Part. 32
Menerawang Bag. 2
Menerawang Bag. 2
"Aku terkejut bukan kepalang. Mataku sontak terbelalak mendengar ucapan Gendis. "Apa saat ini anakku sedang menerawang ayahnya? Jika benar apa yang diucapkan putriku, dengan siapa ia disana? Dan apa yang sedang dilakukan suamiku di hotel? Kenapa ia tidak memberi kabar sebelumnya? Apa ia sudah menghianatiku lagi?"Sejumlah pertanyaan berkecamuk dibenakku.
Hatiku mulai dibakar api cemburu. Jantungku berdebar cepat. Hatiku gemetar. Mataku memerah berusaha menahan buliran air mata amarah. Perkataan Gendis berhasil membikin jantungku seolah berhenti dan membuat diriku semakin kalut.
"Yang benar Ndis. Memang Gendis beneran melihat ayah lagi di hotel?" Tanyaku gugup.
"Iya ma!! Ayah cekalang lagi di hotel!! Tu.. Itu..!!"
(iya ma. Ayah sekarang lagi di hotel. Tu. Itu) Jarinya menunjuk ke karpet yang tebal.
Netraku mengikuti ke arah yang ditunjuknya. Namun selama apapun kumengamati, hanya hamparan karpet yang kulihat!
"Mama iyatkan? Dis ga oong!!"
(mama lihatkan? Ndis nggak bohong)
"Ayah dicitu..!!" (Ayah disitu)
"Ayah, aat..!! Ga ajak Dis ke otel!"
(Ayah jahat. Nggak ajak Ndis ke hotel) Bibirnya bersungut-sungut dan menggerutu.
Dengan perasaan tak karuan, segera kuambil ponsel dan mengirim pesan ke suamiku.
"Mas, kamu dimana??" Tanyaku singkat.
Sekian lama kunantikan, pesan balasan tak kunjung juga kudapatkan. Aku mengumpat dalam hati. "Apa yang sedang kamu lakukan mas? Sampai begitu lama membalas pesan dariku?"
Aku terdiam, menggigit bibirku perlahan. Hatiku gerah terbakar cemburu. .
"MAAAAA....!!!" Teriakan Gendis menyentakkanku.
"Iya Ndis. Kenapa?"
"Ma, ayah culang! Ga ajak Dis, mama..!!"
"Memangnya ayah curang kenapa?"
"Ga ajak Dis akan oti" (Nggak ajak Ndis makan roti)
"Roti??? Hoteel?? Sebenarnya apa yang sedang dilihat oleh anakku??"
"Sebentar, memangnya Ndis lihat apa lagi?"
"Itu ayah agi duduk di otel cambil akan loti cama eman-emannya!!"
(itu ayah lagi duduk di hotel sambil makan roti sama teman-temannya) Ocehnya sambil melihat sekilas ke arahku.
Keningku mengerenyit. Aku berusaha memahami apa yang sedang dilihat iris matanya. Tampaknya mata ketiga Gendis sedang melihat cuplikan adegan ayahnya sedang berada di hotel.
Karpet yang biasa kuinjak sekarang menjadi layar televisi bagi mata ketiganya. Saat ini anakku sedang melihat berbagai cuplikan adegan yang sedang dilakukan oleh suamiku.
Ucapan Gendis sama persis dengan kisah yang pernah kubaca di trit anak-anak indigo. Ketika mereka menerawang, mereka seperti melihat serpihan potongan film yang berkelebatan di pikiran mereka. Sedangkan saat ini, putriku melihatnya di atas karpet!
"Ma..!! Dicitu ada ayah agi akan loti!! Hotel..!! Hotel..!!"
(Ma. Disitu ada ayah lagi makan roti! Hotel! Hotel!) Ucapnya berulang-ulang.
"Huuuf...!!!" Aku menghela nafas.
"Ayoo mas.. cepat balas pesanku!!" Desisku tak sabaran sambil terus menatap ke ponsel yang tergeletak tak jauh dari disisiku.
"Tiinnnngg....!!" Terdengar nada pesan masuk di ponselku.
Dengan tergesa-gesa, segera kuraih ponselku!
Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit lamanya aku menunggu, suamiku membalas pesanku juga!! Dengan diburu nafsu aku segera membaca balasan dari suamiku.
