Aku tidak percaya dengan apa yang ditulis gadis itu, sebegitukah Dino? Apa yang sebenarnya ada di pikirannya sampai sebegitunya ia kepada Cauthelia. Sebenarnya aku sempat sedih saat membacanya, aku terdiam sejenak sambil menatap lid notebook-ku, entah pikiranku kosong saat ini. Ada perasaan empati kepada gadis ini, ya gadis yang baru kutemui beberapa jam yang lalu tersebut. Kuraih ponselku dan aku pun menghubunginya, setelah dial tone berbunyi beberapa kali, terdengarlah suara gadis itu dari seberang sana.
“Kak Tama, kok telepon aku?” tanyanya dengan nada yang bersemangat.
“Gak apa,” ujarku singkat, “gue cuma merasa gimana gitu baca email loe,” ujarku lalu sedikit menghela nafas.
“Ada yang salah ya dari email aku, haduh, maafin aku ya ka,” ujarnya seakan ia yang bersalah saat itu.
“Loh, kenapa juga loe yang minta maaf?” tanyaku heran, “loe gak salah, Dino yang salah,” ujarku menenangkan, ia terdiam cukup lama di seberang sana, “Elya? Loe masih disana kan?” aku memanggilnya karena tidak ada suara darinya.
“Aku pikir email aku ada yang salah kak,” ujarnya, “kak, boleh tanya sesuatu gak?” tanyanya dari seberang sana.
“Yoi, mau tanya apaan?” tanyaku balik.
“Bener gak kalo dulu kakak pernah jadiin aku cewek taruhan sama Dino?” ujarnya setelah ia menghela nafas.
“Siapa yang bilang begitu?” tanyaku tetap tenang.
“Dino kak,” ujarnya pelan.
“Satu hal yang loe harus tahu, gue ga pernah jadiin cewek bahan taruhan,” ujarku.
“Berarti Dino bohong yah, katanya kakak itu suka jadiin cewek bahan taruhan terus ditinggal,” ujarnya penasaran.
“Gue bukan orang kayak begitu, wanita adalah ciptaan Tuhan yang harus dilindungi, bukan untuk dimanfaatkan,” ujarku dengan segala filosofi yang kumiliki.
“Eh, kok beda ya?” tanya dia keheranan.
“Beda apanya?” tanyaku balik.
“Gak seperti yang Dino selalu ceritain.”
“Gue tahu pasti dia bilang macem-macem tentang gue?” tanyaku lagi, aku berusaha mengingat beberapa peristiwa yang terjadi karena fitnah Dino kepadaku.
“Banyak kak, katanya kamu pernah hamilin cewek lah sampe keluar dari sekolah,” ujarnya di seberang sana sementara aku terdiam, ya itu adalah fitnah yang dibuat oleh Dino untuk membuatku malu atas kepindahan Aerish.
“Kak?” ujarnya singkat, aku sedikit terkejut
“Eh maaf, gue malah ngelamun,” setelah itu aku tertawa kecil.
Kami berbicara banyak hal, ya banyak hal, dan sejak saat itu pun aku mengetahui bahwa Elya bukanlah milik Dino lagi. Tunggu, biarpun mereka saling mencintaipun, tanpa pernikahan Dino dan Cauthelia tidaklah saling memiliki. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi, lebih baik aku fokus kepada pelajaran untuk menghadapi Ujian Nasional nanti.
Kuletakkan ponselku di meja yang terletak di meja sebelah ranjangku. Aku mulai membuka notebook lagi dan melihat-lihat beberapa dokumen pelajaran yang kurangkum dalam beberapa folder. Sejenak aku melihat beberapa kenanganku bersama Aerish, ada beberapa fotonya di notebook ini. Aku seringkali mengingat senyumannya dan juga semua tingkah lakunya bersamaku dahulu saat aku masih kelas X.
Sudahlah, aku tidak ingin mengingatnya lagi, kualihkan tab ke jendela dokumen yang sudah kubuka sejak tadi. Kucoba untuk mempelajari beberapa hal yang mungkin berguna untuk Ujian Akhir nanti. Sudah sekian lama aku belajar, aku pun memutuskan untuk tidur, dan harapanku semoga hari esok tidak hujan lagi.
