Part. 25
Residual Energi
Residual Energi
Saat aku tengah menimbang apa yang harus kujelaskan ke putriku, kuperhatikan Gendis terus menatap foto yang berada dalam genggamannya. Lambat laun sorot mata anakku yang tadinya terlihat polos berubah semakin tajam dan menakutkan !!!
"AYAAAAHHHHHH..........!!!!" Teriakan kerasnya mecuamikkan pendengaran siapapun yang berada di dekatnya.
Dengan wajah menahan amarah,putriku segera membuang foto yang sedari tadi ia pegang.
"AYAAAHHHH JAAAAAAAAATTTTT.....!!! Suaranya lantang membelah keheningan.
Suamiku yang sedang terlelap, segera membuka matanya karena terkejut mendengar teriakan putri semata wayangnya.
"A-apa Ndis?" Suaranya gelagapan seperti orang mau tenggelam.
Dengan tangan mengepal dan sorot tatapan layaknya seorang pembunuh, Gendis menghampiri ayahnya yang masih dalam posisi rebahan.
"AYAAAHHHHH JAAAAAATTTT....!!" Jeritnya sambil bertubi-tubi menghujani bogem mentah ke pelipis mas yang kesadarannya belum pulih sepenuhnya.
Suamiku terkesiap mendapat serangan tiba-tiba dari putrinya.
Sambil menjerit, Gendis terus mengamuk seperti orang yang kesetanan. Putriku memukuli serta menendangi ayahnya yang tampak pasrah menerima perlakuan dari anaknya.
Aku tersentak kaget melihat perilaku Gendis yang berubah seratus delapan puluh derajat! Anakku yang biasanya bersikap manis dan penurut, perilakunya mendadak berubah seperti hewan liar yang sedang menyiksa mangsanya secara brutal dan sadis!
"Aku tak habis pikir, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa yang sudah dilihat oleh putriku sampai dirinya tersulut emosi? Apakah Gendis paham siapa wanita yg berada di foto tersebut? Namun bagaimana mungkin putriku bisa tahu? Usianya masih satu tahun, pastinya belum mengerti arti perselingkuhan!! Selama ini, aku selalu menutup rapat-rapat masalahku dengan mas dari hadapan Gendis!
Aku yang masih terperanjat hanya terdiam dan memandangi perlakuan Gendis ke mas.
"Ma...!!! Ma...!!! Ini Gendis kenapa??" Suamiku berusaha meminta penjelasan dari aku yang berdiri mematung.
Mas berusaha mati-matian menutupi wajahnya dengan ke dua tangannya. Wajah suamiku terlihat memerah! Ia berusaha keras sekuat tenaga menangkis pukulan Gendis yang begitu kuat dan menyakitkan. Namun semakin mas mencoba bertahan, semakin brutal juga serangan yang dilontarkan oleh putriku. Saat ini aku seperti tengah menonton adegan laga secara langsung!!
Jujur... ada sedikit rasa puas dalam sanubariku melihat mas dihajar habis-habisan oleh anaknya sendiri.
Aku tersenyum sinis, memandang suamiku penuh dendam!
Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah aku berusaha memisahkan mereka?
Jawabannya TIDAK!!! Aku hanya tersenyum penuh kemenangan melihat peristiwa langka yang sedang berlangsung di depan mataku.
"Hajar Ndis..!!! Hajar terus ayahmu..!! Jangan beri ampun...!! Lampiaskan semua dendam dan amarah mama...!!!" Hatiku malah bersorak sorai kegirangan melihat mas diam tak berkutik, seperti seekor tikus kecil yang sedang dimangsa oleh kucing hutan!
"IMA...!! Sebenarnya Gendis kenapa???" Suaranya tercekat di kerongkongan.
Kupandangi wajah suamiku yang tampak kelelahan. Beda dengan Gendis yang staminanya tampak full, putriku tidak terlihat letih sama sekali.
Hatiku berbisik "Syukurin kamu mas..!! Aku memang tidak bisa membalas perbuatanmu, namun akhirnya kamu mendapatkan balasan yang setimpal dari tangan anakmu sendiri!!!"
