Part. 28
Gendis Hilang
Gendis Hilang
"Malam itu aku lalui dengan perasaan tidak tenang. Rasanya begitu sulit bagiku untuk memejamkan mata. Aku bersikap waspada karena takut kalau mahluk yang dinamakan big monkeyoleh Gendis akan datang kembali meneror keluargaku.
"KUKURUYUUUUUUK......!!!"
Lengkingan suara kokok ayam jago tetanggaku berhasil membangunkanku yang sedang tertidur pulas. Dengan mata yang terasa begitu berat, aku melirik ke samping kananku. Tampak Gendis dengan nafas teratur sedang tertidur pulas sambil memeluk guling kesayangannya.
Sedangkan suamiku sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Sepertinya mas sudah bangun terlebih dahulu.
Aku merenggangkan otot leher yang terasa kaku dan berat akibat teror yang terjadi semalam. Aku bersyukur teror semalam tidak berkelanjutan, sehingga aku bisa memejamkan mataku walau hanya sebentar. Dengan rasa malas, aku mengangkat tubuhku dan bangun dari kasur.
"Pagi sayang....!!!" Sapa suamiku saat aku melintasi ruang tv.
"Hu-um" sahutku singkat.
"Susah tidur? Mukanya kok kusut begitu?" Goda mas sambil mengunyah roti coklat yang tampak sedikit belepotan di ujung bibirnya.
Aku tak menjawab ucapan suamiku. Aku terlalu letih untuk bercanda. Dengan langkah gontai, aku segera melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.
Tanpa butuh waktu lama, aku segera bergabung dengan suamiku di ruang tv.
"Nah, gitu dong.. kan jadi enak dilihatnya" gurau mas sambil tertawa kecil.
"Kamu enak mas, semalam tidak merasakan apa yang kurasakan! Mas baru terbangun ketika mendengar suara ledakan! Coba posisi kita dibalik, pasti kamu juga bakal susah tidur seperti aku!" Sungutku sambil mencibir ke arah suamiku.
"Iya, iya.. Sudah jangan dibahas lagi. Yang penting semalam keluarga kita aman. Ma, tolong diingat pesan mas! Kalau mas tidak ada di rumah, jangan pernah menerima tamu ! Dan Gendis jangan pernah lagi bermain ke arah kali!! Tolong camkan itu baik-baik!" Nasehat suamiku sambil menyerahkan secangkir teh manis hangat ke hadapanku.
"Iya mas." Segera kuseruput teh melati favoritku. Lumayan, aroma melati yang segar mampu membuat relax pikiranku.
"Mengenai peristiwa semalam, Ima tidak usah cerita ke tetangga. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa."
"Iya, tenang saja.. lagian aku mau cerita ke siapa?"
"Ya sudah kalau begitu mas berangkat kerja dulu. Jaga dirimu dan Gendis baik-baik. Kalau ada apa-apa langsung kabari mas!" Ujarnya seraya mengecup kepalaku dengan penuh cinta.
"Baik mas" akupun mengantar suamiku sampai pekarangan halaman rumah.
"Hati-hati di jalan mas!" Seruku sambil melambaikan tangan.
Mas tersenyum manis ke arahku dan mulai menjalankan kendaraannya.
"MAMAAA....!!! MAMAAAAA....!!!" Terdengar tangisan Gendis dari dalam kamar memanggil-manggil namaku.
Dengan terburu-buru, aku segera menutup gerbang dan berlari menuju ke kamar. Kudapati putriku sedang terduduk di lantai sambil menangis terisak-isak.
"Heeii, kok Ndis sudah duduk di lantai? Terus kenapa Ndis menangis? Cup.. cup..cup.. kesayangan mama. Ndis pasti tadi kecarian mama ya?" Sambil kuseka perlahan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
"Mama....!!" Rengeknya manja sambil memeluk tubuhku.
"Uugghh... manjanya mama" segera kugendong Gendis dan kuciumi aroma tubuhnya yang bau keringat.