"Mas lagi di hotel L* M*r*dien Jakarta. Ada apa Ma? Tumben kamu menanyakan lokasi mas?"
Aku termangu membaca pesan balasan suamiku.
"Ya Allah ternyata benar apa yang diucapkan Gendis kalau saat ini ayahnya sedang berada di hotel!!"
Dengan pikiran kacau dan emosi yang meledak-ledak, jemariku mulai mengetik kalimat di layar ponsel.
"Ngapain kamu di hotel???"
Kali ini suamiku membalas pesanku lebih cepat.
"Mas lagi ngopi dan ngobrol sama teman-teman." Jawabnya tanpa merasa bersalah sudah membuatku khawatir.
"Yakin kamu di hotel sama teman-teman? Bukannya sama perempuan?" Telisikku ingin mengetahui lebih jauh.
"Ya Allah, Ma..!! Mas beneran lagi ngopi sama teman-teman kantor! Kamu lagi kenapa? Kok tidak mempercayai ucapan mas?"
Aku terdiam. Berusaha mencerna pesan yang yang baru selesai kubaca. Kemudian aku mencibir pesan balasan suamiku. Setelah dikecewakan berkali-kali, rasanya tidak semudah itu mempercayai ucapannya lagi!
"Kenapa kamu lama membalas pesanku?"
"Maaf tadi handphone mas disilent dan dimasukkan dalam kantong celana, jadi mas tidak mendengar ada pesan masuk."
Aku membisu, membaca pesan tersebut berulang-ulang. Aku menimbang, balasan apa yang harus kukirimkan.
"Tau nggak? Barusan Gendis bilang kalau mas lagi di hotel! Jantungku hampir copot gara-gara mendengar ucapannya! Aku pikir kamu sedang sama wanita lain!!" Tulisku penuh amarah.
"Serius Gendis bilang begitu???" Sepertinya suamiku sama terkejutnya saat mendengar penjelasanku mengenai ucapan putrinya.
"Iya mas!! Masa aku bohong sih??"
"Ima.. kan mas sudah berjanji tidak akan nakal lagi! Harusnya kamu mempercayai ucapan mas!"
Sejujurnya jika aku diharuskan memilih lebih mempercayai ucapan Gendis atau suamiku, pasti aku akan lebih memilih mendengarkan ucapan anakku. Putriku masih kecil, tidak mungkin ia berbohong! Hatinya masih suci, belum tercemar dosa!
"Memangnya Gendis tadi bilang apa saja??" Desak suamiku.
"Awalnya Gendis bilang kalau mas lagi di hotel. Selanjutnya Gendis baru bilang kalau ia melihat mas lagi makan roti."
"Ha..ha..ha... Bisaan Gendis! Kok Gendis tahu sih ayah lagi makan roti?"
"Masa sih mas?"
Tak lama kemudian suamiku langsung mengirimkan foto. Di foto itu terlihat kalau mas sedang duduk santai sambil menikmati secangkir kopi bersama teman-temannya di sebuah hotel mewah yang berada dikawasan Sudirman.
"Sekarang sudah percaya sama ucapan mas?" Isi caption foto tersebut.
Aku terdiam, tidak membalas pesannya. Hatiku masih diliputi rasa was-was dan curiga akan perilaku suamiku.
Pandanganku teralih ke Gendis yang tampak asik bermain boneka.
"Ndis.. Ndis.. mama mau tanya boleh nggak?"
"Apa ma??" Tatapnya lugu.
"lni bukan gambar yang tadi Gendis lihat di atas karpet?" Aku memperlihatkan foto yang mas kirim ke putriku.
"IYA MA..!! Ini ayah agi di otelkan??"
(ini ayah lagi di hotelkan?)
"Iya.. Semua perkataan Ndis tentang ayah benar. Terima kasih ya sudah mau memberitahu mama apa yang sudah Gendis lihat." Tatapku sambil tersenyum tulus.
"Ma.. Ma.. !!" Serunya sambil menarik tangan kananku.
"Kenapa Ndis?"
"Loti..!! Lotinya ana?? Kok ga da?? Iyang??"
