Jam 1600, akhirnya kami tiba di cluster tempat aku tinggal, saat aku berbelok ke arah rumahku, ada Honda Civic sudah terparkir di sana. Aku hafal betul, itu adalah mobil milik Dino, pikiranku langsung terpacu untuk melewati rumahku dan tidak masuk ke dalamnya. Tetapi kuperhatikan sekilas ada Nadine dan Aerish juga di sana. Aku menghela napas panjang dan ini akan menjadi sesuatu yang melelahkan, pikirku.
Dino memandang BMW E38 yang aku kendarai dengan wajah yang tidak percaya. Aku pun sejurus mengarah ke rumahku, lalu keluar dari mobil, aku juga meminta kepada Cauthelia untuk tidak keluar dari mobil, apapun yang terjadi. Ia mengangguk setuju, sesaat setelah aku keluar dari mobil, kudengar suara pintu mobil dikunci, ya Cauthelia benar-benar menuruti keinginanku.
“Tam, kurang ajar loe!” bentak Dino tiba-tiba meninju pipi kiriku, sakit, tidak terlalu.
“Apa-apaan loe Din!” bentakku balik tidak mau kalah, “gue baru pulang loe maen asal nonjok aja!”
“Loe apain si Lia!” bentaknya sambil mendorong-dorongku.
Aku menangkisnya, “gue bukan loe, gue gak pernah ngapa-ngapain Elya,” ujarku sambil menahan tangannya.
“Loe ngeboong aja Tam!” bentak Dino lalu ingin meninjuku lagi, tetapi kutangkis.
“Gue gak bejat kayak loe Din,” ujarku lalu berusaha menurunkan tangannya.
“Udahlah, loe kayak anak kecil aja Din,” ujar Nadine tiba-tiba, “maaf Tam, Nadine kasih tahu rumah Tama terpaksa soalnya katanya Tama nyulik Lia, padahal Nadine yakin kalopun Lia pergi sama Tama bukan diculik,” ujar Nadine seperti merasa bersalah.
“Udah Nad, gak masalah kok, aku ngerti,” ujarku berusaha tersenyum kepada gadis itu.
“Lia ada di mobil Tama?” tanyanya kepadaku, aku mengangguk pelan, “boleh Nadine ketemu sama Lia enggak?” tanyanya kepadaku, aku terdiam saat itu.
“Boleh, sebentar,” ujarku lalu kembali ke mobilku.
Aku masuk ke dalam mobil, dan aku meminta Cauthelia untuk duduk di belakang, sehingga kedua gadis itu akan berbicara berdua di belakang. Saat Nadine membuka pintu mobilku, satu kata yang keluar dari bibirnya adalah, pintu ini berat amat Tam, dan aku hanya tersenyum mendengar komentar dari gadis itu.
“Nah, sekarang Nadine mau ngomong apa sama Elya?” tanyaku kepada Nadine.
Ia hanya memandangku, “kepengen tahu aja sih, sana sana keluar,” ujar Nadine memintaku keluar.
“Obrolan cewek yah, okay,” ujarku lalu tersenyum kepada mereka berdua.
Aku kembali keluar dari mobil, dan menemui Dino yang masih terlihat emosi denganku. Aku mengerti, ia sangat ingin memiliki Cauthelia sejak dahulu. Terlebih saat ia mengetahui Cauthelia menginap bersamaku semalam, mungkin ia pikir aku sudah melakukan hal yang tidak terpuji bersama gadis itu, tapi kenyataannya aku tidak pernah melakukan hal yang selalu Dino pikirkan, walaupun Cauthelia sangat lihai menggodaku.
“Tam, mendingan kamu jujur deh,” ujar Aerish seakan memojokanku.
Aku terdiam, memandang gadis itu, “aku emang sayang sama Elya, aku emang cinta sama dia, tapi aku gak pernah ngelakuin hal-hal gak terpuji,” ujarku membela diri.
“Tapi loe berduaan semalem, gue tahu banget, loe pasti udah ngapa-ngapain Lia!” bentak Dino.
“Terus mau loe apa?” tanyaku dengan nada menantang, “loe mau cari bukti?” tantangku, giliran ia terdiam.
“Sekarang loe mau gimana nyari buktinya?” tanyaku sedikit kesal, Dino hanya terdiam melihatku.
Aerish saat itu memandangku dengan sedikit tersenyum, ia cantik sore ini, gumamku dalam hati. Rambut lurusnya yang panjang diikatnya ponytail, dipadu dengan kaus casual dan celana jeans yang hanya menutupi setengah pahanya. Luar biasa, bahkan aku tidak pernah melihat Aerish secantik ini sebelumnya, gumamku lagi.
