Part. 31
Menerawang
Menerawang
"Putriku terdiam. Sepasang bola matanya mulai bergerak seperti tengah mengamati suatu obyek di dinding yang terlihat kosong. Tubuh Gendis perlahan menegang, matanya melotot tajam penuh kebencian!!
Tubuhku sontak melangkah mundur. Aku begitu takut melihat perubahan wajah putriku. Aku meniliti setiap inci wajahnya. Mata Gendis tampak begitu menyimpan dendam membara!
"Ndis..!! Ndiiiss...!!" Aku berusaha mengalihkan perhatian putriku dari dinginnya dinding yang terdiam membisu.
Pandangan putriku terus terpatri ke tembok yang berdiri angkuh. Ia tidak mengalihkan pandangannya walau sedetikpun!
Om Aan itu cuka alahin El..!!"
(om Aan itu suka marahin El) Suara Gendis terdengar begitu tipis dan dingin.
Om Aan cuka ukul El...!! Om Aan KACAAALLLLl CAMA EL....!!!"
( om Aan suka pukul El. Om Aan kasar sama El)
"Om Aan cuka endang El alau agi alah...!!"
(om Aan suka tendang El kalau lagi marah)
"Ndis ga cuka..!!! Itu jaat ma..!! Dis cayang El...!!"
(Ndis nggak suka. Itu jahat ma. Ndis sayang El)
Aku tersentak sambil mengangkat kedua alisku. Aku terdiam dan membiarkan Gendis mengeluarkan semua isi hatinya! Aku ingin tahu kali ini apa yang tengah ia lihat dan rasakan. Aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik.
Gendis mengapit kedua tangannya di depan dada. Ia mendengus kasar!! Sikapnya benar-benar tidak terlihat seperti anak kecil! Tingkahnya tampan begitu dewasa melebihi usianya!
"Loh, memangnya Gendis tahu dari mana kalau om Aan suka memukul dan menendang El?"
Dengan wajah ditekuk dan bibir yang manyun, Gendis menunjuk ke arah dinding kamar.
"Ituuu maa...!! Tuhh..!! Om Aan agi ukul El..!!"
(itu ma. Tuh. Om aan lagi mukul El)
"An atit ma.. adduuh..!!"
(kan sakit ma. Aduh) Ucapnya sambil meniup tangannya yang tampak kesakitan.
Aku merenung. Apa mungkin anak berusia satu tahun bisa menerawang? Apa iya kalau saat ini putriku sedang menerawang peristiwa yang sedang terjadi di rumah adikku?
"Dis malah...!! MALAAAAHHH ...ENNCIII!! NO..!! NOOOO JAAATTTT..!!"
( Ndis marah! Marah! Benci!! No! No jahat!!) Teriaknya menggebu-gebu.
"Astagfirullah!! Apa ini yang dimaksud Pak Haji kalau setiap habis demam tinggi, kemampuan dalam diri putriku akan semakin bertambah?""
Diriku diserang ketakutan luar biasa ketika melihat tatapan putriku yang tampak memendam rasa dendam. Entah apa yang sudah ia lihat sampai sorot matanya berubah mengerikan seperti itu.
Aku menghela nafas berusaha menenangkan hatiku. Haruskah aku mempercayai penglihatan dan ucapan putriku?? Ada pertentangan batin dalam hati.
Karena penasaran, aku segera bangkit mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang dan segera mengirim pesan ke adikku.
"An, masa anak teteh barusan bilang kalau kamu lagi marah sama El?"
Beberapa menit kemudian terlihat balasan pesan dari adikku.
"Ha..ha..ha.. kok Gendis tahu?? Siapa yang ngasih tahu?"
"Jadi benar ucapan Gendis kalau kamu tadi habis marahin El?"
" Iya teh! Barusan Aan marahin El karena dia mukul kakaknya sampai menangis. Benerkan apa yang Aan bilang!! Anak teteh itu beda dan serem! Buktinya Gendis bisa tahu kalau Aan habis marahin anak Aan!"
"Gendis juga bilang kalau dia melihat kamu juga mukul dan nendang El!!"
