Part. 26
Penunggu Jembatan Kecil
Penunggu Jembatan Kecil
Sepertinya di tempat itu ada sesosok mahluk gaib yang sedang menunggu kedatangan putriku. Entah apa maksud dan tujuan mahluk itu menunggu Gendis di pinggir kali yang arus airnya terlihat begitu deras!!!
"AYAH..!! AYAAAHH..!!" Seru Gendis sambil berlari ke arah bantaran kali.
"GENDISS.. BERHENTI NAK..!! ITU BUKAN AYAH...!!" Teriakku sekuat tenaga.
Namun putriku tidak mengindahkan ucapanku, ia terus berlari menghampiri mahluk yang sedang menyerupai wujud suamiku.
"AYAH.. UNGGU DIS..!!" (ayah tunggu Ndis)
Sepertinya mahluk itu terus memakai wujud mas untuk memancing Gendis agar terus mendekat ke arahnya. Atau mungkin saat itu ia sedang melambaikan tangannya seolah-olah ingin mengajak anakku pergi.
Gendis terus berlari dan semakin sulit untuk aku susul.
"Gendiiss... tunggu mama!!!" Pekikku dengan nafas terengah-engah. Saat itu aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi sesuatu mengerikan yang menimpa putriku tercinta.
Begitu hampir mendekati kali, putriku seketika menghentikan larinya, tepat sebelum jembatan kecil yang menjadi penghubung perumahanku dengan perumahan lainnya.
Ia tampak berdiri mematung.
Matanya terlihat berkeliling seperti mencari sesuatu. Wajahnya terlihat kebingungan.
"AYAAHHHH...!!!"
"AYAH, DIS ILANG..!!!" Pekiknya sambil menangis histeris.
"Ayah adi ayam!!" Ayah adi ayaaaaammm...!!!(Ayah jadi ayam) jeritnya sambil menunjuk ke sekumpulan ayam yang sedang mengais cacing di bawah rerumpunan bambu.
Sambil terus mengatur nafas, aku memeluk putriku yang sedang menangis kebingungan.
"Ndis.. Ndis.. tolong lihat mama! Dengar kata mama, ayah Ndis nggak jadi ayam!" ujarku sambil menepuk pipinya perlahan.
"Tadi yang Gendis lihat itu bukan ayah! Ayah Gendis kan lagi kerja!!" Dekapku erat berusaha melindungi putriku.
"Ayah Dis ilang ma!! Itu ayam!!" ujarnya sambil menangis segukan Sepertinya mahluk itu menghilang saat Gendis menghampirinya. Dan sekarang putriku berpikir kalau ayahnya telah berubah wujud menjadi seekor ayam!
"Ayah Dis ilannnngggg...!!" Jeritnya lagi.
"Memangnya tadi Gendis melihat ayah?"
Ia menganggukkan kepalanya.
"Gendis lihat ayah dimana?"
"Tu- Itu ma. Ayah iri dicitu panggil Dis..!!" (ayah diri disitu manggil Ndis) Tunjuknya ke arah rumpun bambu yang batangnya bergerak tertiup angin.
"Gendis, yang tadi Ndis lihat itu bukan ayah tapi jin yang menyerupai ayah. Percaya sama kata mama ya nak. Kalau Gendis masih tidak yakin, yuk kita pulang dan nelpon ayah." Ucapku berusaha meyakinkan putriku yang masih mengira kalau ayahnya telah berganti wujud.
"Kurang ajar!!" Geramku dalam hati.
"Berani sekali kamu menipu putriku dengan menampakkan wujud menyerupai suamiku!"
"Apa maumu terhadap anakku??" Tantangku dalam hati.
"SRREEEKKKK" salah satu batang bambu bergoyang hebat seperti memahami isi hatiku.
"Jangan jahil!! Anakku ini masih kecil!! Dia tidak pernah berbuat salah kepada kalian!" Ucapku sinis ke arah batang bambu yang terus bergoyang ke kanan dan ke kiri.
"Apa sih susahnya hidup berdampingan?" Aku mulai ngedumel pada diriku sendiri. Aku paling benci dengan mahluk astral yang bersifat jahil! Apalagi jika mahluk itu dengan beraninya berubah wujud menyerupai manusia!
