Part. 29
Tempat Makan Pesugihan
Tempat Makan Pesugihan
"Aku mulai merebahan tubuhku di atas karpet yang empuk. Hembusan ac di ruang tv terasa begitu sejuk, membuat kelopak mataku perlahan meredup. Aku segera memutar aplikasi musik di ponsel untuk menemaniku beristirahat. Sayup-sayup suara merdu Trisha Yearwood yang sedang melantunkan lagu How Do I Live Without Youmengantarku ke alam mimpi...
"Tin-tin-tin-tin-tiiiiinnnnn" suara klakson mobil yang kencang mengagetkanku.
Aku membuka mata dan melirik ke sofa, putriku masih tetap berada diposisinya dan sedang tertidur lelap. Wajahnya terlihat begitu damai dan letih. Aku mengusap wajahku, sepertinya peristiwa tadi siang begitu membekas didiriku dan membuatku trauma! Tiba-tiba aku berubah menjadi paranoid kalau melihat Gendis tidak berada disampingku!
"Tiiiiiiiiinnnnnn....!!!"
"Siapa sih yang menglakson kendaraan sekencang itu!" Gerutuku kesal.
Dengan sempoyongan, aku berjalan menuju ke ruang tamu dan mengintip melalui celah jendela.
"Ternyata suamiku! Tumben jam segini mas sudah pulang!"
"Sebentar mas...!! Teriakku dengan suara parau sambil membuka pintu ruang tamu perlahan.
Dengan mata yang terlihat sembab dan kuyu, aku segera menuju ke teras dan membuka pintu garasi.
"BRUMMM" suamiku langsung memarkirkan kendaraannya di garasi.
"Kamu kemana saja sih? Dari tadi mas klakson dan panggil-panggil tapi tidak ada jawaban sama sekali?" Tegur suamiku dengan raut wajah masam.
"Maaf mas, Ima dan Ndis dari siang ketiduran di ruang tv" sahutku sambil mencium tangan suamiku.
"Tumben tidurnya sampai sore?" Tanya suamiku sambil mengamati raut wajahku.
"Ma, kenapa matamu sembab? Kamu habis menangis?" Tanyanya sambil memegang daguku.
"He-eh" jawabku singkat sambil memalingkan wajahku.
"Ada masalah apa?" Mas mulai menginterogasi diriku.
"Cuma kangen sama Ibu" jawabku berbohong.
Aku yakin kalau saat itu aku berkata jujur, yang ada suamiku akan marah besar dan malah mencaci maki diriku!
"Kamu sedang tidak berbohong sama mas kan?" Telisiknya sambil menatap lekat ke dalam mataku berusaha mencari kebenaran yang tersembunyi di dalamnya.
"Nggak mas! Aku beneran lagi kangen banget sama Ibuku!"
"Ya sudah kalau begitu. Banyak berdoa saja untuk Ibu" sahut mas sambil menghampiri Gendis yang masih tertidur pulas.
"Ndis, ayah pulang" ujarnya sambil membelai dan mencium kepala Gendis.
"Anak ayah tidurnya nyenyak banget, pasti tadi kecapean habis bermain sama teman-teman ya?"
Setelah puas menatap dan menciumi wajah putrinya, mas segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meninggalkan aku yang duduk termenung memikirkan kapan waktu yang tepat untuk menceritakan peristiwa tadi siang ke suamiku.
***
Bulan sabit memancarkan sinar temaram di malam yang gelap gulita. Saat sedang asik bercengkrama dengan suami dan anakku di ruang tamu, terdengar suara raungan mesin motor berhenti di pekarangan rumah. Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan di pagar disertai seseorang berteriak memanggil namaku.
"Teeeehh...!! Teeehh...!! Teteh ada di rumah nggak?"
"Ma itu suara adikmu. Tumben malam-malam begini Aan datang ke rumah?"
"Aku juga kurang tahu mas. Mungkin kebetulan dia lagi lewat daerah sini makanya sekalian mampir." Jawabku sambil melihat ke arah pelataran rumah.
"Masuk saja An! Gerbangnya nggak teteh kunci kok!" Jawabku sambil berteriak dari dalam rumah.