(Roti. Rotinya mana? Kok nggak ada? Hilang)
Putriku protes. Tampaknya Gendis merasa ada yang janggal ketika melihat foto ayahnya. Saat mendapat penglihatan di atas karpet, mata ketiganya melihat kalau ayahnya sedang memakan roti. Sedangkan di foto yang mas kirim tidak lagi terlihat rotinya. Yang ada hanyalah secangkir kopi hitam.
Aku tersenyum geli mendengar ucapannya. Ternyata jeli juga penglihatan anakku. Aku tertawa kecil sambil mengusap kepala anakku.
"Gendis itu pintar sekali ya" ucapku sambil menoel hidungnya yang tidak terlalu mancung.
"Ma, anya ayah! Oti ana???"
(Ma, tanya ayah. Rotinya dimana)
"Roti???" Tanyaku sambil tertawa geli mendengar ucapannya yang spontan.
"Iya ma..!! Oti ana??"
(Iya ma. Rotinya mana)
"Ayoo.. anya ayah, ma!"
(Ayo. Tanya ayah, ma)
Sekali lagi jari ini memencet tombol ponsel lalu mengirim pesan ke suamiku.
"Mas, anaknya nanya kemana roti yang tadi ia lihat? Kenapa nggak ada di foto?"
Mas membalas pesanku dengan emoticon tertawa.
"Gendis, Gendis...!!! Anak ayah lucu banget nih. Tolong bilang ke Gendis kalau rotinya sudah habis dimakan sama ayah!"
Akupun segera menyampaikan pesan mas ke Gendis. Dan putriku memberikan jawaban berupa senyuman yang teramat manis.
"Ayah elit. Ga agi Dis oti!!"
(Ayah pelit. Nggak bagi Gendis roti) Tuturnya dengan wajah cemberut.
Aku kembali mengiriminya pesan. Dan bisa kutebak, mas tertawa geli ketika tahu kalau Gendis bilang ayahnya pelit.
"Tolong kasih tahu Gendis. Nanti pas ayah pulang kerja, akan ayah bawakan roti kesukaannya. Sudah dulu ya Ma, kita lanjutkan ngobrolnya nanti di rumah. Mas mau pulang."
"Baik mas. Hati-hati di jalan. Bismillah." Balasku singkat.
Hatiku sedikit lega setelah mendapat penjelasan dari suamiku.
Untung saja tadi aku tidak langsung menyemprot suamiku. Aku tertawa geli membayangkan pikiranku yang terlalu sempit dan picik.
Hari ini aku mendapat pelajaran yang begitu berharga dari anakku. Ternyata ada sisi positif dan negatif memiliki anak seperti Gendis. Seharusnya aku tidak boleh menelan ucapan Gendis setengah-setengah. Aku harus bisa lebih bijak lagi dalam menyikapi semua ucapan dan penglihatannya. Bukannya langsung terbawa emosi!
***
Malam harinya ketika sedang duduk santai di teras sambil memandangi langit malam, melihat benda langit yang tampak bercahaya dan berkelap-kelip.
"Ma mungkin tugas mas kali ini akan lebih lama. Mas harus ke Labuan Bajo selama tiga minggu. Kamu dan Gendis jaga diri baik-baik ya di rumah. Kalau suntuk, kamu tinggal ke rumah Dwi."
"Iya mas, kamu juga tolong jaga diri dan kepercayaan aku dan Gendis baik-baik ya."
"Iya.. pasti itu!" Ujarnya seraya menyesap kopi hitam yang menjadi favoritnya.
"Ma itu gimana ceritanya pas Gendis bilang mas lagi di hotel?' Tatapnya dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu.
"Awalnya Gendis lagi asik main, terus matanya tiba-tiba menatap ke karpet dan dia bilang kalau mas lagi di hotel. Jujur, aku kaget banget pas Gendis bilang gitu. Aku langsung negative thinking! Aku pikir kamu macam-macam lagi!!"
Mas tersenyum mendengar ucapanku. Lesung pipitnya yang muncul tampak begitu menawan.
"Terus??" Tanya mas sambil mengusap lembut punggungku.
"Yaa.. aku langsung kirim pesan ke kamu!! Niatnya sih langsung mau caci maki mas!!" sambil cemberut.
"Ciiee.. cemburu" goda suamiku sambil memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi.
"Bukan cemburu!! Tapi emosi!!" Balasku tak mau kalah.