"Parah nih mahluk halus penunggu jembatan kecil pinggir kali. Matahari pagi masih bersinar terik sudah berani menunjukkan eksitensinya!" Geramku tertahan.
"Yuk Ndis, kita pulang. Penunggu disini sifatnya iseng banget!"
Baru saja aku mau menggendong putriku, bulu kudukku terasa dingin seperti ditiup oleh angin. Bulu tanganku meremang, indra penciumanku mulai mencium aroma bunga sedap malam. Wangi yang terkadang hadir menemaniku dan putriku saat menjelang malam tiba. Segera kuhirup dalam-dalam aroma bunga sedap malam yang bisa membuat relax siapapun yang mencium aromanya.
Kehadiran aroma bunga yang wanginya tidak terlalu menyengat ini seketika membuat gerakan batang pohon bambu berhenti.
"Ibuuuuuu" Ucap Gendis sambil menghentikan tangisnya.
"Ibu??" Siapa lagi sekarang yang sedang dilihat oleh mata ketiga Gendis?
"Ibuuuu... ayah ilang, ayah Dis ilang!!" Celoteh Gendis seperti sedang mengadu dengan seseorang.
"Ndis yang tadi berdiri disitu bukan ayah. Kan tadi mama sudah kasih tahu Ndis kalau yang barusan Ndis lihat itu namanya jin!" Sambil jariku menunjuk ke pohon bambu yang berjejer di sepanjang bantaran kali.!
"Jin ma?"
"Iya, jin! Jin itu juga mahluk ciptaan Allah. Tapi nggak semua orang bisa melihat jin. Mama dan ayah tidak bisa melihat mereka. Cuma Gendis yang bisa."
"Dis, jin?" Tanya anakku dengan polosnya.
"Bukan..!! Gendis bukan jin! Gendis itu manusia. Anaknya mama dan ayah!"
"Jin.. jin.. jin" celotehnya jenaka.
"Ndis, Ibu itu siapa?" Tanyaku penasaran.
"Ibu Dis !!" Ujarnya sambil memegang dadanya.
Aku dibuat penasaran oleh sosok mahluk astral yang dipanggil Ibu oleh putriku. Sudah dua kali aku mendengar Gendis menyebut nama Ibu! Siapa dia? Apakah dia mahluk dari golongan baik atau jahat! Kenapa Gendis tampak bahagia saat melihat kedatangan sosok yang ia panggil dengan sebutan Ibu?
Perasaanku mulai diliputi rasa tidak enak.
Segera kugendong Gendis menjauh dari tempat bersemayamnya mahluk halus yang mungkin wujud aslinya adalah gunderuwo. Konon, gunderuwo itu sangat menyukai rumpun bambu dan memiliki sifat yang jahil. Saking jahilnya, mahluk itu kerap berubah wujud menjadi seseorang yang kita kenal.
Setelah berjalan agak jauh, Gendis mulai minta turun "Mama.. tuyun. Dis au alan (Mama, turun. Ndis mau jalan)."
Akhirnya aku menurunkan putriku. Dengan bergandengan tangan, kami berjalan menuju ke rumah. Dari kejauhan Kmkulihat Pak Iwan (satpam di perumahan) tampak sedang duduk termenung di teras rumahnya. Raut wajahnya ditekuk menyiratkan seperti sedang menyimpan beban.
Gendis menghentikan langkahnya. Sorot matanya perlahan berubah fokus terhadap sesuatu yang berada di depannya. Ia mulai melangkah mundur dan bersembunyi di belakangku.
"Ma, atut. Dis atut. Om celem! Celem hiii..!!" ( ma, takut. Ndis takut. Om serem! Serem , hii) Ujarnya sambil mengintip dari balik bajuku.
Aku mengamati wajah Pak Iwan yang tampak murung.
Aku milai menerka-nerka apa yang sedang putriku lihat? Mingkinkah ada sosok jin yang menempel atau mengikuti diri Pak Iwan? Sesosok jin dengan wujud yang menyeramkan sehingga membuat anakku ketakutan?
"Ma, endong" rajuk Gendis sambil menjulurkan tangannya.