"Waaaaah... ponakan Aan kacau nih!! Hahahaha, iya teh tadi Aan nggak sengaja memukul dan menendang El!"
"Dia marah dan kesal banget tuh sama kamu! Gendis tidak terima kalau kamu kasar sama El!! Bagi Gendis, El itu adiknya!"
"Kok bisa ya Gendis tahu kalau Aan suka kasar sama El?" Adikku malah balik bertanya padaku.
"Mana teteh tahu! Teteh saja kaget pas dengar Gendis marah-marah dan ngoceh sendirian sambil ngomongin kelakuan kamu!"
"Maaf deh karena Aan sudah kasar sama anak Aan."
"Oon!! Minta maaf bukan ke teteh tapi ke anak kamu dong!!"
"Iya, iya....nanti Aan juga minta maaf ke El."
"Nah begitu dong. An, teteh minta tolong sama kamu. Lain kali kalau lagi marah sama El jangan kasar. Lagian El kan masih kecil, masa malah kamu pukul dan tendang!! Kacau kamu An!"
"Iya.. Aan janji tidak akan mengulangi lagi teh! Hebat ya ponakan Aan bisa menerawang perilaku Aan! Bahaya nih, Aan nggak bisa bohong lagi sama Gendis hahahaha...!!!"
"Tolong ingat pesan teteh baik-baik! Perlakukan El dengan penuh kasih sayang! Jangan sampai Gendis membenci kamu!"
"Sip Bos..!! Teh..!! Tolong bilang ke Gendis kalau Aan minta maaf ya karena sudah kasar sama El!"
"Oke nanti teteh sampaikan!"
Aku tersenyum lega. Semoga saja setelah mendengar penuturan Gendis, perilaku kasar adikku bisa berubah!
"Ndis tadi om Aan kirim pesan ke mama. Katanya om Aan minta maaf karena sudah kasar sama El. Tolong dimaafin ya Ndis!"
Gendis mendongak dan memandang wajahku lekat-lekat.
"Teyus ma?" (terus ma)
" Om Aan juga berjanji nggak akan jahat lagi sama El. Tidak akan memukul dan menendang El lagi."
Gendis terdiam. Netranya yang indah memandang ke langit-langit ruangan. Ia tampak sedang bepikir.
Sejurus kemudian ia menundukkan wajahnya sambil menggenggam erat kedua tangannya.
"Good ma!! No..!! No jaat ya ma..!!
(Good ma, No, No jahat ya ma) ujarnya sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Jangan benci om Aan lagi ya Ndis!"
Gendis menganggukkan kepala dan segera berlari menuju lemari yang berisi mainan.
"Maaa, atu agi!!"
(Ma, satu lagi) Teriak Gendis sambil menoleh ke arahku.
"Apa sayang? Gendis mau bilang apa lagi?"
"Biyang ke om Aan. No nakal oke!! Allah ga cuka olang nakal!!"
(Bilang ke om Aan. No nakal oke. Allah ga suka orang nakal) Ujarnya dengan wajah serius.
"An, barusan Gendis bilang agar kamu jangan nakal! Memangnya kamu nakal kenapa?"
"HA..HA..HA..HA...!!! Udah teteh nggak usah tahu! Itu RAHASIA PERUSAHAAN...!!"
"Rahasia katanya??"
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memijat pelipisku yang terasa pusing. Dari dulu adikku itu memang paling hobi mencari masalah! Dan endingnya akulah yang selalu menyelesaikan permasalahannya!
***
Sore itu aku menemani Gendis mengelilingi kompleks perumahan. Wajah anakku terlihat sumringah ketika menatap ke arah hamparan langit luas yang sore itu terlihat cerah. Sesekali ia berlari kecil. Rambutnya yang hitam dan ikal tampak melambai-lambai tertiup hembusan angin.
"Ma, cana yuk" rajuknya manja.
(ma, kesana yuk)
"Gendis mau kemana?"
"Cana...!!" Tunjuknya ke arah mushala.
Dari kejauhan kulihat anak-anak kecil sedang bermain di halaman mushala.
Dengan berat hati aku meluluskan permintan putriku. Sejujurnya nalurikuku sudah memberikan peringatan agar aku dan putriku tidak menuju kesana. Namun rengekan dan permintaan Gendis membuat hatiku luluh.