"Sudah.. sudah..!! Jangan galak-galak gitu. Ayo, lanjutkan lagi ceritanya."
"Ya begitu saja. Aku kira kamu lagi berduaan sama cewek di hotel. Eeh.. tau-taunya Gendis melanjutkan ucapannya kalau mas di hotel lagi makan roti sama teman-teman!!"
Suamiku langsung tertawa terbahak-bahak. Mungkin ia merasa lucu mendengar ucapanku.
"Makanya jadi orang jangan langsung berprasangka buruk dulu!"
"Gimana nggak berprasangka buruk? Kamu saja lama banget membalas pesan yang aku kirim??"
"Maaf .. kan mas sudah bilang kalau handphonenya dalam kantong celana. Jadi mas tidak mendengar kalau ada pesan masuk?"
Suamiku memandang wajahku sambil tersenyum simpul.
"Gendis.. Gendis..!! Kok dia bisa tahu ya apa yang mas lakukan? Asli, mas heran sama jalan pikirannya."
"Gendis bukan cuma menerawang kamu mas! Tapi dia juga sudah menerawang kelakuan Aan."
Suamiku membeliakkan bola matanya.
"Ah..!! Yang benar?"
"Benar mas. Bahkan Gendis juga tau kalau Aan suka kasar sama El!"
Aku dan suamiku terdiam. Mas tampak berpikir dan berusaha mencari jawaban yang tepat atas semua ucapanku. Sedangkan aku sudah kehabisan akal menjelaskan semua kejadian aneh yang aku alami. Mungkin suamiku tidak mempercayai jika putrinya bisa menerawang.
Mungkin baginya ini hanyalah kebetulan semata. Namun bagiku ini bukanlah sebuah kebetulan. Gendis memang berbeda. Seperti ucapan Pak Haji, kemampuan putriku akan muncul satu persatu setelah ia mengalami demam tinggi.
"Ndis tolong kemari sebentar!" Panggil mas ke Gendis yang sedang asik main mobil-mobilan di teras.
Dengan menaiki mobil berwarna pink, putriku menghampiri ayahnya.
"Apa yah?" Ujarnya sambil turun dari mainannya dan terduduk manja di pangkuan ayahnya.
"Besok ayah mau tugas ke luar kota. Jadi Gendis nanti cuma berdua sama mama di rumah. Tolong jaga mama baik-baik ya nak?" Nasehat mas sambil memeluk dan mencium tubuh putrinya dari belakang.
"Ayah gi agi?" (Ayah pergi lagi) Tanyanya sambil menoleh menatap wajah ayahnya.
"Iya.. ayah harus berangkat ke luar kota lagi. Tapi nanti kita bisa video call. Ayah usahakan, sesibuk apapun, ayah akan selalu menelpon Gendis.
Aku yang dari tadi terdiam mendengar percakapan mereka, langsung menyela "Ndis.. jangan lupa! Tolong pantau terus kelakuan ayahmu! Kalau ayah macem-macem, tolong kasih tahu mama ya Ndis" sahutku tak mau kalah.
Wajah suamiku tiba tiba berubah serius, matanya memandang wajahku lekat lekat.
"Kok kamu bicara begitu Ma?"
"Ya nggak apa-apakan?" Tatapku sinis.
Suamiku menghela nafas.
"Dah...!! Mama, Yah..!! Angan elantem!! Dis ga cuka!!"
(Sudah. Mama, Ayah. Jangan berantem. Ndis Nggak suka)
"Tau nih, mama hobi banget mancing keributan" ucapnya sambil membisikkan kalimat ke telinga Gendis.
"Dis uga ayang ayah!!" ( Ndis juga sayang ayah) Bisiknya pelan membalas ucapan ayahnya.
"Ayah nggak mau pisah sama mama dan Gendis. Ayah sayang kalian!!" Suamiku menatap mataku, jauh ke dalam.
Tatapannya membuatku salah tingkah. Pipiku bersemu merah mendapat perlakuan seperti itu.
"Mama, Ayah, Dis!!" Ucapnya berulang-ulang sambil menunjuk ke arah kami satu persatu.
Aku dan suamiku terdiam untuk beberapa saat. Kami saling berpandangan. Kemudian kami tertawa bersama-sama.