Aku segera menggendong putriku dan melangkah melewati Pak Iwan yang tatapan matanya tampak kosong. Begitu kami hampir mendekat ke arah Pak Iwan, Gendis langsung menyembunyikan wajahnya dalam bahuku. Tangannya mencengkram erat hijab yang sedang kupakai. Ia terlihat begitu ketakutan.
"Permisi Pak Iwan!" Sapaku ramah.
Pak Iwan hanya menatap wajahku dan tersenyum datar tanpa ada sepatah katapun terucap dari mulutnya.
"Tumben Pak Iwan tidak menegur Gendis?" Aku bertanya dalam hati. Biasanya setiap berpapasan dengan kami, Pak Iwan selalu menggoda putriku dengan sebutan kiting. Namun kali ini kesan ramah itu hilang.
Setelah berjalan menjauh dari Pak Iwan, Gendis mulai minta turun dari gendonganku.
Putriku mulai melangkahkan kakinya lagi sambil sesekali wajahnya menoleh ke arah Pak Iwan. Sepertinya anakku juga penasaran dengan sosok yang sedang menemani Pak Iwan.
Harus kuakui, ini bukanlah pertama kalinya Gendis tampak ketakutan saat melihat tetanggaku. Kalau kuhitung sudah enam orang yang berhasil membuat putriku ketakutan saat berpapasan dengan mereka.
Salah satu contohnya dengan seorang pemuda bernama Mas Fatih. Pria berparas tampan yang masih duduk di bangku SMA. Terkadang saat Gendis kuajak main ke rumahnya, anakku menolak ketakutan!
Putriku berkata ada sesosok muka seram yang suka mengikuti Mas Fatih. Sosok galak yang tidak sudi menerima kehadiran putriku di rumahnya. Namun jika sosok itu sedang tidak menempel di tubuh Mas Fatih, dengan riang, putriku mau bermain dan bercanda dengan Mas Fatih yang sifatnya begitu pendiam dan sopan.
Tak kusangka, ternyata Mas Fatih juga merasakan hal yang sama dengan apa yang terkadang putriku lihat. Ibu Mas Fatih pernah bertanya kepadaku "apakah Gendis bisa melihat sosok jin yang selalu mengikuti anaknya?" Namun aku hanya tersenyum. Aku tidak berani menjawabnya.
Menurut Ibunya, Mas Fatih pernah mengalami kecelakaan dan koma selama hampir satu bulan lamanya. Setelah Mas Fatih siuman, ia mulai peka dengan kehadiran mahluk halus, namun tidak dapat melihat wujudnya. Walau sudah rutin di ruqyah syar'i, tampaknya sampai detik ini sosok tersebut masih belum bisa dipisahkan dari diri Mas Fatih.
Firasatku mengatakan kalau sosok jin yang selalu mengikut Mas Fatih ini berwujud jin perempuan. Dan tampaknya jin ini sudah jatuh cinta dengan Mas Fatih dan tidak rela kalau ada wanita lain yang berusaha mendekati Mas Fatih. (Wallahu'alam)
Ketika hampir melewati pertigaan, mata Gendis menengok ke arah kanan. Kulihat di ujung jalan, dalam jarak kurang lebih seratus meter, tampak dua orang pemain kuda lumping yang sedang berjalan kaki menuju ke arah aku dan putriku berdiri.
Ke dua mata Gendis terpentang lebar, membeliak menatap ke arah pemain kuda lumping. Mulutnya terbuka, menjerit disertai tangisan histeris.
"Huuuaaa...!!! Huuuaaaa..!!! Atuuuutt..!! Attttuu..!! Ceyeeeemmm....!! Ceeeyyyeemm...!! Kuda ceyeeeemmmm, black!! atanya elototttt.!!
(Takut, seram, seram. Kuda seram, hitam!!matanya melotot)
Aku yang menyaksikan perubahan perilaku Gendis, serta merta langsung merengkuh tubuh putriku. Dalam dekapanku, aku berusaha keras mencoba menenangkan tangisan Gendis.
"Cup, cup.. tenang nak. Ada mama disini" sambil kuelus punggungnya yang basah terkena keringat.
"Mama..mama..atuuutt!! Diss atuut!! Kuda big!! Ceyeeeemmm!!! Atanya elotot, red!!"