"Ndis mandi dulu ya biar segar. Habis itu temani mama ke warung Mba Ira yuk. Mama mau beli sayur."
Setelah memandikan dan memberikan sarapan untuk Gendis, aku segera mengajak putriku ke warung sayur langgananku.
Dengan girang, Gendis langsung berlari ke jalanan yang tampak lengang dari kendaraan. Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya yang tidak bisa diam.
Aku berhenti sejenak ketika melewati warung kelontong mama Ilham. Aku menyapa Ibu-Ibu yang sedari pagi sudah asik berkerumun seperti semut mengerubungi gula.
"Permisi Bu....!" Sapaku ke mereka.
"Eh, mama Gendis. Tumben keluar dari pertapaannya!! Pagi begini mau pergi kemana ?" Tanya mama Saras kepadaku.
"Ini mama Saras, Ima mau ke warung Mba Ira beli sayur" jawabku sekenanya.
"Tumben mama Gendis masak! Biasanya catering terus!" Seloroh Bu Bian sambil tertawa kecil.
Aku hanya menyunggingkan senyum mendengar ucapan tetanggaku.
Ketika aku sedang berbasa basi dengan tetanggaku, kuperhatikan tubuh Gendis tampak terdiam mematung menatap ke arah rumah kosong yang berada tepat di depan warung mama Ilham. Iris mata Gendis tampak sedang mengamati sesuatu di teras yang kotor penuh debu.
"Klettteeekkkk..!!!" Gembok pagar yang terbuat dari bahan hardened steel sekonyong-konyong bergoyang sendiri ke kanan dan kiri. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang sedang menggerakkannya.
"Lah.. Lah..!!!" Mata Enci membeliak melihat ke arah gembok yang sedang begerak sendiri.
"Li-lihat itu!!" Tunjuk Enci dengan wajah ketakutan.
"Ko-kok bisa ya gemboknya bergerak sendiri?" Tanya Enci ke Bu Toni yang sedang duduk di sebelahnya.
"I-i-iya.. ya.. ko bisa bergerak gitu?" Jawab Bu Toni dengan wajah pias.
"Hiiii.... seremmm..!!! Jangan-jangan rumah itu ada setannya!!!" Seru Bu Toni dengan wajah panik.
"Aaah.. hanya kebetulan saja! Mungkin gemboknya tertiup angin!!" Seru Bu Ami sambil mengibaskan tangan kanannya.
"Ibu-Ibu, aku pulang duluan ah!! Aku takuuuttt.. Yuk Mba Ima...!!" Dengan bergegas Bu Toni segera berlari menuju ke rumahnya.
"Payah Bu Toni! Baru begini saja sudah ketakutan!" Sindir Bu Andi sambil tersenyum sinis.
"Betul Bu Andi! Sudah pasti gembok itu bergerak karena ketiup angin! Lagian mana mungkin ada setan yang berkeliaran pagi-pagi begini! Ada-ada saja Bu Toni!!" Timpal Bu Qila sambil memakan bakwan di tangannya.
"Tahu tuh Bu Toni!! Baru melihat gembok bergerak sendiri saja sudah ketakutan begitu. Bagaimana kalau dia melihat kuntilanak atau gunderuwondo berada tepat di depan matanya! Mungkin bisa langsung mati berdiri!!" Kelakar Bu Joko sambil disambut tawa riuh Ibu-ibu lainnya.
"Pemikiran yang aneh!! Mana mungkin gembok sebesar dan seberat itu bisa bergerak hanya karena tertiup hembusan angin!". Aku mulai merasa tidak nyaman dengan ucapan mereka dan hanya bisa memasang senyum palsu melihat kelakuan mereka yang setiap pagi kerjaannya hanya merumpi.
"Permisi dulu ya Bu! Ima takut sayur yang mau Ima beli kehabisan."
"Iya Mba Ima, silahkan! Sering-sering ke luar rumah dan ngumpul sama kita!" Seloroh Bu Joko sambil tersenyum lebar.
Aku membalas ucapannya dengan tersenyum tipis.