"Tidak apa-apalah, sesekali ini Gendis bermain di sana. Toh tidak tiap hari ini."
Wajah putriku tampak kegirangan ketika langkah kakinya mulai menapaki halaman mushala yang tidak terlalu luas. Aku terus mengamati anakku yang terus berlarian kesana-kemari. Raut wajahnya terlihat begitu bahagia ketika sedang bermain kejar-kejaran bersama teman-temannya.
"Ma..!! Ma...!!" Teriaknya sambil sesekali menoleh dan tersenyum ke arahku.
Aku melambaikan tangan dan membalas senyumannya. Bola mataku dengan jeli terus mengawasi Gendis dari pelataran mushola.
"Kita main petak jongkok yuuukk" ajak mba Qila yang usianya lebih tua dua tahun dari putriku.
"Ayoooo....!!!" Teriakan anak kecil menggema memenuhi seantero halaman mushala.
Gendis yang belum paham permainan petak jongkok, tampak berlarian tak tentu arah. Ia terus berlari dan belari tanpa mengenal lelah.
Wajahnya yang putih tampak bersemu merah terpapar cahaya senja. Rambutnya yang ikal terlihat lepek terkena keringat yang mulai membanjiri keningnya.
Sesekali putriku Cumiik dan menjerit kegirangan ketika salah satu temannya memegang tangannya dan mengajak berlari mengitari halaman.
Nafas putriku terlihat ngos-ngosan, tampaknya Gendis mulai lelah karena terus berlari tanpa henti. Anakku mulai duduk dan beristirahat di rumput jepang yang tumbuh subur di pekarangan. Netranya tampak asik mengamati bebatuan kecil yang bertaburan di atas rumput. Sesekali tangannya yang mungil memungut batu kerikil dan melemparnya ke atas rerumputan.
Sejenak kemudian, pandangannya mulai teralihkan. Sorot matanya memandang ke arah kebon pohon pisang yang berada di samping mushala. Ia tampak melihat sesuatu. Gendis mulai bangkit dari duduknya dan berlari memanggil mereka.
"Kakak...!! Kakaaakkk..!! Uggu Dis..!!"
(kakak. kakak. tunggu Ndis) teriaknya sambil berlari menuju ke arah pohon pisang.
Aku yang sedari tadi mengamati perilaku Gendis, tanpa berpikir panjang segera berlari dan mengejar anakku.
"Ndiiiss... tunggu mama!!" Aku menjerit dengan suara tertahan.
"Gendis..!! Gendis..!! Itu dipanggil mamanya!!" Teriak Mba Qila berusaha menghentikan lari anakku.
Alhamdulillah, Gendis mau mendengarkan seruanku. Langkah kakinya terhenti tepat diantara selokan pembatas antara mushala dan pohon pisang yang tumbuh liar di lahan kosong dekat langgar.
Putriku termenung. Tubuh mungilnya berhenti bergerak. Matanya mulai berkeliling menatap ke arah pepohonan yang tumbuh subur.
"Yaa....Kakak iyanng"
(Yaa..kakak hilang) ujarnya dengan raut wajah kecewa.
Angin berhembus perlahan membawa aroma wewangian yang belum pernah kucium sebelumnya.
Seperti seekor pemangsa, hidungku mengendus ke udara. Mencoba mencari tahu dari mana sumber wangi tersebut.
Nihil! Aku tidak dapat menemukannya!! Aroma wangi itu hlang terbawa angin yang melintas.
Gendis mulai bergumam pelan, ia memiringkan kepalanya. Sudut mulutnya muncul. Perlahan ia mengangkat telunjuknya mengarah ke salah satu pohon pisang yang bertandan panjang.
"Look ma..!!! Cnake.....!!!! Sssssssshhhhh....shhhhh!!"
(Look ma. Snake) Suaranya mendesis seperti ular.
Air mukaku seketika berubah. Mataku tertumbuk ke arah yang ditunjuk putriku. Namun sekali lagi, netraku tidak mampu menembus dunia mereka. Aku tidak bisa melihat apa yang putriku lihat!