(mama, mama, takut. ndis takut. Kudanya besar, serem! matanya melotot, merah)
Aku menatap ke arah pemain kuda lumping yang semakin mendekat ke arah kami.
"Kuda besar bermata merah? Itukah sosok jin yang mengikuti pemain jaran kepang hingga mereka bisa memakan pecahan beling tanpa merasakan sakit dan terluka sedikitpun?" Pikirku sambil terus melihat ke arah mereka yang memakai pakaian serba hitam.
Dalam jarak kurang lebih tiga meter, tubuh putriku bergetar hebat. Sepertinya indra ketiganya merasakan kehadiran energi negatif yang membuat dirinya merasa tidak nyaman! Gendis semakin memperkuat pelukannya dan membenamkan wajahnya di leherku.
Aku terus menguatkan diri Gendis dengan membacakan surat Al-Baqarah di telinganya.
Saat melintas di hadapanku, mata salah satu pemain kuda lumping yang bertubuh kecil menatap lekat ke arah Gendis.
"Permisi Bu! Maaf kalau kami sudah membuat putrinya ketakutan!" Tuturnya ramah sambil meneruskan langkahnya.
Aku terperangah mendengar ucapannya. "Apa orang ini mengetahui kalau anakku bisa melihat mahluk astral yang mengikuti mereka?"
"I-iya mas, silahkan." Balasku sambil tersenyum.
Setelah pemain jaran kepang menjauh dari tempat kami berdiri, berangsur-angsur tangisan Gendis mulai tenang. Ia tidak lagi menangis histeris. Yang terdengar hanyalah suara isak tangis dan matanya yang memerah.
"Sayang, kudanya sudah pergi. Jangan takut lagi ya nak?" Ucapku sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
Dengan terisak-isak, Gendis menatap ke dua mataku. Netranya masih memancarkan rasa ketakutan yang teramat sangat.
Hatiku terenyuh. Aku tidak tega melihat tatapan mata anakku.
"Ya Allah, semenyiksa inikah jika memiliki indra ketiga yang aktif sedari lahir? Tolong kasihani putriku. Hatiku tidak tega jika melihat anakku selalu menjerit ketakutan seperti ini" lirihku sambil menatap ke arah hamparan langit biru. Berharap Sang Pencipta mendengarkan doaku.
***
Sore hari sambil menunggu suamiku pulang kerja, aku menemani Gendis yang sedang belajar menulis di teras. Anak satu tahun sudah mulai belajar menulis? Iya kalian sedang tidak salah membaca. Gendis mulai belajar menulis dari usia sepuluh bulan, sedangkan hobi membacanya dimulai saat anakku berusia delapan bulan.
Saat sedang asik menulis, pandangan Gendis beralih ke arah tembok pembatas rumahku dengan tetanggaku.
Matanya berbinar gembira seperti melihat seseorang yang begitu ia rindukan.
"Ibuuuuuuuu...!!!" Teriaknya kegirangan sambil menatap ke arah tembok garasi yang kosong.
Aku bertanya dalam hati. "Ibu?? Seharian ini sudah dua kali Gendis mengucap nama Ibu. Kenapa sosok Ibu tampaknya sering datang menghampiri putriku? Seperti apa wujudnya? Dan mengapa Gendis memanggilnya dengan sebutan Ibu??"
"Ibu, cini Bu !! Ayo main cama Dis!!"
"Yaaa... Ibu nggak mau main cama Dis!!" Putriku menunjukkan raut wajah kecewa sambil terus menatap tembok garasi berwarna abu-abu.
Sepertinya sosok mahluk astral yang biasa dipanggil Ibu oleh putriku tidak mau menemaninya bermain. Sosok ini tampaknya hanya mengamati aktifitas anakku yang sedang belajar menulis.
"Ndis, memang Ibu ada disini?"
Putriku tersenyum sambil menunjukkan jarinya ke arah tembok.
"Di citu ma. Ibu agi iatin Dis ulis!!" (Ibu lagi lihatin Gendis menulis)
Akupun semakin penasaran dibuatnya.
"Memangnya kenapa Ibu ngelihatin Gendis lagi menulis?"
Dengan santai putriku hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Mungkin sesosok yang dipanggil Ibu oleh Gendis, melarang anakku untuk memberitahu keyataan yang sebenarnya. Atau mungkin juga belum waktunya bagiku mengetahui sosok tersebut.