Ia menghampiriku dengan senyuman yang saat itu tidak kumengerti maksudnya, sementara Dino masih menahan kesal, ia berdiri ditempatnya berpijak saat ini. Dengan perlahan Aerish menggenggam tanganku, jujur saja ia tidak pernah lakukan ini sebelumnya kepadaku, ia membenamkan tanganku di dadanya.
“Tam, inget gak kamu pernah bilang sesuatu sama aku?” tanyanya pelan, aku berusaha mengingat banyak hal mengenai gadis itu.
Aku menggeleng, “terlalu banyak hal yang aku bilang ke kamu,” ujarku pelan.
“Kamu pernah bilang mau gak aku jadi pacar kamu?” tanya Aerish dengan wajah yang merah.
Suasana langsung hening seketika, hanya deru mesin langsam yang terdengar begitu merdu saat ini.
“Masih valid kan, karena Tama bilang akan tunggu sampe kapanpun?” tanyanya dengan pelan, deg jantungku langsung berdetak dengan sangat cepat saat itu.
“Aku inget,” ujarku pelan, “aku tahu itu pertanyaan masih gantung,” ujarku dan berusaha tersenyum kepadanya, ia tersenyum kepadaku lalu ia pergi ke mobil Ayahku untuk memanggil Nadine dan Cauthelia.
Ia lalu meminta kedua gadis itu untuk keluar dari mobil, sesaat setelah itu Cauthelia mematikan mesin V12 yang sejak tadi idle pada 600 RPM. Mereka bertiga berdiri di depan mobil Ayahku, ketiga gadis yang saat ini ada di hatiku, mengapa harus tiga? Entahlah, hatiku yang bertanya, hatiku yang menjawab.
“Tam, kamu ngomong ke mereka masalah waktu itu,” ujar Aerish dan saat itu seakan waktu berhenti untukku, bibirku mendadak kelu.
Tidak mungkin aku berbicara hal yang sudah kukatakan sejak lama, dan bagaimana bisa aku mengatakan perasaanku kepada Aerish di depan Nadine dan Cauthelia. Aku terdiam tidak dapat berkata apapun saat ditodong pertanyaan itu oleh Aerish yang saat itu hanya memandangku menungguku mengatakan itu sekali lagi.
“Gak mungkin sekali lagi Rish,” ujarku kepadanya, “cuma jawabannya yang belom kamu jawab,” ujarku lalu memandangnya.
“Well,” ujarnya singkat, “dulu Februari 2006 Tama pernah nyatain perasaannya sama aku,” ujarnya lalu memandang Nadine dan Cauthelia.
“Terus Kakak jawab apa?” tanya Cauthelia kepada gadis itu.
Aerish lalu tersenyum, ia menggeleng, “Tama bilang kalo dia nungguin jawabannya sampe kapanpun,” sambungnya dan memandangku.
“Berarti, selama ini Tama udah nyatain perasaannya sama kamu?” tanya Nadine setengah tidak percaya.
Aerish mengangguk, “ya, tapi dulu aku gak terlalu suka sama Tama, makanya aku bikin dia ilfeel,” ujar Aerish, ia tertunduk.
“Lah, terus kenapa baru ngerasa kalo Kakak suka sama Kak Tama?” tanya Cauthelia lalu mendekati Aerish, ia lalu berdiri di sebelah gadis itu.
“Karena hatiku udah kebuka, Tama bukanlah cowok biasa,” ujarnya lalu memandangku.
Cauthelia memandangku dengan sedikit sedih, “ní féidir liom cúram, is breá liom fós agat,” ujar Cauthelia lalu memandangku dengan penuh kesedihan, aku terdiam melihat ketiga gadis itu.
“Dan jawaban aku, aku mau jadi pacarnya Tama,” ujarnya pelan tapi pasti.
Deg!
jantungku berdetak sangat cepat, aku tidak mengharapkan jawaban itu sekarang, yang aku harapkan jawaban itu keluar dari bibirnya saat itu, atau setidaknya saat aku belum bertemu dengan Cauthelia. Tidak mungkin aku menerimanya saat Cauthelia melihatku dengan wajah yang sangat sedih.
Cauthelia tersenyum kepadaku, meskipun wajahnya terlihat sangat sedih. Sementara Aerish dengan pasti mendekatiku dan menggenggam tanganku dengan hangat, tetapi hanya dingin yang kurasakan. Wajah sedih juga terlihat dari Nadine yang aku tahu bahwa ia juga mencintaiku.
Comments (0)