"Wooow.. Big cnake! Nini !!"
(Big snake. Nenek) ujarnya sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Hello Nini..!!" Sapanya tanpa merasa takut sedikitpun.
"Ini Dis..!! Ini mama Dis!" Sepertinya anakku sedang memperkenalkan diri kami, ke mahluk tak kasat mata.
Aku menepok jidat, sambil menggelengkan kepala. "Ndis.. sekarang apalagi yang tengah dilihat oleh mata ketigamu?"
Kuhampiri Gendis yang masih berdiri mematung. Tampaknya pemandangan kali ini begitu mempesona penglihatannya! Ataukah ular jejadian itu telah berhasil menghipnotis putriku?
"Ndis....!!" Aku menggenggam jemarinya yang terasa beku sedingin es.
Gendis tersentak mundur.
Matanya yang jernih menatap dalam-dalam kearah mataku.
Aku berjongkok di hadapannya. Kugenggam jemarinya biar terasa hangat "Ndis, snake yang Gendis lihat itu bukan snake beneran. Itu jin, sama seperti saat Gendis melihat ayah di pinggir kali!"
Ia mengalihkan pandangannya dari mataku. Tatapan matanya kembali terarah ke arah pohon yang buahnya sudah siap dipetik.
"Yaa.. cnake iyaangg!" Gumamnya perlahan.
(ya.. snake hilang)
Wajahnya terlihat kecewa karena ular yang ia lihat sudah tidak berada lagi di tempatnya. Dengan kesal, anakku menendang bebatuan kecil yang terhampar di pinggir jalan.
Tidak butuh waktu terlalu lama, mendadak raut wajah Gendis berubah antusias. Matanya berbinar, terlihat senyuman dari bibirnya yang merah merekah. Ia melambaikan tangannya ke arah pohon pisang dan mulai tertawa kecil.
"Guyiiinng... Guying..hi.....hi..hi..!"
(Guling. Guling)
"Dis cuka guying" ( Ndis suka guling)
"Ya Allah Ndis.. ada-ada saja yang kamu lihat! Tadi mata batinmu melihat kakak (kunti) dan ular berwujud nenek-nenek. Sekarang malah pocong yang menghampirimu! Nanti mahluk apa lagi yang ingin memperkenalkan dirinya padamu??" Ucapku dalam batin dengan rasa takut yang menyeruak.
Bulu kudukku meremang, bahuku terasa berat. Perasaanku mulai tidak enak. Aku merasakan begitu banyak mata yang sedang menatap ke arah tempatku berdiri. Jantungku mulai berdetak cepat, ada rasa takut menyusup di hatiku.
Tanpa banyak bicara, segera kuraih tubuh Gendis dan kubawa ke dalam pelukanku. Gendis tidak memberontak, ia begitu anteng dalam pelukanku walau tatapan matanya yang tajam terus mengarah ke kebun pisang yang daunnya mulai bergoyang tertiup angin kencang.
Ketika langkahku melewati anak-anak yang masih asik bermain kejar-kejaran, salah satu anak tampak berjalan menghampiriku.
"Tante..!!" Teriak seorang anak kecil berkulit hitam manis dan berambut panjang.
"Iya? Kenapa ya?" Tatapku ke arah anak yang wajahnya sangat familiar bagiku.
Aku perhatikan mata anak perempuan ini menyapu pandang ke arah putriku dengan seksama.
"Tante, anak tante namanya Gendis ya?" Suaranya begitu tegas dan lantang.
"Iya betul, namanya Gendis. Nama kamu siapa? Kok tante sepertinya baru melihat wajahmu ya? Apa kamu orang baru disini?" Tanyaku sambil memperhatikan bajunya yang basah bersimbah keringat.
"Aku Aisyah! Cucu pertama Nenek Wulan. Tante kenal sama nenekku kan? Itu rumahnya dipojokkan sana!" Dengan sopan, jempolnya menunjuk ke rumah bercat biru.
Aku tersenyum geli. Anak yang menarik! Aura ramah dan penuh percaya diri tampak menyelimuti tubuhnya yang kurus tinggi.
