ini mengisi hatiku secara penuh, tunggu tidak penuh, hanya satu-per-dua.
“Dek,” panggilku seraya kubuka pintu kamar tersebut.
“Iyah Kak,” jawabnya dengan nada yang cukup menggelitik, kumohon jangan mulai lagi.
“Duh, Lia jangan mendesah gitu dong, nanti Tama berpikiran macem-macem lagi,” ujar Nadine lalu tertawa kecil.
Lalu Cauthelia pun tertawa, “gak lah Kak Tama sih lurus orangnya, beda sama Dino,” ujar Cauthelia.
“Dino itu ampun deh, aku gak bisa bilang deh masalah dia,” ujar Nadine seakan malas untuk berbicara.
“Pasti masalah karena bokapnya pejabat ya?” tanyaku, Nadine mengangguk.
“Pejabat apaan sih?” tanya Cauthelia penasaran.
“Entahlah, kayaknya anggota DPRD,” ujarku menambahkan.
“Udah lah gak usah dipikirin,” ujar Nadine lalu ia tertawa.
“Okay, Dede baik-baik aja kan, Kakak turun dulu yah,” ujarku lalu tersenyum.
Cauthelia lalu menahan tanganku, “inget Kak, gimanapun Kakak masinisnya, kita itu cewek cuma lokomotif, jadi Kakak harus kendaliin lokomotif itu,” ujar Cauthelia lalu tersenyum, aku mengangguk mengerti.
Aku pun keluar dari kamarku, ternyata Aerish sudah menunggu di depan pintu kamarku tersebut, wajahnya tampak sangat kesal, entah apa yang ia pikirkan, ia langsung saja masuk ke dalam kamarku dan langsung menghampiri Cauthelia, dan sekali lagi ia menampar gadis itu.
“Jaga omongan loe ya gendut!” bentak Aerish.
“Ada apa ini?” pikirku singkat, saat ia ingin menampar kembali Cauthelia, aku menahan tangannya, “apa-apaan sih Rish!” bentakku kepada gadis itu, aku tidak tahan dengan perlakuan Aerish kepada Cauthelia.
“Kamu itu harusnya jangan ikutin apa kata dia, kamu itu harus jadi diri kamu yang dulu Tam,” pinta Aerish.
“Diri aku yang mana?” tanyaku kepadanya.
“Diri aku yang ngemis-ngemis minta cinta sama kamu?” tanyaku tinggi.
“Diri aku yang ngemis-ngemis supaya SMS aku dibales?” tanyaku lagi.
“Diri aku yang ada di bawah kamu?”
“Terus setelah sekarang aku terima kamu, kamu mau tinggalin aku gitu aja?” tanya Aerish dengan nada yang tinggi.
Aku terdiam, “itu bisa aja kejadian kalo kamu begini terus,” ujarku dan memandangnya dengan tajam.
“Tam, siapapun yang memulai gak berhak mengakhiri kan, itu kata-kata kamu,” ujarnya mengingatkanku.
Aku mengangguk, “iya aku paham, sekarang apa mau kamu?” tanyaku balik kepadanya.
“Aku pengen kamu tetep jadi pacar aku dan aku pengen kamu jauhin Elya,” ujarnya dengan tinggi.
Aku menggeleng, “kamu lokomotif, aku masinis, kendali traksi sama rem ada di tanganku,” ujarku lalu menggenggam tangan Cauthelia yang saat ini ada di sampingku.
“Aku mau dalam 3 hari belakangan ini, aku tetap anter jemput terus dateng ke kelas Elya seperti biasa, dan aku juga mau tiap hari Elya masakin makan siang untuk aku,” ujarku dengan pasti, wajah Cauthelia memerah saat aku mengatakan itu.
“Definetely, Elya ada jauh di dalam hatiku, meski hanya sebentar,” ujarku dan menggenggam tangan gadis itu lebih erat lagi.
Tags: baca cerita Kembalilah
Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) bahasa Indonesia, cerpen Kembalilah
Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) bahasa cerpen Indonesia, baca Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) online, Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) baru ceritaku, Kembalilah
Chapter 32 (Sembilan Hari Terindah) chapter, high quality story indonesia, Kembalilah cerita, cerpen terbaru, storytelling indonesia, , Storytelling
Comments (0)