"Ibu baik tidak Dis?" Tanyaku lagi.
Sambil menulis, putriku menganggukkan kepalanya.
"Ibu aik kaya mama. Ibu ayang Dis!!"
(Ibu baik kaya mama. Ibu sayang Ndis)
"Ibu.. Ibu dicitu aja. Angan kemana-mana ya!" (Ibu.. Ibu disitu saja. Jangan kemana-mana ya) Tatap Gendis penuh harap.
Baru aku ingin menasehati putriku, terdengar suara kendaraan berhenti di halaman rumah. Tampaknya suamiku sudah pulang kerja. Aku bergegas membuka pintu garasi.
Dengan wajah sumringah, Gendis menyambut kedatangan ayahnya
"Holeee... Ayahhh Dis ulang!!"
(Horee.. Ayah Ndis pulang)
Aku segera menghampiri mas dan mencium tangannya. Mas tersenyum manis karena mendapat sambutan hangat dari anak perempuannya.
Suamiku segera menggendong Gendis dan menciumi wajahnya.
"Waahh.. anak ayah sudah cantik! Kenapa mata Gendis sembab? Apa Gendis habis nangis?" Mas tampak mengamati mata putrinya yang terlihat sembab.
"Ma, Gendis kenapa? Apa Gendis habis menangis?" Tanya mas dengan mimik serius.
"Iya, tadi pagi ada kejadian yang membuat Gendis nangis kejer!" Jawabku jujur.
Raut wajah suamiku langsung berubah.
"Kenapa?? Apa ada yang nakalin anak kita?" Telisik mas dengan raut wajah tidak suka.
"Nggak mas! Bukan itu!! Sudah, kamu mandi saja dulu. Baru nanti aku ceritakan semuanya."
"Ya sudah kalau begitu. Mas tidak mau kalau ada temannya yang berbuat nakal membuat Gendis menangis!!"
Mata mas mulai beralih ke Gendis yang masih bergelayut manja di pelukan ayahnya.
"Ayah kangen banget Ndis. Tadi seharian di kantor, ayah keinget muka Gendis terus!"
Putriku tersenyum mendengar ucapan mas. Ia meraba wajah ayahnya dan tertawa kegelian saat tangannya menyentuh bulu halus di dagu suamiku.
"Ayaah auuuu, huuueekk" celotehnya riang.
(Ayah bauuu, huuek)
Mas pura-pura mencium bajunya.
"Ayah bau ya Ndis? Ya sudah, ayah mandi dulu. Gendis tunggu ayah disini! Jangan kemana-mana ya!" Ujar mas sambil menurunkan putrinya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Malamnya saat aku dan suamiku sedang bersantai di ruang tamu, sambil ditemani cemilan kentang goreng favorit Gendis dan mas, aku mulai menceritakan kejadian tadi pagi di pinggir kali dan pemain kuda lumping yang sudah berhasil membuat putriku menjerit ketakutan.
Mas mendengarkan ceritaku dengan seksama.
Sesuai dugaanku, mas tampak begitu marah saat mengetahui ada mahluk gaib yang sudah berusaha memperdaya putrinya!
"Ma! Apa kamu tidak ingat sama pesan mas? Tolong awasi Gendis! Masa begitu saja tidak bisa?" Ucapnya dengan ketus.
Aku tersinggung mendengar ucapan suamiku yang terdengar menyalahkan diriku.
"Loh itu aku ngawasin Gendis! Kalau tidak aku awasi, sudah kubiarkan dia bermain seharian di luar seperti anak kecil lainnya!" Balasku tak kalah sengit.
Mas tampaknya menyadari kesalahannya. Dengan raut wajah menyesal, ia segera meminta maaf kepadaku.
"Ma-maaf, maksud mas bukan begitu. Apa kamu tidak tau kalau jembatan kecil di dekat pinggir kali itu terkenal angker?"
"Angker? Angker bagaimana?" Inotasi suaraku perlahan mulai menurun.
Suamiku menarik nafas dan mulai melanjutkan kembali ceritanya.
"Makanya jangan di dalam rumah terus! Coba sekali-sekali kamu keluar rumah dan ngobrol dengan tetangga. Biar jangan sampai ketinggalan informasi!"