"Tuhan.. tolong selalu jaga keluarga kecilku. Jauhkan keluargaku dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ijinkan aku dan suamiku terus bersama-sama membesarkan dan mendidik putri kami satu-satunya."
Suasana malam itu tampak begitu tenang, damai dan penuh rasa bahagia meliputi keluargaku. Semuanya terasa begitu indah. Seandainya sang waktu bisa dihentikan, aku ingin selamanya seperti ini bersama orang-orang yang kusayangi...
***
Tak terasa sudah seminggu lamanya aku dan Gendis hanya berdua di rumah. Alhamdulillah tidak ada hal aneh yang terjadi. Tidak terdengar lagi jeritan serta tangisan tengah malam yang Cumiakkan pendengaranku.
Tidak ada lagi teror ketakutan setiap malam menjelang. Semua tampak normal, kecuali pola tidur Gendis yang masih sulit tidur cepat. Paling lambat putriku tertidur pukul dua atau tiga malam. Energinya seperti tidak pernah habis, membuatku kewalahan mengahadapinya.
Suamiku menepati janjinya. Sesibuk apapun, ia selalu menyempatkan memberi kabar lewat pesan whatsapp atau video call. Suamiku sedang berusaha keras mengembalikan kembali kepercayaannya kepada kami.
Hingga sore itu ketika aku sedang asik menonton film di layar televisi.
"Ma, ma.. ayah kacian ya?" Celetuk Gendis sambil memainkan mainan robot dino.
Aku mengalihkan pandangan dari film kartun kesukaanku.
"Ayah kasihan kenapa?" Aku penasaran dengan kelanjutan ucapan anakku. Sepertinya anakku sedang menerawang ayahnya lagi.
"Ayah kaciaaan..!! Ayah cape ma!! Ayah alan kaki!! Kaciiiaaannn...!!"
(Ayah kasihan. Ayah cape ma. Ayah jalan kaki. Kasihan) Tuturnya dengan mimik serius.
"Jalan kaki?" Muncul garis halus diantara kedua alisku. Aku tahu betul pekerjaan suamiku. Tidak mungkin ia berjalan kaki kecuali telah terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
"Gendis tahu dari mana kalau ayah jalan kaki?" Hatiku diliputi rasa was-was.
"Tuuuuh maaaa....!!" Tunjuknya ke arah tembok yang dilapisi walpaper motif bunga.
Aku tak habis pikir dengan yang sedang dilihat putriku. Kemarin ia mendapat penglihatan di pikirannya selanjutnya di karpet dan sekarang di dinding?? Kenapa tempatnya berubah-ubah? Apa semua anak indigo seperti itu? Pikirku tak habis pikir.
"Memang ada muka ayah ya di tembok?"
Gendis mengganggukkan kepalanya. Sorot matanya tampak sungguh-sungguh. Tidak mungkin anak setahun berbicara bohong.
Aku segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menghubungi suamiku. Ada rasa khawatir menyelinap di dada. Oleh sebab itu aku harus berusaha mencari tahu keadaan suamiku.
“Nomer yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan."
Berulang kali aku mencoba menghubungi suamiku, namun hanya jawaban dari operator kuterima.
Perasaanku mulai tidak enak. Intuisiku mengatakan ada yang salah. Ditambah lagi ucapan Gendis yang tampak menyiratkan kalau ayahnya sedang kelelahan. Aku berusaha tidak panik. Sepertinya ada yang tidak beres menimpa suamiku.
"Apa telah terjadi sesuatu dengan suamiku?"
Akupun memberanikan diri bertanya ke Gendis. Jangan sampai ada miscommunication lagi antara aku dan penglihatannya.
"Ndis tapi ayah nggak apa-apakan? Ayah sehatkan?"
"Ayah capeeee ma...!!" Hanya itu jawaban yang terucap dari bibirnya.
Putriku langsung berdiri dari duduknya dan mulai berlari dengan nafas ngos-ngosan.
"Aaayyaahhh..." senyumnya sambil menunjuk ke dada. Ia tengah mempraktekkan seolah-olah ia adalah ayahnya.
Petunjuk apalagi yang sedang diberikan Gendis kepadaku? Ibarat kepingan puzzle, aku harus berusaha keras merangkai semua ucapan Gendis untuk mendapatkan jawabannya.