"Yuk Ndis, kita ke warung Mba Ira" sambil kuraih tangan anakku yang terasa begitu dingin.
Putriku langsung memalingkan wajahnya dari rumah kosong yang auranya tampak begitu redup. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak ditempati, aura rumah itu menjadi kurang bersahabat sehingga menarik perhatian beberapa mahluk halus untuk menempatinya.
"Ndis tadi siapa yang mainin gembok di rumah itu?" Tanyaku sambil menggandeng tangan putriku.
"Itu ma...." gumamnya.
"Itu siapa Ndis?"
Namun tak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya yang tipis. Gendis tampak cuek dan asik mengamati lingkungan sekitarnya. Mungkin di mata putriku, mahluk astral penunggu rumah kosong itu tidak begitu penting. Hanya sesosok tak kasat mata yang berusaha menarik perhatian atau mengajak anakku berkenalan.
Saat melintasi rumah kosong yang letaknya berada di perempatan jalan, putriku tampak terdiam dan menoleh sejenak ke rumah yang temboknya mulai dipenuhi lumut dan tanaman rambat. Gendis mulai memamerkan deretan giginya yang rapi. Ia tersenyum manis dan melambaikan tangannya.
"Ma, itu ciapa?" Tanyanya sambil menarik tanganku mendekat ke rumah kosong.
Aku menghentikan langkahku berusaha mencegah putriku untuk mendekat ke rumah yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pernah ditempati oleh pemiliknya.
"Mama nggak tahu Ndis, mama tidak bisa melihat mereka! Yang sedang Gendis lihat itu mahluk ciptaan Allah" Jawabku sekenanya.
"Itu om, ma!! Bye, Om! Dis mau ke walung dulu cama mama."
Alisku bertaut mendengar ucapannya.
"Om??" Mahluk apa lagi yang sedang dilihat oleh mata ketiga putriku.
"Kenapa semakin hari semakin banyak mahluk tak kasat mata yang dilihat oleh putriku? Apa hal ini tidak akan menjadi masalah, jika di kemudian hari putriku masih belum bisa mengendalikan indra keenamnya?" Netraku terus mengawasi Gendis yang sedang tertawa kegirangan berusaha menggapai kupu-kupu yang semakin terbang tinggi menjauh dari dirinya.
***
"Ndis, Gendis jangan pergi kemana-mana ya. Mama mau ke dalam sebentar mengambil snack untuk Gendis" kataku pada Gendis yang siang itu sedang asik menggambar di teras rumah.
Putriku tidak mengidahkan ucapanku. Dengan posisi tengkurap di lantai, matanya terus fokus menggambar di buku gambar. Aku segera masuk ke rumah untuk mengambil cemilan keju kesukaan Gendis.
"Kleteeek" terdengar suara pintu gerbang dibuka.
Aku terdiam, mempertajam indra pendengaranku.
Hening... tak terdengar suara apapun.
"Kok tadi aku seperti mendengar suara grendel pintu gerbang dibuka? Atau aku salah dengar?" Pikirku tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.
"Ah, bisa jadi suara itu berasal dari gerbang rumah Mbah Kirana." Pikirku sambil menutup lemari yang berisi penuh dengan cemilan favorit putriku.
Aku segera berjalan menuju ke teras sambil membawa snack kegemaran Gendis.
"Ndis.. kudapan kesayangan Ndis datang..!!" Teriakku dari dalam rumah.
Aku terperangah.
Jantung dan darahku berdesir cepat tatkala melihat pintu gerbang kecil yang tadinya tertutup rapat sekarang sudah menganga terbuka lebar.
Tanganku gemetar sehingga menjatuhkan snack yang berada dalam genggamanku. Makanan kesukaan Gendispun langsung berhamburan di lantai. Namun aku tak mempedulikannya, aku segera berlari ke teras untuk melihat keadaan putriku.
Astagfirullah!! Teras tampak kosong!!
Pandanganku terasa nanar dan pikiranku menjadi blank!!
Anakku sudah tidak berada di tempatnya!! Hanya ada buku gambar dan pensil warna yang tampak berserakan di lantai.