"Ya sudah, Aan masuk ya Teh!"
"Kleetekkk" bunyi suara pintu pagar dibuka.
"Sana temui adikmu dulu!"
Aku bergegas menuju ke teras untuk menemui adikku yang bernama Aan.
"Tumben malam-malam begini kamu kemari!" Tanyaku pada adikku satu-satunya yang wajahnya tampak menyimpan banyak pikiran
Aan melihat ke arahku sambil menyengir.
"He..he..he.. Mas Dedi lagi ada di rumah ya Teh?"
"Ada tuh lagi main sama Gendis di ruang tamu. Kamu mau masuk ke dalam rumah atau duduk disini?"
Aan di teras saja Teh! Cuma mau numpang istirahat sebentar saja." Ujarnya sambil selonjoran di ubin teras dan mulai menyalakan korek api di tangannya.
"Jangan merokok di sini!! Teteh nggak suka!!" Bentakku sambil melotot melihat kelakuan adikku yang sudah paham kalau aku alergi asap rokok.
"Sebentar aja Teh..!! Lagian Aan merokoknya kan di teras, bukan di dalam rumah" kelitnya dengan tatapan kosong sambil menghembuskan asap rokok ke dinginnya udara malam.
"Ya sudah tapi kalau Gendis nyamperin kamu, tolong segera matikan rokoknya! Jangan bikin alergi Ndis kambuh. Kamu mau minum apa An?"
"Siiap Bos!! Biasaa... kopi hitam!! Koleksi kopi tetehkan banyak" kekehnya dengan suara tak bersemangat.
Aku segera masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman untuk adikku.
Gendis yang melihatku masuk segera menghampiri aku dan bertanya "Ma, ciapa ma?"
"Itu ada om Aan"
"Mana ma?"
"Tuh lagi duduk di teras. Gendis jangan dekat-dekat om Aan dulu. Soalnya om Aan lagi merokok."
Namun Gendis tidak mengidahkan ucapanku. Sambil berlari, putriku langsung meninggalkan ayahnya dan menuju ke teras.
"Om..!! Ommm!!" Pekiknya riang.
""Ada apa Aan malam- malam kemari?" Tanya mas.
"Katanya cuma numpang istirahat mas" jawabku sambil menyeduh secangkir kopi.
"Oohh... ya sudah, kamu temani saja adikmu dulu. Mas mau istirahat disini saja."
Aku segera membawakan secangkir kopi hitam kesukaan adikku. Namun langkahku terhenti di ambang pintu ruang tamu. Kedua alisku bertaut melihat pemandangan tak lazim dihadapanku.
Saat itu netraku melihat Gendis sedang memeluk tubuh adikku dengan erat. Pelukannya terlihat begitu penuh dengan cinta kasih! Sesekali tangan putriku tampak menepuk-nepuk bahu Aan seakan berusaha memberikan semangat kepada adikku.
Tatapan mata Gendis juga tidak seperti biasanya. Matanya menatap teduh ke dalam mata adikku. Dan jemari mungilnya beberapa kali terlihat mengusap lembut kepala Aan yang rambutnya terlihat lepek basah k
terkena keringat.
Kuperhatikan raut wajah Aan tampak keheranan mendapat perlakuan seperti itu dari keponakannya.
"Teh... Gendis kenapa nih?" Tanya Aan dengan sorot mata tak percaya.
Aku tak menjawab pertanyaan adikku. Aku terus mengamati perilaku Gendis yang malam ini tampak seperti orang dewasa. Perlakuan Gendis ke Aan layaknya seperti kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya.
"Om Aan....!!" Seru Gendis sambil terus membelai lembut kepala adikku.
"Apa? Gendis kenapa dari tadi meluk dan nepuk bahu om Aan?" Tanya adikku penuh rasa ingin tahu.
"Om.. cabal ya, cabaaal!!" (Om..Sabar ya, sabar) seru Gendis sambil memeluk adikku dengan hangat.
Perlahan Gendis melepaskan pelukannya dan mencium kening adikku. Ia menatap teduh dan tersenyum penuh cinta kasih ke omnya.