Apa aku telah berubah menjadi seorang Ibu yang jahat karena telah dikuasai dendam membara? Sehingga dengan tega membiarkan putriku satu-satunya baku hantam dengan ayahnya sendiri?
Entahlah! Yang pasti aku memiliki kepuasan tersendiri melihat amukan Gendis yang semakin menjadi-jadi. Aku merasakan bahagia teramat sangat karena akhirnya aku memiliki seorang sekutu yang siap membelaku kapanpun!!!
"Tuh..!! Kamu lihat saja sendiri kenapa Gendis sampai mengamuk begitu!!" Jari telunjukku menunjuk ke arah foto Nia yang dulu tersimpan rapi dalam lemari, namun kini foto itu tergeletak di lantai.
"Bu-buaang Ma!! Cepat buang fotonya!!!" Suara mas terdengar memelas.
Aku menyeringai licik bagai srigala yang siap melumat mangsanya.
"Ogah!! Buang saja sendiri!!" Balasku dengan angkuh.
"AYAHHH JAAATIN MAMA, DISSSSS....!!!" Suara anakku terengah-engah setelah puas memukuli ayahnya.
Masih dengan nafas memburu, Gendis membuang muka dan mulai memandangi foto yang tergeletak tidak jauh dari tempatku berdiri.
Bara api dendam terpancar dari sorot matanya. Gendis mulai melangkah dan menginjak-injak foto Nia dengan kedua kakinya sambil diiringi geraman amarah.
"JAAAAAAT...!!! JAAAAAAAAATTTTTT...!!!!!"
"AWAS ...!! KAMU JAAAATT....!!!" Jeritannya membuat bulu kudukku seketika meremang.
Setelah dirinya puas karena sudah meluapkan semua amarah di hati, Gendis mulai menghampiriku.
Ia memelukku dan mulai menangis terisak-isak. Hatiku terasa sakit seperti diiris sembilu saat mendengar tangisannya yang begitu menyayat hati.
Bisa kurasakan debaran jantungnya yang tengah berpacu cepat dan hembusan nafasnya yang begitu menggebu-gebu.
"Mama... Dis.. Mama... Dis !!" Ucapnya berulang sambil menangis tersegu-segu.
Kubelai lembut rambutnya yang basah terkena keringat.
"Iya.. mama dan Gendis selamanya. Sudah sekarang Gendis tenang ya" bisikku di telinga anakku.
"Gendis marah ya? Kenapa Gendis marah? Coba cerita sama mama?" Pintaku dengan lembut.
Gendis menatap mataku, ia terlihat berusaha keras mencoba menjelaskan semua yang tengah dirinya rasakan. Namun mulutnya terkunci rapat, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya! Seolah-olah ada seseorang yang melarangnya untuk bercerita kepadaku!
"Ya sudah kalau Gendis tidak mau ngasih tahu mama. Senyaman Gendis saja ya." Sambil kuciumi wajahnya yang terus memandangi wajahku.
Mas segera bangun dari posisi tidurnya dan secepat kilat mengambil foto Nia.
Dihadapan kami, mas merobek-robek foto itu hingga menjadi serpihan kecil.
"Ndis..!! Coba lihat ke ayah !!" Pinta mas dengan raut wajah bersalah.
Putriku tidak mengindahkan ucapan ayahnya. Ia tidak bergeming sedikitpun. Gendis terus mendekapku erat.
Dengan ragu, mas berjalan menghampiri kami.
Tangannya menjulur berusaha membelai rambut Gendis yang terlihat panjang.
"PLLLAAAKKK" tangan Gendis menghantam ke arah tangan mas.
"NO...!!! DON'T TOUCH....!!!"
Mas terkejut!!
Wajahnya terlihat merah padam dan kakinya bergetar mundur beberapa langkah. Ia menatap dengan tatapan mengiba ke arahku.
"Ndis tolong maafin ayah ya kalau ayah sudah bikin salah. Maafin ayah karena sudah bikin Gendis dan mama sakit hati" suara mas bergetar berusaha menahan tangis.
"NO.....!!!" Bentak Gendis.
Mas menunduk lesu dan mulai memunguti serpihan foto di lantai. Dengan langkah lunglai, mas berjalan meninggalkan kamar.