"Oowwh, kamu cucunya nenek Wulan. Tante kenal kok sama nenekmu" senyumku ramah.
"Tadi anak tante kenapa lari kesana?" Kali ini jarinya menunjuk ke arah kebon pisang.
Aku tersenyum mendengar ucapan polosnya. Sepertinya diam-diam ada yang mengamati perilaku putriku.
"Kok tante nggak menjawab pertanyaan Aisyah??" Tegurnya tanpa melepaskan tatapan mata ke arahku.
"Eh i-iya.. tadi Gendis lari ke arah sana karena ingin menangkap kupu-kupu." Jawabku berbohong.
Aisyah tampak mencermati raut wajahku.
"Tante nggak bohongin Aisyahkan?" Tanyanya tajam.
Aku memutar bola mataku. Hatiku mulai resah dan gugup. "Haruskah aku berkata jujur dan menceritakan kejadian sebenarnya kepada anak yang saat ini sedang berdiri di hadapanku?" Aku mulai mengalami pertentangan batin.
Aku memasang topeng tersenyum untuk menutupi perasaan kalut yang berkecamuk dalam hati.
"Tante nggak bohong kok sama Aisyah!" Jawabku datar penuh rasa bersalah.
"Ooohhh..!! Kirain tadi anak tante kesana karena melihat sesuatu." Ucapnya tersenyum penuh misteri.
Hatiku berbisik "Apa mungkin Aisyah seperti anakku? Bisa melihat sesuatu yang tak terlihat?"
Baru saja aku membuka mulutku ingin bertanya lebih jauh. Daru kejauhan terdengar suara nenek Wulan berteriak memanggil nama cucunya.
Aisyah menatap mataku dalam-dalam "Aisyah pulang dulu ya tante. Soalnya nenek sudah manggil Aisyah! Da..da.. Gendis, lain kali kita main bareng lagi ya." Tuturnya sambil berlari meninggalkanku.
Aku menatap menatap lekat-lekat kepergian Aisyah. "Anak yang pemberani dan cerdas" gumamku sambil kubawa kakiku menapak berjalan menjauh dari mushala.
***
Dengan berjalan santai, aku dan Gendis berjalan pulang menuju ke rumah. Ketika melewati pos satpam yang biasa menjadi tempat tongkrongan bapak-bapak, kulihat mbah Imam sedang duduk santai seorang diri.
"Permisi mbah..." sapaku ramah.
"Gendis habis dari mana?"
"Ini mbah, Ndis habis main di mushala."
"Loh, habis main dari mushala toh?" Raut wajahnya seketika berubah.
"Iya mbah. Kebetulan tadi Ima lihat di halaman mushala ramai dengan anak-anak yang sedang bermain. Jadi Ima ajak Gendis bermain disana."
Mbah terdiam sejenak dan menghisap dalam-dalam rokok kretek yang sedari tadi ia pegang.
"Ima, Ini hanya sekedar saran dari mbah. Mau diterima syukur, kalau tidak ya sudah. Kalau bisa jika hari sudah menjelang senja, putrimu itu jangan pernah diajak bermain disana !"
"Memangnya kenapa mbah??"
Mbah kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. Matanya mengawang berusaha mengembalikan serpihan ingatannya.
"Memangnya Ima tidak tahu?" Tanya mbah sambil memicingkan kedua bola matanya yang besar.
"Tahu tentang apa mbah??" Ucapan mbah Imam membuatku penasaran.
"Kamu tahukan kebun pisang di lahan kosong yang berada tepat dekat surau?"
"Iya mbah, memangnya kenapa ya sama kebun tersebut?"
"Kebun itu sudah dari dulu terkenal angker!!!" Mata mbah melotot ke arahku.
Keningku mengerenyit, "Angker?? Kok Ima baru tahu ya??" Aku tertawa dalam hati. Apa jadinya kalau mbah tahu apa yang baru saja dilihat oleh putriku.
Mbah terkekeh. Tampaknya ia begitu geli mendengar pertanyaanku.
"Jelas saja kamu tidak tahu!! Wong kejadian itu memang sengaja dirahasiakan oleh warga yang sudah lama menetap disini!"