"Cabaaalll ya oooommm" (sabar ya om) ujarnya sambil segera berlari masuk ke dalam rumah.
Tehhh..!! kenapa sikapnya Gendis aneh banget? Aan sampe merinding nih!" Seru adikku sambil memperlihatkan bulu tangannya yang meremang.
"Aneh gimana?" Aku balik bertanya sambil menyerahkan segelas kopi ke adikku.
"Nggak tau, Aan merasakan sikap Gendis itu seperti mama! Anaknya teteh seperti tahu kalau perasaan Aan sedang kalut! Ujar adikku sambil menggaruk kepalanya.
"Memangnya kamu lagi ada masalah?"
"Iya, Aan lagi ada masalah di kerjaan. Makanya Aan kemari." Sahutnya dengan tatapan mengawang.
"Asli, anak teteh serem!! Gendis masih kecil tapi sikapnya dewasa banget!! Apa mungkin Gendis bisa merasakan apa yang saat ini sedang Aan rasakan?"
"Teteh nggak tau An! Teteh juga heran melihat sikap Gendis malam ini!"
Suasana menjadi hening. Aku mengambil kursi hijau dan duduk di teras sambil mengamati adikku yang tampak lusuh tak terawat.
"An, kamu sudah makan malam belum?" Suara mas mengagetkanku. Aku menoleh, mas ternyata sudah berdiri di belakangku.
"Sudah Mas Dedi! Tadi sebelum kemari Aan sudah makan di jalan!" Jawab adikku berbohong
"Ma, kamu segera ganti pakaian. Kita makan di luar." Ajak mas sambil memanasi kendaraannya.
"Emangnya kita mau makan dimana mas?"
"Lihat saja nanti. Sana cepat ganti bajumu!"
Aku bergegas menuju ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian, aku segera kembali ke teras bergabung dengan mereka.
"An, ayo ikut makan malam!" Pinta mas.
Awalnya adikku menolak, mungkin ia merasa malu. Namun mas bersikeras memaksa adikku untuk ikut. Apalagi Gendis terus bergelayut manja di pangkuan omnya. Akhirnya adikku mengalah dan memutuskan pergi bersama keluargaku.
Aku mengamati dari balik kaca spion mobil. Sepanjang perjalanan Gendis terus menatap dan mengusap lembut pipi adikku. Sikap Gendis yang tidak seperti biasanya membuat adikku salah tingkah.
"Ma, Aan, bagaimana kalau kita makan di bakso Enak?" Suamiku menyebutkan salah satu tempat makan yang selalu dipadati pembelinya.
"Terserah mas Dedi, Aan mah ikut saja" jawab Aan sekenanya.
"Memangnya makanan disitu enak mas?" Tanyaku penasaran.
"Mas juga belum pernah makan disitu. Makanya malam ini kita coba oke!"
"Setau Aan sih tempat makan itu ramai terus teh. Bahkan dari pukul tujuh pagi sudah banyak kendaraan dan orang yang mengantri. Padahal tempat makannya baru dibuka jam sembilan. Kalau tidak enak, ngapain juga banyak orang yang makan disitu?" Sahut adikku sambil tertawa geli.
"Tapi tempatnya nyaman nggak? Kalau penuh sesak sama pengunjung pasti hawanya gerah. Gendis nggak akan suka, dia pasti rewel!"
"Tenang teh...! Tempatnya luas dan nyaman. Kalau Gendis rewel biar nanti Aan yang gendong Gendis. Oke Ndis??" Adikku memberikan tangannya untuk toast.
Gendis langsung menyambutnya dengan high five disertai tawa cekikikan kegirangan.
Suamiku memarkirkan kendaraannya disebuah tempat makan bakso dan mie ayam yang tempatnya cukup luas dan besar. Walau hari sudah menjelang malam, tempat itu tidak pernah sepi! Malah terlihat semakin ramai penuh sesak pengunjung. Bahkan terlihat antrian yang sangat panjang hingga ke arah parkiran dari pembeli yang ingin membawa pulang makanannya.