Ini masih jam 0445, tetapi sudah ada SMS dari gadis itu, hebat sampai seniat itu dia mengirimkanku pesan sebegini pagi. Aku sedikit tersenyum dan jantungku sedikit berdetak lebih cepat mengetahui ada SMS dari gadis itu. Sembari menggenggam ponselku, aku duduk di pinggiran ranjang lalu sedikit mendengar suara hujan sudah turun pagi ini. Sedikit ragu aku membalas pesan tersebut, karena tidak mungkin aku membawa E38 ke sekolah.
Tidak butuh waktu lama, aku menuju kamar mandi dan bersiap-siap menuju sekolah. Sekedar informasi, aku termasuk murid yang paling rajin tiba di sekolah, dan hanya satu temanku yang biasanya menungguku di sekolah, Nadine Helvelina, ketua OSIS yang sangat populer di sekolah, sangat cuek kepadaku dan aku juga acuh kepadanya. Sudahlah, fokus dengan hari ini, ada seorang gadis yang memintaku untuk berangkat bersama, dan itu sangat jarang.
Jam 0550 aku bertolak dari rumah dengan sepeda motor pinjaman dari Ayahku, aku menjemput gadis itu terlebih dahulu. Tidak selama kemarin, hanya butuh waktu 10 menit aku tiba di depan rumahnya, ya ini sudah jam 0600 tepat. Sesuai dengan ajaran orang tuaku, aku turun dari motor dan dengan sopan aku mengetuk pintu rumahnya yang cukup besar.
“Selamat pagi,” ujarku sopan saat seseorang datang dari balik pintu rumah tersebut.
“Pagi, ayo masuk,” ujar gadis dengan seragam SMP tersebut, mungkin ini adalah adiknya Elya.
“Pasti nyariin ka Elya ya?” tanyanya lagi, ia sambil tertawa kecil, dengan senyum ringan aku menggangguk, “oh iya, aku Mikayla Ariesta, adiknya ka Elya,” ujarnya dan menjulurkan tangannya.
“Faristama,” ujarku dan menjabat tangannya.
“Tungguin ka Elya ya,” ujarnya lalu pergi jauh ke bagian dalam rumahnya.
Aku duduk di kursi di ruang tamunya, dan aku menunggu gadis itu untuk keluar dari kamarnya. Sekilas terdengar suara dari bagian dalam rumahnya, sepertinya orang tuanya cukup sibuk karena sudah tidak ada di rumah pada waktu yang sepagi itu. Dan tidak lama kemudian aku mencium wangi perfume yang cukup otentik dari gadis itu, sama seperti yang kucium kemarin. Ia muncul dengan rambut bergelombangnya yang digerai indah dan tersenyum kepadaku.
“Udah lama Kak?” tanyanya ringan.
Aku menggeleng pelan, “belom sih, cuma mendingan buruan berangkat deh keburu ujan,” ujarku lalu berdiri dari kursi.
Ia menghampiriku, “Adek, kakak pergi dulu ya,” ujarnya agak keras tetapi suaranya tetap lembut.
“Iya kak, nanti aku minta Pak Tamin aja ya buat anterin aku,” ujar adiknya dari kejauhan.
Ia pun keluar dari pintu rumahnya terlebih dahulu, dan aku melihat ada seorang pria paruh baya, mungkin itu yang namanya Pak Tamin. Beliau sedang membersihkan mobil Mercedes W211 berwarna perak tersebut. Terlihat jelas badge E280 dengan 7G-TRONIC di sebelahnya. Aku melambaikan tangan kepada Pak Tamin dan tersenyum, ia hanya mengangguk dengan sopan. Baru sehari aku di sini, tetapi rasanya sudah seperti lama tinggal di sini.
Mega tampak sangat berat pada pagi itu, saat aku sudah duduk di atas jok sepeda motorku gerimis ringan mulai turun. Aku memandang gadis itu, ia hanya tersenyum seakan mengatakan tidak masalah. Aku mulai melaju dengan kecepatan normal, tidak aku percepat apalagi kuperlambat.
“Kak, makasih yah buat sweaternya,” ujarnya memulai pembicaraan.
“Okay sama-sama,” ujarku ringan, dan aku baru menyadari bahwa ia menggunakan sweater yang aku pinjamkan kemarin.