"Siapa yang sudah membuka pintu gerbang rumah? Tidak mungkin Gendis bisa menjangkau dan membuka grendel pintu yang begitu berat? Atau mungkin ada maling anak yang diam-diam menyelinap masuk ke rumah dan menculik anakku?" Segera kutepis semua pikiran buruk yang mulai bermunculan di benakku. Aku harus berpikir positif!! Aku harus yakin bisa menemukan putriku kembali!
Dengan bertelanjang kaki, aku segera lari keluar rumah. Panas terik di tengah hari bolong membakar jalanan beraspal. Tak kupedulikan rasa panas yang mulai membakar telapak kakiku. Seperti orang linglung, aku terus berlari mencari putriku.
Dengan nafas terengah-engah, aku mengamati setiap sudut jalanan berusaha mencari sosok tubuh anakku. Namun aku tetap tidak dapat menemukan Gendis. Putriku seperti raib ditelan bumi!
Jalanan yang biasanya ramai, siang itu tampak begitu lengang dan sepi! Tidak tampak seorangpun disana yang bisa kutanya perihal menghilangnya putriku!
Dadaku sesak menahan tangis. Kepalaku mulai terasa berat, duniaku terasa berputar cepat dan semua tampak mulai gelap. Aku segera bersandar dan berpegangan di pagar rumah tetanggaku.
Dengan nafas kembang kempis, aku berusaha mempertahankan kesadaranku yang mulai memudar. Rasanya saat itu aku ingin menjerit dan berteriak sekencangnya memanggil nama Gendis, namun lidahku terasa kelu!
"Ya Allah, kemana perginya anakku?" Air mata mulai menggenang di sudut mataku.
"Ya Rabb, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada diri putriku, aku tidak mungkin bisa memaafkan diriku!!" Sesalku dalam hati.
Pikiran buruk mulai menggelayut memenuhi benakku. Terlintas di pikiranku kalau Gendis menuju ke arah kali dan tercebur ke dalam arusnya yang begitu deras!!
"Tidak..!! Tidak mungkin Gendis menuju ke kali. Gendis anak yang pintar, dia pasti paham akan nasehatku untuk menjauh dari kali!! Putriku tahu kalau di kali ada big monkey yang harus ia jauhi!" Aku menolak mentah-mentah pikiran negatif yang berusaha menguasai diriku.
Aku memejamkan mata dan berusaha mengatur nafas. Aku harus tetap tenang dan berpikir jernih, menimbang ke arah mana perginya putriku? Aku harus berpikir seandainya aku yang berada di posisi Gendis, maka arah mana yang benar-benar menarik perhatianku? Saat ini aku benar-benar bergantung pada intuisiku sebagai seorang Ibu!
"Ya Allah tolong bantu Ima untuk menemukan Gendis!"
Samar-samar hatiku berbisik menyuruhku untuk berlari ke arah kanan.
Secepat kilat aku segera berlari menuju ke arah yang ditunjukkan oleh hatiku. Sambil berharap cemas agar segera dapat menemukan putriku secepatnya.
"Ya Allah tolong bantu Ima menemukan Gendis! Jangan biarkan hal buruk menimpa putriku!" Doaku dalam hati.
Baru saja aku akan melewati pertigaan di kompleks perumahan, mataku seperti dipaksa untuk menoleh ke arah kiri.
Di tengah teriknya sinar matahari, samar-samar iris mataku menangkap sosok tubuh Gendis yang berbalut setelan kaos dan celana pendek berwarna merah muda. Kulihat putriku tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Dan saat ini dari kejauhan ia sedang berlari ke arahku!!
Wajahnya terlihat ceria, tidak ada rasa takut terpancar dari wajahnya. Anakku nampak baik-baik saja sampai bola mataku menangkap sesuatu yang janggal!
" Tangan siapa yang sedang digenggam oleh anakku?"