Dari pertama kali menginjakkan kaki di halaman parkir, kuperhatikan Gendis mulai gelisah. Bahasa tubuhnya menunjukkan kalau putriku tidak nyaman berada disini. Netranya yang indah terlihat mengamati bangunan ruko dengan seksama.
"Ramai banget mas, semua tempat duduk kayanya penuh. Kita mana bisa kebagian tempat duduk?"
"Sudah, kita masuk saja dulu. Kalau tidak dapat tempat, ya bungkus saja. Sini biar mas yang menggendong Gendis" mas mengambil Gendis dari dekapanku.
Aku semakin penasaran dengan rasa bakso dan mie ayam di tempat tersebut. Apa yang membuat rasanya begitu enak sampai banyak orang rela mengantri berjam-jam hanya demi mencicipi rasanya?
Kami segera melangkah masuk ke dalam ruko yang terlihat sesak ramai pengunjung. Kuperhatikan mereka tampak nikmat dan lahap menyantap bakso dan mie ayam yang terhidang di hadapan mereka. Bahkan ada pengunjung yang tak segan-segan menyeruput langsung kuah bakso dari mangkoknya.
"Seenak itukah rasa bakso dan mie ayam racikan mereka?" Pikirku sambil menelan ludah.
Begitu kami masuk ke dalam ruko, mata Gendis mulai berpendar mengamati ruangan di sekelilingnya. Saat kami sedang kelimpungan mencari kursi yang kosong, lain halnya dengan yang dilakukan oleh Gendis. Bahasa tubuhnya tidak terlihat santai seperti biasanya. Ia tampak begitu siaga seperti seorang ksatria yang siap berperang. Gendis tampak mempertajam semua indra ditubuhnya. Perlahan tatapan Gendis berubah tajam ketika melihat ke arah dapur yang letaknya berada diujung ruangan.
Mata putriku membeliak dan ia mulai berteriak kencang "NOOOOO....!! NOOOOOOOO.....!!" Sambil telunjuknya menunjuk ke arah dapur.
"Gendis...!!" Bentak suamiku berusaha menghentikan teriakan anakku.
Namun bentakan mas tidak bisa meredam teriakan Gendis yang perlahan berubah menjadi jeritan dan tangisan histeris. Putriku langsung memberontak dan meronta berusaha melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Kakinya terus menendang ke sana kemari. Matanya menatap nyalang ke arah dapur yang cahayanya tampak temaram. Terpampang jelas teror ketakutan di netra putriku.
Amukan Gendis mulai mengundang beberapa mata pengunjung yang sedang menikmati makanan. Mereka melihat sekilas ke arah kami dan mencibir kelakuan aneh putriku.
"Puyanggg.....!!! Puyaaaannnggg......!!! NOW...!!" Teriaknya nyaring. (pulang, pulang, Now)
Wajah suamiku memerah petanda dirinya tengah berusaha menahan emosi. Dengan bersusah payah mas dan Aan berusaha menenangkan amukan Gendis. Namun upaya mereka sia-sia belaka. Anakku terus menjerit ketakutan. Mata ketiganya seperti sedang dihadapkan dengan sesosok mahluk yang terlihat begitu menakutkan dan menyeramkan!!
"Apa tempat makan ini memakai jin penglaris? Dan apa saat ini anakku sedang melihat penunggu tersebut?" Tanyaku dalam hati.
Aku segera meminta suamiku untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Dengan tidak enak hati, aku memohon maaf karena tidak jadi memesan makanan kepada pelayan yang tadi sudah menyambut kedatangan kami.
Kulihat pemilik tempat makan yang sedang duduk di belakang meja kasir menatap sinis ke arah putriku. Mungkin di mata pemilik tempat makan, putriku adalah biang onar yang sudah membuat keributan dan menganggu ketenangan pengunjung. Dengan perasaan malu, akhirnya kami melangkah keluar dari ruko dan tidak jadi memesan makanan.
Setelah berada di dalam mobil, Gendis mulai kembali tenang. Ia beringsut ke pelukanku sambil menangis terisak-isak.
Raut wajah suamiku masih tegang berusaha menahan amarah sekaligus malu dengan kelakuan Gendis.
"Gendis!!" Bentak mas dengan rahang mengatup kencang.