Wajahku berubah antusia ingin mengetahui lebih lanjut lagi cerita tentang kebun tersebut. Ternyata selain mahluk penunggu jembatan. Di perumahanku juga menyimpan cerita mistis lainnya.
"Maaf mbah, apa Ima boleh tau cerita yang sebenarnya?"
Mbah terbatuk-batuk dan menghela nafas pelan.
Ia terdiam sejenak, menatap mataku dan melanjutkan ceritanya.
"Awalnya semua tampak tenang dan normal saat mbah pertama kali pindah kesini. Namun lama-kelamaan banyak warga yang mengeluh melihat penampakan mahluk gaib. Dari sesosok ular sebesar pohon kelapa hingga wujud perempuan berdaster panjang. Warga mulai merasa resah dan kebingungan harus berbuat apa untuk menghentikan teror mereka." Mbah menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan.
"Terus mbah?"
"Kebetulan saat itu ada mas Joko, saudaranya Pak Tono yang paham akan dunia supranatural. Beliau berkata kalau pusat kerajaan mahluk gaib itu berada tepat di lahan kosong samping mushala. Mereka merasa terganggu karena tempat ini dijadikan perumahan." Mbah kembali terbatuk. Sejenak wajahnya tertunduk berusaha menarik nafas dalam-dalam.
Rasanya saat itu bibirku tidak tahan ingin menceramahi mbah untuk berhenti merokok! Aku tidak tega setiap kali melihatnya terbatuk. Tampak begitu menyakitkan! Aku begitu mengkhawatirkan kesehatan paru-parunya!
"Akhirnya mas Joko melakukan negosiasi dengan pemimpin mereka yang berwujud perempuan tua bertubuh ular. Entah apa yang dilakukan oleh mas Joko, yang pasti semenjak itu tidak pernah lagi ada warga yang diganggu oleh mereka."
"Mba Ima, putrimu ini berbeda dengan anak kecil lainnya. Makanya mbah melarang Gendis bermain disana. Mbah tidak mau kalau mereka sampai mengganggu Gendis!"
Sejenak aku merenung memikirkan nasehat mbah.
"Berarti yang tadi memperkenalkan dirinya ke putriku adalah penguasa di wilayah ini?" Aku bergidik ngeri membayangkan wujudnya dalm bentuk manusia setengah ular.
"Baik mbah, terima kasih ya sudah peduli sama Ima dan Gendis."
"Sama-sama. Sudah cepat pulang sana! Ini sudah hampir maghrib!"
Aku pun pamit pulang dan melangkah menuju kediamanku yang jaraknya tidak begitu jauh dari pos satpam.
***
Setibanya di rumah, aku langsung merebahkan tubuh di sofa. Aku menyelonjorkan kaki menghilangkan penat. Nyaman sekali!
Sedangkan Gendis tanpa mengenal lelah langsung bermain bola dan berlari mengelilingi ruangan. Jerit tawanya terdengar lucu saat sedang bermain sendirian. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti di ruang tamu. Netranya yang bening menatap tajam ke lantai beralas karpet. Ia tampak sedang mengawasi sesuatu.
"Ma..! Ma..! Itu ayah agi di otel..!!" (ma, ma, itu ayah lagi di hotel) Tunjuknya ke karpet berwana pastel.
"Ma.. epatt!! ayah di otel..!!" (ma, cepat. Ayah di hotel) Pekiknya tanpa henti.
Aku terkejut bukan kepalang. Mataku sontak terbelalak mendengar ucapan Gendis. "Apa saat ini anakku sedang menerawang ayahnya? Jika benar apa yang diucapkan putriku, dengan siapa ia disana? Dan apa yang sedang dilakukan suamiku di hotel? Kenapa ia tidak memberi kabar sebelumnya? Apa ia sudah menghianatiku lagi?" Sejumlah pertanyaan berkecamuk dibenakku.
Hatiku mulai dibakar api cemburu. Jantungku berdebar cepat. Hatiku gemetar. Mataku memerah berusaha menahan buliran air mata amarah. Perkataan Gendis berhasil membikin jantungku seolah berhenti dan membuat diriku semakin kalut.
Bersambung
Comments (0)