“Boleh ya aku pinjem dulu?” tanyanya dan itu membuatku sedikit berpikir. Sweater itu adalah sweater khas milikku, karena dengan adanya sweater itu orang menyadari presensi aku di sekitar mereka. Aku sudah memilikinya sejak kelas X, bahkan seluruh kabid di OSIS mengetahui bahwa itu adalah keotentikan milikku. Apabila jatuh ketangan gadis ini, apa pikiran mereka, tetapi sudahlah aku tidak peduli.
“Loe pake aja, ga masalah kok, gue masih ada banyak,” ujarku santai.
“Makasih ya kak,” ujarnya, “tapi ini kan penanda khas kak Tama di sekolah?”
“Loe tahu juga ya?” tanyaku dengan tetap berkonsentrasi dengan jalanan.
“Siapa gak kenal pemilik sweater cokelat ini,” ujarnya tertawa kecil.
“Ternyata, gue cukup terkenal juga ya,” ujarku setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari gadis itu.
“Kak Tama dulu cukup populer gara-gara suatu peristiwa, mungkin kakak inget?” tanyanya ringan.
Sudahlah, ujarku dalam hati, aku tetap berkonsentrasi untuk tiba secepat mungkin di sekolah sebelum hujan turun. Tidak lama berselang, aku tiba di sekolah, dan gerimis masih turun dengan intensitas yang cukup ringan. Sekolah sangat sepi pagi ini, terlebih karena hujan lebat kemarin banyak daerah tergenang banjir, sehingga mungkin sedikit mengganggu aktivitas sekolah hari ini, tetapi sekali lagi, sudahlah.
Kami berpisah di persimpangan jalan ke kelasnya, gadis itu banyak sekali bercerita tentang dirinya sepanjang perjalanan. Cauthelia, gadis idaman laki-laki satu sekolahku, wajahnya cantik dengan rambutnya yang panjang bergelombang. Terlihat kesempurnaan gadis tersebut dari belakang dengan tubuh sintalnya, bahkan dia punya julukan Lia Chubby karena memang memiliki pipi yang sedikit tembem tetapi menurutku justru itulah yang membuatnya semakin cantik. Dia pintar dan juga sangat ramah kepada semua orang, hanya saja, dia sudah bersama Dino, tetapi lagi-lagi, sudahlah.
“Gimana bisa loe deket sama Lia?” suara itu datang mengagetkan aku.
“Loe kebiasaan sih Nad suka ngagetin?” ujarku ketus.
“Cuma heran aja, seorang Faristama Aldrich bisa deket sama adek kelas yang katanya kayak hama padi,” ujarnya dengan nada sangat mengejek.
“Mungkin itu dulu,” ujarku lalu berjalan menuju kelas.
“Eh maksud loe?” tanyanya tidak percaya.
“Ya bisa aja Elya bikin keyakinan gue berubah mengenai Aerish,” ujarku dan aku tiba di depan pintu kelas.
“Loe itu aneh ya Tam,” ujarnya sedikit kesal.
“Loh kenape loe yang sewot sih, woles aja Nad,” ujarku tidak kalah mengejek, lalu aku duduk di kursiku, dan ia pun duduk di sebelahku.
“Heran gue perasaan kalo ada loe bawaan gue emosi mulu deh,” ujarnya lalu memandangku dengan tatapan tajam.
“Hellow ketua OSIS yang populer,” ujarku mengejeknya, “kenapa tiba-tiba loe care hubungan gue sama Elya?” tanyaku tajam, “loe sakit Nad?” tanyaku dan memegang keningnya.
“Apaan sih!” ujarnya ketus, ia menyingkirkan tanganku dari keningnya, “sekali lagi loe pegang gue, gue tampar loe!” bentaknya, dan aku tidak heran dengan sikapnya yang seperti itu.
“Okay, hands up, fine,” ujarku lalu mengangkat kedua tanganku.
Ada SMS masuk dari Cauthelia dan langsung terbaca begitu saja di layar ponselku. Tanpa banyak kata, aku tinggalkan gadis itu sendiri di dalam kelas dan aku keluar menuju kelas Cauthelia. Aku sekilas memandang Nadine, ia tampak sedikit kesal memandangku entah dengan alasan apa, dan lagi-lagi hatiku mengatakan, sudahlah.
Comments (0)