Tak lama kemudian suamiku memasuki ruangan.
"Ndis, coba dengerin ayah dulu. Ayah sudah membuang fotonya ke tempat sampah. Sekarang ayah minta Gendis untuk memaafkan ayah!" Mohon mas dengan suara terbata-bata.
"NO....!!!!! NO.....!!!!!" Jawab Gendis tanpa mau menoleh ke ayahnya sama sekali.
"Gendisss...." desahnya sambil menghela nafas berat.
"Kamu sudah lihat sendirikan bagaimana reaksi Gendis saat melihat foto Nia?"
"Sudah.. sudah.. kumohon jangan dibahas lagi!" Pinta mas dengan tatapan memohon.
"Bukan begitu! Aku hanya ingin memberitahu mas kalau aku tadi tidak bilang apa-apa ke Gendis! Aku bahkan tidak menyuruh anak kita untuk memukuli ayahnya sendiri!" Aku berusaha menerangkan ke suamiku.
"Semua itu insting dia sendiri. Atau mungkin ada yang putri kita lihat saat menatap foto Nia!" Jelasku menggebu-gebu.
"Apa kamu tidak merasakan keanehan? Kenapa tiba-tiba Gendis mengamuk setelah melihat foto perempuan tersebut?" Tanyaku pada mas yang terus berusaha menyentuh tangan putrinya.
"Entah Ma, mas juga heran dengan sikap Gendis yang berubah beringas!" Sahut mas.
"A-apa mungkin Gendis bisa melihat masa lalu?" Suara mas tergagap.
"Huufff.... Gendis kenapa kamu berbeda?" Kulihat mas tengah berbicara kepada dirinya sendiri.
Bisa kurasakan beban di hatinya. Mungkin suamiku tidak mau kalau Gendis sampai membenci dirinya.
"Sudah.. sudah.. tolong biarkan dulu Gendis menenangkan hatinya. Mudah-mudahan nanti bisa baik lagi" saranku sok bijak.
Namun mas tetap berusaha mati-matian membujuk putrinya dengan segala cara. Semua bujuk rayu dilancarkan. Namun hasilnya nihil, tidak membuahkan hasil sama sekali. Gendis tetap teguh dengan pendiriannya! Dirinya tidak mau digendong, disentuh bahkan sekedar melihat wajah ayahnya, putriku tidak sudi!!
Seharian putriku masih terus marah terhadap mas. Setiap mereka berpapasan di rumah, Gendis langsung melengos membuang muka diiringi dengusan kencang! Bahkan ketika mas mencoba merayunya dengan ice cream strawberry kesukaannya, Gendis langsung menepis ice cream tersebut dari genggaman mas.
Putriku tampak menyimpan dendam kesumat kepada ayahnya!
Aku tertawa kecil dalam hati melihat kelakuan Gendis. Semarah itukah kamu terhadap ayahmu?
Apakah normal jika anak berusia satu tahun bisa menyimpan dendam yang teramat sangat seperti layaknya orang dewasa??
Aku segera mengambil ponsel dan browsing tentang karakteristik anak indigo. Aku berusaha mencari tahu tentang perilaku Gendis.
Di trit Mas Yus, dijelaskan mengenai residual energi. Residual energi adalah energi yang terkumpul akibat sebuah peristiwa masa lalu yang kadang menimbulkan refleksi atau jejak yang dapat terlihat pengulangan dari kejadian tersebut secara utuh. Seperti film yang diputar ulang kembali setelah sekian lama. Kadang juga berupa suara atau bunyi-bunyian, yang selalu terdengar pada waktu yang sama dan teratur.
Aku tertegun.
Aku berusaha mencerna kejadian tadi pagi. Apakah tadi putriku melihat residual energi yang terpancar melalui foto Nia? Mungkinkah Gendis sudah melihat masa lalu mas dan Nia, sehingga ia marah besar?
Tiba-tiba aku teringat ucapan Pak haji jika kemampuan Gendis akan meningkat setelah sakit panas yang menimpanya. Bukankah beberapa waktu lalu anakku sempat panas tinggi? Dan apakah benar sekarang ia memiliki kemampuan melihat residual energi??