"Bismillah semoga Allah selalu menjaga dan melindungi dimanapun suamiku berada." Saat itu hanya doa tulus yang bisa kupanjatkan.
***
Setelah terjebak berjam-jam lamanya dalam kebingungan karena menunggu kabar dari suamiku.
"Ma, ayah phone..!!" Celetuk Gendis.
"Nggak Ndis, ayah belum nelpon mama kok" sahutku sambil rebahan.
"No..! No..!! Ayah aloo mama!!" (ayah halo mama) Gendis tampak berusah memberikan penjelasan.
Namun aku mengacuhkan ucapan putriku. Hatiku masih dilanda was-was menunggu kabar suamiku.
Beberapa menit kemudian terdengar nada dering handphoneku berbunyi, ada panggilan masuk. Aku berdoa semoga itu telepon yang sedari tadi kutunggu. Kulihat suamiku sedang melakukan video call melalui aplikasi Whatsapp.
[I"Loh, kok bisa kebetulan begini sama ucapan Gendis?"[/I] Aku tak habis pikir.
Aku bergegas mengambil ponsel dari atas meja dan mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum" salam suamiku dari sebrang pulau. Wajahnya terlihat sehat walau sedikit letih.
"Waalaikumsalam" balasku sambil menatap lekat-lekat wajah pria yang sudah menemaniku selama sebelas tahun lamanya.
"AYAHHH.....!!" Pekik Gendis kegirangan saat melihat wajah ayahnya muncul di layar handphone.
"Hello Ndis" sapa mas dengan wajah sumringah.
"Ayah imana?" (ayah dimana)
"Ayah lagi di kamar hotel. Baru saja ayah pulang kerja."
Aku yang pada dasarnya bukan penyabar langsung menyeletuk "Mas, masa tadi siang anaknya bilang kalau ayah kasihan. Ayah cape jalan kaki. Emangnya benar apa yang diucap anaknya?"
Suamiku tertawa sambil mengancungkan jempolnya.
"Anak ayah hebaaattt...!!"
"Hebat kenapa?"
"Hebatlah..!! Gendis tahu kalau ayah cape karena jalan kaki." Ujar suamiku sambil terus tertawa tergelak-gelak.
Keningku berkerenyit.
"Jadi benar apa yang Gendis ucapkan?"
"Iya ma., ucapan Gendis benar banget! Tadi mas harus mengecek salah satu lokasi. Kebetulan daerahnya tidak bisa dilewati oleh kendaraan. Jadi mas harus berjalan kaki sejauh setengah kilo meter. Ini mas lagi selonjoran karena kaki pegal semua."
Aku terdiam.
"Kok diam ma?"
"Eh.. nggak mas. Ima cuma mikir. Kok Gendis bisa begini ya? Anak kita kenapa seperti cctv?"
Suamiku tersenyum hangat.
"Yaa bisalah, sudah dari sananya" kekeh mas sambil menatap, menggoda Gendis.
"Kasihan kamu mas" sindirku tajam.
"Kasihan kenapa?"
"Kamu udah nggak bisa bohong lagi!! Sepertinya Gendis selalu memantau kelakuan kamu dari jauh" sekarang gantian aku yang tertawa terbahak-bahak.
Gendis menatap ke arahku dan mulai mengikuti kelakuanku. Ia terus tertawa sambil loncat-loncatan di atas tempat tidur.
Dari kejauhan, kulihat wajah suamiku mencibir kelakuan kami dari layar ponsel.
***
Hari itu tidak ada kejadian istimewa yang menyapaku. Semua tampak normal, baik-baik saja. Putriku juga tidak menunjukkan perilaku yang aneh. Seharian ia asik bermain dan membaca buku bersamaku.
Sehabis melaksanakan shalat ashar, mataku tertumbuk melihat ke arah putriku yang tertunduk di pojokan kamar.
Kulihat Gendis sedang duduk di sudut ruangan dengan memeluk kedua lututnya, anakku menyembunyikan wajah manisnya di sela-sela kaki. Nafasnya terlihat naik turun, tidak beraturan. Awalnya yang kudengar hanyalah isakan yang keluar dari bibirnya yang mungil, namun sekarang isakan itu berubah menjadi tangisan yang menyayat hati.
Bersambung
Comments (0)