Kulihat tangan kiri Gendis tampak seperti sedang menggandeng sesosok yang tidak terlihat wujudnya. Sesekali putriku mendongak ke arah kiri sambil tersenyum dan tertawa cekikikan. Sosok tak kasat mata itu tampaknya sedang mengajak putriku bercanda.
"GENDIIISSSSSSS!!!" Teriakku memecah kesunyian di siang bolong.
Masa bodoh kalau tetanggaku ada yang merasa terganggu karena mendengar teriakanku yang sangat kencang. Hatiku begitu diselimuti rasa gembira karena dapat melihat wajah putriku kembali.
Aku mengucap puji syukur kepada Allah, karena telah menjaga dan memberikan keselamatan untuk putriku tercinta.
Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari secepatnya menghampiri Gendis.
Begitu jarak kami sangat dekat, segera kurengkuh tubuh anakku dan kudekap erat. Rasanya aku tak ingin melepaskan pelukanku sedetikpun! Setiap detik bersama putriku terasa begitu berharga!
Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Pelukanku merosot ke jalan dan aku duduk bersimpuh di jalanan yang siang itu begitu terasa panas membara. Tak kuhiraukan pakaianku yang terlihat kumal dan kotor karena terkena debu jalanan.
Aku mulai menangis segukan! Meluapkan perasaanku.
"Gendis, kamu dari mana nak? " Tanyaku sambil meneliti wajah dan sekujur tubuh putriku. Aku berusaha memastikan kalau kondisi Gendis baik-baik saja.
Alhamdulillah tidak kutemukan sedikitpun bekas luka ataupun lecet disekujur tubuhnya.
Gendis menatap mataku dengan wajah tanpa dosa. Dan ia mulai tersenyum. Senyumannya seperti penawar dahaga, begitu meneduhkan jiwaku.
Indra penglihatanku mengamati tangan Gendis yang masih menggandeng tangan mahluk dari dimensi lain.
"Terima kasih.. Terima kasih banyak karena telah menjaga dan membawa putriku
kembali ke sisiku" Bisikku lirih sambil mengamati udara hampa di sisi putriku.
Perlahan tangan kiri Gendis mulai melepaskan sesuatu dari genggamannya. Ujung mata putriku mendongak dan mengerling ke arah mahluk gaib yang telah menuntunnya untuk kembali kepadaku.
"Bye, Ibu!!" Senyum putriku tulus.
"Ibu lagi?" Desisku penuh tanda tanya.
Namun saat itu tak kupedulikan perihal tentang Ibu. Hatiku terlalu membuncah kegirangan karena Gendis sudah kembali ke pelukanku!
"Gendis, tolong maafin keteledoran mama ya nak! Maafin mama ya Ndis!!" Isakku sambil terus menciumi wajahnya yang bau terik sinar matahari.
"Tolong janji sama mama, Gendis tidak akan pernah keluar rumah sendirian lagi tanpa pamit sama mama." Suara tangisku akhirnya meledak.
"Ndis!! Kalau tadi sampai Gendis kenapa-kenapa, mama bisa gila nak!!" Jeritku tertahan sambil terus bersimpuh di hadapan putriku.
Mungkin kalau saat itu ada orang yang melintas dan melihat kelakuanku, mungkin mereka akan berpikir kalau aku ini orang gila!!Ya, aku bisa gila kalau sampai kehilangan putriku satu-satunya!!
Aku menangis sejadi-jadinya meluapkan rasa sesak di dadaku saat ini.
Aku terus merutuk sifat cerobohku yang mungkin saja bisa berakibat fatal bagi putriku tercinta. Harusnya sebagai seorang Ibu, aku bisa lebih waspada lagi. Tidak teledor seperti tadi meninggalkan anakku sendirian di teras tanpa mengunci pintu pagar!
Gendis hanya terdiam melihat aku menangis histeris. Mungkin putriku heran melihat aku yang terus mengucurkan air mata sambil terus memeluk dan menciumi seluruh wajahnya.
"Mama...!!" Ucapnya sambil mengusap lembut air mataku.