Bakat apa lagi selanjutnya yang akan diperlihatkan oleh putriku??
Hatiku mulai diselimuti rasa was-was. Aku takut tidak sanggup menghadapi kemampua Gendis yang di luar nalarku sebagai manusia biasa.
***
Rembulan mulai menampakan cahayanya yang temaram. Aku sedang menemani putriku bermain mobil-mobilan di teras.
"Ngggeeenngggg......!!!!" Suara Gendis tertawa kegirangan sambil mengemudikan mobil berwarna pink.
"Tiiiinnn... Tiiinnnnn " klaksonnya ketika hampir menabrak kakiku yang sedang lesehan di lantai.
Aku tersenyum melihat kelakuan putriku yang tingkahnya seperti anak laki-laki. Ia lebih menyukai mainan mobil-mobilan daripada boneka! Kelakuannya mengingatkanku pada diriku sendiri. Kami berdua sama-sama tomboy!
"Kriiiieeet" pintu ruang tamu terbuka lebar.
Mas muncul dengan kening berkerut seperti orang sedang berpikir.
"Kenapa wajahmu seperti itu mas?" Tanyaku basa-basi.
"Malam ini hawanya kok gerah banget ya? Mas mau ke warung dulu beli minuman. Kamu mau ikut Ma?"
Aku melirik Gendis yang masih mengacuhkan kehadiran ayahnya.
"Ndis mau ikut ayah dan mama ke warung nggak?" Tanyaku ke putriku.
Gendis menghentikan mobilnya.
Ia mengamati diriku yang masih duduk di lantai.
"itut ma... Dis itut." Ujarnya sambil turun dari kendaraannya.
Kamipun beriringan berjalan ke warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Saat perjalanan pulang, mas mengajak lewat jalan memutar. Mungkin suamiku jenuh karena berada di rumah terus.
Saat melewati pertigaan yang penerangannya tampak suram, Gendis menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah jalanan mushola yang gelap gulita.
"Ma......!! Serunya sambil menarik tanganku yang sedang menggandeng tangannya.
"Apa?"
Jari Gendis menunjuk ke jalanan yang tidak ada lampu penerangan sama sekali.
"Itu apa??"
Aku memicingkan mataku.
Gelap!! Tak terlihat apapun disana!!
"Memang Gendis melihat apa?" Aku balik bertanya ke putriku.
"Lame..!! Anyak olang di cana!!"
(Ramai! Banyak orang disana!)
"Ramai?? Ramai darimana? Jelas-jelas tempat itu terlihat gelap dan sepi!" Batinku dalam hati.
Apa penglihatan putriku bisa menembus kegelapan malam??
Mas terdiam, tampaknya suamiku juga penasaran dengan ucapan Gendis
"Kecana yuk ma !!" Pinta Gendis sambil menarik tanganku dengan kencang.
"Ndis.. tolong berhenti dulu. Mama mau bicara" pintaku sambil berlutut di hadapannya.
"Sayang, disana gelap. Tidak ada apa-apa! Kita pulang saja ya? Mending main mobil-mobilan di rumah sama ayah dan mama" bujukku pada Gendis.
"Iya nlNdis, nanti ayah bacakan buku cerita deh!" Mas mulai merayu putrinya.
Alhamdulillah bujukan kami berhasil. Gendis mulai mau diajak berjalan menjauh dari tempat yang biasa dibilang angker oleh warga di sekitar perumahan.
Sambil berjalan mas mulai menasehati aku.
"Ma, kalau mas tidak ada tolong awasi Gendis! Jangan biarkan ia bermain sendirian karena kita tidak tahu apa yang sedang dilihatnya."
"Iya mas, aku juga heran dengan apa yang dilihat Gendis. Kenapa tempat sesepi dan segelap itu malah dia bilang ramai?"
"Maka itu, kamu harus extra waspada menjaga putri kita. Mas tidak mau hal buruk menimpa Gendis!"
Aku menatap wajah suamiku yang diterpa sinar rembulan.
"Apakah ini berarti mas mulai menerima dan mempercayai ucapan Gendis?"