"Tolong dengarin ayah!! Jangan pernah bersikap seperti itu lagi!! Itu namanya tidak sopan!! Ayah tidak suka!!"
"Istighfar mas!!! Jangan ngomong gitu dong sama Gendis! Kan kita tidak tahu apa yang Gendis lihat dan rasakan!" Aku langsung membela putri kesayanganku.
"Gendis itu masih kecil.. kita tidak tahu apa yang tadi ia lihat di tempat makan tersebut! Tolong kamu jangan egois! Utamakan perasaan nyaman anak kita!" Dengusku kesal.
Mas melirik ke arah Gendis yang masih membenamkan wajahnya di dadaku.
"Kamu jangan terlalu memanjakan Gendis!! Nanti dia bisa tumbuh menjadi anak yang egois!" Ucap mas gusar.
Aku menghela nafas tipis mendengar ucapan suamiku. Ingin ku lawan perkataannya namun saat ini perasaan Gendis merupakan prioritas utamaku.
Aan terdiam di kursi belakang. Ia tampaknya enggan jika harus ikut campur dengan pertengkaran kami.
"Ma, ceyemmm" (ma, serem) bisiknya lirih sambil merapatkan pelukannya di tubuhku.
"Seram apanya?" Memangnya tadi Gendis lihat apa?"
"Nenek ma.. nenek!!"
"Nenek?"
Ia mulai memandangku dengan wajahnya yang lugu.
"Neneknya seram banget ya?"
Gendis mengerjapkan bulu matanya yang lentik petanda menyetujui ucapanku.
"Gendis lihat nenek dimana?"
"Di Apul, ma!" (di dapur, ma)
"Di dapur? Nenek lagi ngapain di dapur?"
"Lagi dili ma" (lagi diri ma)
"Ngapain nenek berdiri di dapur?"
Putriku menggeleng lemah. Sepertinya ia mulai kebingungan menjawab pertanyaanku.
"Kalau rambut nenek warnanya apa Ndis?"
"White ma!" Ujarnya sambil menunjuk giginya yang berwarna putih.
"Nenek adi Iatin Dis!!" (nenek tadi liatin Ndis)
"Atanya elotot..!!! Attuuuttt maaa... Celeemmm !!!" (Matanya melotot, takut ma.. serem) Teriaknya sambil menutup wajahnya dengan ke dua tangannya.
"Ya sudah kalau Gendis takut. Kita nggak akan pergi kesana lagi ya nak" sahutku sambil membelai rambutnya yang hitam legam.
"Nenek celem aat ma..!!" (nenek serem jahat ma)
"Neneknya jahat? Emang neneknya ngapain Gendis?"
Putriku terdiam.. matanya menatap ragu ke arah suamiku.
"Nenek ga cuka Dis!" (nenek ngga suka Ndis)
"Nggak apa-apa kalahu nenek tidak suka Gendis. Yang penting mama selalu sayang sama Ndis" jawabku sambil menciumi pipinya yang terasa dingin terkena ac mobil.
"Sekarang kita mau makan dimana?" Sela mas dengan gusar.
"Terserah Mas Dedi saja!" Timpal adikku berusaha mencairkan suasana yang tegang.
"Makan pecel ayam yang dekat rumah saja deh, lagian sudah malam begini!" Usulku sambil mengamati jalan raya yang mulai tampak sepi.
Mas segera memutar balik kendaraannya dan menuju ke tempat pecel ayam langganan kami. Karena hari sudah larut malam, kami memutuskan untuk membungkus makanan dan membawanya pulang.
Setibanya di rumah, adikku langsung pamit undur diri. Mungkin ia merasa tidak enak melihat situasi yang agak kaku antara aku dan suamiku.
"Teh..!! Mas Dedi..!! Terima kasih banyak, Aan pamit dulu ya!" Tuturnya sambil memakai jaket kulit yang ia taruh di atas pagar.
"Kenapa buru-buru An? Makan disini dulu bareng kami" basa basi suamiku.
"Terima kasih mas. Tapi ini sudah malam banget! Biar pecel ayamnya, Aan makan di rumah saja."
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan" cakap suamiku sambil melangkah ke dapur.