"Ma, aapin Dis ya ma" (Ma, maafin Ndis ya Ma)
"Nggak Ndis! Gendis nggak salah! Mama yang salah nak! Mama sudah lalai menjaga kamu!!" Sambil terus kuciumi wajahnya.
"Sekarang Gendis pulang ke rumah ya sama mama?" Aku segera menggendong putriku dan membawanya pulang ke rumah.
Ketika melewati pohon nangka, wajah Gendis menoleh ke atas pohon dan menyapa mereka "Haaaii kakak!!" Sapanya ramah seraya melambaikan tangan.
Aku tak mempedulikan celotehan Gendis. Saat ini aku terlalu letih jika harus berusaha memahami apa yang putriku lihat.
Dengan mata sembab, aku terus menggendong Gendis dan melangkah memasuki rumah.
***
Aku mengambil segelas air putih dan meminumnya agar hatiku terasa tenang.
Ku tatap wajah putriku yang sedang asik menyusu dari dotnya.
Hatiku diliputi rasa penasaran, siapakah yang tadi sudah membuka pintu gerbang. Putriku ataukah sosok yang selalu disebut Ibu oleh anakku? Atau mungkin ada mahluk lain yang membukanya dengan maksud mencelakai putriku?
Aku menghela nafas berat. Semakin dipikirkan semakin membuat kepala pusing!
Segera kuhampiri Gendis yang sedang menonton film kartun kesukaannya. Sambil mengelus rambutnya yang panjang, aku memberanikan diri bertanya kepada putriku.
"Ndis, mama boleh nanya nggak?"
"Apa ma?" Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Tadi yang buka pintu gerbang siapa nak?"
"Itu ma.. Itu."
"Itu siapa nak? Apa Gendis yang membuka pintunya?"
"Utan ma!" (Bukan ma)
"Terus kalau bukan Gendis, siapa dong yang buka pintunya?"
"Kakak aju led" (kakak baju red)
"Kakak baju red?" Mataku menyipit mendengar ucapannya.
"Iya, kakak itu ma."
"Ya Allah, mahluk apa lagi yang sedang iseng sama putriku? Kenapa mereka tidak berhenti
berbuat jahil kepada Gendis?
"Terus kakak baju red ngapain buka pagar rumah?"
"Au ajak Dis alan-alan ma" (mau ajak Ndis jalan-jalan ma)
"Oo.. jadi kakak baju red mau ajak Ndis jalan-jalan. Lain kali kalau ada yang mau ajak Gendis pergi jangan mau ya nak. Gendis cuma boleh pergi sama mama dan ayah."
"Iyaa ma!"
"Janji ya nak, jangan bikin mama khawatir" sambil kucium tangannya yang beraroma susu vanilla.
Ia mengerjapkan matanya. Entah Gendis memahami ucapanku atau tidak. Namun aku selalu berusaha mengajaknya berdiskusi sejak dini.
"Sekarang aku sudah bisa menarik benang merah. Ternyata yang membuka pintu pagar adalah kakak berbaju merah. Mungkin niatnya hanya ingin mengajak putriku berkeliling atau pergi ke tempat yang jauh? Namun sepertinya rencana mahluk itu tidak berhasil karena sosok Ibu langsung muncul dan segera membawa putriku pulang." Pikirku dengan tatapan menerawang.
Aku segera mengambil ponselku yang tergeletak di meja. Dengan tidak sabar aku ingin segera menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi ke suamiku.
"Tut..tut..tut.." nomer teleponnya terdengar sibuk.
Aku segera mengurungkan niatku menelpon suamiku. Mungkin sebaiknya aku menceritakan kejadian ini setelah mas tiba di rumah.
Aku mulai merebahan tubuhku di atas karpet yang empuk. Hembusan ac di ruang tv terasa begitu sejuk, membuat kelopak mataku perlahan meredup. Aku segera memutar aplikasi musik di ponsel untuk menemaniku beristirahat. Sayup-sayup suara merdu Trisha Yearwood yang sedang melantunkan lagu How Do I Live Without You mengantarku ke alam mimpi...
Bersambung
Comments (0)