Sesampainya di rumah, sikap Gendis ke mas mulai melunak. Putriku mulai mau bermain dengan ayahnya. Mungkin anakku sudah memaafkan mas atau melupakan kejadian tadi pagi.
Saat sedang asik bermain, sorot mata Gendis tampak menatap ke arah pohon mangga yang berada tepat di depan pintu rumah. Terlihat senyuman mengembang dari bibirnya yang mungil.
"Yah, itu kakak!!" Celotehnya sambil menunjuk ke pohon.
Mas menyipitkan matanya, berusaha mencerna ucapan Gendis.
"Tuh.. Itu kakak...!!"
"Haiiii kakak....!!!!" Pekiknya riang.
Aku menghampiri putriku yang tampak antusias sedang berkomunikasi dengan seseorang.
"Ndis" tegurku sambil memeluknya dari belakang.
"Ndis lagi apa?" Tanyaku pelan.
"Itu kakak ma..!!" Tunjuknya ke arah pohon mangga.
"Kakak cini.. cini..!! Ayo macuk, main cama Dis..!!" Pintanya manja.
Sepertinya putriku tidak takut dengan sosok tersebut. Mereka tampak seperti teman karib yang sudah mengenal lama.
"Ndis, tolong lihat mama sebentar. Kakak tidak boleh masuk ke rumah sini. Mama tidak memberi ijin! Yang boleh masuk ke rumah cuma mama, ayah dan Gendis ya!" Aku berusaha memberi penjelasan ke putriku.
Aku tidak ingin anakku sembarangan mengajak mahluk halus bermain di rumahku! Aku tidak akan membiarkan putriku lebih merasa nyaman bermain dengan mereka daripada dengan manusia!!
"Gendis pahamkan maksud mama?"
Putriku menggangukkan kepalanya.
"Alhamdulillah kalau Gendis paham! Anak mama dan ayah memang anak pintar." Pujiku sambil mencium ke dua pipinya.
"Ma... kakak mau pelgi..!!"
"Tuhh.. tuhh.. kakak telbang" mata anakku seperti melihat sesuatu melayang dari pohon mangga ke udara.
"Maaaaa.... kakak kelen (keren)!! Kakak bica telbang..kakak bica telbangggg!!" Mata putriku berbinar kegirangan seperti sedang melihat atraksi sirkus.
"Byyeee kakak... Byeeee...!! Ati-ati!! Awas jatuuuh..!!" Teriak Gendis sambil melambaikan tangannya ke udara.
Aku tersenyum melihat mas yang sedari tadi hanya terdiam. Seperinya suamiku bingung dengan peristiwa ganjil yang sedang berlangsung.
Batinku berbisik sepertinya anakku saat ini sedang melihat mahluk yang biasa disebut kuntilanak! Selama mereka tidak membikin putriku menangis ketakutan, aku tidak peduli dengan mereka!
"Mama...!!!" Gendis mulai menarik baju yang aku pakai.
"Apa? Gendis mau apa?"
"Dis mau telbang kaya kakak..." ucapnya polos sambil mengerjapkan bola matanya.
Aku tersenyum tipis mendengar ucapannya. Putriku belum memahami apa yang ia lihat!
"Oohh.. Gendis mau terbang seperti kakak? Kapan-kapan, Gendis nanti mama ajak naik pesawat terbang ya!"
Gendis tertawa kegirangan dan mulai berlari mengelilingi teras..
"Telbang, telbang...!! Dis telbang kaya kakak...!!!" (Telbang = terbang)
"Sudah malam, masuk yuk Dis! Udara mulai dingin, ayah tidak mau alergi Gendis kambuh lagi." Papar mas sambil menggendong Gendis yang terus memasang wajah sumringah.
***
Suara mas menyentakkan aku dari lamunanku.
"Ma, mas mau ke kantor dulu. Soalnya ada berkas yang harus mas persiapkan untuk tugas ke luar kota."
"Oke mas" sahutku sambil menyeruput kopi favoritku.
"Ingat pesan mas, jangan biarkan Gendis bermain sendirian! Tolong selalu awasi putri kita."
"Iya..iya."
"Ya sudah, mas jalan dulu ya" ujarnya seraya mendaratkan kecupan hangat di keningku.