"Teh, lihat sarung tangan Aan nggak? Perasaan tadi Aan taruh di atas meja teras" Adikku celingukan mencari sarung tangan kulitnya.
"Perasaan dari tadi diatas meja tidak ada apa-apa."
"Beneran teh, tadi Aan taruh sarung tangannya disitu!"
Akhirnya aku membantu adikku mencari sarung tangannya disetiap sudut teras, namun kami tidak berhasil menemukannya.
Gendis tertawa geli. Sepertinya ia merasa bahagia melihat kami yang sedang kebingungan.
Putriku berlari ke arah perosotan dan mengambil sesuatu dari bawahnya "Om, ini ya om?" Seraya menyerahkan sarung tangan kulit berwarna hitam.
"Loh kok sarung tangan om Aan bisa ada di bawah perosotan?" Tanya Aan dengan tatapan ganji.
"Gendis ya yang mengambil sarung tangan om Aan?" Aku bertanya ke putriku yang asik senyum-senyum sendiri.
"No, ma!! No!!" Jawabnya tegas.
"Terus siapa yang taruh sarung tangannya di bawah perosotan?"
Gendis meletakkan ke dua tangannya ke belakang dan tubuhnya mulai bergoyang perlahan sambil menatap ke arah pintu pagar.
"Ndis kok nggak mau menjawab pertanyaan mama?"
Anakku tersenyum sambil terus menatap ke arah pagar bercat cream.
"Sudah teh! Jangan paksa Gendis. Mungkin dia nggak mau cerita."
"Bisa jadi An, mungkin ada yang melarang dia untuk bercerita"
"Aan pamit dulu ya teh! Salam untuk mas Dedi!"
Sambil menggendong Gendis, aku mengantar adikku sampai pekarangan rumah.
Gendis menatap lekat wajah adikku. Ia lantas meletakkan ke dua tangannya di depan dada "Om, ati-ati ya. Angan ebut!" (om, hati-hati ya. Jangan ngebut)
"Om cabal ya, caaabbaalll!" (om sabar ya, sabaar)
Aku dan Aan terpaku melihat tingkah putriku. Perilakunya terlalu janggal untuk anak seusianya.
Adikku tersenyum manis ke Gendis "Iya, om akan sabar. Terima kasih sudah nasehatin om. Doain om biar selamat sampai di rumah." Balas adikku sambil meletakkan tangannya di depan dada.
Putriku tertawa kecil melihat kelakuan adikku yang meniru sikapnya. Masih dengan posisi kedua tangan di depan dada, Gendis kemudian sedikit menundukkan kepalanya, ia memberi hormat ke adikku.
"Kenapa lagi sama putriku? Siapa yang sudah mengajari Gendis memberi hormat seperti itu?"
"Teh..!!" Teriakan Aan membuyarkan lamunanku.
"Apa?"
"Jangan ngelamun malam-malam! Ntar kesambet! Eh teh! Aan beneran takut sama Gendis!"
"Takut kenapa? Emangnya anakku demit?'
"Bukan begitu Teh. Kelakuan Gendis beda sama anak seusianya. Kalau Aan amati, tingkah laku Gendis itu seperti orangtua! Tengkuk Aan kalau lagi berduaan sama Gendis juga selalu merinding! Asli, anaknya teteh emang beda!"
"Beda gimana?? Di mata teteh, Gendis itu ya tetap anak kecil! Ngaco aja kamu kalau ngomong!"
"Yee.. kalau dibilangin sama adiknya malah nggak percaya! Coba deh nanti teteh amati kalau Gendis lagi bermain sama teman sebayanya. Pasti sikap Gendis yang paling dewasa! Ya sudah, Aan pulang dulu. Sana buruan baikan sama Mas Dedi!!" Goda adikku sambil tertawa lebar.
"Assalamu'alaikum.. Teh..!.. Ndis..!!" Pamit adikku sambil menggas motornya melaju meninggalkan pekarangan rumah.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan An!!' Teriakku dari balik pagar seraya mengamati lekat-lekat wajah Gendis yang tersenyum penuh misteri.
Bersambung
Comments (0)