"Ogah!! Kamu tau sendirikan dari sebelum menikah sama mas, aku ini tipe anak rumahan. Dari dulu aku paling tidak suka nongkrong dan bergosip sama tetangga!" Tolakku mentah-mentah.
"Tapi sesekali kamu perlu bergaul. Apalagi sekarang ini kita sudah memiliki seorang anak."
Namun aku tetap teguh dengan pendirianku. Bagiku untuk mencari sebuah informasi tidak perlu harus nongkrong. Di mataku, jika sekumpulan ibu-ibu sudah berkumpul maka yang akan terjadi adalah bergosip! Bergunjing tentang aib orang lain! Bahkan tak jarang aku mendengar mereka membongkar aib keluarga sendiri. Dan aku paling anti bergosip! Kisah hidupku sendiri sudah ribet, jadi untuk apa aku mengurusi hidup orang lain? Lebih baik aku menghabiskan waktu di rumah dengan membaca buku atau membikin cemilan favorit Gendis.
"Mas, memangnya jembatan itu angker gimana?" Hatiku tidak sabar ingin mengetahui kejadian ganjil yang pernah menimpa warga di perumahanku.
"Ciiee.. kamu penasaran? Katanya tidak suka bergosip!" Goda suamiku sambil mengedipkan matanya.
Aku mendengus kesal. Wajahku bersemu merah.
"Bukan begitu! Kata mas kan jembatan kecil itu angker. Nah, atas dasar apa mas bisa bilang begitu?" Sungutku kesal.
Mas tersenyum melihat wajahku yang sepertinya siap meledak menahan amarah.
"Jadi begini Ma... sudah ada tiga orang warga sini yang diganggu sama penunggu jembatan kecil itu. Yang pertama anaknya Bu Lulu." Mas menghentikan ceritanya dan mulai meminum secangkir coklat hangat.
"Terus mas??"
"Sebulan lalu, anaknya Bu Lulu yang bernama Mba Pipit habis pulang kerja shift malam dan ia melewati jembatan itu. Tiba-tiba ia merasakan bahu kanannya ada yang memukul dengan keras, hingga ia kehilangan kendali sampai terjatuh dari motornya. Keesokan harinya anak Bu Lulu tidak masuk kerja karena bahunya terasa sakit. Saat diperiksa sama Ibunya, ternyata bahu Pipit terlihat lebam dan membentuk seperti ceplakan tangan yang besar."
"Hiiiiiii..." aku bergidik ngeri mendengar cerita suamiku.
"Mas tau cerita ini darimana? Kamukan sering ke luar kota, masa bisa tau kejadian yang menimpa Mba Pipit?"
"Ya taulah! Kadang kalau lagi di rumah, mas kan suka nongkrong sama bapak-bapak di pos satpam."
"Aku baru tau kalau bapak-bapak lagi ngumpul juga suka bergunjing" sindirku sambil menatap ke arah suamiku yang sedang menikmati kentang goreng.
"Terus dua orang lagi siapa mas? Dan bagaimana ceritanya?" Cecarku penuh rasa ingin tahu.
"Yang satu lagi menimpa anaknya Pak Tono yang nomer dua, Mba Sukma!"
"Haaaah??? Mba Sukma juga pernah diisengin sama mahluk itu? Kapan kejadiannya mas??" Aku Cumiik terkejut.
"Kejadiannya terjadi beberapa minggu yang lalu. Hampir sama persis dengan yang menimpa Mba Pipit. Waktu itu sekitar pukul sepuluh malam. Mba Sukma baru saja pulang kerja. Ketika melewati jembatan yang sepi, ia merasakan motornya ada yang mendorong dengan sangat kuat dari arah samping. Akhirnya motor Mba Sukma oleng dan ia terjatuh ke dalam got!"
Aku terkesima mendengarnya. Sejahat itukah perbuatan mahluk penunggu jembatan, sampai hampir membuat tetanggaku celaka? Got yang berada dekat jembatan keci begitu dalam! Jadi sangat berbahaya kalau sampai ada manusia yang terjatuh ke dalamnya. Karena nyawa yang menjadi taruhannya!!
Bersambung
Comments (0)