Suamiku mulai memanaskan kendaraannya dan tak lama kemudian terdengar suara kendaraan menjauh dari pekarangan rumah.
"MAMA... MAMA... CUCU..!!" Pekik putriku yang sepertinya baru saja terbangun.
Dengan tergopoh-gopoh, aku segera berlari ke kamar dan membuatkan susu untuk anakku tercinta.
"Ndis, kita jalan pagi yuk biar sehat?" Ajakku ke Gendis yang masih asik memeluk guling kesayangannya.
Namun tak ada respon dari putriku.
"Mama mau lihat ayam Mbah Imam aahh..!!" Pancingku lagi pada Gendis yang mulai melirik ke arahku.
"Chicken...!! Petok..petook..!!" Ucapnya sambil segera turun dari tempat tidur dan berlari menuju ruang tamu.
"Yes..!! Pancinganku berhasil..!!"
Aku dan Gendis segera berjalan keluar halaman. Dengan antusias, Gendis langsung berlarian mengejar ayam tetanggaku yang sedang dilepas di jalanan.
"Ndiiiisss... larinya pelan-pelan.!! Jangan sampai jatuh!!"
Namun Gendis tidak mengindahkan peringatanku. Ia terus berlari kegirangan mengejar ayam yang sedang mencari makanan.
Setelah puas berlarian, Gendis menghampiriku.
"Ma, kecana!!" Bujuknya sambil menunjuk ke arah kali.
"Mau ngapain kesana? Disana sepi nak tidak ada siapa-siapa?"
"Dis mau kecana!" Celotehnya lagi sambil berlari meninggalkanku.
Putriku memang tidak bisa diam. Dia lebih suka berlari daripada berjalan santai. Dengan bergegas, aku segera berlari mengejar Gendis yang larinya semakin bertambah kencang.
Beberapa tetangga yang berpapasan dengan kami, menyapa sekenanya.
"Ndiss.. tunggu!! Tunggu mama!!" Teriakku dengan nafas tersengal-sengal.
Namun anakku semakin mempercepat larinya, seolah-olah seperti sedang mengejar sesuatu.
Hingga akhirnya.
Nenek Andi yang rumahnya berada di pinggir kali berhasil menangkap putriku.
"Ayoo.. Gendis mau kemana?" Tanya nenek Andi ramah.
Aku mengatur nafasku yang mengap-mengap.
"Terima kasih nek sudah bisa menangkap Gendis" tatapku ke nenek Andi yang hidup sebatang kara.
"Sama-sama neng! Kebetulan saja nenek lagi memetik daun singkong dan melihat neng geulis lari sambil memanggil Gendis."
Gendis menatapku dan nenek secara bergantian.
Ketika aku dan nenek sedang berbicara, dengan sigap putriku berlari secepat kilat meninggalkan aku.
Aku yang terkejut segera pamit dan kembali mengejar Gendis yang berlari mendekat ke arah bibir kali.
"Gendiiisss...!!!!" Jeritku berusaha menghentikan lajunya.
Namun putriku tidak menoleh ke belakang. Ia terus berlari sambil tangannya menggapai ke udara.
"Unggu.. Unggu Dis..!! Angan inggalin Dis!!"
(Tunggu.. Tunggu Gendis!! Jangan Tinggalin Ndis!!) Jeritnya sambil terus berlari.
Hingga akhirnya pendengaranku mendengar putriku menyebut nama seseorang yang terdengar familiar di telingaku. Sepertinya saat ini ada sesosok mahluk astral yang menyerupai seseorang yang Gendis kenal.
Aku berpacu dengan waktu. Dengan nafas kembang kempis, aku terus berlari secepat kilat berusaha menyusul putriku. Kulihat Gendis terus berlari ke arah rerumpunan bambu yang letaknya berada di pinggir sungai sambil terus meneriakkan sebuah nama.
Sepertinya di tempat itu ada sesosok mahluk gaib yang sedang menunggu kedatangan putriku. Entah apa maksud dan tujuan mahluk itu menunggu Gendis di pinggir kali yang arus airnya terlihat begitu deras!!!
Bersambung
Comments (0)